"Pak Lucas, ini mau saya yang supirin atau bapak bawa mobil sendiri?"
Felix nampak memerhatikan Lucas yang tengah bersiap dan sedang memasang sepatu. Beberapa menit lagi, pria bertubuh sixpack tersebut memang akan pergi menghadiri acara peresmian anak perusahaan, seperti apa yang ayahnya perintahkan.
Walaupun sebenarnya enggan, Lucas mana mungkin lagi bisa menghindar. Apalagi malam ini dirinya harus pergi dan membawa serta Davina di sampingnya.
"Saya bawa mobil sendiri aja. Kamu bisa langsung ke tempat acara. Biar nanti kita ketemu di sana aja."
"Pak Lucas mau singgah dulu?"
Lucas mengangguk. Bangkit dari duduknya, pria itu meraih kunci mobil sport yang Felix sodorkan.
"Iya, saya harus jemput Davina dulu. Bisa marah kepala suku kalau calon menantu kesayangannya lupa saya jemput."
Felix tanpa sadar tertawa. Sesekali dirinya juga merasa kasihan juga dengan sang atasan. Di umurnya yang terbilang sudah matang, pria itu harus tunduk dengan segala keputusan sang ayah dari soal karir hingga pasangan hidup.
Mau bagaimana lagi. Sebagai anak pria yang merupakan penerus keluarga, Lucas sedari kecil dibentuk menjadi sosok yang penurut dan tidak boleh sekali pun membantah. Segala sesuatu yang berhubungan dengan pria itu harus selalu melalui seleksi ketat sang ayah.
Itu sebabnya, Felix juga tahu benar kenapa selama ini Lucas malas menjalin hubungan dengan wanita manapun. Menurut sang atasan, menjalin hubungan dengan wanita itu adalah hal yang buang-buang waktu. Toh ujung-ujungnya tidak bakalan disetujui dan pada akhirnya tetap saja dijodohkan.
"Kalau begitu, saya duluan ke tempat acara, Pak," kata Felix kemudian. Pria itu juga bersiap-siap menuju mobil yang ia bawa. "Kalau nanti pak Lucas butuh sesuatu, kabari saja saya secepatnya."
Lucas mengangguk saja, kemudian gegas pergi. Memacu Ferrari merah miliknya, pria itu tampak sesegera mungkin menjemput Davina di kediamannya.
Beruntung walaupun malam minggu jalanan yang ia lewati tidak begitu macet. Lucas pun bisa sampai tepat waktu bertepatan dengan Davina yang juga baru selesai berdandan.
"Kamu udah siap?" tanya Lucas di depan pintu saat menjemput sang tunangan.
"Udah lah ... aku udah cantik begini."
Malam itu, Lucas akui Davina memang berpenampilan menarik. Mengenakan gaun pesta berwarna hitam model off shoulder. Senada dengan dirinya yang saat itu juga memakai stelan jas berwarna hitam.
Karena meyakini sudah sama-sama dalam keadaan siap, Lucas langsung mengajak Davina naik ke mobil. Membawa tunangannya itu untuk segera pergi menuju tempat acara.
"Ini malam minggu, kalau aku nggak jemput terus ajak pergi, kamu bakal jalan ke mana? Di rumah aja? Atau pergi nongkrong gitu?"
Demi mencairkan suasana, Lucas terpaksa harus berbasa-basi. Padahal, sebelum drama perjodohan, ia dan Davina aslinya sangat akrab. Entah kenapa, semenjak bertunangan, hubungan mereka bukannya semakin dekat, tapi malah merenggang.
"Kalau cuma pengen jalan, nggak perlu nunggu malam minggu kali. Miskin banget."
Jawaban Davina yang sedikit ketus langsung membuat Lucas gemas. Padahal, ia sudah berusaha terlihat baik. Tapi, seperti tidak ada artinya di hadapan sang tunangan.
"Jutek banget. Lagian, kamu lagi mikirin apa, sih? Dari tadi tumben diem aja."
"Lagi mikirin soal rencana pernikahan kita."
"Bukannya kemarin udah sepakat tiga atau empat bulan lagi?"
Davina mengangguk.
"Aku lagi mikir aja, kalau nikah sama kamu, pasti bakal ribet banget."
"Kenapa juga kamu nggak tolak permintaan orang tuamu?"
"Kamu sendiri bisa nggak nolak?"
Tawa terdengar mengalun dari bibir Lucas. Kalau boleh jujur, dirinya pun berpikiran sama dengan Davina. Sayang saja mereka berdua tidak bisa menolak apa yang sudah ditetapkan oleh kedua orang tua masing-masing.
"Ya nggak bisa, sih. Tapi, soal apa yang kamu bahas tadi, Namanya hidup berumah tangga emang rumit, kan? Di dunia ini, yang sederhana itu cuma rumah makan padang aja."
Davina menoleh. Berdecak, menanggapi gurauan Lucas yang menurutnya sama sekali tidak lucu.
"Kalau boleh milih, aku malah sama sekali nggak pengen nikah."
"Kenapa?"
Kening Lucas refleks berkerut. Sambil mengemudikan mobilnya, pria itu berusaha menanggapi apa yang Davina sampaikan kepadanya.
"Walaupun nggak dijodohkan sama aku, kamu tetap nggak pengen nikah?"
Davina mengangguk.
"Males aja. Lagian, cowok-cowok ketimbang buat bahagia, malah lebih seringnya nyakitin."
"Ya kalau sukanya nyikatin lantai, itu pembantu namanya. Tapi, nggak semua cowok gitu, kok. Buktinya aku nggak."
Davina mengembuskan napas panjang. Lelah sekali meladeni Lucas yang sedari tadi tidak sedikit pun serius berbicara dengannya.
"Udahan deh basa-basinya. Mending kamu fokus nyetir biar kita bisa segera sampai di tempat acara. Sekalian siapin mental dan tenaga juga. Karena pura-pura jadi pasangan serasi di depan orang banyak itu butuh effort lebih."
Lucas sekali lagi tersenyum menyetujui ucapan Davina. Tapi, alih-alih menyahut, ia memilih fokus mengemudi sampai akhirnya mobil yang ia kendarai sampai di pelataran hotel, tempat diadakannya acara peresmian malam ini.
Turun dari mobil, seperti kata Davina, Lucas dengan sigap bantu membukakan pintu, lalu menggandeng mesra sang tunangan untuk melangkah menuju tempat pesta. Sesampainya di sana, ia langsung disambut, di sapa dan diajak untuk berbincang dengan beberapa rekan bisnis yang kebetulan memang mengenali dirinya.
Pun Davina yang juga merupakan putri pengusaha terkenal juga banyak diajak berbincang oleh para senior yang hadir. Sementara tunangannya itu sibuk meladeni beberapa tamu, Lucas berinisiatif untuk pergi mengambil minuman sekaligus berkeliling menyapa tamu sang ayah yang ia kenal.
"Kamu mau ikut aku keliling, atau di sini aja?" tanya Lucas sebelum beranjak pergi.
"Kamu keliling aja. Lagian, bentar lagi Papa aku bakal datang. Jadi, biar aku tunggu dia di sini."
Lucas mengangguk, lalu melangkah meninggalkan Davina. Mengambil minuman, lalu bergabung dengan salah satu tamu, kemudian ikut berbincang. Tidak ada hal lain yang ia bahas selain soal bisnis dan juga kerja sama.
Awalnya, semua tampak berjalan lancar. Lucas bahkan menikmati kebersamaannya dengan para kolega bisnis yang berkumpul.
Sampai akhirnya tiba-tiba Lucas merasa seseorang menepuk pundaknya. Bahkan, kemudian tanpa ragu memanggil dengan akrab sembari menariknya agar segera menoleh ke sumber suara.
"Sayang ... aku mau kenalin kamu sama mantan pacar aku."
Bingung karena tiba-tiba ditarik begitu saja, Lucas sontak menoleh. Berbalik badan, pria itu dibuat membeku beberapa saat karena mendapati sosok wanita yang sangat ia kenal, Deasy.
"K-kamu ..."
Untuk beberapa detik terlewat, Deasy sempat terbengong. Memandangi sejenak wajah pria tampan yang baru saja ia panggil dengan sebutan 'sayang' seolah merasa dejavu.
Dalam benaknya, Deasy sangat yakin sosok yang sedang dirinya pandangi ini adalah sosok pria yang beberapa hari lalu ia temui dan ajak untuk melakukan one night stand di apartemennya.
Astaga, ini kan pangeran ganteng yang aku liat malam itu. Berarti aku nggak mimpi, kan?
"Kamu ----"
"Deasy ... i-ini serius pacar baru kamu?"
Belum habis rasa terkejut Deasy, bahkan ucapannya saja belum selesai ia utarakan, sudah terdengar suara pria lain yang menginterupsi sekaligus menegur.
Danu, mantan kekasih Deasy, tampak sama terkejutnya. Pria itu kentara menunjukkan ekspresi heran bercampur sangsi melihat sosok pria yang baru saja Deasy panggil dan tarik untuk menghadap ke arah mereka berdua.
"I-iya," sahut Deasy sembari mengangguk. Berusaha untuk tidak gugup, bahkan dengan berani dan tanpa perhitungan lagi langsung menarik tangan pria yang baru saja ia panggil, kemudian mengapitnya dengan begitu mesra untuk diaku sebagai pacar."
"Iya, dong. Ini emang pacar baru aku. Sorry banget baru bisa publish dan kenalin ke kamu. Gimana? Cakep banget, kan?"
Danu melempar tatapan memindai. Memerhatikan dengan sangat pria bertubuh atletis di depannya dari ujung rambut hingga kaki dan seketika itu juga merasa insekyur. Namun, dalam benaknya, Danu masih saja tidak percaya. Entah kenapa ia tidak yakin kalau pria tersebut adalah kekasih Deasy saat ini.
"Nggak meyakinkan banget ini pacar baru kamu."
Deasy tersenyum mengejek padahal dalam hati meringis. Seenaknya saja Sutil Magig Com di depannya itu menyangsikan kalau dirinya mampu mendapatkan kekasih yang wajahnya lebih tampan.
"Kenapa nggak meyakinkan? Kamu anggap remeh aku?"
"Nggak juga, sih," sahut Danu. "Tapi ... kalau pacarmu emang cowok ini, rasa-rasanya aku kebanting banget."
"Jangan insekyur. Waktu pacaran sama kamu, aku emang lagi sakit mata aja."
Deasy pun menoleh ke arah Lucas. Memberi kode dengan kedipan mata sembari mengajak pria itu untuk berbicara.
"Ya ampun, sayang. Liat deh. Masa si Danu ini nggak percaya kalau kita pacaran?"
Lucas yang aslinya sedang cemas dan bingung berusaha menjaga air wajahnya agar tetap terlihat tenang. Bukan persoalan Deasy yang berbohong pada Danu dengan mengatakan dirinya adalah kekasih wanita itu, yang ia takutkan. Sedari tadi, Lucas berdoa dalam hati. Berharap Deasy tidak sedikit pun mengenalinya sebagai sosok Lucas Cupu yang selama ini menjadi bawahannya.
"Emang kamu benaran pacarnya Deasy?" tanya Danu secara langsung kepada Lucas sebelum pria itu menjawab ucapan Deasy sebelumnya.
Lucas tersenyum. Karena iba dan ingin bantu menjaga harga diri Deasy agar tidak jatuh di depan sang mantan, ia pun setuju saja dengan apa yang sedang Deasy mainkan.
"Iya, kami berdua memang sedang menjalin hubungan serius."
Senyum sumringah langsung tercetak di wajah Deasy. Seolah mendapat angin segar, wanita itu mengucap ribuan syukur karena pria tampan di sebelahnya tersebut setuju membantunya untuk meyakinkan Danu. Pun Deasy juga yakin, setelah ini mantan kekasihnya itu pasti bungkam dan tidak akan ngoceh atau menganggap remeh lagi dirinya.
"Kalau boleh tau, nama kamu siapa?" tanya Danu serasa tidak puas.
Lucas terdiam. Berpikir cepat untuk segera menjawab pertanyaan Danu.
"Namaku Lucas."
Deasy terperanjat. Merasa tidak asing dengan nama yang baru saja disebutkan oleh pria tampan di sebelahnya. Entah kenapa, tiba-tiba pirikannya tanpa diminta langsung tertuju pada pria yang sudah dua kali tidur bersamanya.
Deasy sadar, nama Lucas di dunia ini tidak satu saja. Tapi, dalam benaknya ia berharap, bolehkah Lucas yang tampan dan berada di sampingnya ini saja, yang seharusnya ia ajak tidur dan berikan keperawanannya secara cuma-cuma? Bukan Lucas cupu yang kakak tuanya mini macam mainan.
Sementara Lucas, bukan tanpa sebab menyebutkan nama aslinya. Ia pikir kalau menyebutkan nama lain, rasanya sangat tidak memungkinkan. Jangan lupa, ayahnya sempat berpesan kalau malam ini akan mengenalkan Lucas kepada rekan-rekan bisnis yang sudah hadir dan berkumpul di acara peresmian tersebut sebagai pengganti sekaligus penerus.
Yang paling penting, Deasy dan Danu tidak mengenali dan menyadari penyamarannya selama ini. Toh kedua orang itu adalah sosok yang menjadi atasannya saat berada di kantor.
"Lucas? Pasaran juga ya namanya."
"Yang penting tampang dan dompetnya nggak pasaran," bela Deasy saat Danu berusaha mencemooh.
Merasa kalah telak, Danu memilih pergi. Meninggalkan Lucas dan Deasy begitu saja tanpa banyak berbicara lagi.
"Makasih ya udah tolongin aku," cicit Deasy malu-malu. Wanita itu terus memandangi wajah Lucas seakan terpesona dan terhipnotis dengan ketampanan yang pria itu tunjukkan.
"Sama-sama," sahut Lucas singkat. Bahkan, bersiap untuk pergi sebelum Deasy memberondongnya dengan banyak pertanyaan.
"Tapi, nama kamu beneran Lucas?"
Lucas mengangguk.
"Iya."
"Kalau boleh jujur, muka kamu familiar banget," ungkap Deasy dengan jujur. Demi apa pun, ia masih saja menganggap, bahkan semakin yakin kalau pria di depannya inilah yang tempo hari dirinya ajak make out di apartemennya. "Rasa-rasanya aku pernah ketemu kamu sebelumnya."
"Oh, ya?"
Lucas panik karena Deasy masih saja mengingat hal ini. Harusnya, kemarin dirinya mendengarkan ucapan Felix untuk tidak mengantarkan Deasy saat dalam keadaan asli, tanpa penyamaran.
"Kayaknya itu cuma perasaan kamu aja. Ini emang kali pertama kita ketemu."
"Nggak," geleng Deasy. Wanita itu berusaha menyanggah. Namun belum sempat protes, ada seseorang terdengar memanggil Lucas.
"Pak Lucas, diminta bergabung sekarang juga. Sudah ditunggu Mba Davina dan tamu lainnya."
Lucas mengangguk. Menoleh ke arah Deasy sembari tersenyum, kemudian pergi meninggalkan wanita itu tanpa berucap apa-apa.
Sementara Deasy, tadinya ingin mengekor. Namun baru hendak melangkah, Velove yang sudah selesai berbincang terlihat memanggilnya.
"Kita pulang sekarang, yuk," ajak wanita itu.
"Pulang? Acara inti aja belum mulai," protes Deasy. Ia bahkan ingin berlama-lama karena masih penasaran dengan sosok pria tampan yang baru saja ditemuinya.
"Erwin minta aku buat susulin dia sekarang juga."
"Yaelah, suami kamu ya bener-bener. Dari dulu suka banget ganggu. Lagian, aku baru ketemu sama cowok cakep yang aku ceritain tempo hari."
"Cowok cakep yang mana?"
"Yang aku ajak tidur terakhir kali."
Kening Velove berkerut dalam. Ia jadi bingung mendengar cerita Deasy.
"Bukannya kemarin di telpon kamu cerita kalau yang tidurin kamu ternyata cowok yang sama?"
Deasy menarik sudut bibirnya. Wanita itu malah tersenyum.
"Nggak ... aku yakin cowok ini yang tempo hari aku ajak tidur bareng. Aku yakin kalau aku nggak lagi mimpi. Biar kata mabuk, aku ingat banget mukanya gimana."
"Terus, dia inget nggak sama kamu?"
Deasy menggeleng pasrah.
"Dia bilang sih nggak kenal dan baru kali ini ketemu sama kamu."
"Ya kamu emang mimpi kali."
"Nggak mungkin," elak Deasy percaya diri.
"Lagian, kalau dia datang ke acara penting malam ini, pasti dia orang berpengaruh dan punya jabatan. Curiga juga itu cowok udah punya pacar atau istri."
"Sayur pare, sayur tomat. I dont care, bodo amat. Mau dia punya pacar atau punya istri, aku harus buktikan dulu kalau feeling aku selama Ini benar."
"Gimana cara buktikannya?" tanya Velove penasaran. Sedang hari itu saja sahabatnya tersebut mengaku kalau make out dalam keadaan mabuk.
"Caranya? Ya ajak tidur bareng lagi aja. Nanti kan bisa sambil dirasa-rasa kakak tuanya sama nggak sama yang patuk aku malam itu."
"Dasar cewek gila!"