"Pak, saya dan tim audit sudah cek berkali-kali. Arindi, istri Pak Danu, sama sekali nggak punya rekening di luar negeri atau disinyalir melakukan pencucian uang dan semacamnya. Penyelidikannya ini benar-benar sudah menyeluruh. Saya pastikan nggak akan salah."
Di ruang kerja yang ada di rumahnya, Lucas menerima laporan dari Felix. Satu tugas berhasil asistennya itu selesaikan. Kini, tinggal dirinya yang harus pelan-pelan menyelidiki Deasy. Apakah atasannya itu memiliki rekening luar negeri yang di sinyalir sebagai tempat Danu melarikan uang perusahaan.
"Berarti namanya kita coret."
"Iya, Pak. Sekarang sisa Bu Deasy. Untuk beliau, saya serahkan sepenuhnya kepada Pak Lucas."
Lucas mengangguk-anggukkan kepala. Meraih dokumen yang sebelumnya Felix beri, kemudian membacanya sekali lagi.
"Kalau dibaca sekilas, ini dokumen Deasy sebenarnya bersih, putih, macam baju lebaran. Nggak ada noda."
"Tapi, nggak menutup kemungkinan dia terima dana gelap dari Pak Danu, kan?"
Lucas mengangguk.
"Ya, semua kemungkinan itu ada." Pria itu terus saja betah memerhatikan apa yang ia pegang. Membacanya pelan-pelan, sembari menanggapi ucapan sang asisten. "Tapi kalau dipikirkan baik-baik, Deasy kan aslinya kaya. Agak nggak mungkin kalau dia mau terima dana gelap begini. Kayak yang menjerumuskan diri sendiri ke dalam kubangan masalah. Lagi pula, 10 milyar itu sedikit. Saya rasa, tanpa perlu terima uang dari Danu, tabungan pribadi dia sendiri pasti jumlahnya lebih dari itu."
"Masuk akal, Pak," sahut Felix membenarkan. "Hanya saja, nggak ada yang nggak mungkin. Bisa aja Pak Danu sekedar titip."
Lucas langsung berdecak.
"Kurang kerjaan banget kalau dia sampai titip ke Deasy. Semisal Deasy itu berharga, nggak mungkin juga mereka sampai pisah, kan?"
Felix mengangguk lagi.
"Jadi, ini Pak Lucas mau tetap selidiki atau gimana?"
"Ya tetap saya selidikin dong. Hasil penyelidikan Deasy ini bakal jadi penentu. Apakah Danu benar merugikan perusahaan atau tidak."
Felix sekali lagi mengangguk. Lantas setelahnya mengatakan sesuatu yang membuat Lucas kepikiran.
"Saya rasa, ada cara cepat untuk menyelidiki ini semua, Pak."
"Apa?"
"Laptop Bu Deasy. Entah kenapa, saya yakin semua yang kita cari selama ini jawabannya ada di sana semua."
Lucas menjetikkan jarinya. Seolah mendapat ide cemerlang yang selama ini bisa-bisanya tidak terpikirkan olehnya.
"Benar juga. Kenapa dari kemarin nggak kepikiran?"
"Tapi, nggak mudah buat kita ambil atau pinjam barang pribadi seperti itu. Apalagi ini laptop. Nggak mungkin juga kan kita curi barangnya. Sama aja melakukan tindak kriminal."
Lucas mengangguk. Apa yang Felix katakan memanglah benar. Ia harus putar otak agar bisa meminjam laptop Deasy, paling tidak satu jam saja untuk memindahkan seluruh dokumen yang tersimpan di sana.
"Nanti saya pikirkan gimana caranya. Memang harus pelan-pelan biar Deasy nggak curiga."
Setelahnya Lucas melirik jam yang melingkar di tangannya. Detik kemudian bangkit, pria itu meraih kunci mobil, bersiap untuk pergi.
"Ini Pak Lucas mau ke mana?" heran Felix ingin tahu. Tidak biasanya sang atasan pergi keluar tanpa pengawasan darinya.
"Saya mau ke apartemen Deasy. Ada yang harus dibahas dan diselesaikan segera soal kehamilan serta calon bayi yang ada di perutnya."
"Pak Lucas udah fix mau menikahi Bu Deasy?"
Lucas mengedikkan kedua bahunya. Sampai detik ini, ia bahkan masih bingung harus melakukan tindakan seperti apa agar tidak merugikan kedua belah pihak.
"Jujur aja, mau nikah atau gimana-gimananya terserah. Yang penting anak di dalam perut Deasy ini bisa lahir selamat tanpa kurang satu pun. Saya berusaha sebisa mungkin agar Deasy nggak bertindak bodoh dengan menggugurkan kandungannya."
"Kalau pun nanti pada akhirnya nikah, Pak Lucas bakal langsung kasih tau Bu Deasy identitas Pak Lucas sebenarnya?"
Lucas menggeleng.
"Seperti rencana awal. Saya nggak bakal ungkap identitas saya sebelum tugas yang Papa beri benar-benar selesai. Kita liat aja nanti ke depannya bagaimana. Saya nggak bisa ngomong banyak sekarang."
Lucas kemudian berlalu. Sesuai janji, ia pun gegas menuju apartemen Deasy dan akhirnya sampai tepat jam delapan malam. Mengetuk pintu beberapa saat, tak lama kemudian terlihat Deasy membukakan pintu.
"Masuk."
Lucas buru-buru masuk. Berjalan mengekor, kemudian duduk di sofa yang tersedia di ruang tamu.
"Kita langsung ke pembahasan inti aja. Saya malas bertele-tele apalagi buang-buang waktu."
Deasy membuka percakapan. Tak ingin berlama-lama, wanita itu langsung ke inti pembicaraan.
"Pokoknya, mau gimana pun, saya nggak mau nikah sama kamu. Terserah besok-besok kamu mau sok perhatian, sok melindungi, mau antar dan kasih makanan tiap hari dan sebagainya, saya nggak perduli dan nggak akan larang. Tapi, tolong. Jangan paksa saya buat nikah sama kamu."
Lucas mengangguk. Mendengar keputusan Deasy yang sudah bulat. Rasa-rasanya percuma juga membantah.
"Ya itu terserah Ibu. Sekali lagi, saya nggak sedikit pun dirugikan kalau emang Ibu nggak mau saya tanggung jawab dengan menikahi secara resmi. Toh, kalau nanti perut ibu membesar dan ditanya siapa suaminya, ibu sendiri nanti yang bakal repot untuk jawab."
Deasy menggeram kesal. Kenapa hidupnya bisa serumit ini, sih! Dosa apa di masa lalu yang sudah dirinya perbuat sampai menanggun beban segini beratnya.
"Saya bisa sewa laki-laki lain untuk jadi suami pura-pura," jawab Deasy dengan enteng.
"Dih, ngapain buang duit buat sewa suami bayaran segala, Bu? Yang gratis padahal ada. Kalau emang nggak mau selamanya jadi istri saya, kan kita bisa nikah sementara, nikah kontrak, nikah diam-diam atau nikah apa aja lah itu istilahnya."
"Maksud kamu?"
"Macam di film-film drama juga. Kita nikah sementara sampai bayi yang ada di perut ibu lahir. Yang penting itu bayi statusnya resmi. Nanti, setelah lahir dan bercerai, ibu bisa kembali ke kehidupan normal seperti biasanya."
"Jadi janda dong, saya?"
Lucas mendelik. "Lah, sama aja. Saya pun jatuhnya jadi duren, Bu."
"Duren?"
Lucas kali ini mengangguk.
"Iya, duda keren."
Deasy rasanya ingin muntah. Kalau soal percaya diri tinggi, Lucas sepertinya tidak ada lawan.
"Nggak usah berlebihan. Lagi pula mau nikah sementara, nikah kontrak atau apa pun itu, tetap aja saya harus mengakui kamu sebagai suami. Apa kata orang-orang kalau saya nikah dan dihamili sama bawahan sendiri? Kamu pula orangnya. Jatuh banget harga diri saya."
Lucas mendesah panjang. Ini dirinya benar-benar dianggap remeh oleh Deasy. Kalau saja perempuan di depannya itu tau dirinya setampan dan sekaya apa, pasti tidak akan di hina sampai segininya.
"Mau gimana lagi. Emang kenyataannya begitu. Lagian, kita ini sama-sama single. Kenapa nggak nikah aja? Kan jadinya nggak repot."
Lucas memandang lekat ke arah Deasy. Menampikkan seringai jahil, pria itu berkata kembali.
"Tong kosong nyaring bunyinya. Itu hati ibu ketimbang kosong, mending saya aja isinya."
Deasy ingin nangis. Kenapa di saat serius begini Lucas malah melempar pantun absurb segala?
Nggak bisa.
Ini nggak bisa dibiarkan.
"Dua tiga ikan pari. Kamu itu nggak ganteng, makanya saya nggak pengen memiliki."
"Empat kali empat sama dengan enam belas. Cepat atau lambat, saya pastikan hati saya pasti ibu balas."
Deasy kemudian melotot memberi isyarat agar Lucas menyudahi obrolan yang sama sekali tidak berfaedah ini.
"Berhenti, nggak? Ini bukan acara pesbukers. Pakai adu pantun segala!"
"Ya, ibu tegang banget."
"Ibu ... ibu ... kamu pikir saya nikah sama bapakmu?"
"Dari pada saya panggil sayang? Pilih mana, hayo?"
"ARGHHH!!!"
Deasy menggeram gusar. Ingin mengumpat, tapi ingat kalau dirinya tidak boleh buang-buang energi.
"Balik ke pembahasan awal. Kalau masih ngoceh pantun, mending kamu pulang aja."
Lucas tergelak. Memegangi perutnya yang terasa keram, pria itu pelan-pelan berusaha untuk kembali ke topik pembicaraan awal.
"Melanjut obrolan sebelumnya, menurut saya dari pada ibu hamil nggak ada suami, ya mending saya nikahin, kan? Cuman sementara ini. Nanti kalau anak saya lahir, kita tinggal cerai. Ibu juga nggak perlu khawatir dan takut repot. Nanti begitu lahir, saya yang bakal rawat dan biayain bayinya 100% tanpa perlu bantuan Bu Deasy."
Deasy nampak menimbang. Berpikir keras keputusan apa yang harus ia ambil.
"Gimana, Bu?"
"Saya sih tetap pada keputusan awal untuk nggak nikah sama kamu. Lagian kamu bukan tipe saya, Luc. Saya nggak suka cowok cupu apalagi anak rumahan macam kamu."
"Dih segitunya. Yakin nggak mau sama anak rumahan?"
Deasy mengangguk berulang kali.
"Iya, yakin banget."
"Oke. saya doakan besok-besok Bu Deasy ketemu jodohnya anak gelandangan karena udah nolak anak rumahan seperti saya."
"Lucas!"
"Satu lagi, saya doakan juga Bu Deasy besok-besok suka terus cinta mati sama saya."
Deasy menarik wajahnya. Ini Lucas kok sialan banget doakan dia macam-macam.
"Jangan kebanyakan mimpi! Itu nggak mungkin terjadi, Luc."
Deasy kemudian bangkit. Merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, ia bermaksud untuk mengusir Lucas agar segera pergi.
"Udah beres, kan? Cepetan pulang. Saya mau istirahat."
Lucas tidak menolak apalagi protes. Mengingat Deasy tengah hamil dan butuh istirahat, ia pun bersiap untuk pergi.
"Kalau gitu saya pulang dulu, Bu."
Deasy mengangguk saja. Lalu mengantarkan Lucas sampai depan pintu unit apartemennya.
Namun, belum sempat lagi Lucas pergi, Deasy tampak limbung. Detik kemudian hilang kesadaran dan akhirnya malah pingsan.