Setiap vampir yang berani melanggar aturan pasti akan mendapatkan hukuman. Tidak hanya yang bersangkutan, keluarga tempat vampir itu bernaung juga akan diawasi oleh Dewan. Hal yang sama terjadi kepada Keluarga Kim Jooho. Karena kesalahan Ato dulu, gerak-gerik keluarga ini mendapat perhatian khusus, bahkan setelah kepindahan mereka dari New York ke Seoul. Tugas yang harusnya menjadi kewenangan Dewan New York, kini menjadi tanggung jawab Dewan Seoul. Itu sebabnya Jooho dan Nara mencari tahu ke Kantor Dewan Seoul perihal sosok yang mengawasi Nara pada malam itu.
"Baik Dewan New York maupun Seoul tidak ada yang mengirim seseorang untuk mengawasi Nara pada malam itu," jelas Park Jungsoo, Ketua Dewan Seoul. Vampir tampan yang memiliki hidung dan rahang tegas itu lebih tua dari Jooho. Dia sudah hidup selama 107 tahun pada saat Jooho baru menjadi seorang vampir.
Jooho mengangguk. "Drake juga mengatakan hal yang sama. Mereka bilang telah menyerahkan wewenang sepenuhnya pada kalian jika anggota keluarga kami ada yang melakukan kesalahan."
"Yup. Dan apa yang Nara lakukan selama ini belum berpotensi membahayakan bangsa kita karena dia hanya sebatas berkencan tanpa melakukan hal yang lebih jauh. Makanya pengawasan kami belum seketat itu padanya."
Nara yang merasa tersindir oleh kata-kata Jungsoo memutar bola mata malas sambil mengalihkan pandangan.
"Kalaupun harus ada yang diawasi, Jay Jung-lah orangnya. Dia sudah sering melakukan hal-hal yang dulunya dilakukan oleh Ato," lanjut Jungsoo sambil menyeringai.
"Lalu, bagaimana soal wajahnya yang sangat mirip dengan Ato?" Nara bertanya dengan tidak sabaran sekaligus muak. Sejak tadi belum ada yang membahas soal itu, padahal itulah yang paling membuat Nara penasaran.
Jungsoo tampak berpikir. "Yang jelas itu bukan Ato karena mustahil bagi vampir yang dilenyapkan dengan dibakar dapat kembali lagi. Pasti itu makhluk lain yang menyerupai Ato."
"Tapi makhluk apa itu?" Itu Jooho yang bertanya. Jungsoo mengangkat bahu tidak yakin.
"Bisa saja itu bangsa lain, tapi tidak menutup kemungkinan juga berasal dari bangsa kita. Aku akan menyuruh seluruh bawahanku untuk mencari tahu soal ini. Kalau perlu, aku akan menghubungi Ketua Dewan dari berbagai kota untuk menanyakannya."
Jooho tersenyum berterima kasih. "Terima kasih, Tuan Park." Yang hanya ditanggapi dengan senyum tipis dan anggukan singkat dari sang empunya nama.
Kelegaan Jooho tidak berlaku bagi Nara yang rautnya masih saja tegang. Benaknya masih penasaran dengan tujuan makhluk itu mengawasi dirinya. Jika Dewan masih belum juga menemukan jawabannya nanti, maka Nara sendiri yang akan mencari tahu. Itulah tekadnya.
*****
Begitu mobilnya sudah terparkir sempurna, Hoon segera melangkah keluar. Sejak mulai mengajar, jam pulangnya selalu bisa diprediksi, yaitu setiap jam 6 sore. Sebagai dosen baru, apalagi pengganti, hal ini masih terbilang wajar sebab banyak yang harus mengalami penyesuaian. Kendati begitu, Hoon tetap senang melakukannya. Menjadi dosen adalah impiannya sejak kecil, apalagi dosen di kota kelahiran ibunya.
Kang Mina, ibunda Hoon, lahir di Seoul. Pada usia 19 tahun wanita cantik itu pindah ke New York demi menjalani studi di Columbia University. Di sanalah dia bertemu dengan William Arnault, ayah Hoon. Mereka menikah dan hanya memiliki seorang anak. Saat usia Hoon delapan tahun, ayahnya meninggal secara misterius. Kejadian itu mengubah hidup Hoon dan ibunya selamanya. Mereka hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Bahkan, Hoon sampai harus berganti nama dari yang awalnya Aldrich Arnault menjadi Kang Hoon.
Duka yang dialami Hoon tidak berhenti sampai di situ. Pada usia sepuluh tahun, dia harus kehilangan sang ibu yang meninggal. Menyisakan Hoon yang harus hidup di panti asuhan. Beruntung di sana dia bertemu dengan Brandon Kim dan Ilana Kim, kedua sahabat yang tumbuh bersama dengannya sampai usia tujuh belas tahun.
Ya. Pada saat kuliah Hoon dan kedua sahabatnya mendapat kesempatan untuk meraih mimpi di universitas yang berbeda. Hoon tetap di New York, sedangkan Ilana dan Brandon di Seoul. Walau begitu, ketiganya masih sering bertukar pesan lewat email. Kini, Sehun menyusul Ilana dengan bekerja di Seoul, sementara Brandon baru saja menempuh S3 di Negeri Ratu Elizabeth.
Tak terasa kini Hoon sudah sampai di depan unit apartemennya. Baru saja menempelkan sidik jari guna membuka pintu, sebuah cubitan keras menyapa pinggangnya. Hoon mengaduh dan mendelik menatap sang pelaku utama.
"La!" geramnya pada sosok cantik yang sedang tertawa melihat Hoon kesakitan, seolah tidak merasa bersalah sama sekali. Ya, dialah Ilana Kim dan segala tingkah ajaibnya. Gadis yang selalu bisa membuat Hoon tersenyum, bahkan tertawa gembira sekalipun merasa lelah.
"Kau kan sudah tahu kebiasaanku kalau ingin menegurmu, masa masih kaget juga sih?" Ilana masih tertawa sambil mengekori Hoon yang memilih masuk ke kediamannya. Bahkan tanpa dipersilakan duduk di sofa ruang tengah.
"Mana ada orang yang tidak kaget jika ditegur dengan cara seperti itu, La?" Hoon menatap Ilana datar sambil bersandar di pintu kamar. Jas yang tadi membungkus tubuhnya sudah berpindah ke lengan.
Si Gadis Kim tampak berpikir. Pada detik ketiga dia pun meringis lucu. "Semua orang pasti kaget sih."
"Exactly!" Lantas, si Pria Kang pun masuk ke kamar, tapi suara melengking Ilana menghentikan langkahnya.
"Ayo makan di luar!"
Hoon mengernyit. "Memang kau tidak masak?" Walau kelakuannya aneh bin ajaib, Ilana adalah sosok perempuan yang pandai memasak. Setiap pagi dan malam hari mereka makan berdua di unit Ilana. Pada siang hari keduanya selalu sibuk bekerja, jadi tidak sempat makan bersama. Apalagi, jarak butik Ilana dan kampus tempat Hoon mengajar letaknya berjauhan.
"Hari ini aku sedang malas masak sendiri." Wajah Ilana tampak lelah. Namun, sedetik kemudian rautnya berubah antusias. "Lagi pula, sehabis makan malam aku ingin mengajakmu ke Hades."
"Tidak." Hoon melenggang masuk kamarnya, menutup pintu. Mengabaikan Ilana yang bangkit dari sofa dan merengek.
"Ayolah, Hoon! Kau tega membiarkanku kelaparan?" Ilana menggedor pintu, tapi Hoon tidak mau membukakan.
"Kalau hanya makan bersama, aku mau, tapi kalau ke Hades, pergilah sendiri," teriak Hoon sambil mengambil pakaian ganti, bersiap mandi. Dia bisa mendengar sang sahabat menggerutu di luar kamarnya, tapi dia tidak peduli. Pria itu tetap menjalankan ritual mandinya.
Sejak dulu Hoon memang tidak suka tempat hiburan malam, berbeda dengan Ilana dan Brandon. Dia sering diajak, tapi sering juga menolak. Namun, beberapa malam lalu dia mau ikut karena Brandon dan Ilana merengek. Katanya itu pesta kecil-kecilan sebagai perpisahan karena Brandon akan menempuh studi di luar negeri. Walau Hoon setuju untuk ikut, dia tetap tidak bisa menikmati suasana kelab yang riuh. Pada pertengahan acara, dia justru kabur ke rooftop.
Ya. Di sanalah dia bertemu dengan gadis luar biasa cantik bernama Kim Nara. Gadis yang tanpa dia sangka merupakan salah satu mahasiswinya di kampus. Gadis yang saat surainya hitam justru terlihat mirip dengan gadis dari masa lalunya. Gadis yang membuatnya benci. Itu sebabnya sejak pertama kali bertemu Nara di kampus sikap Hoon berubah drastis. Apalagi, Nara suka memaksakan kehendaknya, tipe gadis yang paling Hoon tidak suka.
"Aku akan adukan kau ke Brandon kalau tidak mau menemaniku!" ancam Ilana begitu Hoon membuka pintu kamar. Pria itu sudah memakai kaos putih lengan panjang dan celana kain hitam. Helaan napas lelah dihembuskan si Pria Kang.
"Kau masih di sini? Kukira kau akan merajuk dan pulang ke unitmu," seloroh Hoon yang melenggang duduk di sofa. Ilana menghadiahinya delikan tajam sambil ikut duduk di sofa.
"Kau tahu kan kalau aku sedang lapar bagaimana? Tadinya kalau kau tidak keluar kamar dalam setengah jam, aku akan mengacak-acak seisi ruang tamumu sampai kau keluar dan mau menemaniku," ujar sang Gadis Kim tersenyum menyeramkan.
"Dan aku juga sudah bilang kan kalau aku mau menemanimu makan, tapi tidak mau menemanimu clubbing."
Ilana cemberut. "Tapi aku tidak mau delivery. Aku sedang bosan di apartemen."
"Kalau begitu setelah makan kita jalan-jalan saja, tidak perlu ke Hades." Hoon masih tidak mau mengalah juga. Padahal dia tahu dalam keadaan lapar dan sedang ingin sesuatu seperti ini Ilana bisa jadi seribu kali lebih menyeramkan dari gajah yang mengamuk. Namun, Hoon mencoba abai pada fakta itu. Keinginannya menghindar dari posibilitas bertemu Nara di Hades jauh lebih besar. Lebih daripada itu, dia juga tidak ingin Ilana bertemu dengan sang mahasiswi. Hoon tidak mau Ilana berpikir macam-macam dan dia juga sedang tidak ingin menjelaskan apa pun.
"Ya sudah kalau begitu kau temani aku makan saja. Aku bisa kok ke Hades sendiri."
"Dan dimarahi Brandon kalau sampai ketahuan, begitu? Jangan gila! Kelab bisa jadi tempat yang berbahaya bagimu, La."
"Makanya itu temani aku! Kau sendiri yang berjanji pada Brandon kalau kau akan menjagaku, bukan? Tepati janjimu itu." Ilana berujar dengan penuh percaya sendiri. Senyum licik terbit di wajah cantik itu saat melihat ekspresi kecut di raut sang sahabat.
"Baiklah, akan kutemani." Mau tak mau Hoon bangkit dari duduknya. Membuat Ilana berseru kegirangan.
"Aku ganti baju dan ambil tas dulu, ya!"
Kata-kata Ilana hanya direspons Hoon dengan gumaman pelan, setengah terpaksa.
*****
Hoon menghela napas untuk kesekian kali, setengah menyesali keputusannya menemani Ilana ke Hades. Raganya duduk di salah satu kursi dekat bartender. Hoon begitu gelisah karena teringat akan tugas para mahasiswanya yang belum dia periksa. Padahal, tidak hanya satu mata kuliah saja, tapi ada dua, dan dua-duanya harus dikembalikan pada hari yang sama.
Hoon kembali memeriksa arloji, sudah satu jam lamanya dia berada di Hades. Namun, Ilana belum juga menunjukkan gelagat akan pulang. Gadis itu masih asyik menari di lantai dansa, melepaskan diri dari belenggu kepenatan yang melanda selama beberapa hari ini. Ya, Ilana sedang stres karena belakangan ini sibuk mengurus pagelaran untuk Seoul Fashion Week. Itu sebabnya dia bersikukuh mengajak Hoon clubbing.
Merasa kalau dirinya harus segera menyeret Ilana pulang, Hoon bangkit dari keempukan kursi. Namun, sebuah suara feminin sudah lebih dahulu menyapa gendang telinganya. Membuatnya terpaksa mengurungkan langkah dan menggerutu dalam hati.
"Cantik," komentar sosok cantik berpakaian hitam yang kini berdiri di samping Hoon. Tatapannya terarah pada Ilana yang masih sibuk menari. "Pantas saja Anda begitu mencintainya dan yakin betul tidak akan berpaling darinya."
Kini, kepala cantik itu berputar, menatap Hoon dengan senyum miring. "Tapi Anda harus ekstra hati-hati karena wanita cantik pasti banyak yang mendekati. Tidak menutup kemungkinan dia akan berpaling dari Anda."
Hoon balas tersenyum miring. "Untungnya Ilana berbeda. Dia memang cantik dan banyak lelaki yang ingin mendekatinya, tapi dia tetap berpegang teguh pada komitmen. Dia bukan wanita yang hobi mencampakan kekasihnya demi lelaki lain. Dia wanita yang setia."
Nara tertawa dan membuat Hoon mengernyit melihatnya. Pria Kang itu memilih untuk enyah dari hadapan Nara, tapi suara gadis itu kembali menghentikannya.
"Anda tahu, Prof? Kesetiaan itu terkadang hanya omong kosong belaka. Tidak ada jaminan bahwa pasangan kita akan selamanya setia karena yang namanya perasaan bisa berubah-ubah."
Kali ini Hoon hanya diam sambil menatap Nara yang masih menyeringai. Pada detik kesepuluh pria itu baru mengangguk dan tersenyum tipis. "Ya. Apa yang kau katakan memang benar, Nona. Tidak ada jaminan bahwa pasangan akan selamanya setia, sebanyak apa pun yang telah kita lakukan untuknya. Tapi tidak ada salahnya kalau kita menaruh kepercayaan padanya, bukan? Toh, tidak semua orang menganggap kesetiaan sebagai omong kosong. Masih banyak yang menganggap penting sebuah kesetiaan."
Nara tidak mendebat ataupun mengiyakan kalimat demi kalimat yang disuapkan Sehun ke telinganya. Gadis itu masih mempertahankan senyum miring di wajah.
"Anda tidak perlu buru-buru pergi, Prof. Saya rasa kekasih Anda masih betah di sini." Suara Nara mengalun lagi usai melirik ke arah lantai dansa. Senyum yang terkesan mengejek terukir di wajahnya.
"Walau begitu, kami tetap harus pulang sekarang juga. Jadi, permisi." Kali ini Hoon benar-benar melangkah menuju lantai dansa. Tidak ada lagi gangguan dari sosok cantik bernama Kim Nara yang memilih diam melihat kepergiannya.
Hooh menerobos kerumunan orang-orang yang meliuk-liukan badan menikmati dentuman musik. Tangan Hoon langsung menepuk pelan bahu sang sahabat yang posisinya saat ini memunggungi dirinya. Ilana menoleh.
"Kenapa?" Ilana setengah berteriak.
"Kita harus pulang sekarang. Ada tugas para mahasiswa yang harus aku periksa," balas Hoon sambil berteriak juga. Awalnya Ilana tampak kecewa karena perkataan Hoon, tapi akhirnya gadis itu mengangguk.
Hoon pun menggandeng tangan Ilana agar keluar dari kerumunan orang di lantai dansa. Namun, saat melewati bar, tiba-tiba saja Ilana memekik terkejut. Hoon yang ikut kaget pun menghentikan langkahnya.
"Oh, maafkan aku, Nona. Aku benar-benar tidak sengaja." Itu suara Kim Nara. Rupanya gadis itu tidak sengaja menabrak Ilana dan menumpahkan minuman di bajunya. Sekarang gadis itu sedang membersihkan baju Ilana dengan tissue.
Melihat hal ini Hoon jadi curiga, tapi dia diam saja. Berusaha berpikir positif.
"Eh, iya. Tidak apa-apa. Biar aku saja yang bersihkan." Ilana mengambil alih tissue dari tangan Nara. Nara tampak memasang wajah merasa bersalah.
"Maafkan saya, Prof Kang. Saya benar-benar tidak sengaja menabrak kekasih Anda. Jangan beri saya nilai E ya, Prof."
Kata-kata Nara sontak membuat Hoon dan Ilana kaget, tapi tentunya dengan alasan berbeda.
Hoon angkat bicara. "Kim Nara, kau—"
"Oh," Ilana terkesiap pelan. "Jadi kau salah satu mahasiswi Hoon, ya?"
Nara hanya mengangguk. Raut bersalah masih menghiasi wajahnya.
Ilana mengangguk mengerti. Namun, sedetik kemudian rautnya tampak canggung. "Eh, sebenarnya kami tidak berkencan. Aku dan Hoon hanya bersahabat. Kau tenang saja, kau tidak akan dapat nilai E darinya. Dia tidak sejahat itu kok."
Nara berbinar. "Sungguh? Ah, lega sekali rasanya. Aku takut sekali akan mendapatkan nilai E. Terima kasih, Nona ...."
"Ilana. Ilana Kim."
"Wah, kita memiliki marga yang sama! Namaku Kim Nara." Nara tampak takjub, tapi bagi Hoon reaksinya ini hanya dibuat-buat. Palsu.
"Senang berkenalan denganmu, Kim Nara."
"Senang berkenalan juga denganmu, Nona Ilana."
Tidak tahan lagi dengam situasinya kini, Hoon pun berbisik ke telinga Ilana agar mereka segera pulang. Namun, Ilana menolak.
"Aku mau ke toilet sebentar untuk membersihkan ini," Ilana balas berbisik yang rupanya juga didengar oleh Nara.
Nara berujar, "Hm, kalau begitu biar saya temani, Nona."
Ilana menggeleng sigap. "Tidak usah, biar aku yang bersihkan sendiri. Lagi pula, aku juga ingin buang air kecil kok."
"Benar tidak apa-apa?"
Ilana hanya mengangguk, berusaha meyakinkan Nara. Dia segera enyah dari Nara dan Hoon. Hoon hanya mampu menggerutu saat ini.
"Oh, rupanya bukan kekasih, ya? Lalu, kenapa Anda bilang sangat mencintainya? Bersikap seolah-olah kalian benar-benar menjalin hubungan. Apakah Anda terjebak friendzone?"
Kata-kata Nara sukses membuat kesabaran Hoon habis. "Itu sama sekali bukan urusanmu, Nona Kim."
"Kenapa tidak? Saya memiliki perasaan terhadap Anda, jadi perasaan Anda juga penting bagi saya."
Hoon tertawa sinis. Seolah menghinakan istilah yang baru saja digunakan oleh sang mahasiswi. "'Perasaan'? Kau yakin ini bukan sekedar ambisi untuk mendapatkan lelaki yang kau mau sebelum mencampakannya? Seperti yang kau lakukan selama ini."
"Wah!" Nara pura-pura takjub. "Gosip cepat sekali menyebar, ya? Bahkan Anda sudah tahu trade record saya. Ternyata saya memang sepopuler itu. Keren."
Hoon memutar bola mata malas. Sengaja tidak menanggapi dan justru mengarahkan pandangan ke arah lain. Lebih baik diam daripada membalas ucapan gadis di hadapannya. Hanya akan membuatnya semakin marah saja.
Anehnya, Nara tidak mengucapkan sepatah kata pun setelah itu. Sang Gadis Kim sibuk mengamati wajah Hoon dari samping. Hoon bisa mengetahuinya dari ekor mata. Dia sama sekali tidak ingin membalas tatapan Nara ataupun bertanya. Dalam hati dia hanya berdoa semoga Ilana cepat kembali dari toilet.
Pucuk dicinta ulam tiba. Ilana pun datang dengan senyum di wajah. Hoon buru-buru mengajak Ilana pulang. Dia bahkan tidak berpamitan pada Nara seperti yang Ilana lakukan pada gadis itu.
"Sampai jumpa di kelas, Prof."
Hoon tidak menanggapi kata-kata Nara baik secara verbal maupun non verbal. Dia hanya menoleh untuk melihat raut Nara. Gadis itu tampak tersenyum, tapi terkesan mengerikan. Entah halusinasi atau bukan mata Nara tampak memerah, semerah darah.