"Bukalah!" perintah Sam. "Kuharap kau tidak terkejut dengan hasilnya sama sepertiku. Karena tidak ada apa-apa di pita itu."
Mata karamel Ethan melebar. Apa? tanyanya dalam hati. Tidak mungkin seperti itu kan? Amanda mendapatkan pita itu di samping tubuh Ayahnya yang sudah tak bernyawa. Pita itu pasti ada hubungannya dengan si pembunuh. Sangat mustahil kalau tidak ada apa-apa di sana.
.
.
.
.
.
"Apa maksudmu?" tanya Ethan. Alis pemuda itu berkerut. Selama lebih dari tiga tahun ia bekerja sama dengan Sam, baru kali ini Ethan meragukan analisa forensik perempuan itu. "Tidak mungkin!" Ethan menggeleng.
Sam mengangkat bahu acuh. "Terserah kau kalau tak percaya padaku," sahutnya. "Aku tidak menyalahkanmu atas itu."
"Tidak, bukan seperti itu." Ethan mengerang. Ia merasa tidak enak dengan perkataan Sam. Seolah ia tidak menghargai apa yang sudah dilakukan perempuan itu padanya, padahal Sam sudah membantunya. "Aku sangat mempercayaimu, Sam. Selam ini analisismu yang selalu membantuku dan aku sangat berterima kasih akan hal itu. Tapi rasanya sangat tidak mungkin kalau tidak ada apa-apa di pita itu." Ethan mengusap wajah. "Aku, mendapatkan pita itu dari Amanda," aku Ethan jujur. Ia tidak ingin berbohong lagi pada Sam. Ia sangat memerlukan tempat berbagi sekarang. "Amanda menemukannya di samping mayat Ayahnya."
Sam mengangguk paham. Ia sudah menduganya. Tidak mungkin Ethan memintanya memeriksa seutas pita kalau pria itu mendapatkannya di jalanan. Dugaannya benar kan? Pita itu ada kaitannya dengan kematian Simon Loraine. Yang sayangnya bukan barang bukti yang berguna, karena memang tidak ada apa-apa di pita berwarna hijau itu. Atau memang pembunuh Simon Loraine sengaja meninggalkan pita sebagai jejak atau pertanda lain. Namun bisa juga sang pembunuh ingin meninggalkan pesan mengejek kepada pihak kepolisian yang menangani kasusnya.
"Sidik jari Amanda pun tidak ada?" tanya Ethan lagi setelah keheningan menguasai mereka selama beberapa menit.
Sam menggeleng. "Tidak ada," jawabnya. "Pita itu sesuatu yang dapat menghilangkan sidik jari atau apa pun yang melekat padanya dengan sendirinya hanya dalam beberapa detik saja."
Ethan tercengang mendengar penjelasan Sam. Berarti pembunuh yang mereka hadapi benar-benar seorang pembunuh profesional yang memiliki alat canggih dan lebih maju dari kepolisian. Ethan mengembuskan napas lelah. Pria itu menyandarkan punggung ke belakang. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Semangatnya yang tadinya berkobar kembali surut seketika.
"Tetapi kurasa pita itu tetap ada hubungannya dengan pembunuh kita, Ethan."
Ethan kembali menegakkan punggung mendengar perkataan Sam. Perempuan itu mengatakan semua itu dengan mimik serius. Begitu juga dengan suaranya, terdengar sangt yakin. Well, Ethan tidak pernah meragukan perkataan seorang perempuan. Insting mereka sangat kuat. Terlebih lagi perempuan yang bekerja sebagai salah satu ahli forensik di kepolisian.
"Menurutmu begitu?" tanya Ethan meyakinkan.
Sam mengangguk. Perempuan itu mengetuk-ngetuk pelipisnya seolah berpikir.
"Sebaiknya kau simpan baik-baik pita ini." Sam menunjuk amplop cokelat di depan Ethan. "Siapa tahu kau membutuhkannya nanti suatu saat."
Ethan menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Pria itu mengangguk, tangannya bergerak mengambil amplop. Membolak-balik sebentar kemudian meletakkan benda itu kembali ke atas meja.
"Berusahalah, Ethan. Kau pasti bisa!" Sam memberi semangat. "Seperti biasa." Perempuan itu tersenyum manis.
Ethan mengusap wajah. "Aku tidak tahu, Sam." Pria itu menggeleng pelan. "Kita punya memiliki bukti apa pun untuk menangkap si pembunuh. Tidak ada jejak sama sekali." Ethan mengangkat kedua tangan setinggi kepala seolah ia menyerah.
"Hei, kau tak boleh seperti itu!" tegur Sam tak suka. "Kau harus semangat. Aku yakin kau pasti bisa. Kami semua mendukungmu."
Ethan mengangguk. "Terima kasih, Sam," ucapnya. "Tetapi kau tahu, aku tidak memiliki pengalaman dalam menghadapi kasus semacam ini. Kurasa menghadapi gembong narkotika kelas kakap lebih baik daripada harus menghadapi pembunuh tak kasat mata."
Sam tertawa kecil mendengar istilah yang dipakai Ethan. Seolah pria itu menghadapi hantu saja.
"Jangan mengada-ada. Aku yakin suatu saat pasti kita menemukan bukti, walau kurasa bukan sekarang." Sam menghela napas. "Tapi aku yakin kita pasti mendapatkannya."
Ethan mengangguk. Namun dilihat dari caranya mengangguk, pria itu masih ragu.
"Aku harap begitu, Sam," ucap Ethan kembali mengusap wajah. "Aku tidak ingin mengurusi kasus ini sampai tua."
Sam tertawa renyah. Perkataan Ethan terdengar sangat lucu di telinganya. Seperti sebuah lawakan dari komedian profesional. Atau dirinya saja yang keterlaluan. Buktinya Ethan tidak ikut tertawa. Pria itu datar menatapnya.
"Maafkan aku," ucap Sam setelah tawanya reda, perempuan itu berdehem. "Aku hanya ingin menghiburmu agar kau tidak tegang dan kembali bersemangat."
Ethan mengangguk. "Sekali lagi terima kasih, Sam," ucapnya sambil berdiri. Ethan mengeluarkan dompet, mengambil beberapa dollar dari dompetnya dan meletakkannya di meja. "Aku duluan!" sambungnya, mengambil amplop kemudian berbalik dan menjauh.
Ethan tidak tahu apa yang dirasakannya selain kesal. Ia yang tadi sangat yakin akan dapat menangkap pembunuh Simon Loraine sekarang kembali ragu. Pria itu melemparkan amplop begitu saja ke jok belakang. Ia bahkan tidak tahu harus ke mana sekarang. Alhasil, Ethan hanya memutari sekitaran Central Park sampai tiba jam makan siang.
Ethan menghentikan mobil di depan sebuah restoran cepat saji. Tepat sedetik sebelum pria itu keluar dari dalam mobil ponselnya berbunyi. Pak Kepala Cooper meneleponnya. Ethan mengerang, dengan malas pria itu menggulir tombol hijau ke atas.
"Halo?" sapa Ethan begitu telepon mereka tersambung.
"Ethan, kau berada di mana sekarang?"
Ethan menatap sekeliling sebelum menjawab pertanyaan dari atasannya. "Aku akan makan siang," jawabnya.
"Datanglah ke kantor setelah itu, ada yang ingin kutanyakan padamu!"
Ethan mengerang kesal tanpa suara mendengar perintah itu. Firasatnya Pak Kepala Cooper akan menanyakan perihal kemajuan kasus yang ditanganinya. Atau lebih mudahnya soal pita hijau itu. Sepertinya Sam sisah mengatakan kepada Pak Cooper tentang benda yang membuat Ethan kesal.
"Ya, baiklah," jawab Ethan sesopan mungkin. Padahal di dalam hatinya pria itu ingin mengumpat. Harinya sudah buruk, ia harap Pak Kepala Cooper tidak membuatnya bertambah buruk lagi.
***
Ethan tiba di kantor dua jam setelah Pak Kepala Cooper mengakhiri percakapan mereka di telepon tadi. Pria itu langsung menuju kantor atasannya. Wajah tampannya yang tampak kuyu menyiratkan kalau ia tidak sedang dalam keadaan baik. Tidak ada yang berani menegurnya kalau sudah melihatnya seperti itu. Semua rekan kerjanya sudah tahu bagaimana sifatnya.
Ethan mengetuk pintu berwarna cokelat yang terbuat dari kayu mahoni itu sebelum membukanya. Ia melongokkan kepala ke dalam.
"Anda memanggilku, Pak?" tanya Ethan sopan.
Pria kulit hitam yang sedang membaca entah apa itu mengangkat kepala.
"Oh, Ethan, masuk lah!" Pak Kepala Cooper menggerakkan tangan kanannya mempersilakan pria itu masuk.
Ethan mengangguk, membuka pintu lebih lebar. Kemudian masuk dan duduk di kursi yang tersedia di depan meja Pak Kepala Cooper.
"Apa yang ingin Anda bicarakan, Pak?" tanya Ethan langsung, tanpa berbasa-basi seperti menanyakan kabar atau apalah itu lebih dulu. "Apakah itu penting?"
Pak Kepala Cooper menarik napas. Anak buahnya yang satu ini memang tidak berubah. Ia sudah mengenal Ethan sejak pria ini masih kecil dan Ethan tidak pernah berubah. Ia tidak suka berbasa-basi dan akan langsung ke intinya.
"Kurasa iya karena ini berhubungan dengan kasus yang kau tangani," jawab Pak Cooper.
Ethan mengerang tanpa suara. Sudah ia duga. "Baiklah." Ethan mengangguk terpaksa. "Tapi asal Anda tahu saja, tidak ada kemajuan dalam kasus itu. Lagi pula Anda baru memberikan kasus ini padaku kemarin. Kalau Anda pikir aku sudah mendapatkan orang yang sudah membunuh Simon Loraine, Anda sangat salah." Ethan mengangkat kedua tangan setinggi kepalanya. Pria itu menggeleng pelan.
Pak Kepala Cooper mengangguk. Ia paham. Ia hanya ingin menanyakan tentang perkembangan kasus ini yang sudah dijawab Ethan lebih dulu sebelum ia bertanya tadi.
"Maafkan aku, Pak. Aku tidak bermaksud mendahului Anda." Ethan mengembuskan napas pelan melalui mulut. "Aku hanya merasa sedikit kesal hari ini." Pria itu mengusap wajah. "Yang kuharapkan tidak seperti yang kuharapkan. Aku menghadapi jalan buntu di kasus ini," aku Ethan jujur. Pria itu menundukkan kepala, menggunakan kedua tangannya sebagai penopang.
Pak Kepala Cooper tersenyum. Detektif yang selalu berurusan dengan masalah di jalanan dan dunia malam memang sedikit lebih keras dan tidak sabaran. Ethan terbiasa menghadapi para pengedar dan gembong narkotika, bukan pembunuh yang tidak meninggalkan jejak apa-apa.
"Bersabarlah." Pak Kepala Cooper berdiri, menghampiri Ethan dan menepuk bahu pria itu. "Kasus pembunuhan tidak semudah dan secepat kasus penyelundupan. Kau akan membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikannya. Yakinlah kau pasti bisa, Ethan."
Ethan mengangkat kepala, menatap Pak Kepala Cooper tepat di mata tuanya. Hanya sesaat, kemudian pria itu lirih lagi.
"Aku tidak yakin, Pak," ucap Ethan tanpa semangat.
"Hei, di mana semangatmu?" tanya pak Cooper. "Kau tidak boleh menyerah. Di mana Ethan yang kukenal yang selalu bersemangat dan pantang menyerah?"
Ethan kembali mengangkat kepala, tetapi tidak menatap Pak Cooper. Pria itu langsung mendongak. Hanya sedetik, kemudian kepalanya kembali tertunduk.
"Aku tidak tahu, Pak." Ethan menggeleng. "Jujur saja, aku tidak memiliki pengalaman dengan kasus seperti ini dan ini yang membuatku kurang bersemangat."
"Kau pasti akan terbiasa nanti." Pak Kepala Cooper kembali menepuk bahu Ethan.
Pria berambut cokelat gelap itu mengangguk. "Aku harap begitu," jawabnya.
"Kau tahu kenapa aku memberikan kasus ini kepadamu?" tanya Pak Kepala Cooper.
Ethan tak menyahut, ia hanya menggeleng sebagai respons.
"Karena ketajaman instingmu." Pak Kepala Cooper bersedekah menatap Ethan. Pria itu duduk di sisi mejanya. "Aku berharap ketajamanmu itu berguna di kasus ini."
Ethan mengangkat bahu. "Aku tidak tahu," sahutnya. "Sampai sekarang aku masih belum menemukan satu bukti pun yang bisa membawa kita lebih dekat kepada si pembunuh."
Pak Kepala Cooper tertawa kecil. Tangannya bergerak menepuk bahu Ethan.
"Ingat apa yang kukatakan tadi?" tanya pria itu. "Kau harus bersabar. Kasus pembunuhan tidak seperti kasus narkoba yang selalu kau tangani, Nak. Kedua kasus itu berbeda. Di kasus pembunuhan kau dituntut untuk lebih jeli dan lebih bersabar lagi."
"Apakah menurutmu aku bisa, Pak?" tanya Ethan. "Kau sangat mengenalku dan tahu kalau aku tidak sesabar itu."
"Iya, aku tahu itu." Pak Cooper mengangguk. "Kau memang tidak sabaran, dan sifat itu yang sering membuatmu terlibat dalam masalah." Pria tua itu tersenyum mengingat betapa seringnya dulu ia diminta bantuan Ibu panti di mana Ethan tinggal untuk mengurus dan menjemput Ethan yang terlibat perkelahian di sekolahnya. "Tapi aku juga yakin, dan keyakinanku seratus persen, kalau kau pasti akan dapat mengungkap kasus ini."
Ethan memencet pangkal hidungnya, kemudian mengangguk. "Semoga saja," sahutnya.
Pak Kepala Cooper berdiri, kembali ke kursinya. "Nanti malam datanglah ke rumah, kita makan malam bersama. Kau sudah lama tidak mampir," ucapnya menatap Ethan dengan tatapan penuh kasih sayang seorang Ayah.
Ethan mengusap wajah, kemudian mengangguk. "Tentu saja," jawabnya sambil tersenyum. Ia memang sudah lumayan lama tidak mengunjungi dan menyapa keluarga Cooper. Bukan karena ia lupa pada keluarga yang sudah membesarkan dan mendukungnya, ia hanya terlalu sibuk.
"Ibumu memasak makanan kesukaanmu malam ini."
Dada Ethan menghangat mendengarnya. Ibu yang dimaksud Pak Cooper adalah istri pria itu. Belinda Cooper sangat baik dan penyayang, ia sudah menganggap perempuan itu seperti Ibunya sendiri.
"Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu juga, Pak," ucap Ethan setelah diam beberapa helaan napas.
"Apa itu?" tanya Pak Kepala Cooper. Wajah tuanya tampak serius melihat keseriusan yang terpancar dari nada suara Ethan.
"Amanda memberikan sehelai pita berwarna hijau padaku, katanya ia menemukannya di dekat tubuh mendiang Ayahnya pagi itu." Jeda. Ethan menghela napas.
Pak Kepala Cooper juga tidak ingin menyela. Pria itu diam menunggu Ethan melanjutkan perkataannya.
"Kupikir itu adalah bukti pertama yang kita dapat." Jeda lagi. Ethan mengusap wajah. "Aku memberikannya pada Sam untuk dianalisa, tetapi hasilnya sangat mengecewakan." Ethan menggeleng, tawa samar menghambur dari mulutnya. "Aku kira pita itu bisa membawa kita mendekati si pembunuh ternyata tidak. Kita masih mengejar pembunuh tak kasat mata."
Pak Kepala Cooper menarik napas panjang. Ia sangat antusias mendengarkan cerita Ethan sampai lupa untuk bernapas. Sekarang ia tahu kenapa Ethan kelihatan sangat murung dan tidak bersemangat hari ini. Pria itu memulai harinya dengan tidak baik.
"Kita kembali memulai semuanya dari awal," sambung Ethan. "Aku akan memulai penyelidikan besok..."
"Tidak, jangan!" potong pak Cooper cepat. "Besok Simon Loraine dimakamkan. Kurasa lebih baik kau mendampingi putrinya saja dulu. Amanda Loraine adalah teman baikmu bukan?"
Ethan mengangguk.
"Mulailah penyelidikan setelah upacara pemakaman. Itu adalah waktu yang tepat," ucap pak Kepala Cooper.
Ethan kembali mengangguk. "Baiklah," ucapnya sambil berdiri. "Kurasa aku akan kembali ke apartemen saja. Tidak ada lagi yang ingin kau katakan bukan?"
Pak Kepala Cooper mengangguk. "Iya," jawabnya. "Hanya itu saja."
"Kalau begitu aku permisi dulu." Ethan berbalik tanpa menunggu atasannya mengangguk.
"Jangan lupa untuk datang nanti malam," ucap Pak Cooper mengingatkan. "Kami menunggumu!"
Ethan tersenyum. "Tentu saja, Ayah!" jawabnya kemudian keluar.
Ethan tidak menyempatkan diri untuk menengok ruangannya. Pria itu langsung menuju mobilnya begitu keluar dari ruangan atasan sekaligus Ayah angkatnya itu. Ia tidak berbohong saat mengatakan akan kembali ke apartemennya. Ia ingin beristirahat dan mengumpulkan tenaga untuk kembali sibuk beberapa hari ke depan.