Bab 3. Pita Hijau

2127 Kata
Sebenarnya Ethan tidak ingin mengangkat telepon itu, tetapi ia merasa tidak enak kalau tidak mengangkatnya. Mungkin saja Amanda ingin mengatakan sesuatu sehingga meneleponnya malam-malam begini. Ethan menggeser tombol hijau ke atas kemudian menempelkan ponsel pada telinga kanannya. "Iya, Amanda?" sapa Ethan. "Ada apa?" "Apakah aku mengganggumu?" Suara serak Amanda menyapa gendang telinga Ethan. Pria itu menggeleng. "Tidak," jawabnya. Ethan melangkah menuju lemari pakaian. Membukanya dan mengambil kaus putih tanpa lengan untuk dikenakannya malam ini. "Aku baru bangun tidur." Ethan tertawa pelan. Jenis tawa yang menyerupai gumaman. Ia menertawakan dirinya sendiri yang bangun tidur di saat ada orang yang memulai untuk tidur. Sungguh sebuah lelucon yang sangat tidak lucu. "Pantas kau baru mengangkat teleponku." Tawa Ethan terhenti mendengar perkataan Amanda. Apa maksud Amanda berkata seperti itu? Apakah perempuan itu ada meneleponnya sebelum ini? Di mana? Telepon rumah ataukah ponselnya? Ethan mengusap wajah kasar membayangkan tidurnya yang seperti orang mati. Menyebut dua kata terakhir kalimat di dalam hatinya tadi, kepala Ethan yang rambutnya masih menitikkan air menggeleng, mengusir dua kata itu dari kepalanya. Dua kata itu mengingatkannya pada apa yang dilihatnya tadi pagi. Tubuh Simone Loraine yang terbujur kaku dengan sebuah lubang peluru tepat di tengah-tengah dahinya tidak dapat dilupakannya. Sekali kali lagi Ethan menggeleng. "Aku sudah beberapa kali meneleponmu, baik ke telepon rumah maupun ponselmu tetapi kau tetap tidak mengangkatnya. Ternyata kau sedang tidur. Maafkan aku karena sudah mengganggumu, aku tidak tahu." Ethan tersenyum. Pria itu menggeleng. "Tidak apa-apa, Amanda. Aku hanya sedikit kelelahan tadi," sahutnya. "Seharusnya aku yang minta maaf padamu karena baru bisa mengangkat teleponmu sekarang. Kau sudah tahu bagaimana aku kalau sudah tidur, bom meledak di dekat telingaku pun aku tidak akan bangun." Tawa renyah Amanda terdengar. Ethan tidak sedang bercanda saat mengatakan semua itu, tetapi anehnya Amanda tertawa, seolah ia sedang menceritakan sesuatu yang lucu kepada perempuan itu. "Aku tahu. " Amanda masih tertawa. "Kau lupa kalau aku sudah sangat mengenalmu. Aku tahu kebiasaan burukmu itu." Ethan mengangguk, mengiakan perkataan Amanda. Itu memang merupakan salah satu kebiasaan buruknya saat tidur dan ia tidak ingin ada yang tahu hal itu selain Amanda dan keluarga Cooper. "Baiklah, sekarang katakan kenapa kau menghubungiku. Apa ada yang bisa kubantu?" tanya Ethan setelah keheningan tercipta di antara mereka selama beberapa helaan napas. Tak ada sahutan dari Amanda membuat alis Ethan mengernyit. Pria itu menjauhkan ponsel dari telinganya, memeriksa apakah mereka masih terhubung atau Amanda sudah memutuskan panggilan itu. Ternyata tidak, angka-angka di layar ponsel yang menunjukkan berapa lama waktu berbicara masih bergerak. Itu artinya mereka masih terhubung. Hanya saja Amanda diam, tidak menyahutinya. Sepertinya perempuan itu tengah berpikir. "Amanda?" panggil Ethan. "Kau masih di sana?" Masih tak ada sahutan. Ethan tiba-tiba saja khawatir. Ia takut terjadi sesuatu kepada sahabatnya. Ethan menjauhkan ponsel lagi dari telinga, kembali memeriksa dan mereka masih dalam posisi terhubung. "Amanda?" Sekali lagi Ethan memanggilnya. Masih sama, Amanda tak menyahut. Namun terdengar suara helaan napas berat di aeberang sana. Ethan mengembuskan napas lega, sahabatnya masih hidup. "Amanda, ada apa? Apakah terjadi sesuatu?" Ethan tidak menyembunyikan nada cemas dalam suaranya. Sungguh, ia tidak ingin terjadi sesuatu kepada sahabatnya, apalagi Amanda masih dalam keadaan berduka. Sekali terdengar helaan napas berat sebelum suara Amanda kembali memasuki indra pendengaran Ethan. "Ada sesuatu yang ingin aku katakan." Jeda. Amanda menghela napas berat. Lagi. Ethan mengusap wajah, menyugar rambut cokelat gelapnya yang masih basah, kemudian memasang kaus yang sejak beberapa menit yang lalu masih dipegangnya. "Katakan saja," sahut Ethan setelah memakai bajunya. "Tidak bisa melalui telepon. Aku harus mengatakannya secara langsung!" Amanda yang bersemangat membuat suaranya terdengar naik beberapa oktaf. Ethan sampai berjengit, sedikit kaget mendengar Amanda yang mengeraskan suaranya tiba-tiba. "Aku rasa ini penting. Jadi, bisakah kita bertemu malam ini? Di rumahku." Ethan menggaruk pelipis. Tidak gatal, ia hanya sedang berpikir. Ini sudah malam, jam makan malam bahkan sudah lewat. Sedikit tidak sopan kalau ia bertamu ke rumah orang malam-malam seperti ini. Namun ia kan tidak datang atas keinginannya sendiri, sang empunya rumah yang meminta. Lagipula ia bertugas menangani kasus kematian Ayah Amanda. Mungkin saja kan perempuan itu ingin mengatakan sesuatu tentang pembunuhan misterius itu. Kenapa ia menyebutnya pembunuhan misterius? Karena tidak ada satu pun bukti yang bisa mereka gunakan untuk menetapkan tersangka. Mereka seperti mengejar hantu. Ethan mengerang kesal kala mengingat dirinya yang ditunjuk untuk menangani kasus pembunuhan ini. Ia yang seorang detektif kriminal yang selalu berurusan dengan para gembong narkoba dan penjahat lainnya, kali ini harus berhadapan dengan seorang pembunuh bayangan. Ethan mengusap wajah kasar. "Aku tahu kau baru bangun tidur, kurasa kau juga belum makan malam." Ethan mengangguk membenarkan tebakan Amanda, seolah perempuan itu ada di depannya. Ia memang berniat makan malam tadi sebelum Amanda meneleponnya. "Kita bisa makan malam bersama, aku juga belum makan malam." Amanda kembali terdengar menghela napas. "Apa kau mau menemaniku makan malam, malam ini?" Ethan tak menyahut, ia masih berpikir. Beberapa helaan napas baru pria itu menjawab. Ia memutuskan akan mendatangi Amanda. Tak ada jam malam atau apa pun dalam penyelidikan. Semua sah dan wajar kalau itu mengenai kepentingan penyelidikan. "Baiklah, aku akan ke sana," jawab Ethan akhirnya. Amanda terdengar menghela napas lega. Ethan yakin kajau oerempuan itu sedang tersenyum sekarang. "Baiklah, sampai jumpa beberapa menit lagi kalau begitu." "Yeah," sahut Ethan menjauhkan ponsel dari telinga dan memutuskan sambungan telepon mereka. Ethan melemparkan ponsel ke tengah-tengah tempat tidur, kemudian melemparkan dirinya sendiri ke tempat paling disukainya di seluruh apartemennya itu. Ethan mengusap wajah, kadang ia menyesali pekerjaannya sebagai penegak hukum. Ia hampir tidak mempunyai waktu istirahat sama sekali, apalagi waktu untuk memanjakan diri. Seluruhnya tersita untuk pekerjaan. Namun semua rasa sesal dan lelah itu terbayar tuntas saat kasus yang ditanganinya berhasil ia selesaikan. Selama ini ia selalu berhasil menangani semua kasus kejahatan jalanan yang dilimpahkan padanya. Juga beberapa kasus penyelundupan besar. Senyum tipis terbit di bibir Ethan. Ia memang selalu menyebut semua kasus yang ditanganinya sebagai kasus kejahatan jalanan. Apakah itu kasus perampokan dan pencurian biasa, sampai kasus penyelundupan narkoba berskala internasional. Juga kasus pencucian uang dari seorang anggota kepolisian baru-baru ini. Ia selalu menikmati semua tugas yang diberikan padanya. Kecuali yang satu ini. Ethan mengerang kesal lagi, menghantamkan tangan kanannya yang terkenal ke udara. Ia tidak yakin akan dapat menangani kasusbya kali ini. Ia tidak terbiasa menyelidi sesuatu yang berdarah-darah. Ia lebih senang mencicipi minuman beralkohol dan sedikit serbuk putih yang mempunyai efek sangat menghanyutkan. Sama seperti para detektif atau polisi senior lainnya, Ethan juga menyukai mengkonsumsi alkohol. Namun hanya di saat-saat tertentu saja. Ia masih waras untuk tidak mabuk saat bertugas. Petugas kepolisian yang mabuk saat menjalankan tugas akan diberi sangsi pengambilan paksa lencana mereka alias diberhentikan. Ethan tidak akan mau melepaskan pekerjaan yang diimpikannya sejak ia kecil. Ethan kecil menang sangat mengagumi para perwira polisi. Mereka tidak pernah lelah membantu dan melindungi masyarakat. Salah satu kejadian yang masih diingatnya adalah seorang petugas yang selalu membantu anak-anak menyeberang jalan. Petugas itu selalu menghentikan kendaraan saat ada anak ataupun orang tua yang ingin menyeberang. Sungguh mulia bukan? Sekarang, petugas yang dikaguminya itu malah memberikan kasus pembunuhan tersulit yang pernah diterima divisi kepolisian mereka. Ethan menarik napas, mengembuskannya perlahan sebelum bangun dan berganti pakaian. Ia akan pergi ke kediaman keluarga Loraine. *** Ethan tak perlu mengetuk pintu. Seorang pelayan yang khusus bertugas berjaga di depan pintu sudah membukakan pintu untuknya begitu ia keluar dari mobil. Seperti hotel saja, pikirnya. Ethan menggeleng pelan, senyum tak kentara terbit di bibirnya. "Terima kasih," ucap pria itu saat melewati sang pelayan. Pelayan laki-laki yang Ethan perkirakan berusia lebih tua beberapa tahun darinya itu mengangguk tanpa senyum. Ethan mengangkat bahu tak peduli. Pria itu meneruskan langkah, ia telah terlambat beberapa menit. Di depan tangga menuju ke lantai dua Ethan bertemu Bibi Blaire. Perempuan paruh baya itu tersenyum lebar melihatnya. "Halo, Bibi, apa kabar?" sapa Ethan memeluk perempuan bertubuh besar itu. Bibi Blaire tampak lebih segar dari saat siang tadi mereka bertemu. "Halo, Ethan, Bibi senang melihatmu lagi malam ini," balas bibi Blaire. Tangan tuanya mengusap punggung lebar Ethan beberapa kali sebelum mengurai pelukan. "Seperti yang kau lihat, Bibi membaik. Kami mulai menerima keadaan ini." "Bagaimana dengan Amanda?" tanya Ethan. "Apakah Amanda juga membaik? Maksudku, apakah ia baik-baik saja?" Ethan menjilat bibir. "Tadi ia meneleponku, memintaku ke sini." Bibi Blaire mengangguk. "Bibi rasa dia juga sudah mulai bisa menerimanya. Cepat atau lambat ia harus." Ethan mengangguk, pria menghela napas. Apa yang dikatakan Bibi Blaire memang benar. Amanda harus bisa menerima semua ini cepat atau lambat. "Aku menemui Amanda dulu, Bi," pamit Ethan. "Iya." Bibi Blaire tersenyum. "Dia ada di kamarnya." Pria itu segera menaiki tangga setelah mendapatkan anggukan sekali lagi dari Bibi Blaire. Ethan menggeleng pelan begitu tiba di lantai dua. Kepalanya sedikit pening karena menaiki tangga yang berkelok. Mungkin itulah sebabnya Amanda lebih memilih naik-turun menggunakan lift. Bukan ingin seperti hotel atau perkantoran, tetapi ia tidak ingin pusing. Ethan mengangguk membalas sapaan beberapa orang petugas kepolisian yang masih berjaga. Kalau dihitung dengan jumlah petugas yang ditemuinya di bawah tadi, semua petugas tersisa lima orang. Mereka adalah para petugas yang ditugaskan untuk berjaga. Di depan kamar Simone Loraine juga masih dijaga, tempat itu adalah TKP, tak mungkin dibiarkan tanpa penjagaan. Entah di dalam kamar dijaga atau tidak, ia tidak memeriksanya. Ethan mengetuk pelan kamar Amanda. "Amanda, ini aku!" serunya. Terdengar suara langkah kaki tergesa. Beberapa detik kemudian pintu kamar terbuka, menampilkan Amanda dengan wajah cantiknya yang masih terlihat sembap. Perempuan itu memang terlihat lebih segar dari tadi siang, hanya bengkak di kelopak matanya saja yang tidak menghilang. Amanda juga tidak mengenakan riasan, tetapi tidak mengurangi kecantikannya. "Hai," sapa Ethan tersenyum. "Kau baik-baik saja kan?" tanyanya. Memang sedikit tidak lazim menanyakan keadaan seseorang sementara kau dapat melihat bagaimana kondisinya. Namun Ethan tetap menanyakannya, hanya untuk berbasa-basi sebelum mengarah ke pembicaraan penting mereka yang mungkin akan serius nanti. Amanda mengangguk lemah. "Aku sudah baikan," jawabnya lirih. Ethan mengangguk. Masuk ke kamar Amanda karena perempuan itu menarik tangannya. "Ada yang ingin aku katakan padamu," ucap Amanda. Tangannya bergerak menutup pintu dan menguncinya. Ethan menoleh, kernyitan bingung dan tidak enak muncul di dahinya. Kenapa Amanda harus menutup bahkan mengunci pintu? Apakah yang ingin dikatakannya benar-benar penting sampai-sampai perempuan itu memerlukan untuk mengunci pintu kamarnya. "Duduklah!" pinta Amanda. Ethan menurutinya. Duduk di salah satu sofa yang ada di kamar besar itu. Beberapa hidangan tampak di meja. Sepertinya Amanda tidak berbohong saat mengatakan kalau ia belum makan malam. Namun kalau dilihat-lihat hidangan-hidangan ini terlihat mewah untuk sekedar makan malam biasa. Maksud Ethan, hidangan yang tersaji di meja biasanya hanya disajikan di restoran mewah dan berbintang, bukan di dalam kamar seorang perempuan yang meminta ditemani makan malam. Ethan menggeleng mengusir prasangka buruk dalam kepalanya. Tidak mungkin Amanda mempersiapkan semua ini, ia pasti membutuhkan makanan mewah untuk mengalihkan pikiran dari kasus ini. Iya, benar. Pasti seperti itu. "Kau pasti bingung dengan menu makan malamnya kan?" tanya Amanda melihat kernyitan di dahi Ethan. Perempuan itu duduk pada sofa di seberang Ethan. "Aku sengaja meminta koki untuk memasakkannya untukku. Aku perlu pengalihan." Ethan mengangguk, ia dapat menerima alasan Amanda. Makanan enak dan mewah bisa menjadi salah satu solusi dalam pengalihan masalah. Apalagi masalah Amanda sangat berat, sampai-sampai melibatkan aparat kepolisian. "Makanlah dulu, setelah itu baru kita bicara." Ethan mengangguk lagi. Hidangan di depannya terlihat sangat menggugah selera, apalagi untuk perutnya yang lapar. Ia tidak sempat makan malam. Siang tadi pun ia hanya memakan sepotong pizza dan sekotak s**u sebagai pengganjal perut. Kasus kali ini membuatnya lupa untuk mengisi perut. Sama seperti Amanda. Tak sampai setengah jam, beberapa piring di meja sudah tampak kosong. Amanda menghabiskan makan malamnya. Perempuan itu terlihat sangat lahap tadi. Ethan yakin, Amanda sama sepertinya. Atau bahkan lebih buruk, tidak makan siang sama sekali. "Terima kasih mau menemani makan malamku," ucap Amanda setelah menyelesaikan makan malam mereka. Perempuan itu mengusap sudut bibirnya. "Sejak pagi aku kehilangan selera makan, kau tahu kan kenapa?" Ethan mengangguk. Jangankan Amanda yang merupakan putri korban, ia yang petugas saja juga tidak bernapsu untuk menyantap makanan. "Biar kutebak, kau hanya memakan bubur tadi pagi itu saja." Amanda mengangguk malu, tetapi itu memang kenyataannya. Ia tidak dapat menelan apa pun kalau mengingat tubuh kaku Ayahnya. "Sudah kubilang kau harus menjaga kesehatanmu kan?" "Aku tahu." Amanda mengangguk kacau. "Tapi kurasa kau pasti juga akan seperti itu kalau berada di posisiku." Ethan menghela napas panjang kemudian mengangguk. Kata-kata Amanda ada benarnya. Setiap orang yang mengalami musibah sepertinya pasti lupa akan cara mengisi perut. Apalagi Amanda perempuan yang sangat manja kepada sang Ayah. Kehilangan sosok yang sangat penting dalam hidupnya tentu membuatnya sedikit goyah. "Maafkan aku," ucap Ethan. Pria itu mengusap wajahnya. "Tidak apa-apa, Ethan." Amanda menggeleng. Perempuan itu berdiri, berjalan menuju walk-in-closet. Tak lama ia sudah kembali. Tampak sesuatu berwarna hijau di tangannya. Amanda menunjukkan benda hijau itu pada Ethan. "Ini yang ingin kutunjukkan padamu." Ethan mengernyit. Selembar pita berwarna hijau?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN