Tidak Sedingin yang Dibayangkan

1103 Kata
"Aku sudah kembali!" Suara Candra tiba-tiba saja terdengar di dalam ruangan. Rhea dan Nicko yang ada di dalam ruangan, nampak tidak begitu memperdulikan Candra yang baru masuk. Hanya fokus pada komputer masing-masing. Membuat Candra memperhatikan mereka berdua. "Kalian berdua saja? Mana yang lain?" tanya Candra celingukan melihat sekitar kantor. "Semuanya sedang istirahat," jawab Rhea yang akhirnya menoleh ke arah Candra sebentar. "Kalian tidak istirahat?" "Aku nanti saja." Rhea sembari tersenyum. "Sedang apa kalian berduaan di dalam kantor di jam istirahat begini?! Apa jangan-jangan kalian sedang janjian makan bersama?" goda Candra sembari terkekeh. "Saya masih mengecek beberapa dokumen, Pak! Mana mungkin kita janjian!" bantah Rhea dengan cepat. Candra semakin terkekeh mendengar sanggahan Rhea. Tapi, Nicko hanya diam. Ia sama sekali tidak merespon apapun. Pandangannya sangat serius. "Nick, kau mendengarku kan?" tanya Candra lagi. Nicko masih sama. Diam seribu bahasa. Masih konsentrasi di depan layar komputernya. Membuat Candra semakin tertarik ingin berbicara padanya. "Nick, apa yang membuatmu sangat serius?" Nicko lalu mematikan komputernya. Ia berdiri dan berjalan keluar kantor begitu saja. Benar-benar mengabaikan Candra yang berbicara padanya. Candra dan Rhea heran melihat Nicko pergi dari kantor. "Dasar! Orang-orang pasti berpikir, kalau dia tidak bisa berbicara, atau tidak bisa mendengar," gumam Candra sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Rhea pun melihat ke arah jalanan yang baru saja dilewati Nicko. Membuatnya juga penasaran. "Memangnya, urusan di gedung B4 sangat rumit? Sampai pak Nicko kelihatan setengah stres begitu?" tanya Rhea. "Rumit apanya? Dia saja tidak datang kemarin siang," jawab Candra yang membuat Rhea menautkan kedua alis terkejut. "Apa maksudnya tidak datang?! Bukannya pak Nicko yang pertama kali pergi ke gedung B4 untuk melihat kondisi?" "Di sini dia memang mengatakan begitu. Tapi, di B4 dia tidak ada. Aku menelponnya, juga dia tidak mengangkatnya. Kamu tahu kan? Dari dulu sampai sekarang, semua yang dilakukan Nicko, hanya dia dan Tuhan yang tahu," ujar Candra dengan suara setengah berbisik. Rhea hanya diam dan berpikir heran dengan jawaban Candra. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu memanggil Nicko dengan sebutan Pak? Bukankah kalian ...." "Tentu saja harus!" potong Rhea. "Dia kan atasanku." "Kenapa kalian jadi seperti tidak kenal begini?" Candra hanya menggeleng-gelengkan kepalanya kembali. "Tapi, kamu tidak akan memanggilku Pak, kan?" goda Candra. "Aku juga akan memanggilmu Pak Candra. Pak Candra di sini kan juga atasanku," jawab Rhea. Candra terkekeh sebentar. Ia lalu berjalan mendekat ke arah meja Rhea. "Sudahlah Rhe. Aku tahu, kamu sangat membenci Nicko dan tidak ingin kembali padanya. Tapi paling tidak, kamu jangan membenci orang-orang yang berhubungan dengannya." "Apa maksud Pak Candra?" "Kita juga punya kenangan saat kuliah. Panggil Kak, saja. Itu jauh lebih akrab kan?" Candra menaikkan kedua alisnya. Rhea tersenyum geli mendengarnya. "Pak, meskipun saya dulu adalah adik tingkat pak Candra, tapi kita sekarang ada di perusahaan. Lagi pula, mana mungkin saya memanggil Pak Candra dengan sebutan Kakak, sedangkan arsitek junior lain memanggil Pak Candra dengan sebutan Pak? Aku dengar juga, Diana sudah menjadi pasangan kerja pak Candra kan? Dia yang nantinya paling sinis padaku kalau tahu aku memanggilmu Kak." "Akh! Kenapa bisa perempuan judes itu jadi pasangan kerjaku?!" Candra mengacak rambutnya pelan. "Kalau bukan karena permintaan pak Krisna, aku pasti tidak akan mau!" Rhea hanya kembali tersenyum sembari menutup mulutnya. Candra kemudian melihat ke arah Rhea. "Rhe, bukankah lebih cocok kalau kamu itu menjadi pasangan kerjaku. Lihatlah. Diana yang judes dan Nicko yang dingin. Mereka nampak serasi bukan? Sedangkan, aku dan kamu sama-sama ramah," ungkap Candra masih dengan nada menggoda. "Entahlah, Pak? Aku tidak yakin aku bisa memberi yang terbaik saat menjadi junior," ujar Rhea dengan nada lemas. "Memangnya kenapa?" "Aku, melakukan kesalahan besar." Rhea setengah menundukkan kepalanya. "Apa itu?" Rhea lalu menjelaskan masalahnya pada Candra. Soal dia yang mengubah struktur pondasi dasar. Candra mendengarkannya dengan saksama. "Jadi, apa yang dilakukan Nicko setelah tahu?" tanya Candra. "Dia hanya diam saja. Dan sepertinya nampak marah. Juga menyuruhku untuk mengatasi masalahku sendiri," jawab Rhea lagi-lagi dengan nada lemas dan menundukkan kepalanya. Candra menautkan kedua alisnya. "Tidak mungkin. Aku kenal Nicko lebih dari sepuluh tahun. Kalau sedang ada masalah kantor, dia tidak akan tinggal diam. Bagaimanapun kondisinya, seberat apapun itu, Nicko pasti segera menanganinya dengan cepat. Meskipun masalahnya dari orang lain." Sekarang, gantian Rhea yang nampak diam berpikir. Tetapi jelas-jelas kemarin siang Nicko mengatakan pada Rhea seperti itu. Dengan nada dingin. Membuat Rhea bertanya-tanya. "Tunggu! Jadi, saat kamu menangis sendirian di sebelah ruangan itu, karena masalah ini?" tanya Candra lagi. Membuat Rhea terhenyak kaget. "Pak Candra, tahu?!" "Awalnya aku tidak tahu kalau bukan Nicko yang melihatmu." "Apa?!" "Dari luar ruangan, Nicko memperhatikanmu menangis sendirian. Sepertinya lumayan lama. Kalau kamu tidak tahu, artinya dia memang tidak datang untuk menenangkanmu, ya?" tebak Candra. "Memang dasar berhati batu!" gumam Candra seolah sedang berbicara sendirian. Tiba-tiba, ponsel Candra berdering. Membuat fokus mereka teralihkan sejenak. "Rhe, aku tinggal dulu ya. Pak Krisna mencariku," kata Candra setelah membuka layar ponselnya. Rhea hanya menganggukkan kepalanya. Candra pun keluar kembali dari kantor. Membuat ruangan itu menjadi sepi. Rhea menjadi kembali merenung atas kalimat Candra. Ia juga baru tahu, saat Nicko melihatnya menangis di sebelah ruangan ini. Setengah detik kemudian, ponsel Rhea yang gantian bergetar. Membuat Rhea juga melihatnya. Ada panggilan masuk dari kepala pekerja di gedung C2. Membuat Rhea heran dan bertanya-tanya, kenapa orang ini menelponnya? "Halo?" sapa Rhea setelah menempelkan ponsel pada telinga. "Mbak Rhea, di mana pak Nicko?!" "Kenapa bertanya pada saya? Kenapa tidak menghubunginya sendiri?" Rhea justru balik bertanya. "Saya telpon pak Nicko dari pagi, sama sekali tidak diangkat. Kemarin, Pak Nicko menyuruh kita untuk mengerjakan ulang pondasi dasar yang sudah berjalan dua puluh lima persen itu! Sekarang, dia menghilang begitu saja!" gerutu kepala pekerja. Mendengar penjelasan kepala pekerja ini, membuat Rhea terkejut. "Apa maksudnya, Pak?" "Kemarin siang, Pak Nicko ke sini dan melihat struktur ulang keseluruhan hasil desain bangunan. Setelah itu, pak Nicko menyuruh membongkar semua pondasi dasar ini. Dari tadi pagi, kita sudah membongkarnya," jelas kepala pekerja. Rhea tercekat mendengar penjelasan kepala pekerja itu. Semuanya menjadi jelas sekarang. Saat Candra bilang, Nicko tidak ada di B4, sudah pasti Nicko langsung ke gedung C2, untuk memberi perintah membongkar ulang pondasi dasar, setelah menerima kabar darinya. "Halo, Mbak?! Jadi ini bagaimana?!" Suara kepala pekerja, membuat Rhea tersadar dalam tebakan di dalam kepalanya. "Oh iya ... Iya, Pak. Karena sekarang pak Nicko sedang sibuk, saya yang akan menggantikannya ke sana untuk mengawasi sesuai hasil desain," jawab Rhea. "Baiklah. Kalau begitu, kita tunggu di sini ya, sekarang." Panggilan terputus. Rhea menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia memandangi layar ponselnya. Ternyata Nicko masih peduli, dan membantunya di saat Nicko sendiri sibuk mengerjakan proyek gagal di B4. Meskipun Nicko tidak mengatakan padanya, tapi Nicko juga tidak memarahinya. Rhea lalu mengulas satu senyum kecilnya. Jauh dalam lubuk hatinya, ia merasa terharu. Nicko, tidak sedingin yang orang-orang bayangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN