Bab 1
Pagi kali ini sama saja seperti pagi-pagi sebelumnya. Yang membedakan hanyalah pria itu sudah harus berada di sebuah lokasi pembunuhan. Amanda Loraine, sahabatnya menelepon. Mengatakan kalau Simon Loraine, Ayahnya, tewas dibunuh. Ethan yang saat ditelepon Amanda masih bergelut dengan dunia mimpi sontak terbangun. Kantuknya yang tadi masih menggelayut langsung menguap. Dan akhirnya, di sinilah Ethan berada. Di dalam kamar Simon Loraine bersama beberapa petugas dari kepolisian kota New York lainnya.
Simon Loraine, pengusaha yang merupakan salah satu orang terkaya di Amerika itu ditemukan tewas oleh Amanda Loraine, putrinya, pagi ini. Sebuah peluru bersarang di tengah-tengah dahinya. Amanda saat ini masih syok, masih belum bisa dimintai keterangan lebih lanjut. Sebagai seorang sahabat, Ethan berusaha menghibur Amanda dan berada di sisi perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu.
"Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Ethan pada Bibi Blaire, pengasuh Amanda. Mungkin terdengar sedikit aneh, Amanda yang sudah dewasa masih saja memiliki seorang pengasuh, tetapi kenyataannya memang seperti itu. Amanda sangat menyayangi pengasuhnya, sehingga sampai sekarang Bibi Blaire masih bersamanya.
"Masih belum tenang, Ethan." Bibi Blaire terlihat sangat sedih. Perempuan setengah baya itu sudah menganggap Amanda sebagai putrinya sendiri. Apa pun yang terjadi pada Amanda juga berdampak padanya. "Ia masih sedikit syok dan ketakutan."
Ethan mengembuskan napas melalui mulut. Pria itu mengusap wajah kasar. Kejadian ini memang sangat mengejutkan semua orang. Simon Loraine selain merupakan salah satu orang terkaya di negara mereka, juga sangat berpengaruh dalam dunia bisnis. Simon juga dikenal sebagai pria yang ramah dan sangat dekat dengan putri semata wayangnya. Jadi, wajar saja kalau Amanda syok dan merasa sangat kehilangan.
"Apa aku boleh menemuinya?" tanya Ethan lagi. Ia agak takut kalau Amanda kenapa-kenapa. Sebagai sahabat perempuan itu sedikit banyak Ethan juga peduli dengan keadaan Amanda sekarang.
Persahabatan mereka sudah terjalin sejak beberapa tahun yang lalu. Saat Amanda masih duduk di bangku kuliah. Ethan yang sedang bertugas di jalanan mendapati Amanda yang sedang dirampok. Ethan berhasil mengambil kembali barang milik Amanda sekaligus menangkap si perampok. Sejak saat itu mereka mulai akrab dan menjadi sahabat sampai sekarang.
"Tentu saja." Bibi Blaire mengangguk. "Kurasa dia akan senang melihatmu masih di sini."
Ethan mengangguk pelan. Segera melangkah menuju kamar Amanda di lantai dua. Ethan harus menaiki lift untuk sampai ke lantai dua. Pria itu menggelengkan kepala, ia tidak mau menjadi orang kaya kalau ingin ke kamar saja harus naik lift seperti di kantornya saja. Lift berhenti tepat di depan tangga di lantai dua. Ethan menyeret kakinya menuju kamar Amanda. Beberapa petugas polisi tampak masih berkeliaran di lantai ini. Mereka masih menyisir seisi mansion, kalau-kalau ada bukti yang bisa membuat mereka menemukan si pelaku dengan cepat.
Beberapa petugas itu mengangguk hormat padanya ketika mereka berpapasan. Ethan membalas anggukan itu sambil lalu. Pria itu mengetuk pintu kamar Amanda sambil memanggil namanya.
"Amanda! Ini aku, Ethan. Boleh aku masuk?" tanya Ethan dengan suara keras. Meskipun mereka berteman dekat, Ethan tidak mau masuk sembarangan. Mereka sudah dewasa, dan Ethan tidak mau ada yang berpikiran yang tidak-tidak tentang mereka.
"Masuklah!"
Ethan membuka pintu kamar Amanda perlahan setelah mendengar seruan serak itu. Amanda langsung berlari memeluknya begitu Ethan sudah berada di dalam kamar perempuan itu. Ethan menatap pintu kamar yang terbuka, ia memang sengaja tidak menutupnya tadi. Sekali lagi, karena Ethan tidak ingin rekan-rekan kerjanya di kepolisian salah paham.
Ethan membiarkan Amanda menangis di dadanya. Kedua tangannya terangkat membingkai pipi Amanda yang penuh air mata. Mata Amanda sembab, hidung mancungnya memerah. Perempuan itu memejamkan mata begitu Ethan mengusap air matanya menggunakan ibu jari.
"Maaf, aku baru bisa menemuimu sekarang," ucap Ethan lirih. "Tadi aku berada di kamar Ayahmu."
Mendengar Ethan menyebut kata Ayah, air mata Amanda kembali mengalir. Ia yang sangat dekat dengan Ayahnya sangat terpukul dengan kejadian ini. Amanda merasa separuh jiwanya telah hilang bersama kepergian sang Ayah.
"Aku rasanya ingin mati," ucap Amanda di sela isak. "Ayahku, Ethan..."
Ethan mengangguk. "Aku mengerti," bisiknya kembali mengusap air mata Amanda.
"Aku mohon jangan tinggalkan aku," pinta Amanda. "Saat ini aku sangat membutuhkanmu."
"Aku tidak akan kemana-mana." Ethan menggeleng pelan menenangkan Amanda. Tubuh perempuan itu bergetar. "Aku dan para petugas akan tetap berjaga di sini."
Amanda mengangguk, memeluk Ethan dan membenamkan wajahnya di d**a pria itu.
"Apakah kau sudah sarapan?" tanya Ethan perhatian. Sejauh yang Ethan tahu, Amanda memiliki kebiasaan yang buruk. Perempuan itu akan melupakan makan kalau ia sedang sibuk. Dan Ethan yakin, sekarang Amanda sedang menjalankan kebiasaan buruknya itu. Kehilangan Ayahnya pasti membuat Amanda melupakan untuk mengisi perutnya.
Amanda menggeleng. Membiarkan Ethan mendudukkannya ke tempat tidur. "Aku tidak lapar," jawabnya masih terisak.
Ethan membenarkan selimut Amanda sampai sebatas pinggang perempuan itu. "Kau harus sarapan. Aku tidak mau kalau kau nanti sakit."
Sekali lagi Amanda menggeleng. Ia sungguh-sungguh tidak berselera sekarang. "Maaf, Ethan. Tapi aku tidak bisa..."
Ethan menatap Amanda lekat. Benarkan dugaannya? Amanda pasti melupakan sarapannya.
"Maksudku aku benar-benar tidak bisa sarapan sekarang." Amanda kembali menggeleng. Kedua tangannya mengibas kacau. "Aku mohon jangan memaksaku."
Ethan mengembuskan napas. Mungkin ia salah memaksa Amanda untuk makan disaat perempuan itu sedang berduka. Tetapi Ethan juga bersungguh-sungguh saat mengatakan ia tidak ingin Amanda sakit. Ia sungguh peduli dengan Amanda. Sebagai sahabat tentu saja. Ethan tidak tertarik untuk hubungan yang lebih dekat selain sahabat. Bukan karena ia mempunyai perilaku seksual menyimpang. Ia sangat normal, hanya saja sampai saat ini belum ada satu perempuan pun yang bisa membuatnya tertarik.
Ethan adalah pria yang dingin kalau menyangkut wanita. Paras tampan didukung bentuk tubuh yang proporsional dengan otot-otot yang menonjol membuat Ethan tidak akan kesulitan mendapatkan perempuan mana pun. Tetapi nyatanya sampai sekarang diusianya yang sudah menginjak angka dua puluh delapan tahun, Ethan masih belum memiliki seorang pendamping. Jangankan memiliki seorang istri, kekasih saja Ethan tidak punya. Saat ini Amanda adalah satu-satunya perempuan yang dekat dengannya. Dekat dalam artian sahabat.
Ethan mengangkat kedua tangan setinggi kepala pertanda menyerah. Bibir pria itu mengulas senyum.
"Baiklah, aku tidak akan memaksamu lagi kalau begitu," ucapnya. "Tetapi kau harus meminum s**u atau apa pun untuk mengganjal perutmu."
Amanda mengangguk, mengakibatkan bulir-bulir air matanya kembali merembes.
Ethan dengan sabar kembali mengusap air mata itu. Kemudian beralih mengusap pucuk kepala bersurai pirang kecokelatan Amanda.
"Aku harus kembali ke bawah. Rekan-rekanku masih berada di dalam kamar Tuan Simon untuk mencari bukti-bukti," sambung Ethan.
Amanda mengangguk lagi.
"Berjanjilah satu hal padaku, Amanda."
"Yeah?"
"Tetaplah sehat!" pinta Ethan sungguh-sungguh.
Amanda mengangguk ragu. "Akan kucoba," jawabnya.
Ethan menghela napas. Setidaknya Amanda telah berjanji untuk baik-baik saja. Ethan sedikit tenang meninggalkannya.
"Aku ke bawah sekarang."
Ethan berdiri dan meninggalkan Amanda di kamarnya. Ethan menutup pintu kamar Amanda. Segera turun ke bawah setelah mendapat panggilan dari atasannya. Ethan kembali menggunakan lift agar cepat mencapai lantai dasar. Pria itu setengah berlari begitu keluar dari lift menuju tempat di mana atasannya berada, yaitu kamar tidur Simon.
Tubuh tak bernyawa Simon sudah dipindahkan ke meja otopsi dan sekarang sedang diotopsi oleh koroner kepolisian kota New York. Ethan menghampiri atasannya yang terlihat menatap sekeliling dengan tatapan menyelidik.
"Anda memanggilku, Pak?" tanya Ethan begitu sudah berada di samping Pak Kepala Cooper.
Pria kulit hitam itu menoleh, kemudian mengangguk menyadari Ethan yang bertanya
"Temui aku nanti di kantor setelah makan siang," ucapnya. "Ada yang ingin aku bicarakan. Tentang kasus ini."
Ethan menghela napas panjang. Perasaannya tiba-tiba saja tidak enak mendengar kata-kata dari Pak Cooper. Apakah Pak Cooper akan memberikan kasus ini padanya? Kalau iya, tentu saja ia akan menolak dengan keras. Ia tak ingin menyelidiki kasus pembunuhan. Apalagi pembunuhan orang penting dan tanpa bukti.
Pak Kepala Cooper meninggalkan lokasi kejadian setelah berkata seperti itu. Membuat perasaan Ethan semakin tidak enak saja. Pria itu mengusap wajahnya sambil mengamati semua barang-barang yang berada di kamar ini. Tak terlihat ada satu kejanggalan pun. Semua barang berada tetap pada tempatnya. Dan itu membuat kasus ini semakin terlihat rumit. Tidak adanya jejak si pembunuh membuat Ethan yakin kalau yang telah menghabisi nyawa Ayah sahabatnya adalah seorang pembunuh profesional.
Sebagai seorang pengusaha ternama dan salah satu orang terkaya di negara mereka, tentu tak sedikit orang yang menginginkan kematian Simon Loraine. Para pesaing bisnis Simon Loraine juga banyak yang menginginkan kematian pria berusia enam puluh tahun itu. Yang menjadi teka-teki adalah siapa pembunuhnya. Padahal di dalam kamar Simone dipasang kamera pengintai sebanyak empat buah. Tetapi tak satu pun dari kamera itu yang merekam jejak si pembunuh. Rekaman terakhir menunjukkan Amanda yang memasuki kamar Ayahnya untuk membangunkan sang Ayah yang biasanya tak pernah terlambat bangun. Kemudian terdengar jeritan Amanda dan seorang pelayan masuk. Hanya itu. Tidak ada rekaman lain lagi yang bisa menunjukkan identitas si pembunuh.
Rekaman sebelum itu pun tak terlihat ada keanehan. Simon Loraine pergi tidur seperti jam-jam biasanya. Setelah itu kamera tidak menunjukkan apa-apa. Hanya Simon yang tertidur saja. Lalu bagaimana caranya sampai peluru bisa bersarang di dahi Simon Loraine? Masih belum ada yang tahu.
***
Ethan memasuki kantor tanpa semangat. Ia akan menemui Kepala Polisi Cooper seperti permintaan pria itu tadi. Sungguh ia tidak ingin menemui atasannya itu, ia tidak ingin apa yang disangkanya benar.
Ethan mengetuk pintu ruangan Pak Kepala Cooper. Masuk begitu Pak Cooper memintanya untuk masuk.
"Duduklah!" pinta Pak Cooper tanpa melihat Ethan. Tangan dan matanya masih sibuk pada lembaran-lembaran kasus yang belum terpecahkan.
Ethan duduk dengan pelan dan hati-hati. Seolah takut kalau kursi itu akan meledak kalau didudukinya.
Pak Kepala Cooper menyodorkan sebuah map kecokelatan pada Ethan, yang membuat pria itu mengerang lirih.
"Berkas pembunuhan Simon Loraine."
Ethan mengusap wajah kasar. Sepertinya dugaannya benar. Pak Kepala Cooper ingin ia yang menangani kasus kematian Simon Loraine.
"Aku ingin kau...."
"Aku menolak!" ucap Ethan tegas. Pria itu menjauhkan map dari hadapannya. "Aku tidak suka dengan kasus pembunuhan."
Pak Kepala Cooper menaikkan sebelah alisnya. Ethan Wolf adalah salah satu dari beberapa detektif hebat yang dimiliki kepolisian kota New York. Semua kasus yang ditanganinya mampu diselesaikan pria itu dengan baik dan tanpa memakan waktu lama. Mulai dari kasus ringan sampai kasus penyelundupan narkoba. Dari semua kasus-kasus yang ditanganinya itu, memang ia tidak pernah memberikan kasus pembunuhan kepada Ethan. Karena tidak ada pembunuhan penting yang terjadi, biasanya hanya pembunuhan orang-orang dari kalangan biasa. Baru kali ini kesatuannya menghadapi kasus pembunuhan orang ternama.
"Aku tidak pernah menangani kasus pembunuhan sebelumnya."
"Alasan penolakan yang tidak masuk akal." Pak Kepala Cooper menumpukan siku di mejanya dan menyatukan jari-jari tangannya. "Kau memiliki akses tak terbatas ke rumah itu. Kedekatanmu dengan putri korban...."
"Kami hanya bersahabat, Pak!" potong Ethan menyangkal apa pun yang akan dikatakan atasannya. "Tidak lebih. Dan itu yang membuatku menolak untuk menangani kasus ini. Aku tidak ingin Amanda semakin tertekan."
"Justru karena itu harus kau yang menangani kasus ini." Pak Kepala Cooper tetap bersikeras. "Nona Loraine adalah satu-satunya saksi. Ia yang menemukan Ayahnya tewas. Kita bisa meminta keterangan padanya lebih lanjut."
"Tapi tidak sekarang." Ethan mengerang. "Amanda masih tertekan. Ia masih terlihat syok dan ketakutan."
"Dan kau sebagai sahabatnya seharusnya berada di sampingnya untuk menguatkan. Benarkan?"
Ethan mengangguk lelah. Tentang persahabatannya dengan Amanda, tidak semua orang mengetahuinya. Hanya rekan-rekan kerja dan orang-orang terdekat Amanda saja yang tahu. Awalnya mereka mengira hubungannya dengan Amanda lebih dari sekedar teman. Mungkin karena seringnya Amanda mengirimkan paket-paket berisi hadiah ataupun hanya sekedar ucapan selamat ketika ia berhasil menyelesaikan suatu kasus. Tetapi Ethan meyakinkan mereka, kalau ia dan Amanda hanya bersahabat. Amanda pernah mengajak kekasihnya ke kantor Ethan dan mengajaknya makan siang bersama.
"Seharusnya seperti itu," jawab Ethan lirih. Tetapi masih bisa didengar oleh atasannya.
"Memang seharusnya seperti itu." Pak Kepala Cooper mengangguk. Meletakkan dagu pada jari-jarinya yang menyatu membentuk piramida dengan atap datar. "Kau memang harus berada di sampingnya dan menanyakan apa saja yang dilihatnya saat ia membuka pintu kamar Ayahnya. Mungkin saja ada hal yang mencurigakan yang sempat dilihatnya sebelumnya."
Ethan mengembuskan napas lelah. Seharusnya ia memang berada di sisi Amanda, tetapi untuk menguatkan perempuan itu, bukan untuk bertanya tentang kematian Ayahnya.
"Kasus pembunuhan Simon Loraine merupakan kasus yang sangat penting, Ethan. Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja. Jujur, aku merasa terhormat kasus ini dilimpahkan pada kesatuan kita."
"Dan aku tetap menolak untuk menangani kasus ini!" Ethan meluruskan punggung. Duduknya yang tadi bersender dan terlihat santai sekarang menjadi tegak. "Kenapa tidak kau berikan saja kasus ini kepada Bratt dan Hans, mereka adalah detektif khusus pembunuhan."
"Mereka sedang ada kasus...."
"Dan kutebak tidak sepenting kasus yang sekarang kau ingin aku yang menanganinya."
Pak Kepala Cooper mengangguk lagi.
"Kalau begitu kau bisa menyuruh yang lain. Siapa saja asal bukan aku." Ethan menggeleng. Kedua tangannya mengibas kacau.
"Tidak bisa." Pak Kepala Cooper tetap dengan keinginannya. "Hanya kau yang bebas tugas."
Ethan kembali mengerang, tangannya terkepal di meja Pak Cooper. Yang benar saja, ia detektif yang menangani kasus kriminal seperti penyelundupan dan sebagainya yang lebih mengutamakan tenaga daripada otak. Ethan yakin ia tidak akan bisa menangani kasus ini. Yang dilihat dari segi mana pun bukan kasus yang mudah.