Perjanjian

1367 Kata
"Malika?" "Kenapa dengan kamu, Malika? Kenapa kamu ada di sini? Apa yang terjadi?" Kang Sarmin membalas pelukan Malika. Tanpa Malika ketahui, istri dari Kang Sarmin --Teh Lilis-- berdiri di belakang suaminya. Wanita itu hanya diam saja, tidak marah, hanya perasaan iba yang ada ketika menyaksikan gadis itu menangis di pelukan sang suami. "Teh Lilis?" seru Malika setelah menyadari kehadiran wanita itu di dekatnya. "Maafkan saya, Teh. Saya enggak bermaksud ...!" Melepaskan pelukannya dari Kang Sarmin. "Enggak apa-apa, Malika. Santai saja," sela Teh Lilis tersenyum. "Ayo naik mobil dulu!" ajak Kang Sarmin pada Malika. Ketiganya menaiki mobil. Malika duduk di belakang ditemani oleh istri Kang Sarmin. Tangan yang ia satukan digenggam oleh wanita di sebelahnya. "Apa pun yang sudah terjadi padamu, sekarang kamu aman sekarang." Kalimat yang diucapkan oleh Teh Lilis, sedikit menenangkan hati dan jiwa Malika. Ia senang, setelah sempat putus asa, sekarang ia bisa bernafas lega karena kedatangan Kang Sarmin, yang lagi-lagi menjadi dewa penolongnya. "Terimakasih, Kang. Kalau tidak ada Akang dan Teteh barusan, saya tidak tahu nasib saya akan seperti apa." "Sudahlah, tidak perlu berterimakasih, tenangkanlah diri kamu dulu. Kita lanjutkan mengobrolnya nanti." Senyum terpancar dari wajah Teh Lilis,  dan menular pada gadis itu. *** "Apa!" "Kurang ajar!" "Aku akan kembali ke rumah itu!" Umpatan-umpatan dari mulut Kang Sarmin terus keluar ketika Malika selesai dengan ceritanya. "Tidak perlu, Kang. Saya tidak mau Akang berbuat sejauh itu. Biarlah itu menjadi lembaran hidup yang akan saya buang jauh-jauh." "Tapi, Malika, orang seperti pria tua itu memang harus diberi pelajaran." Kang Sarmin masih nampak emosi, ia sungguh ingin menemui tuan Sakti dan menghajarnya bila perlu. Pria tua dengan lipatan-lipatan di perutnya itu, membuat Kang Sarmin emosi bila mengingatnya. "Tidak perlu, Kang. Kalau Akang melakukannya, memang kita akan mendapatkan apa? Hanya menyalurkan emosi sesaat saja. Hasilnya? Mungkin Akang bisa masuk penjara karena menghajar orang itu." Ucapan Malika memang benar, tapi tetap saja, lelaki itu tidak puas jika harus mengikhlaskan peristiwa yang sudah menimpa gadis di depannya itu. "Malika mohon, Kang. Biarkan saja. Malika akan berusaha ikhlas. Lagipula, sekarang Malika sudah aman di sini." Malika menatap Kang Sarmin, gantian melirik pada Teh Susi yang juga duduk di sebelah sang suami. "Heeh." Helaan nafas terdengar kasar di telinga Malika. "Kalau itu mau kamu, Akang hanya mengikuti saja, Malika." "Terimakasih, Kang." Senyum kembali hadir di wajah gadis itu. "Lantas apa rencana kamu sekarang?" Kang Sarmin menanyakan keinginan Malika selanjutnya. "Kalau bisa saya minta tolong dicarikan pekerjaan lagi, Kang. Oh iya, maaf, uang Akang sebetulnya masih utuh, tapi karena saya lari tanpa membawa apa-apa, jadi uang Akang tertinggal di rumah itu." "Sudahlah, tidak perlu kamu pikirkan, Malika," sahut Kang Sarmin. "Jadi, kamu ingin lanjut bekerja di sini? Enggak trauma?" tanya pria itu meyakinkan. "Saya belum menghasilkan apa-apa, jadi enggak mungkin saya tidak melanjutkan niat saya untuk bekerja di sini, Kang!" "Ya, kalau memang mau kamu begitu, nanti Akang carikan lagi. Untuk sementara kamu bisa tinggal di rumah kontrakan Akang, sampai kamu dapat kerjaan." Malika mengangguk, "iya, Kang. Terimakasih!" "Masalah yang itu, Pak?" sela Teh Lilis di tengah-tengah obrolan Malika dan sang suami. "Masalah yang mana?" tanya Kang Sarmin balik. "Yang cari perempuan itu loh!" "Ah! Kamu ini, Bu, masa Bapak menawari pekerjaan itu buat Malika." "Maaf, memang ada pekerjaan apa yah, Kang, Teh, kalau boleh saya tahu?" Dengan raut heran dan juga penasaran, melihat suami istri itu membicarakan hal yang Malika tidak mengerti. "Eh, begini, Malika. Akang punya pekerjaan. Tapi bukan asisten rumah tangga apalagi bekerja di perusahaan." "Kerjaan apa, Kang? Coba ceritakan saja. Barangkali saya minat." "Begini," ucapnya dengan nafas berat. "Akang diminta untuk mencari seorang gadis, untuk dijadikan istri kontrak dan memberikan keturunan." "Hah? Pekerjaan apaan itu, Kang? Saya kok baru denger." "Jadi gini, Akang punya teman di sini. Nah, bosnya itu minta dicarikan seorang perempuan untuk dijadikan istri kontrak. Tujuannya adalah agar bisa memberikan anak untuknya." "Kok, untuk apa, Kang?" "Kehidupan orang kaya itu rumit, Malika. Terkadang kita enggak mengerti jalan pikirannya. Jadi, orang ini, memiliki waktu satu tahun lagi untuk bisa mendapatkan semua warisan dari orang tuanya yang sudah meninggal. Syarat yang harus pria itu berikan adalah memiliki seorang anak." Malika masih menyimak penjelasan dari Kang Sarmin. Ia masih tidak habis pikir dengan ucapan yang Kang Sarmin berikan. Bagaimana bisa ada orang yang menyulitkan jalan hidupnya sendiri. "Kenapa orang ini tidak menikah saja dengan kekasihnya, Kang? Setahu saya, orang kaya itu gampang sekali memiliki pacar." "Akang tidak tahu jelas siapa pacarnya. Tapi yang Akang tahu, dia adalah pria penyuka wanita. Bisa setiap malam ia bermain dengan wanita yang berbeda." "Kenapa ia tidak menikahi salah satu dari wanita itu saja, Kang?" "Pengusaha ini enggak mau mencari wanita kota. Menurutnya, para wanita yang ia kenal hanya akan mempersulitnya dikemudian hari karena alasan anak dan entah alasan apa lagi lainnya nanti. Makanya ia cuma mau cari perempuan kampung. Yang menurutnya enggak neko-neko dan juga ia berkeyakinan kalo perempuan kampung itu pasti penurut." *** Sudah dua hari Malika tinggal di rumah kontrakan Kang Sarmin. Selama dua hari itu pula ia tinggal sendiri. Kang Sarmin langsung pulang saat itu, ia harus segera mencari seorang gadis yang mau dijadikan istri kontrak oleh si pria pengusaha yang ternyata adalah seorang player. Seseorang yang memiliki hobi bermain-main dengan banyak wanita. "Akang tidak akan memaksa kamu, Malika. Hanya saja, penawaran yang diberikannya sebagai kompensasi pekerjaan yang harus dilakukan, sangat besar." Ya, 1 Milyar bukanlah uang sedikit. Malika sadari itu. Tapi menikah dengan seseorang yang memiliki hobi ekstrim --menurut Malika sebagai gadis desa-- yang berbeda dengan dirinya, tak bisa ia berpikir lebih jauh. Lagipula, bagaimana bisa ia mempermainkan pernikahan untuk mendapatkan bayaran. Satu lagi yang paling penting, bagaimana ia dengan jahat --jika hamil dan melahirkan seorang bayi-- meninggalkan bayinya untuk diberikan kepada sang ayah. Treet! Treet! Treet! Suara getaran ponsel yang Kang Sarmin tinggalkan untuk Malika --setelah kejadian yang luput dari pengawasan lelaki itu-- berbunyi menyadarkan gadis itu dari lamunan. "Ya, hallo!" [Hallo, Malika! Adikmu si Adi pingin bicara dengan kamu!] "Oh iya, Kang." [Hallo, Kak! Apa kabar?] "Alhamdulillah baik, Di. Ibu bagaimana?" [E-eh, Ibu juga baik, Kak.] "Kamu bohong sama, Kakak, Di. Ada apa? Apa ibu baik-baik saja?" Malika tiba-tiba merasa khawatir akan kondisi ibunya di desa. [Ibu sedang sakit, Kak!] "Ibu sakit apa?" [Jantungnya kambuh.] "Ya Allah, kenapa bisa? Apa yang ibu pikirkan? Apa Kang Sarmin mengatakan sesuatu pada kalian tentang kondisi Kakak di sini?" [Eh, tidak. Memang kondisi Kakak kenapa? Apa kakak juga punya masalah di sana?] "Eh, enggak kok. Kakak baik-baik saja. Lantas kenapa jantung ibu kambuh, sudah lama ibu tidak pernah merasakan sakitnya itu. Saat bapak meninggal saja, ibu hanya pingsan tapi tidak sampai sakit. Apa ada yang kamu sembunyikan dari Kakak?" Malika mengalihkan pembicaraan mengenai kabar dirinya dengan menanyakan kabar sang ibu di desa. [Dua hari lalu, anak buah Juragan Darma datang lagi ke rumah. Sesuai janjinya, setelah seminggu ia kembali. Karena tidak menemukan Kakak, anak buah Juragan Darma mengacak seluruh isi rumah dan juga menghancurkannya.] "Kenapa mereka berbuat begitu?" [Ya ... mungkin saja karena tidak ada barang yang penting untuk di angkut, jadi mereka puas dengan menghancurkan barang-barang yang ada.] Malika mendadak kesal. Ia emosi membayangkan sang ibu harus bersedih menatap rumah sederhananya, dihancurkan oleh orang-orang suruhan Juragan Darma. "Lantas, apa lagi yang mereka lakukan?" Berkata sembari menahan amarah. [Kita hanya diberi waktu lima hari, untuk melunasi hutang, kalau tidak, mereka akan nekad mencari Kakak ke kota dan membawa pulang untuk dinikahkan dengan Juragan Darma.] Malika terdiam mendengar kabar dari Adi. Sejenak bingung harus bagaimana ia membayar hutang pada Juragan Darma. Bisa saja mereka tidak menemukan dirinya di kota yang besar ini, tapi ada orang-orang yang akan terlibat di dalam pencarian dirinya, dan pastinya ikut terancam. Siapa lagi kalau bukan Kang Sarmin dan istrinya. [Kak! Apa Kakak masih ada di sana?] "Eh, iya, Adi. Kakak masih di sini. Tolong titip salam untuk Ibu. Kamu hibur beliau agar tidak terlalu memikirkan Kakak dan juga masalah hutang pada Juragan Darma. Jaga diri kalian baik-baik. Tenang saja, Kakak pasti akan menemukan solusinya. Sekarang boleh Kakak bicara sama Kang Sarmin?" [Eh iya, baik, Kak!] [Hallo, Malika!] "Kang, kapan rencana Akang akan balik ke kota?" [Belum tahu, Malika. Akang belum menemukan gadis yang Akang cari. Kenapa? Apa uang yang Akang kasih sudah habis?] "Oh, bukan, Kang. Ini mengenai pernikahan kontrak yang Akang tawarkan. Saya mau menerimanya!" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN