Sudah hampir satu bulan berlalu, Athar tidak bisa melupakan Ayara. Lucu bukan? Padahal Ayara hanya orang asing yang tiba-tiba membayar tagihan karena Athar tidak memiliki uang cash. Siapa Ayara? Kenapa Athar tertarik dengannya padahal tidak melihat wajahnya terlalu jelas.
Athar mengacak rambutnya frustasi. Berkali-kali ini datang ke cafe tanpa rasa, tapi tidak sekalipun Athar bertemu dengan Ayara. Aldi seakan bungkam dan tidak ingin memberikan informasi detail tentang Ayara. Namanya cafe tanpa rasa, tapi Athar keluar dari sana malah membawa rasa yang aneh. Akhirnya Athar mencari informasi sendiri mengenai Ayara. Semakin dalam informasi yang dia punya, semakin besar rasa ketertarikan itu. Tapi sayangnya ada satu hal yang membuat Athar galau luar biasa.
"Kamu kenapa, Bang?" Enver merasa aneh dengan perubahan Athar belakangan ini. Pokoknya aneh, bahkan Enver tidak dekat-dekat dengan Athar.
"Pulang sana!"
Enver sudah biasa diusir begini. Untung abang sendiri, kalau tidak Enver sudah mencakar-cakar wajahnya itu.
"Abang itu aneh, kenapa sih?" Enver sudah sangat penasaran. Wajah kalut, sering teriak sendiri dan selalu keluar saat jam makan siang. Padahal perusahaan aman terkendali. Jadi apa penyebabnya?
"Aneh?" Beo Athar. Ia mengambil ponsel dan membuka fitur kamera. Wajahnya masih sama, tidak ada yang berbeda.
"Wajah aku masih sama, aneh darimana?"
Enver geleng-geleng kepala. Apa Athar memang CEO dari Foodid? Enver seakan meragukan hal itu.
"Bukan wajah kamu Bang yang aneh, tapi tingkah Abang!" Enver geram sendiri, bahkan ia sampai mengepalkan kedua tangan.
Athar terdiam sejenak, apa benar dia jadi aneh? Athar coba pikir-pikir lagi, ternyata memang benar dia jadi aneh belakangan ini.
"Abang kenapa? Kalau ada masalah coba cerita mana tahu aku bisa bantu."
Athar berpikir sejenak, apa pilihan yang baik jika bercerita kepada Enver? Bagaimana jika dia tertawa mendengar cerita konyol Athar?
"Ya udah kalau nggak mau cerita. Aku pulang dulu!" Sekarang sudah jam pulang. Jadi wajar jika Enver menggunakan bahasa informal untuk berkomunikasi dengan sang abang.
Enver melangkah keluar ruangan, tapi sebelum punggungnya menghilang Athar sudah lebih dulu memanggil.
"Aku bakal cerita," ujar Athar pada akhirnya. Enver tersenyum, jarang sekarang sang abang mau berbagi cerita dengannya.
Enver berbalik dan kembali duduk di sofa. Dasi sudah longgar, bahkan lengan bajunya sudah terlipat sampai siku.
"Aku tertarik sama orang." Athar bukan tipe manusia yang harus pakai basa basi dulu kalau mau cerita. Enver sedikit kaget, sudah 29 tahun dan baru kali ini Athar tertarik dengan orang. Tapi tunggu, Enver masih was-was. "Cewek atau cowok?" Tanyanya memastikan.
"Aku masih normal Enver! Gila kali aku tertarik sama cowok."
Tubuh Enver menjadi sasaran empuk dari benda yang dilempar oleh Athar.
"KDHP kamu Bang!" Enver mengusap bagian tubuh yang terkena pena.
"Apaan KDHP?"
"Kekerasan dalam hubungan persaudaraan."
"Kamu nggak jelas banget, aku jadi malas cerita." Mood Athar sudah terjun bebas.
Enver nyengir sambil angkat tangan. "Oke oke, aku diam ini."
Athar menghela nafas panjang. "Nama cewek itu Ayara, dia susah banget dideketin."
"Ya jangan nyerah dong Bang!" potong Enver.
"Enver! Aku belum selesai cerita."
"Eh maaf maaf Bang. Silahkan lanjutkan." Enver memukul pelan mulutnya sendiri. Jangan sampai sang abang tidak jadi cerita, bisa-bisa Enver mengalami penyakit penasaran akut.
"Ayara itu orangnya baik, dia yang bayarin tagihan makanan saat makan di cafe 1 bulan yang lalu karena aku nggak ada uang cash. Padahal kita sama sekali nggak kenal. Aku mulai tertarik saat itu, akhirnya aku tanya-tanya orang-orang yang dekat sama dia. Aku coba cari informasi apakah dia masih single atau sudah punya pasangan. Ternyata dia masih single dan baru 7 bulan yang lalu batal nikah."
Enver mendengarkan dengan serius.
"Awalnya aku semangat buat deketin dia, tapi setelah aku tau satu hal semangat itu hilang entah kemana."
"Apaan emangnya? Dia udah hamil?"
"Mulut kamu minta di kasih cabe ya." Emosi Athar benar-benar diuji sekarang.
"Eh maaf Bang. Aku becanda doang." Lebih baik Enver langsung minta maaf. Takut juga kalau tanduk Athar sudah keluar.
"Dia nggak suka sama cowok yang mapan terus good looking." Tersirat nada frustasi dari kalimat yang baru saja Athar katakan.
Enver masih bengong. Dia tidak bereaksi apa-apa. Tetapi setelah beberapa detik, gelak tawanya mengudara. Zaman sekarang ada perempuan yang tidak suka cowok mapan plus good looking? Enver seakan tidak mempercayai hal itu.
"Jangan ketawa terus Enver!!!" Athar jadi geram sendiri. Dia bahkan sampai mendekat ke arah Enver dan ingin menjitak sang adik. Tapi Enver sudah lebih dulu mengunci mulutnya dengan rapat. Menahan tawa itu susah, lihat sekarang wajah Enver sudah merah.
"Jadi aku harus gimana?" Enver meminta solusi. Dalam urusan pekerjaan Athar tidak perlu diragukan lagi, tapi dalam urusan percintaan maka nilainya akan minus.
Enver berpikir sejenak. "Cewek yang kamu suka normal kan Bang?"
"Normal lah, emang kenapa?"
"Ya aneh aja. Masa dia nggak suka sama cowok mapan dan good looking."
Awalnya Athar juga merasa aneh, tapi setelah mengetahui alasan dibalik ketidaksukaan Ayara maka Athar tidak banyak berkomentar.
"Perempuan jangan dipukul rata, semua punya mata yang berbeda-beda." Athar membela Ayara dengan segala jalan pikirannya.
"Menurut aku, kalau Abang tertarik ya jangan nyerah. Kalau urusan mapan dan good looking ya nggak bisa dihilangin dong. Meskipun Abang nggak punya perusahaan, tapi background keluarga nggak bisa disembunyiin. Apalagi soal wajah, masa cuma karena dia nggak suka sama laki-laki good looking Abang sampai operasi plastik. Nggak lucu tau, apalagi Allah nggak suka kalau hambanya merubah apa yang sudah diciptakan."
Athar menunduk dalam. Apa yang dikatakan Enver tidak salah. Meskipun dia tidak memiliki perusahaan, tetap saja dia akan dianggap mapan oleh orang lain karena latar belakang keluarga besar.
"Nggak apa-apa, kalau jodoh nggak bakal kemana apalagi Abang nggak pernah tertarik sama orang sebelumnya."
Enver menepuk pundak Athar untuk memberi semangat. Mereka tidak bisa terus berada di perusahaan. Athar dan Enver memilih untuk pulang, namun berhubung Enver tidak membawa mobil maka terpaksa Athar mengantarnya dulu. Enver tinggal sendiri di Riau, sedangkan keluarganya berada di Jakarta. Katanya sih pengen hidup mandiri padahal Mama Vina maupun Mami Vena sudah menyuruhnya untuk tinggal di rumah mereka saja.
Baru juga jalan beberapa menit, Enver berubah pikiran. Dia tidak ingin pulang ke apartemen. Ya kalau tidak ke apartemen, pasti ke rumah Athar atau ke rumah Key.
"Bang berhenti di minimarket dulu, aku mau beli titipan Key."
"Mau aja disuruh-suruh sama Key," omel Athar seperti ibu-ibu kompleks.
"Adik aku itu!" Enver sangat dekat dengan Key. Sebenarnya mereka semua dekat, tapi ya kalau sama Key Enver jadi sosok abang yang bisa diandalkan. Key juga sering mengatakan jika ingin menukar Halil dengan Enver.
Athar mengedarkan pandangan untuk mencari minimarket yang berada di tepi jalan. Akhirnya ia bisa menemukan minimarket dan membelokkan mobil ke sana.
"Abang mau turun atau di dalam mobil?"
"Mobil."
Enver memilih turun sendiri, ia membaca pesan yang dikirim oleh Key. Banyak sekali cemilan yang diinginkan oleh Key, tapi tidak masalah karena Enver sayang sekali dengan remaja satu itu.
Tenggorokan Athar kering, ia memilih untuk turun dari mobil. Baru saja sampai di pintu, Athar langsung menutup wajahnya dengan tangan. Bagaimana bisa dia bertemu dengan Ayara sekarang? Jantung Athar berdetak dengan begitu cepat. Sudah satu bulan berlalu, dan dia masih bisa mengingat wajah Ayara dengan jelas. Jika dulu wajahnya samar-samar, sekarang Athar bisa melihatnya dengan jelas.
Manis
Bagi Athar, Ayara itu manis. Wajah datar saja manis, apalagi kalau senyum. Athar langsung geleng-geleng kepala. Kenapa dia jadi laki-laki alay seperti ini? Apa dia terlambat untuk pubertas?
Athar tidak bisa masuk, jika Ayara melihat dirinya pasti dia tidak akan tertarik dan memilih memasukkan Athar ke daftar hitam. Athar bukan pede, tapi dirinya memang dalam kategori good looking.
Athar senyum-senyum sendiri melihat Ayara duduk di meja kasir sambil melayani orang-orang yang membayar. Dia bukan lagi tertarik, tapi sudah sampai ke tahap jatuh hati.
Buru-buru Athar menghubungi Enver yang masih memilih berbagai macam cemilan.
"Apaan Bang?" tanya Enver langsung.
"I-itu En-" Efek Ayara sangat besar, Athar masih terbata-bata begini.
"Kamu nggak apa-apa kan Bang?" Potong Enver khawatir. Dia mengintip dari jendela kaca, ternyata sang abang berada di luar pintu.
"Mau nitip apa?" tanya Enver lagi. Mungkin Abangnya mau sesuatu tapi malas masuk.
"Minuman."
"Oh oke. Aku tutup dulu-"
"Jangan!" Athar tidak ingin Enver menutup panggilannya.
"Kenapa sih?" Enver jadi kesal sendiri.
"Coba kamu lihat perempuan yang duduk di meja kasir."
Enver berada di bagian belakang, jadi dia tidak bisa melihat meja kasir dari posisi sekarang. Berhubung dia adik yang baik maka Enver keluar dari lorong agar bisa melihat siapa yang ada di meja kasir.
"Udah, kenapa?"
"Itu Ayara."
Enver hampir melepaskan keranjang belanjaan saking syoknya. Dia tidak melihat Ayara dengan jelas karena terhalang tempat-tempat makanan di meja kasir.
Enver langsung saja memutuskan panggilan. Sesekali menjahili Athar, tidak salah bukan? Tentu saja Athar kesal setengah mati, ingin masuk tapi tidak bisa.
Akhirnya Enver selesai berbelanja. Dia langsung ke meja kasir.
"Ini saja Mas?" tanya Ayara ramah. Sebelum mendapat pekerjaan, Ayara memilih untuk bekerja di minimarket milik sang ibu.
"Iya Mbak." Ayara mengambil satu persatu belanjaan Enver dan melakukan scan code.
"Oh ya Mbak, boleh nanya nggak?" Enver iseng-iseng saja.
"Boleh, apa ada barang yang belum ketemu Mas?"
"Oh enggak Mbak, semua sudah ketemu. Mbak udah lama kerja di sini?"
"Sudah," jawab Ayara seadanya.
"Totalnya Rp.342.900 Mas."
"Bayar pakai ini bisa?" Enver menunjukkan satu kartu. Ayara mengangguk dan mengambil kartu tersebut.
"Udah punya pacar belum Mbak?"
Ayara tidak menjawab. "Pinnya Mas," pinta Ayara.
Enver menekan beberapa angka.
"Boleh minta nomornya nggak?" Enver belum juga puas untuk bertanya kepada Ayara.
"Ini kartu dan struknya Mas. Terima kasih, datang kembali."
Ayara masih saja tersenyum walaupun sedikit tidak niat. "Nggak mau kenalan sama saya dulu Mbak? Saya masih jomblo kok."
"Tidak, terima kasih."
Enver tersenyum dan memilih keluar minimarket. Baru saja keluar, satu pukulan kasih sayang sudah mengenai punggungnya.
"Kamu jangan macam-macam ya Enver." Mata Athar menajam seakan ingin menusuk Enver sekarang juga. Athar melihat bagaimana Enver malah bertanya sesuatu yang keluar dari ruang lingkup jual beli.
"Takut amat, dia emang nggak suka sama orang good looking." Enver meletakkan plastik belanjaan di kursi belakang.
"Kenapa gitu?"
"Aku cuma tes aja tadi. Awalnya aku iseng nanya-nanya, eh dia datar amat jawabnya. Terus aku sengaja pakai kartu ini buat bayar eh malah dia bodo amat." Siapa sih yang tidak tergiur dengan kartu yang ada di tangan Enver sekarang. Pokoknya jika sudah memiliki kartu itu, orang-orang akan langsung beranggapan pemiliknya adalah orang kaya.
"Wajah aku kan lebih ganteng dari kamu Bang. Eh dia malah nggak tertarik sama sekali. Aku tanya mau kenalan nggak? Eh dia jawab, tidak terima kasih." Enver masih saja kesal. Dia hanya iseng tapi respon yang diberikan oleh Ayara belum pernah didapatkan oleh Enver dan baru pertama kalinya.
Athar tidak kuasa menahan tawa. "Makanya jangan ganjen jadi orang."
Mobil bergerak meninggalkan minimarket. Enver masih saja kesal dan Athar malah menahan tawa.
"Pertama kali jatuh hati, eh ceweknya malah anti sama orang mapan dan good looking." Enver kembali mengingatkan karena kesal dengan sang abang yang malah tertawa.
Athar langsung terdiam, wajahnya jadi murung.