Ambit(ch)ious

1936 Kata
Nara terkenal sebagai queenka di kampus. Dia selalu menjadi incaran mahasiswa dan dimusuhi mahasiswi karena kecantikan serta pesonanya yang di luar nalar. Sebagai gadis yang paling diincar, Nara hobi sekali bermain hati. Dalam sebulan, dia bisa mengencani dua sampai tiga orang pemuda, entah dari kampus yang sama, atau hanya kenalan di Hades. Tentunya Nara selalu menjadi pihak yang memutuskan hubungan lebih dahulu dengan alasan yang beragam. Namun, alasan sebenarnya selalu saja sama; dia bosan dan sudah menemukan target selanjutnya. Karena Nara sudah menetapkan Kang Hoon sebagai target selanjutnya, itu artinya sekarang adalah waktu yang tepat untuk memutuskan hubungan dengan Lee Taehyun. Hal pertama yang Nara lakukan sekeluarnya dari kelas Miss Lee adalah mencari keberadaan Taehyun. Nara tidak perlu repot-repot bertanya pada orang-orang karena dia bisa mengendus aroma pemuda itu. Setiap manusia memiliki ciri khas aroma darah yang berbeda dan vampir bisa dengan mudah mengidentifikasinya. "Kita putus," ujar Nara ringan pada Taehyun yang sedang berkumpul dengan teman-temannya di kafetaria. Raut Taehyun tampak syok, begitu pula dengan teman-teman pemuda itu. "Ta-Tapi kenapa? Apa salahku?" Nara menyeringai. "Kau tidak salah apa pun kok. Aku hanya sudah bosan denganmu." "Hah?" Nara berbalik pergi, tapi Taehyun dengan sigap menghadangnya. Rautnya tampak tidak terima. "Tunggu dulu, Nara! Kau tidak boleh memutuskan hubungan begitu saja." "Kenapa tidak?" Nara justru tampak menantang. "Kau tahu, kan bagaimana kebiasaanku? Kalau sudah bosan aku akan memutuskan hubungan. Harusnya kau tidak perlu merasa kaget lagi. Minggir!" Nara kembali melangkah, tapi Taehyun masih tak gentar juga. Pria itu menyambar tangan Nara kasar. Membuat sang empunya langsung mendelik tajam. "Ini tidak adil!" Suara Taehyun meninggi. Membuat seisi kafetaria menatap ke arah mereka dengan rasa penasaran. Taehyun menyeringai sinis. "Kau pikir kau siapa beraninya mempermainkanku seperti ini, hah?" Nara tidak menjawab dan justru memilintir tangan Taehyun. Pelintiran yang cukup kuat untuk membuat Taehyun berteriak kesakitan karenanya. "Argh!" Salah bergerak sedikit saja, tangan Taehyun bisa patah dalam waktu sekejap. Saat ini Nara sedang dalam mode manusia, kalau sedang mengerahkan kekuatannya sebagai vampir, tak hanya tangan, seluruh tubuh Taehyun pun bisa dia remukkan. "Itu akibatnya kalau kau lancang menyentuhku," Nara mendesis. Aksinya ini membuat semua orang yang berada di kafetaria kaget sekaligus ngeri, tapi dia tidak peduli. Dia justru merasa puas karena berhasil mempermalukan Taehyun berkali-kali. "To-Tolong lepaskan, Nara! Ak-Aku minta maaf." Baru setelah itu Nara melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Taehyun. Dia mendengus kemudian berjalan meninggalkan kafetaria. Namun tiba-tiba saja Nara merasakan seseorang merangkul bahunya. "Lihat siapa yang baru saja membuat keributan di kafetaria!" Tidak salah lagi, itu pasti Jay. "Aksimu tadi benar-benar keren, Nara. Kau tidak mau mendaftar jadi pegulat saja, eh? Aku yakin kau pasti me—aw!" Kata-kata Jay tidak pernah utuh karena Nara sudah lebih dahulu memelintir tangannya yang bersandar di bahu sang sahabat. Sebenarnya Jay tidak merasa sakit sama sekali. Dia berseru hanya karena refleks. Bagaimanapun, vampir tidak mungkin merasakan sakit jika berkaitan dengan fisik semata karena fungsi tubuh mereka tidak seperti manusia normal. "Ya ampun, padahal tadinya aku berharap kau menghentikan ocehanku dengan ciuman." Jay menyeringai. Nara tersenyum sinis menanggapi. "Ini kampus, Bodoh! Lagi pula, pelintiran lebih pantas untukmu daripada ciuman." Usai bicara begitu, Nara melepaskan tangan Jay dan kembali merajut langkah. "Kali ini siapa targetmu?" Jay bertanya. Rupanya dia masih mengekori Nara. Jay sudah hafal dengan kebiasaan sahabatnya itu. Kalau Nara memutuskan hubungan dengan kekasihnya berarti sudah ada incaran baru. Nara tersenyum misterius. "Nanti kau juga akan tahu. Yang jelas dia berbeda dari yang sebelum-sebelumnya." "Apa yang membuatnya berbeda?" Nara memiringkan kepala, seolah berpikir. "Dia memiliki aura magis yang membuatku tertarik. Tidak seperti manusia kebanyakan, ketampanannya benar-benar di luar nalar." Kemudian, dia menoleh dan tersenyum manis pada Jay. "Manusia setampan dia cocok dengan vampir yang luar biasa cantik sepertiku, kan?" Perkataan Nara membuat Jay membuat gestur seolah akan muntah. Nara terbahak. "Jangan munafik! Kau saja selalu membandingkan kecantikanku dengan para kekasihmu. Itu artinya kau juga mengakui kalau aku tidak ada tandingannya kalau soal wajah."  Jay mengangguk-angguk pasrah. Mau tidak mau mengakui kalau apa yang dikatakan sahabatnya memang benar. "Ya, kau memang yang paling cantik, tapi kau juga yang paling berbahaya karena suka menggigit." "Terserah! Yang penting aku cantik." Nara menjulurkan lidah. Jay memutar bola mata malas. Nara dan Jay sudah sampai di kelas mereka selanjutnya. Keadaan kelas masih sepi karena memang kuliah baru akan dimulai dua puluh menit lagi. Nara baru akan membuka buku diktatnya ketika Jay secara spontan berujar, "Ingat, jangan sampai kau jatuh cinta padanya." Menoleh, Nara menatap Jay terkejut. "Kenapa kau bicara begitu? Jangan bilang kau cemburu!" Nara memicing sambil menggoda Jay yang kini menatapnya datar. Pemuda itu mengibaskan tangannya. "Bukan begitu. Aku tidak ingin apa yang menimpa Ato juga terjadi padamu. Dulu Ato juga ingin main-main dengan gadis itu, tapi justru dialah yang tergila-gila sampai akhirnya kena getahnya." Mendengar nama pria yang paling dia benci disebut, Nara meradang. "Jangan konyol, Jay! Kau tahu, kan apa arti manusia bagiku? Mereka hanya objek untuk main-main. Aturannya adalah aku yang membuat mereka jatuh cinta, bukan sebaliknya. Dan jangan bawa-bawa nama Si Berengsek itu lagi di hadapanku!" Jay mengangkat kedua tangan tanda menyerah. "Sorry." Nara mengalihkan atensi dari Jay ke diktat yang terbuka. Wajahnya ditekuk sempurna. Bayangan mengenai pengkhianatan Ato sepuluh tahun lalu kembali terputar di ingatan. Membuat Nara harus menahan diri untuk tidak meledak dan menghancurkan apa pun yang ada di sekeliling. "Si Berengsek itu memang bodoh, tapi aku tidak. Aku tidak akan berakhir sepertinya. Kau tenang saja." *** "Rupanya kau di sini," ujar Nara sambil memasuki ruang kelas 301 yang sedang kosong. Yang disapa langsung menoleh kemudian kembali memusatkan atensi ke layar laptop yang terbuka. "Apakah kau juga mengambil kelas ini, Nona Kim?" Hoon bertanya dengan nada yang terdengar dingin. Membuat alis Nara bertaut heran karena sikapnya yang berbeda. "Well, aku sudah mengambil kelas ini tahun lalu. Aku ke sini hanya untuk menemuimu," Nara menjawab sambil tersenyum menggoda. Senyum yang biasa dia tunjukkan kepada calon 'mangsa'. Sayangnya, apa yang ditampilkan layar laptop jauh lebih menarik bagi Hoon daripada wajah cantik Nara. "Maaf, kalau kau menemuiku untuk urusan di luar kuliah, aku tidak ada waktu karena aku harus menyusun presentasi. Jadi lebih baik kau bersiap untuk kelasmu selanjutnya saja, Nona Kim." Alih-alih merasa tersinggung karena diusir secara halus, Nara justru tertawa. Tawa yang akhirnya berhasil menarik minat Hoon untuk sekadar melirik walau sebentar. "Ya ampun. Kau ini kaku sekali, ya? Jangan terlalu formal padaku. Panggil saja aku Nara, oke? Eh, tapi ...." Tatapan Nara berubah nakal sembari melanjutkan, "... caramu menyebut 'Nona Kim' terdengar seksi juga." Hoon menghela napas lelah dan menoleh. Tatapan dan nada bicaranya sangat dingin saat berujar, "Tolong keluar, Nona Kim. Kehadiranmu hanya mengacaukan konsentrasiku. Sebentar lagi kuliahku akan dimulai, jadi aku ingin segera bersiap." Nara kembali tertawa, tapi seolah ada kesan sinis di dalamnya. Hoon mengernyit melihat respons gadis itu, tapi dia tidak menyuarakan rasa herannya. "Kau pasti kaget ya karena ternyata kita dipertemukan lagi dengan status sebagai dosen dan mahasiswa? Itu sebabnya kau bersikap dingin padaku. Tidak seperti saat di atap Hades waktu itu." Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Nara tidak perlu mendengar respons Hoon untuk melanjutkan, "Sayangnya, aku tidak peduli dengan status. Jika aku sudah menargetkan seseorang, maka dia harus kudapatkan. Kita sudah jelas berjodoh, kau tidak boleh menyangkalnya." Nara mengerling sebelum melangkah keluar kelas. Namun, suara Hoon menghentikan langkahnya. "Kita tidak berjodoh. Pertemuan kita kali ini hanya kebetulan. Aku sudah lebih dulu melamar pekerjaan di sini sebelum bertemu denganmu di Hades." "Terserah apa katamu." Nara memutar tubuhnya. Senyum optimis terukir di wajah jelitanya. "Pasti ada alasan di balik pertemuan dua orang. Kalau sekarang kita kembali dipertemukan, berarti itulah takdir kita." Hoon tidak menanggapi, tapi raut tidak suka terlukis jelas di wajahnya. Rahangnya mengeras. Alih-alih terbungkam karena sikap Hoon, Nara justru kembali melontarkan kata-kata. "Tolak aku sebanyak kau mau, maka semakin kuat juga tekadku untuk menaklukkanmu." "Kalau begitu cobalah sekuat tenaga. Yang pasti aku tidak akan semudah itu takluk padamu." Rahang Nara mulai mengeras karena murka. Alih-alih menunjukkan rasa kesalnya, dia justru tersenyum menantang. "Kita lihat saja nanti siapa yang akan menang." Nara benar-benar pergi kali ini, tapi dengan amarah menggebu. Meninggalkan Hoon yang menatap punggungnya dengan tatapan benci. *** Nara menandaskan seloki bloody mary dalam sekali teguk. Rautnya tampak putus asa sekaligus kesal. Nara begitu bukan tanpa alasan, tentu saja. Di sampingnya, Jay hanya bisa memperhatikan sambil menahan senyum, sebab baru kali ini Nara seperti itu karena lelaki. Ya, setidaknya setelah kepergian Ato. "Sialan! Dia pasti tahu setampan apa dirinya hingga berani menolakku seperti itu. Dasar sombong!" ungkap Nara penuh kesal. Dia memanggil Yian agar kembali meracik minuman untuknya. Jay tidak tahan lagi untuk tertawa karena sikap Nara. Membuat sang sahabat langsung menatapnya kesal. "Apa yang kau tertawakan, hah?!" sembur Nara. Matanya memerah, taringnya hampir saja keluar, tapi Nara menahannya. Sama seperti pada manusia, bloody mary yang mengandung alkohol dapat membawa efek memabukkan bagi bangsa vampir. Itu sebabnya Nara tampak tidak bisa menahan diri untuk tidak menampakkan wujud aslinya. "Akhirnya ada juga manusia yang tidak langsung takluk padamu. Dia benar-benar langka." "Dia bukannya langka, tapi bodoh." "Kau harus mengakui kalau wajah luar biasa cantik bukan jaminan, Kim Nara." "Diam, atau kurobek mulut sialanmu itu!" Kali ini Jay diam. Dia membiarkan Nara kembali menandaskan minuman yang baru saja Yian sajikan di hadapan sang sahabat. "Kenapa kau tidak cari mangsa lain saja?" Kali ini Yian yang angkat bicara. Warlock atau penyihir berperawakan tinggi itu tersenyum tipis saat mendapat pelototan tajam dari si vampir cantik. "Kau kan cantik, kau bisa mendapatkan pria manapun yang kau mau—" "Dan yang aku mau saat ini adalah dia, bukan yang lain, Wu Yian," Nara mendesis kesal. Gadis itu memejamkan mata sejenak untuk mengusir rasa pusing yang mulai menguasai dirinya karena terlalu banyak minum. Setelah sudah merasa lebih baik, Nara membuka matanya dan berujar, "Aku harus mendapatkannya. Aku harus menang darinya. Setelah aku dapatkan apa yang kumau, aku akan membuangnya seperti yang lain." "Kau yakin bisa melakukan hal yang sama kepadanya?" Yian skeptis. Nara menatapnya sambil mengernyit heran. "Apa maksudmu?" "Apa kau yakin tidak akan jatuh cinta padanya?" Kata-kata Yian ditanggapi Nara dengan cebikan. "Itu adalah hal yang mustahil terjadi." "Tidak ada yang mustahil di dunia ini, Kim Nara. Kau harus ingat itu." Yian mengerling. "Oh ya, kau juga harus ingat kalau kau tidak bisa memiliki semua hal yang kau mau di dunia ini. Kalau kau ingin menaklukkan pria itu, jangan berlebihan atau terlalu berambisi seperti ini atau kau kan sakit sendiri nantinya." Nara mengibaskan tangan tidak peduli. "Ya, ya, terserah kau saja. Yang jelas aku harus mendapatkannya dulu. Akan kubuktikan kepada kalian kalau dia akan menjadi milikku." Nara pun bangkit dari duduknya. Membuat Yian dan Jay menatapnya keheranan. "Kau mau ke mana?" Jay yang bertanya. Pemuda itu ikut berdiri, tapi Nara mendorong bahunya agar duduk kembali. "Kau di sini saja. Aku ada urusan."  "Urusan apa? Hei, Kim Nara!" Nara langsung pergi tanpa mengindahkan pertanyaan serta panggilan Jay. Dia terus berjalan melewati orang-orang yang masih asyik bergoyang di atas lantai dansa. Mengabaikan ajakan para lelaki untuk menari bersama, berkenalan, atau hal-hal intim lainnya. Tujuannya hanya satu, yaitu basement. Sesampainya di basement, Nara langsung berjalan ke sebuah mobil berwarna merah, membuka pintu, kemudian masuk dan menyalakan mesin. Melajukan kuda besi kesayangan membelah hiruk pikuk kota Seoul di malam hari demi mendatangi apartemen seseorang. *** Tidak sulit bagi Nara untuk mengetahui di mana Hoon tinggal. Status sebagai anak dosen membuatnya mudah untuk mengakses segala informasi mengenai dosen lain, termasuk Hoon. Hanya tinggal sedikit berbohong dan menggunakan kekuatan hipnotis, Nara sudah dapat mengantongi alamat pria tampan itu.  Kang Hoon tinggal di Apartemen Paradise, tempat di mana Nara menginjakkan kaki sekarang. Gadis itu melangkah dengan penuh tekad ke sebuah unit yang digadang-gadang sebagai tempat tinggal di dosen tampan. Setelah sampai di unit 412, Nara pun menekan bel.  Hoon membuka pintu setelah hampir semenit sejak bel berbunyi. Pria itu mengenakan kaos hitam ketat yang dipadukan dengan celana panjang rumahan berwarna biru muda. Nara memperhatikan penampilan itu dari atas ke bawah dengan tatapan takjub. "Wow!" decak Nara kagum sekaligus jengkel. "Bahkan dalam balutan baju rumahan pun kau tampak begitu seksi. Kau sengaja mamakai kaos ketat untuk menggodaku, ya?" Mata Hoon seketika menyipit. "Apa yang kau bicarakan?" Bukannya menjawab pertanyaan Hoon, Nara justru melangkah maju dan menarik kepala pria itu. Menyapukan material basahnya ke milik Hoon kemudian melumatnya penuh minat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN