Ethan mengambil pita itu dengan sebuah pertanyaan di kepalanya. Sepasang alisnya berkerut bingung. Ada apa dengan pita ini? Kenapa Amanda memberikan benda ini padanya?
"Apa ini?" tanya Ethan tanpa menyembunyikan kebingungan dalam suaranya.
Amanda menghela napas berat. "Aku menemukannya di dekat tubuh Ayahku," jawab Amanda lirih hampir tak terdengar. Suaranya sedikit serak. Perempuan itu sedang menahan air mata yang kembali mencoba untuk menerobos pertahanan kelopak matanya. Ia masih belum bisa menerima kenyataan ini sepenuhnya.
Ethan mensyukuri pendengarannya yang tajam sehingga ia masih dapat menangkap kata-kata yang diucapkan Amanda.
"Aku mengambil dan menyimpannya karena mungkin saja pita ini penting," sambung Amanda. Perempuan itu kembali duduk di sofa yang tadi didudukinya. "Aku sengaja mengunci pintu agar tidak ada satu pun orang yang bisa mencuri dengar pembicaraan kita. Aku tidak ingin ada yang tahu mengenai pita ini. Aku memberikannya kepadamu karena aku yakin kau pasti bisa menemukan pembunuh Ayahku."
Ethan menatap liar bergantian antara pita di tangannya dan wajah Amanda. Mata perempuan itu kembali berkaca-kaca, membuat Ethan merasa bersalah. Seharusnya ia bisa menghibur Amanda. Sebagai sahabat yang –mungkin– satu-satunya dimiliki Amanda, seharusnya ia berada di samping gadis itu untuk menguatkan. Keadaan ini pasti sangat berat bagi Amanda yang manja dan selalu bergantung kepada mendiang Ayahnya.
Harapan Ethan untuk menemukan pembunuh kembali bangkit. Meskipun ia hanya memiliki satu bukti tetapi ia yakin dengan dukungan penuh dari orang-orang terdekatnya, ia pasti bisa memecahkan kasus pembunuh bayangan ini. Ethan mengangguk. Ia menyanggupi permintaan Amanda. Sekarang ia mempunyai alasan untuk menerima kasus pembunuhan ini. Ia ingin membantu sahabatnya mengungkap pembunuh Ayahnya.
Malam itu juga Ethan membawa pita ke lab forensik, meminta petugas forensik untuk memeriksa pita itu. Ethan tidak mengatakan kepada siapa pun yang bertugas di lab kalau pita hijau itu adalah barang bukti satu-satunya yang ditinggalkan si pembunuh. Ia hanya meminta mereka untuk memeriksa pita itu. Harapan Ethan sangat besar kepada pita itu. Ia berdoa agar seutas pita itu dapat membongkar identitas pembunuh Tuan Simon Loraine.
Ethan kembali ke apartemennya dengan perasaan sedikit lega. Ia akan melaporkan tentang barang bukti besok pagi pada Pak Kepala Cooper. Sekarang sudah terlalu larut untuk bertemu dengan pria tua itu. Pak Cooper membutuhkan waktu istirahat lebih banyak ketimbang dirinya. Kalau ia saja langsung kembali ke apartemen untuk beristirahat, tentu Pak Cooper juga demikian.
Ethan mengembuskan napas lelah. Pria itu membaringkan tubuh di sofa panjang di ruang tamu apartemennya. Ia baru meninggalkan kediaman keluarga Loraine setelah Amanda benar-benar tertidur. Ia tidak tega meninggalkan Amanda sendirian, perempuan itu masih ketakutan. Ethan mengusap wajah kasar. Siapa pun yang berada di posisi Amanda pastilah akan merasakan hal yang sama. Ethan berharap Amanda baik-baik saja. Ia tadi sudah meminta Bibi Blaire untuk menghubunginya kalau terjadi sesuatu pada Amanda.
Ethan menutup mulutnya yang menguap. Mata cokelat terangnya menyapu dinding ruang tamu dan menemukan jam dinding bertengger manis di dinding samping kirinya. Sudah lewat tengah malam, pantas saja rasanya ia sangat mengantuk. Sekali lagi Ethan menguap sebelum pria itu beranjak menaiki tangga untuk menuju kamarnya di lantai dua. Meskipun rasanya sangat lelah ia tidak mau tidur di sofa yang hanya akan membuat tubuhnya sakit ketika bangun esok pagi.
Ethan melepaskan semua yang melekat di tubuhnya. Ia sudah terbiasa tidur hanya mengenakan boxer saja. Kebiasaan buruk memang tetapi begitulah kenyataannya. Ia tidak bisa tidur pada malam hari kalau masih memakai pakaian lengkap. Sore tadi adalah pertama kali ia tidur dengan pakaian lengkap. Rasanya sedikit aneh, gatal. Namun karena sangat lelah dan mengantuk, ia menghiraukan rasa itu dan terbangun saat makan malam. Ethan memasuki kamar mandi. Ia tidak ingin kejadian tadi sore terulang.
Setelah menggosok gigi dan mencuci kaki, pria itu segera menaiki tempat tidur dan berbaring. Tak ada waktu untuk membaca atau melakukan suatu kebiasaan sebelum tidur seperti orang kebanyakan, ia terlalu lelah untuk semua itu. Pekerjaannya yang sangat menyita waktu dan tenaga sudah membuatnya dapat tidur lelap tanpa harus mempunyai kebiasaan seperti itu. Ethan menarik selimut sebatas d**a, memejamkan mata, dan tak perlu waktu lama dengkuran halus terdengar darinya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Suara keras alarm tidak dapat membangunkan tidur pria yang menelungkup di tempat tidurnya itu. Waktu tidurnya yang lewat tengah malam membuat pria itu masih pulas meskipun matahari sudah lumayan tinggi. Ethan sengaja memasang alarmnya pukul sembilan pagi agar ia bisa langsung ke lab forensik ketika bangun nanti. Samantha Harris, salah satu dokter forensik yang dimintainya bantuan untuk memeriksa pita tadi malam mengatakan kalau jam sepuluh pagi ini ia sudah bisa mendapatkan hasil pemeriksaan. Namun sudah lewat dari jam sembilan Ethan belum juga bangun. Alarm yang berbunyi keras sejak beberapa menit yang lalu tidak mampu membangunkannya dari dunia mimpi.
Ethan mengerang. Akhirnya ia merasa terganggu juga. Suara alarm sampai sekarang masih belum berhenti. Tangan besar Ethan terayun ke arah nakas dan menyapu jam digital yang terus saja berbunyi tanpa henti. Bunyi benda beradu dengan lantai mengagetkan Ethan. Segera pria itu membuka mata dan memaki ketika melihat keadaan kamarnya yang sudah sangat terang.
"Fvck!"
Ethan memutar tubuh, sekarang ia telentang dengan kedua tangan merentang. Pria itu mengerjap beberapa sebelum mengangkat tangan kanannya dan mengucek mata. Ethan menguap, pria itu mendesah jengkel. Mengapa waktu tidurnya selalu terasa semakin sedikit setiap harinya? Dengan malas Ethan bangun. Makian lirih kembali terlontar dari mulutnya melihat jam digital yang sudah menjadi kepingan di lantai. Oh great, Ethan! You destroyer your alarm clock again!
Ethan mengusap wajah sebelum menurunkan kakinya ke lantai. Memungut kepingan jam digital dan melemparnya ke tempat sampah yang berada di dekat nakas. Ethan mengerang, sepertinya ia harus singgah ke toko jam lagi sepulang bekerja nanti. Itu pun kalau ia bisa pulang. Ethan bergegas ke kamar mandi setelah matanya bertemu dengan jam dinding. Sudah hampir jam sepuluh. Kalau seperti ini ia tidak akan bisa memenuhi janjinya pada Sam untuk datang tepat waktu. Semoga saja perempuan cerewet itu tidak marah kalau ia terlambat nanti.
***
Samantha Harris berdecak kesal. Ia bukan perempuan yang sabar, yang tidak akan marah dan mengomel kalau seseorang tidak tepat janji. Sudah sejak dari setengah jam yang lalu ia menunggu Ethan di cafe ini, tetapi detektif sialan itu belum juga datang. Kalau lima menit lagi Ethan belum juga terlihat, ia akan meninggalkan tempat ini beserta hasil tes forensik yang diminta pria tampan itu.
Sam sudah sering bekerja sama dengan Ethan. Sudah sering juga ia menunggu. Namun biasanya mereka bertemu di laboratorium tempatnya bekerja, bukan di sebuah cafe seperti pasangan mau berkencan saja.
Jarum jam menunjuk ke angka delapan ketika Ethan memasuki cafe itu. Ia tahu kalau ia sangat terlambat hari ini, dan mungkin akan mendapatkan omelan dari Sam. Kalaupun nanti Sam mengomel, ia akan pasrah menerimanya. Semua ini memang salahnya.
Ethan bergegas menghampiri meja Sam saat dilihatnya perempuan berambut merah itu hendak beranjak.
"Sam!" seru Ethan sedikit keras. Membuat beberapa pasang mata pengunjung cafe terarah padanya. Ethan meringis. Ia tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian. Lebih tidak suka lagi dengan tatapan membunuh yang dilihatnya di mata biru Sam. "Maafkan aku!" ucap Ethan dengan wajah memelas. Pria itu duduk di depan Sam.
Sam mendengus kesal. Perempuan itu mengurungkan niatnya dan kembali duduk.
"Kau tidur atau mati sih?" omel Sam kesal. "Sudah dari jam sepuluh tadi aku menunggumu di sini dan kau baru datang sekarang?!"
Suara Sam meninggi. Ethan memakluminya, Sam pasti sangat kesal. Ethan sudah membuang waktu berharganya.
"Maafkan aku, Sam. Aku tidur seperti orang mati tadi malam." Ethan meringis. Pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Sam bersedekap. Perempuan itu membuang muka. Ia masih saja kesal. Menunggu adalah hal yang paling tidak disukainya, apalagi menunggu seorang Ethan Wolf yang sangat tidak tepat waktu. Seharusnya ia sudah tahu kalau Ethan terlambat. Ia sudah lumayan lama bekerja bersama Ethan dan cukup mengenal pria ini. Ethan kalau sudah tidur sangat susah dibanguni. Meskipun kau memainkan musik sangat keras ataupun bom meledak di depannya, Ethan tidak akan bangun.
"Kau memang selalu seperti itu!" balas Sam. "Walaupun aku berteriak di telingamu kau tidak akan bangun."
Ethan tertawa kecil mendengar tudingan Sam. Ia tidak marah karena itu memang kenyataan.
"Yeah." Ethan mengangguk kikuk. "You know me so well."
Sam mendelik. Ia masih tidak terima Ethan membuatnya menunggu selama lebih dari setengah jam.
"Kau harus membayar sarapanku!" perintah Sam dengan mata menyipit. "Aku tidak terima harus menunggumu seolah kau sangat penting saja!"
Ethan kembali tertawa kecil. Ia tidak terlalu pandai mengekspresikan perasaannya. Hanya tawa dan senyum kecil yang bisa dikeluarkannya di depan orang-orang. Ia sudah terbiasa memasang wajah datar dan dingin. Wajah seperti itu sangat berguna untuk menyakiti penjahat di luar sana.
"Aku juga belum sempat sarapan, Sam," tukas Ethan. "Aku tergesa-gesa ke sini tadi karena aku tahu kau pasti sudah menungguku."
Sam mendesis. Ethan meminta maaf dan menyatakan penyesalan karena sudah membuatnya menunggu. Namun dari raut wajahnya, pria itu tidak menunjukkan penyesalannya sama sekali. Wajah tampan itu tetap terlihat datar seperti biasanya. Sam memutar bola mata.
"Maukah kau menemaniku sarapan, Sam?" tanya Ethan. "Aku akan membayar semua tagihan sarapanmu."
"Kau memang harus melakukannya!" jawab Sam cepat. Mata birunya kembali memicing menatap Ethan.
Ethan mengangguk. Pria itu mengangkat tangan kanannya memanggil pramusaji dan segera memesan begitu si pramusaji menghampiri.
"Kita akan membicarakan masalah pita itu setelah selesai sarapan," ucap Ethan.
Sam tak menjawab, perempuan itu hanya mengangkat bahu lantas mengangguk. Ia menyetujui usul Ethan.
Tak lama pesanan mereka datang. Sam yang sudah menghabiskan seporsi sarapan kembali memakan sarapan porsi keduanya yang lebih lengkap dengan lahap. Bahkan lebih lahap daripada ia sarapan sendiri tadi. Ternyata faktor teman juga memengaruhi selera makan seseorang. Sam baru menyadarinya.
Sementara Ethan makan seperti biasa. Ia bahkan hanya memesan segelas kopi dan sepotong roti croissant. Bagi Ethan itu sudah cukup untuk mengganjal perutnya. Apalagi sarapan mereka sudah sangat terlambat.
Sepuluh menit kemudian Sam sudah menghabiskan sarapan sesi keduanya. Perempuan itu mengelap sudut bibirnya menggunakan tisusebelum berbicara.
"Sebelumnya boleh aku tahu untuk apa pita itu?" tanya Sam sambil menjauhkan piring kosong dari hadapannya.
Ethan menggeleng. "Itu bukan apa-apa. Hanya pita biasa," jawab Ethan setelah menelan sepotong kecil roti. Pria itu menyesap kopinya yang masih mengepulkan asap. "Aku menemukannya di jalan saat pulang dari kantor."
Sam memicing menatap Ethan. Jawaban pria itu tidak masuk akal baginya. Bagaimana mungkin Ethan bisa menemukan sehelai pita di jalan sementara ia kemana-mana selalu menggunakan mobil?
"Sungguh, Sam. Aku tidak bohong..."
"Aku tidak mengatakan apa-apa," potong Sam cepat. "Kau sendiri yang mengatakannya." Perempuan itu mengangkat kedua tangannya setinggi kepala sambil menggeleng pelan.
"Kau memang tidak berkata apa-apa," sahut Ethan kesal. "Tetapi tatapanmu seolah mengatakan kalau aku sudah melakukan sesuatu."
Sam mengedikkan bahu tak peduli. "Kau memang pantas mendapatnya," balasnya.
Ethan menatap perempuan itu tak percaya. "Apa maksud perkataanmu itu?" tanya Ethan tak terima.
"Kau memang pantas dicurigai," jawab Sam santai. "Perkataanmu penuh kebohongan," sambungnya seolah ia seorang detektif.
Ethan memutar bola mata. "Jadi setelah menjadi ahli forensik kau sekarang juga merangkap menjadi cenayang? Atau mungkin kau ingin menjadi mesin pendeteksi kebohongan?"
Sam berdecak kesal. "Bagaimana mungkin kau bisa memungut pita itu di jalan sementara kau selalu menggunakan mobil kemana pun kau pergi, Ethan?" tanya Sam dengan gigi terkatup. "Mungkin aku akan percaya kalau kau mengatakan kau menemukan pita itu di tempat parkir ataupun di lobi apartemenmu, tapi tidak di jalan." Sam kembali menggeleng pelan beberapa kali. "Kau sangat tidak masuk akal, Bung."
Ethan mengembuskan napas perlahan. Sepertinya memang percuma beradu argumen dengan Sam, ia tidak akan pernah bisa menang. Otak jenius perempuan itu tak pernah bisa dilawan olehnya. Pikirannya berkecamuk dlsekarang, antara harus jujur atau tetap menyembunyikan kebenaran soal pita itu. Dan sepertinya Ethan memilih opsi pertama.
"Terserah saja kau mau percaya atau tidak, aku tidak peduli." Ethan mengedikkan bahu acuh. "Itu tak penting menurutku."
Sam mendengus mendengar itu. Sungguh kekesalannya naik berkali-kali lipat sekarang.
"Yang penting adalah hasil uji forensik yang kau bawa itu." Ethan menunjuk amplop cokelat yang tergeletak di atas meja di depan Sam.
Sam melirik amplop yang ditunjuk Ethan. Senyum mengejek terbit di bibir perempuan itu. Dengan santai ia mengangsurkan amplop ke depan Ethan.
"Bukalah!" perintah Sam. "Kuharap kau tidak terkejut dengan hasilnya sama sepertiku. Karena tidak ada apa-apa di pita itu."
Mata karamel Ethan melebar. Apa? tanyanya dalam hati. Tidak mungkin seperti itu kan? Amanda mendapatkan pita itu di samping tubuh Ayahnya yang sudah tak bernyawa. Pita itu pasti ada hubungannya dengan si pembunuh. Sangat mustahil kalau tidak ada apa-apa di sana.