Lucas baru saja selesai mengancing kemeja kerjanya. Begitu hendak memakai kaca mata, ponsenya terdengar berdering. Melirik sekilas, pria itu mendapati nama 'Kepala Suku Tanuwidja' yang tak lain adalah kontak sang ayah, tampak terpampang jelas di layar ponsel.
Untuk beberapa saat, Lucas malah terus memandangi. Diam berdiri sembari mendengarkan dering ponsel itu mengalun hingga akhirnya berhenti.
Lucunya, ketika tidak lagi terdengar suara berasal dari ponselnya, Lucas malah mengembuskan napas lega. Ia bertingkah seolah panggilan telpon sang ayah barusan tak ubahnya panggilan kematian yang harus ia khawatirkan.
Merasa aman, Lucas lantas lanjut mempersiapkan diri sebelum berangkat kerja. Baru saja hendak memakai jam tangan, dirinya terlonjak kaget. Ponselnya kembali berdering tanpa henti dan kali ini seolah memaksa untuk segera diangkat.
Sebenarnya, Lucas sadar diri. Ayahnya itu persis sekali seperti ABG labil yang suka ngotot meneror pacar kalau panggilan mereka sengaja tidak dijawab. Lagi pula, Lucas juga tahu apa yang akan ayahnya bahas ketika ia menerima panggilan tersebut.
"Halo, Pa?"
Lucas berusaha menyapa sang ayah dengan tenang dan seramah mungkin. Pada akhirnya ia menyerah dan segera menerima panggilan tersebut. Bukannya apa, ketimbang diabaikan tapi seharian dirinya di teror, lebih baik hadapi dan selesaikan saja dari pada berlarut-larut.
"Kenapa lama sekali? Kamu berusaha menghindari Papa?"
Lucas menarik napas. Ini kalau nggak buru-buru dijawab, ayahnya pasti akan ceramah panjang lebar.
"Lucas baru selesai mandi dan siap-siap. Jadi, nggak begitu dengar kalau suara telpon. Omong-omong, kenapa pagi-pagi begini Papa udah hubungi Lucas?"
"Kamu tunda lagi jadwal pernikahanmu dengan Davina?"
Tuh, kan. Apa kata Lucas. Ayahnya menelpon pasti salah satunya ingin membahas soal ini. Mau di sembunyikan bagaimana pun, pasti pada akhirnya tetap ketahuan juga.
"Iya, Pa."
"Kenapa? Kamu mau berusaha membatalkan rencana Papa dan orang tuanya Davina? Ingat, Luc, Kalian itu udah terlalu lama bertunangan. Papa malu kalau kamu keliatan nggak serius begini."
Lucas menarik napasnya dalam-dalam sebelum memberi tanggapan. "Nggak gitu, Pa. Lucas udah mendiskusikan ini dengan Davina. Lucas cuma minta sedikit waktu untuk menyelesaikan terlebih dahulu tugas yang Papa kasih dan Davina setuju."
Tidak apa bagi Lucas kali ini dirinya menjual nama Davina. Toh sebelumnya mereka berdua memang sudah benar-benar melakukan kesepakatan.
"Oh, ya?"
"Iya," sahut Lucas cepat. Ini kesempatan dirinya untuk memberi penjelasan sekaligus cari muka biar alasannya menunda pernikahan diterima oleh sang ayah. "Lucas dan Davina udah saling sepakat untuk menunda sampai tiga atau empat bulan ke depan."
"Kenapa lama sekali?"
Darius Tanuwidja langsung memotong. Tentu saja ia masih ragu. Takut apa yang putranya katakan barusan hanya akal-akalan semata.
"Jangan lupa, Papa saat ini sedang kasih tugas yang lumayan berat. Karena harus focus, Lucas minta keringanan waktu dengan Davina. Setelah tugas dari Papa selesai, Lucas janji bakal konsen mempersiapkan pernikahan seperti rencana di awal."
Terdengar helaan napas di seberang sana. Lucas yakin saat ini ayahnya tidak bisa berkutik atau mengajukan protes. Toh, Davina yang merupakan calon pengantinnya sendiri setuju untuk melakukan kesepakatan dengan Lucas.
"Baik, kalau begitu. Terus, gimana tugas yang Papa kasih? Udah ada progress? Atau masih jalan di tempat?"
Lucas tanpa sadar memejamkan matanya dramatis. Baru saja keluar dari masalah pernikahan, kini ia dihadapkan dengan tugas lama yang sampai detik ini belum juga terselesaikan. Memusingkan!
"Sisa Daniel dan Danu yang belum selesai Lucas selidiki. Tapi, Lucas janji satu atau paling lama dua bulan lagi semuanya selesai tanpa sisa. Setelah itu, udah nggak ada lagi yang perlu papa khawatirkan."
"Oke ... Papa pegang janji kamu untuk segera menyelesaikannya dalam waktu dekat. Tikus-tikus macam mereka harus segera diberantas. Kalau nggak, bakal menyebarkan penyakit dan buat perusahaan kita jadi merugi bahkan collaps."
"Tentu, Pa. Lucas janji. Ini sudah mulai selidiki data pribadi Danie. Sedikit lagi semuanya bakal terungkap tanpa sisa."
Secercah kelegaan muncul dalam benak Lucas. Bersyukur sekali dayung, dua masalah bisa ia selesaikan. Dan yang terpenting, dirinya berhasil untuk kembali menunda prosesi pernikahan dengan alasan menyelesaikan tugas.
"Tapi ..." Darius Tanuwidja terdengar menjeda ucapannya. Hal ini justru menimbulkan tanya serta penasaran pada diri Lucas.
"Tapi, apa, Pa?"
"Nanti malam kamu tetap harus datang ke acara peresmian anak cabang perusahaan kita. Sudah saatnya orang-orang tau kalau kamu itu bakal penerus yang akan menggantikan Papa dalam waktu dekat. Papa mau kamu jemput dan bawa Davina untuk pergi bersama ke acara tersebut. Nggak ada penolakan, Luc. Kamu harus tau, orang tua Davina dan banyak rekan bisnis kita akan hadir di acara tersebut."
Tanpa sadar, senyum yang tadinya mulai menghiasi bibir Lucas berangsur berubah menjadi decakan yang untungnya tidak kentara terdengar.
Kalau boleh jujur, malas sekali rasanya tampil di depan publik dengan membawa serta Davina di sampingnya. Hal ini akan semakin menguatkan spekulasi orang banyak bahwa dirinya dan Davina benar-benar akan menikah dalam waktu dekat.
Namun, Lucas hapal benar kalau ucapan sang ayah bagaikan titah. Belum disanggah saja, ayahnya sudah memberi peringatan untuk tidak sekali pun berpikir menolak perintah tersebut.
"Iya," sahut Lucas mau tidak mau setuju. "Lucas bakal jemput dan bawa Davina untuk datang ke acara tersebut, Pa. Sekali lagi, Papa nggak perlu khwatir."
"Bagus. Kalau begitu sampai jumpa nanti malam di tempat acara. Tolong datang dengan tepat waktu, Luc. Ingat, kamu itu calon pengganti Papa."
***
"Bisa nggak sih pergi undangannya di skip aja?"
Deasy terdengar mendesah malas. Saat ini, ada Velove yang sengaja singgah ke apartemennya untuk menjemput dan mengajak wanita itu segera pergi.
Keduanya masing-masing mendapat undangan untuk menghadiri acara besar. Sebagai wanita yang sama-sama menjabat sebagai pimpinan, sudah barang tentu kehadiran mereka sangat ditunggu oleh si pengundang.
"Tumben kamu malas? Dulu, waktu masih sekantor dan kalau ada undangan begini, kamu yang paling gercep buat datang. Bahkan sering bela-belain ke salon segala macam biar tampil paling hits dan nggak tersaingi sama staff atau manager yang lain."
Deasy yang tengah duduk di sofa tampak membuang napas panjang. Matanya melirik Velove yang juga duduk dan sudah berpakaian rapi, siap untuk pergi ke pesta.
"Ya malas aja. Kalau dulu kan zaman kita pergi bareng, aku pengen sekalian tebar pesona ke bos-bos muda atau anak konglomerat yang ikutan datang."
"Lah, terus sekarang? Apa bedanya?"
"Bedanya, sekarang udah jarang ada bos-bos muda ganteng yang datang ke acara resmi begini. Kebanyakan sisa yang tua-tua. Terus, kamu mau suruh aku tebar pesona ke siapa coba?"
Velove tertawa lepas. Hingga Deasy sebal sendiri karena merasa seperti diejek oleh sahabatnya itu.
"Belum tentu kali, Des. Siapa tau aja kali ini kamu bakal ketemu jodoh. Lagian, yang adain adara kan perusahaan induk kamu. Masa sebagai manager kamu nggak hadir?"
"Justru karena ini acara kantor, aku jadi nggak berminat datang. Nanti yang ada pasti bakal ketemu mantan pacar aku yang baru aja nikah, Ve."
"Terus kenapa kalau ketemu? Kamu malu?"
"Males aja."
"Justru ini jadi momen kamu buat membuktikan kalau sekarang udah bisa move on dan cari pengganti yang lebih baik. Siapa tau aja nih ya di tempat acara nanti kamu beneran ketemu jodoh. Kan bisa dipamerkan."
Deasy nampak menimbang ucapan Velove. Ada benarnya juga sih. Kenapa ia terus-terusan larut terus dalam kesedihan. Alih-alih sembunyi, harusnya sekarang Deasy melebarkan sayap dan kembali tebar pesona agar bisa segera menemukan pengganti. Mana tahu nantinya malah dapat yang lebih lebih semuanya dari pada Danu.
"Ya sudah, aku ganti baju terus siap-siap dulu. Aku putuskan buat ikut kamu pergi ke acara malam ini.
Velove bersorak senang. Tidak percuma dari tadi dirinya ngoceh sembari terus merayu. Pada akhirnya apa? Deasy luluh juga, kan?
Sekitar empat puluh menit kemudian, Deasy dan Velove benar-benar sampai di tempat acara. Karena sudah pukul delapan malam, tentu saja para tamu undangan hampir semuanya sudah berkumpul dan bersiap mengikuti inti cerita.
Selesai peresmian dan segala macam formalitas yang ada, seluruh tamu dipersilakan untuk menikmati hidangan.
Sementara Velove menemui salah satu rekan bisnisnya, Deasy sendiri memilih untuk berkeliling sembari menyantap satu per satu snack makanan yang tersedia dan terhidang rapi di meja prasmanan.
Saat tengah asyik menyantap kue, tiba-tiba saja seorang pria menghampiri. Lebih dari itu, bahkan sengaja menegur seolah ingin memamerkan sesuatu.
"Ku pikir kamu nggak bakal datang."
Familiar dengan suara seseorang yang baru saja menegurnya, Deasy langsung menoleh. Ia pun mendapati sesosok pria yang begitu dirinya kenal tengah menggandeng mesra wanita muda yang tak kalah cantik dan seksi darinya.
"Nggak ada alasan aku buat nggak datang."
Danu, mantan kekasih yang baru saja menegur Deasy langsung tertawa kecil. Memandangi Deasy dari ujung rambut hingga kaki, pria itu berbicara kembali.
"Ya siapa tau aja kamu mau menghindar dari aku. Semenjak tau aku bakal nikah sama Arindi, kamu kan keliatan jelas musuhin aku."
Deasy tertawa kecut. Aslinya muak melihat Danu yang malah betah berdiri, mengajaknya berbicara.
"Ah, itu perasaan kamu aja. Memangnya kamu debt collector, sampai-sampai aku harus menghindar segala."
Danu tertawa. Ucapan Deasy berhasil membuatnya tergelitik. Rupanya tabiat wanita itu tidak sedikit pun berubah. Selalu saja blak-blakan dan sering kali berbicara ceplas ceplos tanpa rem.
"Tapi, serius deh. Dari awal itu, sebenarnya hubungan kita emang nggak cocok."
"Ya kalau cocok udah pasti nikah, kan?"
Danu mengangguk.
"Dari dulu, aku aja yang maksa buat bertahan sama kamu. Tapi, makin lama dicoba, ternyata rasanya makin sulit buat kita berdua jalani."
"Ya ngapain jalan, Danu? Kalau cape, kan bisa naik mobil," tanggap Deasy suka-suka. "Terus gara-gara merasa udah nggak cocok, seenaknya kamu selingkuh di belakang aku?"
Danu mengangguk. Tanpa ragu dan tidak sedikit pun merasa berdosa, mengakui apa yang Deasy tuduhkan kepadanya.
"Ya mau gimana? Lagian, kamu tau sendiri aku itu suka perempuan seksi dan berisi. Lah kamu kan rada tomboi. Makanya kita nggak cocok."
"Dasar lele!"
"Kok lele?"
"Habisnya mau ngatain kamu buaya, tapi kebagusan. Lagi pula, aslinya buaya itu setia dan bukan tukang selingkuh macam kamu."
Danu tertawa. Tidak sedikit pun tersinggung dengan ucapan Deasy. Malahan ia tambah semangat mengganggu mantan kekasihnya itu.
"Tapi ... setelah aku tinggal nikah, kamu udah move on, kan? Jangan bilang masih cinta berat atau bahkan mengharapkan aku kembali ke sisi kamu."
Deasy rasa-rasanya ingin muntah. Demi apa pun, kalau saja ini bukan tempat umum, ia bersumpah ingin sekali menghajar atau menarik kumis tipis Danu yang macam Tukul Arwana itu.
"Sorry ... sorry aja, ya. Aku ini cantik paripurna, Danu. Dulu pacaran sama kamu, kayaknya pas aku lagi sakit mata. Atau bisa juga waktu itu mata batin aku ketutupan debu. Asal tau aja, satu perusahaan juga anggapnya aneh bahkan ngiranya aku kena pelet karena bisa-bisanya naksir cowok macam sutil magic com gitu."
Danu berdecak. Emosinya mulai terpancing.
"Alah, biar pun jelek begini, kamu cinta mati, kan? Buktinya sampai detik ini nggak bisa lupa. Sedang kamu yang katanya cantik itu, bisa nggak dapat pengganti aku? Keliatannya sampai sekarang masih sendiri aja."
"Dih, kata siapa?" debat Deasy tidak terima. Ini si sutil nasi kok kepedean banget anggap dirinya cakep sampai-sampai Deasy susah move on segala.
"Terus mana pacarmu? Emang kamu udah laku?"
Pertanyaan Danu jelas sekali diselipi nada mengejek. Secara terang-terangan pria itu menantang Deasy seolah tidak laku dan hanya dirinya yang selama ini mau menerima dan mengajak berpacaran.
Tentu saja Deasy merasa terhina. Dalam hati ia bersumpah harus membalas perbuatan Danu yang terang-terangan meremehkan serta mempermalukannya.
"Udah dong. Kamu mau bukti?"
"Mana? Aku pengen liat, secakep dan sehebat apa cowok yang sekarang dekat sama kamu yang cantik itu?"
Deasy terpojok. Matanya menatap ke segala arah. Tadinya, ia mencari keberadaan Velove. Namun, saat menoleh ke kiri, netranya malah menangkap keberadaan seorang pria yang dari belakang tampak terlihat tampan dan tengah asyik berbincang dengan tamu lainnya.
Seketika itu juga satu ide langsung muncul dalam otak Deasy. Dengan nekat ia langsung mendekat, menarik pelan pundak pria itu sembari memanggil begitu mesra.
"Sayang ...."
Persetan nanti bagaimana cerita selanjutnya. Yang penting ia bisa membungkam Danu agar tidak lagi menganggap remeh atau menghinanya.
"Aku pengen kenalin kamu sama mantan pacar aku."
Pria berstelan jas hitam itu langsung menoleh. Danu yang sempat menunggu dan melihat siapa yang baru saja Deasy panggil, seketika terkejut. Pun, Deasy sendiri tak kalah terkejutnya saat melihat jelas sosok pria yang baru saja ditegurnya.