9. NAMANYA JUGA KEJUTAN

1773 Kata
Sudah seminggu berlalu, tapi Deasy masih saja kepikiran soal pria tampan yang tanpa sengaja dirinya temui dalam acara peresmian anak cabang perusahaan tempatnya bekerja. Sampai detik ini, ia selalu berdoa. Semoga Tuhan kembali mempertemukannya dan kalau boleh, bisa menjalin hubungan dekat. Siapa tahu saja bisa pacaran, atau malah sampai ke jenjang serius seperti pernikahan. Demi Tuhan, Deasy bersedia. Di benak dan pikirannya bahkan sempat terbayang, kalau pun nanti sampai hamil, dirinya ikhlas lahir batin memiliki suami macam Lucas yang tampan. Ingat! Lucas yang tampan. Body sixpack dan pasti wangi. Bukan yang cupu, pakai kacamata tebal, bahkan tidak ganteng sama sekali biar dilihat dari sudut mana pun. Walaupun Lucas Fernando sudah bersikeras bahwa dirinya yang sudah dua kali Deasy ajak make out, dirinya tetap saja merasa kalau sosok Lucas tampan lah yang malam terakhir tidur bersamanya. Terserah Lucas mau mengaku bahwa pria itu yang sudah buat tato ikan cupang, ikan lele, atau ikan piranha sekali pun di tubuhnya, Deasy tidak perduli. Menurutnya, bisa saja Lucas tampan yang sebenarnya membuat tanda. Tapi, sengaja menyuruh Lucas Fernando untuk mengakuinya. "Pokoknya, aku harus cari cowok cakep itu sampai ketemu. Fix aku yakin banget kalau dia ini jodoh yang Tuhan kirim buat aku." Deasy membulatkan tekad. Meyakinkan diri untuk terus mencari keberadaan pria yang ia sukai sejak pandangan pertama tersebut. Namun, baru saja tekad itu terkumpul, ucapan Velove tempo hari lagi-lagi menganggu pikirannya. "Semisal nih. Kamu ketemu lagi sama si cowok ini. Kemudian menjalani hubungan serius dan akhirnya pacaran atau sampai menikah deh. Terus, dia tau kalau ternyata kamu udah nggak perawan lagi, gimana?" Pertanyaan Velove ini terdengar menohok. Walaupun zaman sekarang perawan atau tidaknya seseorang bukan lagi masalah besar. Tapi, ada sebagian pria atau terkhusus keluarga tertentu yang masih memegang teguh prinsip kesakralan hubungan yang salah satu syaratnya masih harus perjaka atau perawan. Jangan lupa ingatan, Deasy sudah dua kali di tidur dengan pria yang bukan suaminya. Bahkan, yang terakhir kali ia malah ragu dengan siapa dirinya menyerahkan diri. "Justru itu, aku mau meyakinkan sekaligus cari bukti kalau dia cowok yang udah tidurin aku." "Ya okelah, kalau si Lucas cakep ini benar tidurin kamu. Tapi, yang duluan ambil keperawanan kamu kan bukan dia. Emang kamu yakin dia mau terima kamu apa adanya?" Deasy tercekat. Pertanyaan Velove agak sulit untuk dirinya jawab. Terlebih pertanyaan berikutnya yang terdengar semakin membuatnya takut. "Semisal nanti kamu keburu hamil, dan ternyata anak dalam kandungan kamu darah daging cowok pertama yang udah tidurin kamu, gimana?" Deasy terdengar menggeram. Kenapa sih hidupnya harus serumit ini. Kenapa juga harus Lucas Fernando yang dengan cuma-cuma mengambil keperawanannya. Dasar sial! Asyik melamun, memikirkan nasibnya yang tak tentu arah, Deasy sampai-sampai tidak sadar sedari tadi ada yang memanggil. Bahkan kali ini sampai mengetuk meja berkali-kali. "Bu Deasy." Deasy mengerjap. Mengalihkan pandangan matanya, ia mendapati Lucas Fernando sudah berdiri di depan mejanya. Demi Tuhan, kenapa sih pria satu ini senang mengganggu hidupnya. "Ada apa lagi? Kenapa sih kamu suka banget ganggu ketenangan saya?" Lucas berdecak. Ini dirinya tidak tahu apa-apa, kenapa malah kena omel segala. "Saya nggak ganggu, Bu. Ini saya mau ambil laporan. Lagian udah lebih tiga kali saya panggil. Tapi ibu nggak nyahut-nyahut juga. Yang ada malah asyik melamun," ungkap pria itu. Matanya tak lama memicing, diikuti seringai penuh ejek. "Ibu lagi ngelamun jorok, ya?" Deasy mendelik. Kurang ajar memang bawahannya ini. "Sembarangan aja kalau ngomong. Saya nggak lagi ngelamun jorok. Justru ini lagi mikir." Lucas tampak terperanjat. Tapi, kalau diperhatikan dengan seksama dari mimik wajah wanita di depannya ini, Deasy memang sepertinya tengah berpikir serius. "Mikir apa, Bu?" "Mikir kenapa sih hidup saya harus sial ketemu sama kamu malam itu." Lucas mengangguk. Sedari tadi berdiri, akhirnya paham dengan apa yang sedang Deasy lamunkan. Rupanya soal kikuk-kikuk yang masih jadi momok dan kekhawatiran besar pada bosnya itu. "Oh ... ibu mikirin soal kita yang udah dua kali tidur bareng?" cicit Lucas pelan. Sengaja mengecilkan suara, agar orang lain yang mungkin lewat di depan ruangan tidak mendengar percakapan mereka berdua. Deasy melotot. Kenapa sih Lucas bisa santai banget bahas hal begini? Bayangkan, ini keperawanannya udah hilang nggak bersisa, loh! "Itu salah satunya," sahut Deasy dengan ketus. "Asal tau aja, sampai mati, saya nggak ikhlas keperawanan saya diambil sama kamu!" Lucas mengerjap. Detik kemudian tidak terima mendapat tuduhan yang terang-terangan memojokkan dirinya. Kenapa di sini ia dianggap seolah-olah pelaku utama tindak asusila yang padahal kedua belah pihak sama-sama menikmati apa yang sudah terjadi. "Kok ibu ngomong seakan-akan saya ini penjahat utamanya, sih?" "Ya emang semua ini gara-gara kamu, kan?" "Tapi, ibu juga menikmati apa yang sudah kita perbuat, kan? Sampai dua kali loh kita melakukan ini." Deasy meringis. Astaga, ini dirinya beneran bodoh atau gimana, sih? Bisa-bisanya jatuh dilubang yang sama. Dua kali pula. Ini serius nggak sengaja, atau ketagihan? "Ya kamu, kenapa sih harus tolong saya segala macam? Kenapa juga pakai sok baik antar saya pulang ke apartemen segala? Atau jangan-jangan itu cuma modus kamu aja? Buktinya, kita sampai dua kali loh tidur bareng. Rasa nggak masuk akal kalau ini cuma kebetulan. Pasti kamu udah merencanakan ini semua, kan?" Lucas menggeleng tidak habis pikir. Dalam benaknya, ini Deasy nggak tau terima kasih atau gimana? Udah baik-baik ditolong, malah ngatain dan nuduh dirinya macam-macam. Tahu begitu, mending kemarin waktu mabuk, dirinya turunkan saja di pinggir jalan. "Bu, mon maaf aja. Jelek-jelek gini, saya bukan cowok jahat yang otaknya m***m apalagi kriminal. Kalau ibu lupa, saya boleh bantu ingatkan kembali. Yang pertama kali dan tiba-tiba masuk mobil saya dalam keadaan mabuk siapa? Ibu, kan? Saya bahkan sama sekali nggak pernah ngajak apalagi godain. Terus, yang maksa buat diantar ke apartemen, siapa? Ibu juga. Saya cuma berbaik hati bantu antar. Tapi, selesai tugas, bukannya dibiarin pulang, ibu malah paksa saya buat temani tidur." "Tapi ---" "Dengerin dulu, Bu," potong Lucas segera. "Saya belum selesai ngomong. Saya pun berpikir cukup sekali itu saja melakukan kesalahan. Tapi, nggak tau kenapa Tuhan kembali pertemukan kita dalam situasi yang salah. Di momen kedua, ibu mabuk parah dan buat keributan. Cuma saya yang kenal dan bisa bantu buat antar pulang. Tapi, apa? Lagi-lagi ibu yang larang saya pulang dan paksa buat temani tidur, kan? Ibu loh yang paksa dan buka baju saya duluan. Saya sudah nolak berkali-kali. Tapi, ibu malah terkam saya macam singa nggak makan dua hari." Deasy meneguk ludahnya sembari menggeleng berulang kali. Walaupun benar, ia tetap berusaha menampik kebenaran yang sedang Lucas katakan. "Nggak mungkin." "Nggak mungkin gimana? Itu apartemen ibu ada CCTV nya. Coba cek sendiri aja, di sana siapa yang agresif dan serang duluan? Harusnya, di sini saya yang marah," sambung Lucas. Udah telanjur ngoceh, jadi sekalian saja ia ngomong panjang lebar. "Kan ibu yang sudah renggut keperjakaan saya secara paksa. Boleh dibilang, ibu tuh yang perkosa saya. Bahkan sampai dua kali pula. Kalau saya mau, saya bisa aja lapor ke polisi atas tuduhan pemerkosaan serta pemaksaan." Deasy benar-benar mati kutu. Tapi, ia langsung berpikir keras. Emangnya ada di dunia ini istilah perempuan memerkosa pria? Mana bisa gitu. "Makanya, Bu. Jangan keseringan mabuk. Bang Rhoma Irama aja jelas-jelas ngomong minuman keras alias miras itu berbahaya. Jadinya apa, sekarang? Ibu yang menyesal sendiri, kan? Kalau saya sih ngikut ibu aja. Disuruh tanggung jawab oke. Nggak juga nggak masalah." Sialan! Deasy tidak bisa membalas ucapan Lucas. Ia merasa, kalau Lucas saat ini sudah menganggapnya seperti predator pemerkosa pria. Malu sih. Tapi, Deasy juga tidak terima di cap demikian. "Udah ... udah ... nggak usah dibahas! Saya tambah pusing dengar ocehan kamu," ungkap Deasy kehabisan kata-kata. "Ibu sendiri yang mulai. Lagi pula, saya udah berkali-kali menawarkan diri untuk tanggung jawab." "Biar kata cowok di dunia sisa kamu, males banget saya nikah sama kamu, Luc." "Jangan sesumbar, Bu. Nggak usah segitunya jijik sama saya. Waktu make out, ibu itu keliatan banget ketagihan loh. Ngatain kakak tua saya kecil segala. Tapi sekalinya dimasukin, malah minta nambah." "Lucas!!!" Deasy berseru sambil melotot. Itu mulut Lucas emang bener-bener lamis, minta di cabein, ya! "Nggak usah kebanyakan ngoceh deh kamu! Udah, bahas yang lain aja." Ketimbang diungkit lebih jauh, mending dirinya menyudahi saja pembahasan tidak berbobot ini. "Kamu ngapain cari saya? Mau ambil laporan apa?" "Saya mau ambil laporan keuangannya Pak Daniel. Ada satu file yang perlu saya periksa." Deasy mendesah panjang. Mengambil kotak kunci di dalam lacinya, kemudian tanpa curiga menyerahkan kesemuanya kepada Lucas. "Nih, kamu cari aja sendiri. Semuanya jadi satu di sana." Lucas segera meraih pemberian Deasy. Karena yang dibutuhkan sudah ia dapatkan, Lucas pun bersiap untuk kembali ke meja kerjanya. "Saya sekalian mau pamit juga, bu." "Pamit?" Lucas mengangguk. "Ibu lupa? Mulai besok sampai beberapa hari ke depan, saya cuti mau pulang kampung buat jenguk orang tua saya yang sakit. Jadi, beberapa pekerjaan saya bakal di handle dan gantikan sementara oleh Starla." "Oh. Baguslah. Jadi saya nggak perlu pusing ketemu kamu terus." "Yakin bakal aman saya tinggal?" "Kenapa nggak yakin? Kamu meremehkan saya." Lucas langsung menggeleng. "Mana berani saya meremehkan ibu. Kalau gitu, saya permisi dulu, Bu." Deasy kemudian melambaikan tangan dengan cuek. Memberi isyarat agar Lucas segera kembali ke meja kerjanya. *** Terbiasa mengerjakan segala sesuatunya dengan dibantu oleh Lucas, dua hari ini Deasy benar-benar merasa kerepotan. Padahal, selama Lucas mengambil cuti, sudah ada Starla yang bantu menggantikan. Tapi, entah kenapa Deasy merasa kalau Starla tidak se-gercep, se-cepat, atau se-sigap Lucas dalam menyelesaikan pekerjaan. "Ya ampun ... ini boleh nggak sih ngeluh. Biasa santai dikerjain semua sama Lucas. Baru dua hari ditinggal cuti aja, udah yang repot banget. Mana cutinya bakal lama pula." Deasy memijat keningnya. Wanita itu jelas sedang kepusingan sendiri. Sungguh, dirinya benar-benar kelimpungan. Apalagi dua hari belakangan ini harus bantu menyiapkan segala sesuatunya untuk menyambut bos baru yang akan menempati perusahaan mereka. "Bu Deasy nggak siap-siap? Semua orang udah kumpul di lobby utama." Starla terlihat berdiri di ambang pintu ruangan. Sengaja menghampiri Deasy sekalian mengingatkan bosnya itu untuk segera keluar dan berkumpul di lantai dasar gedung. "Emang bos barunya udah datang?" Starla menggeleng. "Belum sih, Bu. Tapi, semua kepala divisi dan manager udah pada kumpul di ruang rapat utama." Deasy mendesah malas. Bangkit dari duduknya, wanita itu pun menuruti ucapan Starla untuk segera keluar dari ruangan. Melangkah santai, Deasy pun sampai di ruang rapat utama. Ikut duduk bergabung dengan yang lainnya sembari menunggu orang penting yang akan memimpin mereka setelah ini. Sampai tak lama, yang ditunggu pun akhirnya tiba. Deasy bisa melihat Darius Tanuwidja yang merupakan pemilik perusahaan, mulai memasuki ruangan, diikuti asisten dan beberapa komisaris perusahaan. Pria paruh baya itu tampak menyapa dengan ramah. Lalu tak lama memanggil seseorang yang Deasy yakini adalah bos baru perusaahan mereka untuk segera masuk ke ruang pertemuan. Tadinya, Deasy biasa saja. Sampai tak lama kemudian ia terperanjat. Pupil matanya membesar kala dengan jelas menangkap kehadiran pria yang begitu ia kenal memasuki ruang pertemuan. "Lucas?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN