Rhea kembali menuju ke kantor. Ia mencoba menenangkan dirinya. Setelah masuk kantor, ia langsung berjalan ke arah mejanya. Kemudian, Rhea membuka kembali sketch book yang ada di C2.
Rhea memperhatikannya dan terus mempelajarinya. Ia membuka komputer untuk memeriksanya lebih dalam. Rhea menjadi sangat was-was.
"Pak Candra, mau ke mana?" tanya Wisnu melihat Candra sedang membereskan beberapa dokumen di atas mejanya.
"Aku akan menyusul Nicko. Aku pikir, dia butuh bantuan," jawab Candra.
"Saya juga ikut!" ujar Anton.
"Baiklah!" kata Candra. "Apa ada yang ingin ikut lagi?" tanya Candra lagi.
"Aku tidak," kata Wisnu.
"Maaf, aku juga tidak bisa," sahut Rhea yang berkonsentrasi di depan komputernya.
"Diana? Tumben kamu tenang sekali? Biasanya selalu menjadi pertama yang akan ke sana?" tanya Anton.
"Tenang apanya? Tentu saja aku akan ke sana sekarang," kata Diana yang juga membereskan barangnya.
"Ya sudah. Kalian bisa menggunakan mobilku sekarang juga," ajak Candra. "Kita bisa ...,"
"Siapa yang mau menumpang mobilmu?!" potong Diana dengan ketus. Membuat Candra terhenti, dan bingung. "Aku bilang aku akan ikut. Tapi, aku akan pergi dengan mobilku sendiri!" lanjutnya dengan berjalan melewati Candra dan Anton. Keluar kantor dan berjalan menjauhi mereka. Candra menautkan kedua alisnya.
"Dia pikir, siapa dia? Kenapa tidak sopan padaku?" gumam Candra berkacak pinggang, mendumel melihat sikap Diana.
"Sabar, Pak. Lagi pula, dia seperti itu juga karena pak Candra di kantin tadi, kan?" kata Anton.
Candra menoleh ke arah Anton. Tidak menanggapi apapun. Kemudian, ia hanya bisa menghela nafas kesal. Lalu, mereka berdua pun pergi meninggalkan kantor juga.
Kembali pada Rhea yang tengah fokus di depan layar komputernya. Ia mengecek dan melihat struktur pondasi dasar dalam sebuah bangunan. Pondasi dasar, memang hampir sama dengan nyawa pada bangunan itu.
"Kamu kenapa sepertinya sibuk begitu, Rhe?" tanya Wisnu pada Rhea.
"Wis, sepertinya aku melakukan kesalahan," kata Rhea setelah beberapa saat melihat komputernya. Wisnu menoleh ke arah Rhea.
"Ada apa, Rhe?" tanya Wisnu sembari berjalan mendekat ke arah Rhea. Wisnu ada di belakang Rhea dan melihat komputer Rhea.
"Aku lihat, pondasi dasar bangunan gedung B4 yang roboh itu, hampir sama dengan pondasi dasar C2," ujar Rhea menunjuk ke layout di depan komputernya. Wisnu melihat dan memperhatikannya.
"Benar juga," gumam Wisnu.
"Aku takut, kalau kejadian di B4, bisa terulang lagi di C2," kata Rhea lagi.
"Kenapa bisa begitu? Bukankah kamu ada bersama pak Nicko?" tanya Wisnu.
"Saat itu, aku melihat struktur tanahnya sedikit berbeda. Jadi, aku diam-diam mengubahnya dan aku tidak memberitahu pak Nicko karena dia masih sibuk," jelas Rhea.
"Jadi, pak Nicko belum tahu sampai sekarang?"
"Sepertinya belum," jawab Rhea dengan nada lemas.
"Tidak apa-apa. Jangan khawatir. Nanti, saat pak Nicko datang, kamu bisa memberitahukannya. Tunggu saja," kata Wisnu menenangkan Rhea. Rhea hanya menganggukkan kepalanya dua kali.
"Kalau begitu, aku tinggal dulu ya. Ada yang harus aku urus," kata Wisnu. Rhea hanya kembali mengangguk.
Wisnu keluar kantor. Sesaat setelah Wisnu sudah di luar kantor, Rhea kembali berpikir. Rhea memperhatikan kembali pondasi dasar yang ia buat.
Waktu ia memberikan hasil desain di C2 kemarin, berjarak sekitar satu Minggu. Mungkin, masih ada kesempatan jika pondasi dasar itu belum dibuat kan?
Rhea pikir tidak ada waktu lagi. Ia akan mencoba menghubungi Nicko lagi. Mengatakan bahwa ini adalah darurat. Rhea mencoba menelpon Nicko.
"Halo, Rhe?" sapa Nicko setelah Nicko mengangkat panggilan dari Rhea.
"Halo! Maaf, ini darurat!"
"Ada apa memangnya?" tanya Nicko.
Rhea menjelaskan situasi yang tengah dialaminya. Ia menceritakan semuanya pada Nicko. Juga, termasuk saat Rhea mengubah pondasi dasar tanpa sepengetahuan Nicko.
Nicko diam tidak merespon, setelah Rhea menceritakan semuanya. Membuat Rhea merasa lebih cemas lagi.
"Halo? Apa kamu mendengarkanku?" tanya Rhea.
"Kenapa baru sekarang kamu mengatakannya padaku?" tanya Nicko dengan nada amat dingin.
"Aku baru sadar saat rapat tadi dengan pak Krisna. Saat aku cek, aku memang menempatkan pondasi dasar yang sama dengan gedung B4 yang roboh."
"Maksudku, kenapa kamu tidak bilang kalau kamu merubah struktur pondasi dasarnya?" tanya Nicko.
"Aku pikir, saat itu pondasinya akan lebih kokoh jika menggunakan desain yang aku gunakan," jawab Rhea. "Jadi bagaimana ini?" tanya Rhea lagi dengan nada cemas.
"Kamu juga tahu kan, aku sedang menangani masalah darurat sekarang. Ini adalah masalahmu, kamu harus bisa memperbaikinya sendiri," kata Nicko.
Panggilan terputus. Rhea terkejut, karena nada sambung sudah mati. Ia makin bingung dan panik. Sepertinya, Nicko justru marah padanya. Apa yang harus ia lakukan kalau begitu?
Rhea teringat sesuatu. Kalau sudah begini, ia akan segera menelpon kepala pekerja yang ada di C2. Semoga Rhea bisa mendapatkan sesuatu.
"Halo?" sapa seorang laki-laki yang merupakan kepala pekerja, dari dalam ponsel Rhea.
"Pak, saya Rhea. Arsitek yang memberikan hasil desain pada anda satu Minggu lalu," kata Rhea.
"Oh iya. Saya ingat. Ada apa mbak Rhea?"
"Apa, bangunan baru di gedung C2, sudah dikerjakan? Karena sepertinya ada sesuatu yang harus dibenarkan," kata Rhea.
"Apa soal desainnya? Yang penting, tidak merubah bangunan dasar, tidak masalah, Mbak."
"Apa mungkin, bangunannya sudah mulai dikerjakan, Pak?"
"Mulai bagaimana, Mbak? Bangunannya sudah berjalan dua puluh lima persen. Mangkanya itu, saya bilang kalau mau merubah hasil desainnya, asalkan tidak merubah bentuk bangunannya, saya masih bisa mentolerirnya."
Rhea tercekat tidak dapat berbicara. Ia semakin kebingungan. Bangunannya sudah dikerjakan dua puluh lima persen. Tentu saja, mustahil jika harus merubah ulang pondasi dasarnya. Apa yang harus ia lakukan kali ini?
***
Nicko baru sampai di PT. Baeda. Ia sudah menaiki lift dan akan berjalan masuk ke dalam kantor. Saat Nicko berjalan melewati sebuah ruangan, ia mendengar suara Isak tangis.
Tangisan itu berasal dari ruangan aula, yang sedang kosong. Tepat berada di samping kantornya. Nicko yang penasaran pun, mendekat dan mengintip ke dalam ruangan.
Nicko baru tahu, ternyata yang menangis adalah Rhea. Membuatnya menautkan kedua alisnya. Ini sudah malam, dan Rhea masih belum juga pulang. Jadi, Rhea masih memikirkan masalah yang ia katakan padanya sejak siang tadi?
"Sedang apa kau di situ?"
Tiba-tiba, suara seorang laki-laki muncul di samping Nicko. Membuat Nicko terhenyak sesaat. Saat Nicko menoleh, ada Candra yang langsung ikut mengintip ke dalam ruangan.
"Kenapa dia? Sampai menangis begitu?" tanya Candra pada Nicko.
"Dia menyebabkan masalah," jawab Nicko.
"Apa masalahnya?"
"Besok saja aku beritahu. Sekarang aku lelah."
"Terserah kau saja. Apa masalahnya, itu tidak penting. Yang penting sekarang adalah, dia sedang menangis sendirian. Apa kau akan mendatangi dan menenangkannya?"
"Itu masalah yang ia buat sendiri. Dia harus bisa meredakan emosinya sendiri juga."
"Kau ini! Jangan terlalu keras padanya. Dia itu arsitek perempuan."
"Memangnya kenapa kalau dia perempuan?"
"Aku pikir, kau menjadikan Rhea rekan kerjamu karena kau ingin berbaikan dan mengajaknya kembali denganmu? Tidak tahunya, kau masih saja dingin dan tidak berubah."
"Mana mungkin aku melakukan hal itu?!"
"Kau ini memang berhati batu! Dia mantan istrimu. Kau pikir aku juga peduli? Terserah padamu, mau menenangkannya atau tidak, juga bukan urusanku! Aku pulang dulu!" ujar Candra, yang kemudian segera berlalu pergi.
Nicko melihat Candra melangkah menjauh darinya. Saat itu, Nicko kembali melihat ke arah Rhea. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Nicko melihat ada panggilan dari pak Krisna lagi.
Nicko menautkan keningnya. Ia melihat ke arah Rhea lagi, menjadi bingung. Tetapi, panggilan pak Krisna harus segera diangkat. Karena tidak sempat berpikir, pada akhirnya, Nicko mengangkat panggilan dari pak Krisna, dan meninggalkan Rhea.