Malika dimintai tolong oleh, Mbak Tini, untuk mencuci piring sisa sarapan tadi pagi. Wanita dewasa itu tidak sempat menyelesaikan pekerjaannya, karena diburu-buru oleh sang supir yang akan mengantar dirinya belanja.
Gadis itu mulai mencuci piring, menggosok panci dan penggorengan yang kotor berminyak. Malika nampak konsentrasi dengan pekerjaannya, sampai-sampai ia tidak mengetahui ada seseorang yang tengah mengendap-endap mendekatinya.
Sebuah tangan melingkar di pinggang ke perut Malika. Gadis itu langsung terkejut, mengetahui ada lengan yang merangkul tubuhnya dari belakang. Seketika ia hentikan pekerjaannya dan berbalik serta berusaha melepaskan tangan yang memeluknya erat.
"T-tuan Sakti! Mau apa, Tuan, kemari? Apa ada yang bisa saya bantu untuk Anda?" Malika berusaha menetralkan suaranya setenang mungkin, setelah pelukan itu berhasil dilepas.
Pikiran buruk tiba-tiba hadir di dalam otaknya. Bagaimana bisa lelaki tua itu dengan kurang ajar, memeluk dirinya seperti tadi.
"Aku memang membutuhkan kamu, Gadis manis!" Ada seringai mengerikan dari wajah pria itu saat menatap Malika di depannya. Tatapan lapar dengan kedua mata yang terlihat dipenuhi nafsu yang membara.
"Apa yang Tuan, butuhkan?" Malika masih berusaha bersikap biasa.
"Hangatkan saya sekarang!" ucap Tuan Sakti seolah perintah.
"A-apa, maksud Anda, Tuan?" Mulai pecah konsentrasi gadis itu.
"Saya butuh kehangatan dirimu, Malika. Sudah lama saya mendambakan tubuhmu itu menyatu dengan tubuh saya!" Malika seketika bergidik ngeri. Ia memundurkan tubuhnya ketika sang majikan maju perlahan.
"Maaf, Tuan. Ini bukan sesuatu hal yang baik. Anda tidak boleh memiliki pikiran seperti itu."
"Kenapa tidak boleh, Malika. Saya majikan kamu, apa pun yang saya minta, kamu harus turuti." Tuan Sakti mulai menunjukkan kekuasaannya.
"Maaf, Tuan. Saya akan menuruti Anda jika itu mengenai pekerjaan."
"Anggap saja ini pekerjaan, Gadis kecil!" Seringai kembali hadir. Malika terus mundur demi melihat tatapan menjijikan dari wajah lelaki tua itu. Kemudian dengan secepat kilat, Tuan Sakti menarik tangan gadis itu agar dekat dengannya. Berhasil. Malika tidak sempat menghindar.
"Tuan, lepaskan saya! Anda tidak bisa berbuat ini kepada saya. Saya akan teriak kalau Anda tidak melepaskan saya!" pekik Malika yang mulai merasa was-was. Wajah lelaki itu sangat dekat dengannya. Malika terus meronta, namun tenaganya kalah kuat dibanding sang majikan yang sedang dipenuhi nafsu.
"Teriak saja, memang kamu berharap siapa yang akan mendengar? Eh salah, memang siapa yang akan membantu kamu? Satpam di depan, heh?" Ada seringai licik yang semakin jelas terlihat.
Hidung lelaki tua itu sudah menyentuh pipi Malika, sebisa mungkin Malika berontak tak ingin hal yang lebih jauh terjadi padanya.
Dengan penuh nafsu, Tuan Sakti terus mengendus dan menciumi wajah putih milik Malika yang terlihat alami. Saat ia berusaha menempelkan bibirnya di atas bibir Malika, gadis itu selalu berhasil menghindar.
"Tolong!"
"Tolong!"
Malika berusaha berteriak, berharap siapa pun ada yang mendengarnya. Meski pun ia tahu, di dalam rumah tidak ada orang yang bisa ia mintai tolong. Harapan satu-satunya hanya pada satpam di depan. Tapi, tadi apa yang dikatakan oleh tuannya, apakah penjaga rumah itu tidak akan peduli walau pun ia mendengar suara teriakan minta tolong?
Kini ia merubah pemikirannya. Yang bisa membantunya agar terlepas dari genggaman majikannya itu adalah dirinya sendiri.
Saat lelaki tua itu hendak melucuti pakaian dasternya, Malika sekuat tenaga mendorong. Terlepas. Secepat kilat, Malika berlari, menghindari terjangan yang akan dilakukan oleh majikannya kembali.
Tanpa arah, Malika terus berlari. Ia tidak ingin menengok ke belakang, meski ia tahu langkah lari kakinya beriringan dengan langkah kaki dari tuan Sakti di belakang. Sempat menubruk guci-guci yang berdiri di sudut ruangan, yang membuat barang itu pecah. Juga setelah ia berada di ruang tamu, kembali ia menubruk sofa-sofa besar, sehingga sempat membuatnya terjatuh.
Ketika melihat ke belakang, lelaki tua itu ternyata masih mengejarnya. Dengan mengumpulkan tekad, Malika kembali berdiri dan berlari.
"Malika, jangan pergi, Sayang! Mari kita nikmati waktu kita berdua." Tuan Sakti terus berteriak memanggil gadis itu yang kini sudah berhasil meloloskan diri ke luar rumah.
Ketika sampai di depan pagar tinggi, penjaga menghampirinya yang tengah terengah-engah.
"Hentikan gadis itu, jangan biarkan ia lari!" teriak sang majikan dari ambang pintu. Berteriak seperti orang kesetanan dengan peluh yang muncul di sekujur tubuh, pun sama yang terjadi pada Malika.
"Tolong, Pak. Buka pintunya!" Malika memohon dengan tatapan mengiba.
Penjaga itu bingung, harus menuruti ucapan siapa. Namun dengan sedikit akting, ia menangkap tangan Malika dan melihatnya ke belakang.
"Bagus! Bawa dia kemari, Hendi!" teriak tuan Sakti lagi. Tertawa penuh kemenangan.
"Pak, tolong!" Malika masih mengiba.
"Kamu akan saya lepaskan, pura-puralah kamu memberontak dan lekas pergi." Penjaga bernama Hendi berkata pelan di telinga gadis itu.
"Lepaskan!" teriak Malika, pura-pura. Sedikit akting dan tenaga agar bisa terlepas dari tangan Hendi yang sebetulnya sangat mudah karena pria itu tidak memegangnya kencang.
Malika berhasil melepaskan tangannya dari cengkraman sang penjaga rumah. "Jangan lepaskan dia, Hendi!" teriak tuan Sakti marah.
Malika berhasil membuka pintu gerbang kecil, kemudian lari entah kemana tujuannya, ia sendiri tidak tahu.
"Kejar dia Hendi!" Masih terdengar teriakan dari dalam rumah besar itu, saat Malika belum jauh berlari.
Gadis itu tidak berhenti berlari. Tak tahu kemana ia melangkahkan kakinya, yang pasti ia hanya ingin menghindar dan pergi jauh dari rumah besar yang membuatnya ketakutan. Kini gadis itu sudah bisa keluar dari pintu gerbang komplek perumahan. Meski mendapat tatapan aneh dari beberapa security perumahan karena melihatnya berjalan hanya dengan pakaian daster dan sandal jepit saja. Penampilan yang terlihat kusut akibat kelelahan yang melandanya sejak ia berjibaku dengan majikannya tadi.
Gadis itu kini hanya bisa menangis, ia bingung harus kemana sekarang. Langkahnya terhenti di sebuah halte bus. Ada bangku panjang kosong. Segera ia jatuhkan tubuhnya di atas bangku yang terbuat dari besi itu.
Untung saja halte itu kosong, sehingga membuat Malika leluasa menangis. Sudah lama ia tidak menangis. Saat bapaknya meninggal saja tak ada air mata yang mengalir dari netra berwarna coklat itu.
Bukan karena ia takut sendirian di halte itu, ia hanya teringat peristiwa tadi yang hampir saja membuat kehormatannya terenggut paksa.
Gadis itu menundukkan wajah dan menutupnya dengan kedua telapak tangan. Emosinya sedikit mereda. Sekarang ia sedang berusaha berpikir apa selanjutnya yang harus ia lakukan, di tengah tempat asing yang tidak ia kenali.
Selama seminggu ia hidup di kota, belum pernah sama sekali Malika keluar rumah majikannya, meski hanya sekedar di depan berdiri di depan pagar sekali pun.
Saat ia masih memikirkan kelanjutan nasibnya, tiba-tiba sebuah mobil minibus, berhenti tepat di depan halte ia duduk. Mobil yang sangat ia kenali.
"Kang Sarmin!" pekik Malika, ketika melihat tetangganya itu keluar dari mobil dan berjalan dengan tergesa-gesa ke arahnya.
Tanpa malu, Malika menubruk tubuh pria itu dan memeluknya. "Kang?"
"Kamu kenapa, Malika? Ada apa dengan kamu?"
***