Tawaran Kerja Bersama

1468 Kata
Nicko mengulurkan tangannya untuk Rhea. Rhea masih belum memberikan respon. Hanya melihatnya dengan tatapan aneh. "Rhe? Pak Nicko ingin bersalaman denganmu," ujar Bu Wanda yang juga melihat mereka. "Kenapa kamu diam saja?" lanjutnya. "Oh! I ... Iya, Bu. Maafkan saya," kata Rhea menanggapi Bu Wanda. "Iya, Pak Nicko. Kita bertemu lagi setelah dari Thailand," kata Rhea yang membalas jabat tangan Nicko. Mereka berjabat tangan sebentar. Nicko menahan senyumannya. "Kalau begitu, kita bisa duduk. Pesanannya sudah datang," pinta Bu Wanda. Mereka semua pun duduk di tempat yang disediakan. Nicko duduk berhadapan dengan Rhea. Sedangkan, Bu Wanda ada di salah sisi meja makan, di antara Nicko dan Rhea yang berhadapan. "Nick, sangat senang bisa bertemu denganmu. Sudah cukup lama tidak bertemu karena kesibukan masing-masing," kata Bu Wanda. Nicko tersenyum mendengar ungkapan Bu Wanda. "Suatu kehormatan bisa bertemu dengan anda lagi, Bu. Dulu, Anda pernah bekerja dengan almarhum ibu saya," kata Nicko. "Ibumu, dulu adalah arsitek perempuan yang sangat hebat. Aku tidak menyangka, kalau bakatnya diturunkan padamu," ujar Bu Wanda lagi. Nicko kembali tersenyum menanggapi Bu Wanda. Beberapa saat kemudian, ponsel Bu Wanda berdering. Bu Wanda melihat layar ponselnya dan ada panggilan masuk. Beliau nampak mengkerutkan keningnya. "Maaf, sebentar ya. Aku harus mengangkat telepon ini," ujar Bu Wanda seraya berdiri. Bu Wanda berjalan menjauhi meja. Sehingga, di meja itu hanya ada Nicko dan Rhea yang duduk berhadapan. Suasana canggung, semakin menyelimuti di antara mereka. Untuk mencairkan suasana, Nicko mengambil salah satu makanan dan mulai menyantapnya. "Bagaimana kabar Path?" tanya Rhea pada Nicko, yang juga berusaha mencairkan suasana. "Kenapa kamu ingin tahu kabar Path?" Nicko justru bertanya balik. "Karena di sana, dia sudah banyak membantuku. Aku bahkan belum mengucapkan terima kasih padanya," kata Rhea. "Dia baik," jawab Nicko singkat. "Kamu, tidak tanya kabarku?" tanya Nicko. "Sudah jelas kamu baik. Untuk apa aku bertanya?" balas Rhea nampak tidak peduli. Membuat Nicko melihat Rhea yang bahkan tidak menatap Nicko. Hanya fokus pada makanan yang ada di depannya. "Kenapa kamu memblokir nomorku?" tanya Nicko lagi. "Tidak ada alasan," jawab Rhea. "Lagipula, kita tidak akan berhubungan lagi," lanjutnya dengan santai. Nicko sedikit tidak menyangka, Rhea mengatakan hal itu. "Tapi, bukankah sekarang kita sudah bertemu lagi? Kita masih bisa berhubungan sebagai teman, kan?" ujar Nicko yang mengambil ponselnya. "Aku akan mengirimimu lagi nomorku. Jadi ...," "Itu juga tidak perlu," potong Rhea. "Kita tidak akan bertemu lagi setelah ini." Nicko berulang kali dibuat bingung dengan jawaban Rhea. Rhea mengatakannya dengan nada santai, tapi dingin. Jika Rhea sudah menjawab seperti itu, ia bisa apa? Nicko akhirnya meletakkan kembali ponselnya. "Bajumu ketinggalan di hotel waktu itu," kata Nicko lagi. "Aku tidak bisa memberitahumu, karena kamu memblokir nomorku. Aku bisa mengirim ...." "Tidak apa-apa. Buang saja," jawab Rhea lagi-lagi memutus kalimat Nicko. Masih dengan nada yang sama. Nicko kembali tercekat. Namun, ia kembali mencari cara. "Seharusnya kamu bilang lebih awal. Aku sudah membawakannya di mobilku tadi. Aku akan memberikannya padamu, nanti," kata Nicko lagi. Rhea lalu mengangkat kepala dan melihat ke arah Nicko. "Bukankah tadi kamu bilang, tidak tahu kalau aku juga ikut dengan Bu Wanda?" Rhea bertanya balik. Belum sempat Nicko menjawab, Bu Wanda sudah kembali lagi. Membuat Nicko bisa menghela nafas leganya. Tidak perlu membalas kecurigaan Rhea. "Maaf, ya. Tadi ada urusan mendadak," ujar Bu Wanda seraya duduk kembali di tempatnya. "Sepertinya kalian cukup dekat? Kalian sudah akrab saat di Thailand, kan?" kata Bu Wanda pada Nicko dan Rhea. Nicko dan Rhea, hanya diam dan saling tersenyum canggung. "Nick, kamu tahu? Rhea ini adalah arsitek perempuan yang paling aktif di PT. Xena. Dia menjadi satu-satunya arsitek paling muda dengan nilai terbaik saat mendaftar. Rhea bahkan bisa dikirim ke Thailand, karena nilainya paling bagus," kata Bu Wanda pada Nicko. Rhea hanya terdiam kaku mendengar Bu Wanda membicarakan dirinya pada mantan suaminya. Seolah-olah, Bu Wanda sedang mempromosikan dirinya di depan Nicko. "Saya tahu. Rhea juga sudah menjelaskan pada saya saat di Thailand," tanggap Nicko. Bu Wanda mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum. "Oh iya, Nick. Soal apa yang ingin disampaikan pak Krisna, sebenarnya sedikit banyak aku sudah tahu." "Jadi, Anda sudah tahu?" tanya Nicko. "PT. Baeda, sedang menjalankan proyek besar saat ini, kan? Karena itu, di sana sedang membutuhkan lebih banyak arsitek, karena kekurangan arsitek juga," kata Bu Wanda. "Iya, Bu. Betul sekali," tanggap Nicko. "Rhea?" panggil Bu Wanda yang gantian menoleh ke arah Rhea. "Iya, Bu?" jawab Rhea juga menengok pada Bu Wanda. "Kamu, yang akan dikirim ke sana untuk mengerjakan proyek itu," ujar Bu Wanda. Mendengar ungkapan Bu Wanda itu, Rhea langsung senang. "Benarkah?!" tanya Rhea dengan wajah girang. "Ya. Alasan aku membawamu bersamaku adalah ini," kata Bu Wanda sambil tersenyum. "Belajarlah dengan giat di sana," tambah Bu Wanda. "Terima kasih, Bu," kata Rhea dengan sumringah. Lagi-lagi, Rhea memiliki kesempatan untuk menunjukkan prestasinya pada diri sendiri. Bu Wanda menoleh ke arah Nicko lagi. "Nick, apa kamu bisa melatih Rhea, dan menjadi pasangan kerja Rhea, saat proyek di PT. Baeda berjalan nanti?" tanya Bu Wanda. Rhea dan Nicko yang mendengarnya, langsung tercekat. Nicko sendiri tidak langsung segera menanggapi kalimat Bu Wanda. Ia lalu melihat ke arah Rhea, yang juga melihatnya. Bu Wanda mengerti mereka berdua saling pandang. "Aku tahu, kamu memang tidak biasa bekerja dalam tim. Apa lagi berpasangan," kata Bu Wanda lagi pada Nicko. "Tapi, Rhea ini sangat cepat belajar. Di PT. Xena, Rhea selalu mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik. Aku pikir ...," "Ya sudah, Bu," potong Nicko. Membuat Bu Wanda terhenti berbicara. "Saya bisa saja mengajarinya. Saya akan mencarikan waktu nanti," kata Nicko, seperti sedang terpaksa. Padahal, di dalam hati tidak begitu. Bu Wanda tentu saja senang dan menjadi antusias. "Benarkah?!" seru Bu Wanda girang. Beliau melihat lagi ke arah Rhea. "Rhe. Kamu sangat beruntung sekali! Nicko, terkenal sangat sulit menerima orang baru untuk belajar dengannya. Tapi dia menerimamu begitu saja. Sudah pasti, dia tahu kemampuanmu saat di Thailand, kan?" ujar Bu Wanda lagi. Rhea lagi-lagi hanya tersenyum canggung. "Rhe, cepat kamu minta nomor Nicko!" pinta Bu Wanda. Mendengar Bu Wanda, Rhea menjadi tercekat. "Kalau proyeknya sudah berjalan, supaya Nicko bisa langsung memberitahumu lewat chat pribadi," tambah Bu Wanda. Rhea masih hanya diam awalnya. Tidak segera merespon. Ia bingung dan berpikir, kenapa semuanya bisa jadi seperti ini? "Ayo cepatlah! Ini adalah kesempatan langka!" seru Bu Wanda lagi. "I ... Iya, Bu," jawab Rhea akhirnya. Rhea pun berdiri dan berjalan mendekat ke arah Nicko. "Maaf pak, Nicko. Apa, saya boleh minta nomor telepon Anda?" tanya Rhea sembari memberikan ponsel miliknya pada Nicko. Nicko menolehkan kepala ke arah Rhea. "Ya. Tentu saja," jawab Nicko santai. Nicko kemudian mengambil ponsel Rhea. Mencari kontak telepon miliknya, dan membuka blokir di ponsel Rhea. Kemudian, barulah Nicko menghubungi nomornya sendiri. "Sudah masuk, ya," kata Nicko memberikan ponselnya pada Rhea kembali. "Terima kasih, Pak," jawab Rhea. Lalu ia kembali ke tempat duduknya. Rhea kemudian mengipas-kipaskan tangan pada wajahnya. Ia juga menghela nafas panjangnya. Mendadak, ia merasa sangat gerah. Rhea kembali meminum air putih untuk menenangkan dirinya. Setelah Rhea minum, sebuah notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya. Membuat Rhea melihat layar ponselnya. Pesan itu dari Nicko. [Bukankah katamu tidak ingin menambahkan kontakku lagi?] Rhea melihat ke arah Nicko sebentar. Nicko nampak santai menikmati hidangannya. Rhea mendengus kecil, lalu menaruh kembali ponselnya. Tidak berniat untuk membalasnya. "Permisi, saya mau ke kamar mandi sebentar," kata Nicko pada Bu Wanda. "Oh, iya silahkan," jawab Bu Wanda. Nicko lalu berdiri dengan menoleh ke arah Rhea yang juga melihatnya. Mereka saling tatap, dan hanya mereka sendiri yang mengerti maksudnya. Bu Wanda memperhatikan mereka berdua. Sampai, Nicko sudah pergi menjauh dari meja. "Eh, Rhe?!" panggil Bu Wanda tiba-tiba pada Rhea. "Iya, Bu?" Rhea segera menoleh ke arah Bu Wanda. "Maaf aku bertanya soal hal ini. Kalau tidak salah, kamu ini janda kan?" tanya Bu Wanda. Rhea memberikan sedikit waktu untuk menanggapi pertanyaan Bu Wanda tersebut. "Iya, Bu," jawab Rhea dengan tersenyum canggung. "Nicko itu, juga duda," kata Bu Wanda dengan antusias. Rhea sedikit terkejut awalnya. Tapi, ia mencoba menenangkan dirinya. "Saat di PT. Baeda nanti, berusahalah dengan giat. Aku akan mendukung karir, dan juga perjalanan cintamu. Aku yakin kalian akan cocok," kata Bu Wanda dengan tersenyum senang. Rhea masih tidak bisa merespon apapun awalnya. Ia benar-benar merasa canggung dan bingung dengan ungkapan Bu Wanda. Tapi, kemudian ia tersenyum canggung membalas ungkapan Bu Wanda untuknya. Bu Wanda pun tertawa setengah terbahak. "Rhe, aku hanya bercanda. Kenapa wajahmu jadi memerah begitu?" ungkap Bu Wanda lagi. "Ya sudah. Ayo makan lagi." Rhea lagi-lagi hanya bisa tersenyum canggung menanggapi kalimat Bu Wanda. Setelah itu, ia mencoba kembali memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya yang sepertinya sudah untuk diterima. Beberapa saat kemudian, ponsel Rhea kembali berbunyi. Sebuah notifikasi pesan masuk lagi. Dari Nicko untuk kedua kalinya. Rhea menautkan kedua alis dan membacanya. [Jadi, kapan aku harus mengembalikan bajumu?] Begitulah bunyi pesan dari Nicko. Setelah membacanya, Rhea segera mengembalikan ponselnya kembali ke saku. Ia masih enggan membalasnya. Hanya menghela nafas panjangnya berkali-kali. Kenapa ia bisa terjebak dalam situasi seperti ini? Pikirnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN