Kematian sang kepala keluarga
Suasana di dalam rumah berukuran 4x6m² itu kini nampak penuh oleh orang-orang yang hendak bertakziah. Seorang gadis terlihat duduk di sebelah jenazah yang sudah terbujur kaku dengan kain yang menutup seluruh tubuh.
Malika nama gadis itu. Gadis berusia 19 tahun yang nampak bersedih karena baru saja ditinggal oleh sosok ayah untuk selama-lamanya.
"Kamu yang sabar, Malika. Bapakmu kini sudah tidak merasakan sakit lagi. Sekarang yang kamu bisa lakukan hanya mendoakan beliau agar tenang dan lancar perjalanannya di alam kubur nanti." Semua tetangga yang datang ke rumahnya, hampir rata mengatakan hal seperti itu.
"Ibumu mana, Malika?" tanya Bu Asih tetangga sebelah.
"Ibu ada di dalam, Bu Asih!"
"Apakah sudah siuman?" tanya Bu Asih lagi.
"Sepertinya sudah, Bu." Malika menjawab sembari menatap wanita bertubuh tambun itu.
Ibunya memang tadi pingsan beberapa kali karena berita kematian bapak. Sebentar siuman, menangis dan pingsan lagi. Malika maklum dengan kondisi sang ibu yang terlihat rapuh atas kepergian bapaknya. Namun, ia pun berharap agar sang ibu tidak terlalu larut dalam kesedihan.
"Kalo Adi, adikmu?"
"Tadi dipanggil sama Pak RT, enggak tahu mau ngapain. Kayanya masalah proses pemandian dan pemakaman."
"Oh, begitu!"
Malika mengangguk dan berusaha tersenyum. Meski pun gadis itu merasakan pedih dan pilu atas kematian sang bapak, tapi nampak nyata terlihat jika ia tegar dan tidak bersedih. Tak setitik pun air mata jatuh di pipinya.
"Semua makhluk yang bernyawa itu pasti akan mati, pun begitu juga bapaknya saat ini. Sedangkan kita, hanya menunggu giliran saja kapan akan dipanggil oleh Sang Maha Kuasa." Kalimat itulah yang menguatkan Malika, sehingga ia bisa kuat menghadapi kenyataan di depan matanya, bahwa sang tulang punggung keluarga itu kini telah tiada.
Proses pemandian hingga pemakaman jenazah berjalan lancar. Sang ibu tidak ikut ke tempat pemakaman umum, dikarenakan kondisi tubuhnya yang dirasa lemah serta tidak mendukung. Hanya Malika dan Adi, sang putra-putri yang mengantar jenazah bapak tercinta mereka ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
"Kami pulang yah, Malika, Adi?" Satu persatu para pelayat yang turut hadir mengantar jenazah ke tempat pemakaman, beranjak pulang. Kini tinggal Malika dan Adi yang terlihat masih setia jongkok di depan gundukan tanah merah dengan jenazah sang bapak yang ada di dalamnya.
"Malika, ayo, pulang!" ajak Putra teman dekat gadis itu, yang selalu bersama dari kecil hingga mereka besar.
Putra yang sejak lulus SMA merantau ke kota, khusus pulang ke desa setelah mendengar dari sang ibu kalau bapak temannya itu meninggal dunia.
"Kamu tidak boleh larut seperti ini. Bukankah kamu sudah mengerti, Malika?" ujar Putra yang mengimbangi tubuh Malika dengan ikut berjongkok di sebelahnya.
"Ya, aku memang mengerti, Putra. Hanya saja, aku seolah masih ingin menemani bapak di sini. Entah bagaimana kami nanti setelah kembali pulang ke rumah, tanpa bisa lagi melihat sosok bapak di sana." Tak ada tangisan atau air mata yang keluar ketika gadis itu bicara, meski nadanya terdengar sedikit bergetar.
"Aku bisa mengerti apa yang kamu rasakan sekarang. Karena aku pun pernah mengalami hal serupa." Sekitar lima tahun lalu, ayah Putra meninggal di saat keduanya masih duduk di bangku kelas tiga SMP.
"Tapi percayalah padaku, Malika. Perbuatanmu ini tidak akan membuat bapak hidup kembali. Ubahlah mindset-mu tadi, pikirkanlah jika bapak akan selalu ada di dalam hati kita, bersama kenangan yang ditinggalkannya yang akan kita simpan hingga kita pun menyusulnya nanti."
Kalimat yang Putra ucapkan, membuat gadis itu lekas tersadar. Ya, bagaimana ia menjadi lemah kini, setelah sejak awal kematian sang bapak padahal dirinyalah yang paling kuat dan tegar.
"Ya, kamu benar Putra. Tidak semestinya aku bersikap seperti ini. Bagaimana aku akan menghibur ibu dan adikku, jika aku-nya saja terpuruk begini."
"Syukurlah kalo kamu mengerti, Malika." Putra tersenyum menatap temannya itu.
Malika melihat ke arah Adi --adiknya-- yang kini sudah terlihat tegar dengan sisa air mata yang masih jelas terlihat di seluruh wajahnya. Setelah proses penguburan jenazah bapak selesai, malah Adi 'lah yang berubah lebih kuat dibanding dirinya.
"Ayo kita pulang! Kasihan ibu di rumah, enggak ada yang nemenin!" ajak Malika pada adik satu-satunya itu.
Adik yang sangat ia sayangi, yang bisa paham akan kondisi ekonomi keluarganya di tengah lingkungan anak seusianya --17 tahun-- yang sedang dalam masa tahap pencarian jati diri.
Ketiganya berlalu meninggalkan gundukan tanah merah dengan taburan bunga di atasnya, bersama gundukan tanah lainnya yang sudah banyak diratakan dan dibentuk menjadi makam-makam yang terlihat lebih rapi.
Kembali ke rumah, keadaan sudah tidak seramai tadi. Masih ada beberapa tetangga yang berada di dalam rumah menemani sang ibu di tengah kesedihannya.
"Sudah selesai proses pemakamannya?" tanya ibu Malika pada anak gadisnya.
"Alhamdulillah sudah, Bu," jawab Malika. "Ibu sudah makan?"
Ibunya menggeleng, "Ibu enggak lapar, Malika!"
"Walau Ibu enggak lapar, Ibu tetap harus makan."
"Ibu memang tidak selera untuk menelan makanan. Rasanya kepergian bapak membuat tenggorokan ini seperti tercekat." Kembali raut kesedihan hadir di wajahnya.
"Bukan Ibu saja yang merasa seperti itu, aku dan Adi juga merasakan hal yang sama. Tapi kita tidak boleh terlalu larut mengikuti hati yang sedih ini, Bu."
"Kamu benar, Malika. Tapi nasehat itu terlalu mudah diucapkan dibanding harus mempraktekkannya."
"Kita sama-sama berjuang, Bu." Ada senyum yang akhirnya mengembang di wajah sang ibu.
Putra, teman Malika yang sedari tadi menyaksikan obrolan ibu dan anak itu, hanya bisa terdiam tanpa berniat menghampiri.
"Kamu kapan kembali ke kota, Putra?" tanya Malika ketika keduanya berada di dapur --mencari minum untuk gadis itu teguk sebab haus yang ia rasakan sejak pulang dari pemakaman. Putra memang terus mengikuti kemana pun Malika pergi. Pria itu takut sesuatu hal yang tidak diinginkan terjadi pada temannya.
"Nanti sore. Aku sudah ijin satu hari ini."
Putra, lelaki 20 tahun itu memang sangat perhatian pada Malika. Dari dulu, sejak keduanya tumbuh, kemana-mana mereka selalu pergi bersama. Biasanya Malika, Putra dan juga dua temannya yang lain, yaitu Reska dan Rahma. Namun Rahma sudah menikah dan dibawa oleh suaminya pergi jauh merantau ke luar pulau. Sedangkan Reska, sama seperti Putra, mengadu nasib ke kota dan bekerja di sana. Berbeda dengan Putra yang masih sering pulang, Reska semenjak merantau, jarang pulang ke desanya. Semua itu karena Reska sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi yang harus dikunjungi.
Perhatian yang diberikan oleh Putra kepada Malika, membuatnya memiliki rasa yang lain terhadap pria itu. Tapi Malika tahu, jika Putra hanya menganggapnya adik, tidak lebih. Semua Malika ketahui ketika di suatu sore, pria itu bercerita bahwa sudah sejak lama ia jatuh hati pada seorang perempuan bernama Winda, yang merupakan teman sekolahnya di SMP dulu.
"Apa rencana kamu selanjutnya, Malika?" tanya Putra memilih duduk di atas dipan memperhatikan temannya yang masih terdiam.
"Rencana apa yang kamu maksud?" tanya Malika balik.
"Setelah kepergian bapak, mau tidak mau sekarang kamulah yang menjadi tulang punggung keluarga. Adi masih sekolah, satu tahun lagi baru lulus, dan hutang keluargamu pada rentenir itu, bukankah harus kalian bayar, kalau tidak mau terus dikejar-kejar oleh orang-orang itu."
"Kamu benar, Putra. Sekarang akulah yang harus berjuang untuk menghidupi keluargaku. Namun rencana apa yang tadi kamu maksudkan itu, aku sendiri belum tahu."
"Bagaimana kalau kamu mencari kerja ke kota sepertiku?" saran Putra padanya.
"Entahlah, Putra. Ucapan bapak masih teringat jelas di kepalaku sampai sekarang." Gadis itu menunduk. Bukannya ia tidak pernah memikirkan untuk pergi ke kota seperti saran yang Putra berikan, tapi sang kepala keluarga pernah mengatakan bahwa dirinya tidak tega dan tidak rela jika putrinya itu pergi jauh dari keluarga.
***