Entah ini perasaan Deasy saja atau pada dasarnya memang kenyataannya hari demi hari terasa berlalu begitu lama. Eh, gimana sih maksudnya? Ya, pokoknya Deasy merasa hari demi hari berjalan sangat lambat.
Kalau boleh memohon pada Tuhan, ia ingin usia kandungannya ini langsung berumur sembilan bulan saja. Bisa nggak, kira-kira?
Ya emang terdengar mustahil. Tapi, kalau boleh jujur, ia merasa tidak sanggup. Bukan masalah menjaga atau merawat jabang bayi yang ada di dalam perutnya. Hanya, lebih ke rasa khawatir dan malu saja kalau pelan-pelan perubahan pada tubuhnya, terutama perut yang makin lama pasti makin membesar, mulai menarik perhatian orang sekitar.
Namun, karena sadar kalau dirinya berlumuran dosa, rasa tidak pantas saja meminta macam-macam pada Tuhan. Kalau kata Velove juga,
"Syukurin! Siapa suruh mabuk terus nggak bisa jaga diri. Segala tidur sama sembarang orang. Dua kali pula. Sekarang hamil, baru heboh terus pusing."
Sebagai sahabat, Velove memang masuk kategori sahabat Luck-nut. Bukannya membantu mencari solusi atau jalan keluar, istri dari Erwin Pranata Salim itu malah tampak senang atas cobaan yang kini mendera Deasy.
Belum lagi kehadiran Lucas Fernando yang sering kali sengaja mengganggu ketenangan Deasy. Membuatnya berpikir ingin hilang saja dari muka bumi ini.
"Selamat pagi, Bu Deasy."
Apa Deasy kata. Baru saja dibahas, pria cupu berkaca mata itu akhirnya datang. Seperti kemarin-kemarin, Lucas membawa satu papper bag berisi makanan khusus untuk kemudian diberikan kepada Deasy.
Seperti kata pria itu sebelumnya. Selagi ada calon anaknya di dalam perut Deasy, apa pun itu baik perlindungan, perhatian, serta segala macam bentuk yang Deasy butuhkan, akan Lucas usahakan untuk penuhi.
"Sarapan dulu, Bu. Hari ini saya bawakan Nasi Kebuli Pak Ahmad, yang terkenal itu."
Deasy memerhatikan saja dalam diam. Melihat bagaimana Lucas mengeluarkan satu box bento berisi makanan. Lalu menghidangkannya tepat di atas meja kerja Deasy, lengkap dengan minuman serta berbagai macam camilan. Perhatian memang. Tapi, tetap saja, Deasy tidak suka!
"Saya nggak lapar. Lagian, ngapain kamu tiap hari bawakan saya sarapan?"
Lucas tersenyum saja. Sudah biasa mendengar Deasy mengomel seperti sekarang.
"Supaya anak saya di dalam perut ibu nggak kelaparan," bisik Lucas dengan santai. "Lagian, saya cuma punya waktu sampai lima hari ke depan buat siapkan Bu Deasy sarapan. Setelah benar-benar resign ----"
"Setelah resign, kamu nggak bakal gangguin saya lagi, kan? Kamu nggak bakal tiap pagi ganggu saya dengan antarkan sarapan segala macam?" potong Deasy segera. Dirinya baru ingat kalau bawahannya itu akan berhenti bekerja dalam waktu dekat. Serasa mendapat angin segar serta secerca harapan kalau dirinya tidak akan diganggu lagi, Deasy memastikan hal tersebut kepada orangnya secara langsung.
"Belum tentu," sahut Lucas dengan santai. Seringai jahil terpancar jelas di wajah pria berkaca mata itu. "Walaupun saya sudah resign, nggak menutup kemungkinan saya tetap bisa mengantar sarapan untuk Bu Deasy."
"Caranya?"
"Ya ... Bisa aja saya antar langsung ke apartemen sebelum Bu Deasy berangkat. Atau bisa juga kirim makanan pakai ojek online. Pokoknya, untuk calon anak tersayang, saya punya banyak cara untuk memastikan ibu nggak kekurangan gizi atau makanan."
Bahu Deasy langsung merosot jatuh. Padahal, sudah senang karena mengetahui dalam waktu dekat Lucas akan resign, yang artinya ia tidak akan mendapat gangguan lagi. Namun, setelah mendengar penjelasan Lucas barusan, harapan yang tadi sempat ia pupuk jadi sirna seketika.
"Kamu emang nyebelin, ya! Lagian, siapa sih yang izinkan kamu seenaknya bolak balik apartemen saya?"
"Nggak ada, sih," sahut Lucas cuek. "Tapi, biar Bu Deasy larang sekali pun, saya bakal tetap datang untuk memastikan kondisi Ibu baik-baik aja."
Deasy menarik napasnya. Berusaha sabar menghadapi Lucas yang benar-benar menyebalkan.
"Asal tau aja, tindakan kamu itu bisa saya laporkan ke pihak berwajib, Luc. Lagi pula, apa yang kamu lakukan udah menganggu ketenangan saya selama ini."
Lucas tertawa. Entah apa yang lucu dari ucapan Deasy. Padahal, kalau dicerna baik-baik, dirinya baru saja mendapat ancaman.
"Lapor ke mana, Bu? Kantor polisi? Ya nggak masalah sih kalau Bu Deasy mau lapor. Nanti, kalau ditanya pihak berwajib, saya tinggal jelaskan aja kalau tindakan saya ini sebagai ungkapan perhatian karena sebelumnya kita udah tidur bareng yang menyebabkan Bu Deasy hamil dan mengandung ---"
"Stop!"
Deasy sampai bangkit dari duduknya. Mengangkat tangan kanannya, lalu membungkam mulut Lucas agar berhenti mengoceh.
"Kamu kalau ngomong suka nggak liat-liat tempat, ya. Heran! Sudah saya peringatkan untuk nggak bahas hal beginian di kantor."
"Jadi, bahasnya di mana? Apartemen Bu Deasy aja? Kita belum benar-benar menyelesaikan masalah ini, Bu. Atau Bu Deasy pasrah aja saya nikahi dalam waktu dekat?"'
Deasy bersusah payah menahan diri untuk tidak meledak. Pokoknya, hari ini ia tidak ingin buang energi dengan marah-marah.
Tapi, tolong hamba, Tuhan.
Tolong culik jauh-jauh atau lenyapkan saja Lucas agar hidupku bisa tenang.
Deasy terus membatin. Menarik napas berulang kali agar emosinya tidak terpancing.
"Oke ... malam ini kita bahas semuanya sampai selesai."
"Di apartemen ibu, kan? Atau mau ketemuan di tempat saya tinggal aja?"
Deasy mendelik. Enak saja dirinya yang diminta untuk datang menghampiri.
"Kamu dong yang samperin saya. Dan tolong pastikan untuk datang tepat waktu. Kamu tau sendiri saya nggak suka orang yang nggak on time."
"Tenang aja, Bu. Kalau mau, dari jam tujuh saya sudah di sana."
"Nggak gitu juga konsepnya, Lucas."
Lucas tertawa. Berpindah posisi, kini duduk di kursi kerjanya. Membuka box berisi menu sarapan yang sudah ia beli. Bersiap untuk menyantapnya.
"Ya udah, ayo dimakan dulu sarapannya. Kalau terlalu dingin, nanti rasanya nggak enak, Bu."
Deasy mengedikkan kedua bahunya. Masih saja jual mahal, menolak sarapan yang sudah Lucas belikan untuknya.
"Nggak! Udah saya bilang saya nggak mau sarapan. Harus berapa kali saya tegaskan kalau saya ini nggak suka sarapan."
"Yakin?" tanya Lucas sembari menatap lekat. Tersenyum, kemudian pelan-pelan menyendok nasi kebuli yang ada di depannya. "Ini enak, Bu. Serius."
Pria itu lantas melahap makanan yang ia beli sembari menampilkan ekspresi sengaja menggoda. Mencecap dengan keras sembari bergumam agar Deasy terus memerhatikannya.
"Hmmm ... demi apa pun ini enak banget sumpah. Nasinya aja terasa pulen. Mana ayamnya empuk."
Lucas terus menyuap nasi kebuli se-sendok demi se-sendok ke dalam mulutnya. Hal ini terus saja menarik perhatian Deasy. Bahkan membuat wanita itu meneguk ludahnya.
"Serius Ibu nggak mau coba?" tanya Lucas sekali lagi.
"Nggak! Saya bilang nggak artinya ya nggak."
"Ya udah. Ibu juga nanti yang bakal rugi karena nggak mau coba makanan seenak ini."
Lucas lanjut menyuap nasi di sendoknya. Sementara Deasy tampak menelan ludah. Melihat dengan cermat ekspresi yang Lucas tampilkan membuatnya jadi ikut lapar. Tapi ... gengsi kan kalau harus menerima dengan senang hati apa yang bawahannya ibu berikan untuknya.
"Lucas ..."
Dari arah pintu, muncul Doni. Memanggil, meminta Lucas bangkit, menghampiri.
"Sarapanmu udah selesai? Dipanggil Bu Amel. Beliau minta kamu tanda tangan surat pengesahan resign."
Lucas mengangguk. Menyesap habis minumannya, kemudian bangkit, pergi menuju ruangan HRD untuk menyelesaikan proses resign yang beberapa waktu lalu ia ajukan.
Sementara Deasy, sembari melihat kanan kiri dan meyakini tidak ada satu orang pun di ruangannya, ia lantas pelan-pelan membuka box berisi makanan yang sudah Lucas belikan.
Baru saja terbuka, aroma harum khas nasi kebuli sudah menguar, menyapa indra penciumannya. Entah ini perasaannya saja yang berlebihan, aroma makanan tersebut, tercium begitu harum dan juga menggugah selera.
Tidak ingin ketahuan Lucas kalau dirinya tengah menikmati sarapan, Deasy buru-buru menyuap nasi kebuli yang ada di box bento ke mulutnya. Melahap cepat sembari terus mencecap rasa nikmat yang timbul dari makanan tersebut.
"Astaga, ternyata beneran enak."
Deasy terus mengunyah sembari mengangguk-anggukan kepala. Sementara itu di sudut lain, ada Lucas yang mengintip dan sengaja menunggu Deasy menghabiskan terlebih dahulu makanan yang ada di box nya.
"Gimana, Bu? Enak, kan?"
Teguran Lucas membuat Deasy beku sesaat. Mau berhenti, tapi nasi di dalam box yang ada di hadapannya hanya sisa sesuap lagi.
"Kenapa berhenti? Habisin aja, Bu. Nggak usah malu-malu. Saya nggak julid, kok. Malahan senang makanan yang saya belikan akhirnya dihabiskan."
Deasy malu bukan main. Tapi, karena sudah terlanjur begini, dirinya bisa apa? Ketimbang mubazir, jadi ia habiskan saja sisa nasi yang tinggal satu suap lagi sambil menggerutu dalam hati.