Curhat kepada Enver adalah kesalahan yang amat besar. Athar benar-benar menyesal, jika waktu bisa diulang kembali maka dia tidak akan mau bercerita kepada Enver. Bayangkan saja baru tadi sore dia bercerita tentang ketertarikannya kepada Ayara, namun malam ini rumahnya langsung ramai. Kehebohan tidak bisa dielakkan.
Mami Vena, Papi Andeo, Halil, Key dan Enver sudah ada di meja makan. Untung saja keluarga dari pihak sebelah Papa tidak datang. Bisa-bisa kepala Athar terbelah dua nantinya.
Sejak tadi Athar mengurung diri di kamar dengan mengunci pintu. Mama dan Papa bahkan sudah menyuruhnya keluar berulang-ulang kali. Apalagi sekarang waktunya makan malam keluarga besar. Entah kapan Mamanya masak dalam porsi banyak. Athar tidak mau memikirkan hal itu.
"Enver!!!" teriak Athar sambil memukul-mukul bantal guling. Seharusnya mulut Enver jangan bocor, apalagi dia laki-laki. Enver suka sekali membuat Athar berada di dalam situasi bersifat warning.
"Athar! Keluar dulu Nak, itu Mami sama Papi udah di meja makan." Mama Vina datang untuk membujuk sang anak yang tidak mau keluar kamar. Bahkan lucunya, dia kalau ke masjid lewat pintu rahasia yang memang bisa terhubung langsung dengan luar.
"Makan aja dulu Ma, aku nggak lapar."
"Eh Nak, nggak boleh gitu. Mami sama Papi udah kesini, tapi kamu nggak mau keluar. Mama atau Papa nggak pernah ngajarin kayak gitu lo."
Athar makin memukul bantal guling. Meskipun hati dan otaknya seakan tidak sinkron, Athar tetap keluar kamar. Dia tidak mau membuat Mama dan Papa kecewa.
"Nah gitukan pintar. Ayo ke meja makan!" Mama sudah menggandeng tangan Athar seperti ingin menyebrang jalan.
"Wah wah, ini ternyata yang usianya udah 29 tahun tapi malah ngambek nggak jelas."
Athar belum duduk lo ini, masih digandeng sama Mama Vina. Tapi Enver sudah melancarkan aksinya. Mata Athar langsung menajam, ia seakan memberikan peringatan kepada Enver untuk tutup mulut.
"Jangan gitu Enver, nanti Athar malah masuk kamar lagi." Kali ini Papi Andeo angkat bicara. Umur Athar memang sudah 29 tahun dan dia yang paling tua diantara sepupu-sepupu yang lain. Tapi dalam hal ketertarikan kepada lawan jenis, dia kalah jauh. Buktinya saja Halil sudah mau menikah sedangkan Key sudah lama tertarik dengan anak salah satu penghuni kompleks ini.
"Papi ih," balas Athar sudah seperti anak kecil. Athar melihat meja makan yang sudah dipenuhi dengan berbagai macam makanan. Pantas saja bisa makan malam bersama, ternyata makanannya dipesan dari luar bukan dimasak sendiri.
"Badan doang yang gede, tapi nyalinya kayak bocah." Halil itu pendiam, tapi sekali ngomong mulutnya minta dicabein.
"Sayang, jangan gitu sama Abang." Mami Vena menegur sang anak. Mulut Halil sebelas dua belas sama Enver.
Malam ini pokoknya Athar jadi target operasi. Dia sampai bingung sendiri seakan semua menggoda dirinya. Apa salah tertarik dengan seorang perempuan? Toh Athar juga tidak melakukan hal-hal aneh. Kecuali jika dia tertarik eh malah menculik Ayara. Ini jelas saja salah, dia bukan seorang psikopat.
"Lucu ya Ma, Bang Athar nggak pernah tertarik sama perempuan sebelumnya. Eh sekalinya tertarik malah ceweknya anti banget sama dia." Key sudah tertawa di atas penderitaan Athar.
Sepertinya Enver menceritakan semuanya, termasuk tentang Ayara yang anti dengan laki-laki mapan dan good looking. Awas saja nanti, Athar akan mencincang-cincang adiknya itu.
"Jangan digodain terus Abangnya." Mami Vena kembali menegur.
Setelah makan malam, Halil memilih untuk pulang ke rumah. Enver dan Key juga begitu karena di rumah Athar tidak ada perlengkapan komputer yang cocok digunakan untuk bermain games. Berbeda dengan rumah Halil dan Key, mereka punya perlengkapan sendiri-sendiri. Bahkan Enver sampai tidak mau pulang ke apartemen. Dia sih gaya-gayaan mau hidup mandiri padahal Mama sama Mami memperlakukan Enver seperti anak sendiri.
"Mau kemana?" tanya Mama Vina setelah menyelesaikan urusan dapur.
"Kamar."
"Jangan dulu, sini ikut Mama." Athar ditarik oleh Mama Vina ke ruang keluarga. Di sana sudah ada Mami Vena yang tengah menonton televisi.
Kemana Papa dan Papi? Jangan heran jika keberadaan mereka tidak terdeteksi. Palingan main catur di teras depan. Setiap kali ngumpul keluarga pasti Papa dan Papi main catur. Sayangnya anak-anak keturunan mereka tidak ada yang suka main catur. Halil dan Key lebih suka main games PC, sedangkan Athar lebih suka rebahan.
Mama menyuruh Athar untuk duduk di samping Mami. Nah sekarang posisinya Athar diapit oleh Mama dan Mami. Dia tidak bisa kabur lagi, pasti sebentar lagi suasana menjadi lebih menyeramkan karena masuk dalam sesi interogasi.
"Kamu beneran tertarik sama perempuan?" Mama Vina ingin memastikan apa perkataan Enver benar atau hanya ingin menjahili Athar saja.
"Nggak usah malu gitu, Mama sama Mami malah senang kalau kamu tertarik sama perempuan."
Wajah Athar mendadak merah, dia malu membahas hal ini dengan Mama atau Mami.
"Mami tau kalau Enver nggak bisa bohong, tapi Mami sama Mama mau dengar dari kamu langsung." Kali ini Mami Vena yang angkat bicara.
Meskipun cukup berat, bahkan keringat dingin mulai bermunculan tapi Athar tidak bisa menghindar. "Iya Ma, Mi. Aku memang tertarik sama perempuan."
Mendengar jawaban Athar, Mama dan Mami langsung memeluk Athar. Mereka bahkan berteriak dengan heboh seakan baru saja memenangkan perlombaan dengan hadiah besar.
"Siapa perempuannya?"
Athar memilih bungkam. Mama atau Maminya bukan tipe tipe orang tua yang pemilih bukan?
"Kok diam?" tanya Mami.
"Mama sama Mami nggak bakal pemilih-pemilih gitu kan? Contohnya kayak perempuan itu harus bisa masak, lulus S1 atau S2 terus-"
"Ya Allah Athar, kamu anggap Mama sama Mami gimana sih?" Mama Vina langsung memotong ucapan sang anak.
"Ya Maaf." Athar menunduk dalam.
"Mama sama Mami nggak masalah, asal agama dan akhlaknya bagus. Itu aja udah lebih dari cukup. Mau lulus smp atau SMA sama sekali nggak masalah. Nggak bisa masak juga nggak masalah."
Athar langsung tersenyum. Berarti Mama dan Mami tidak akan keberatan dengan Ayara. "Namanya Ayara, 3 tahun yang lalu dia kerja di Jakarta terus sekarang bantu orang tuanya ngurus minimarket. Umurnya 26 tahun, orangnya baik banget terus manis. Kalau masalah agama Athar yakin agamanya baik."
Mama dan Mami saling pandang. Entah kenapa mereka jadi senyum-senyum sendiri. "Terus kata Enver dia nggak suka sama cowok mapan dan good looking, itu benar?"
Athar mengangguk lemah.
"Kamu tahu kenapa?"
Athar menggeleng, dia masih kurang yakin apa alasan dibalik ketidaksukaan Ayara.
"Nggak apa-apa, kamu tertarik sama perempuan sudah sangat luar biasa. Mama sama Mami bersyukur sekali. Kamu jangan nyerah, coba dekati dia dulu secara baik-baik. Tapi sebelum itu, kamu lebih dulu sampaikan niat baik kepada orang tuanya."
"Maksud Mama?" Athar tidak terlalu mengerti dengan kalimat terakhir yang Mama Vina katakan.
"Sebelum dekati anaknya, coba sampaikan dulu sama orang tuanya niat baik Kamu. Kenalkan diri kamu sejujur-jujurnya, katakan bagaimana kamu bisa tertarik dengan Ayara. Minta izin sama orang tuanya, kalau sudah dapat lampu hijau maka baru kamu berusaha deketin Ayara," jelas Mama.
Athar mengangguk paham. Akhirnya obrolan itu selesai, Athar kembali masuk ke dalam kamar. Dia benar-benar lelah karena hari ini pekerjaan menumpuk. Namun belum sempat Athar berbaring, pintu terbuka menampakkan Halil. Athar lupa mengunci pintu sehingga Halil masuk begitu saja.
"Kenapa?" tanya Athar langsung. Dia malas terlalu banyak basa basi.
Halil mengangkat sudut bibirnya sebelah kanan. Dia lantas berbaring di ranjang empuk milik Athar tanpa izin lebih dulu.
"Aku capek Halil! Kalau mau main lain kali saja."
"Mami suruh aku ke sini, katanya Abang bingung gimana deketin cewek."
Athar menghela nafas panjang. Mentang-mentang Halil mau menikah, ya memang sih Halil lebih mengerti daripada Athar. Meskipun Halil pendiam, tapi kalau soal berjuang buat dapetin cewek jangan dianggap sepele. Buktinya perempuan asal malaysia yang kuliah di Korea Selatan setuju untuk menikah. Halil tidak berpacaran, dia menunjukkan keseriusan dan juga tanggung jawab. Jika sudah mantap maka menikah adalah solusi terbaik.
"Kalau dia ngga-"
"Namanya Ayara, dia lebih tua dari kamu." Athar tidak suka nama Ayara diganti dengan kata dia.
"Oke fine. Kalau Kak Ayara nggak suka sama cowok mapan dan good looking maka dekati dia dengan penampilan biasa. Jangan kasih tau tentang perusahaan abang lebih dulu." Halil mengganti kata dia menjadi "Kak Ayara".
"Aku bohong dong? Nggak mau!" Athar menolak usul dari Halil.
Jika bukan karena sayang, mungkin sekarang Halil sudah menenggelamkan Athar ke laut merah.
"Gini ya Bang, aku nggak nyuruh bohong tapi jangan dikasih tau kalau Abang punya perusahaan."
"Terus kalau Ayara nanya aku kerja dimana, jawab apa dong? Nggak mungkin aku bilang nggak ada kerjaan kan? Nanti dia malah ilfeel lagi."
"Bilang aja kalau Abang driver gojek." Halil menjawab dengan santai.
Athar geram, dia langsung melempar bantal ke wajah Halil. "Aku nggak bisa bawa motor Halil!!!"
Athar memang tidak bisa bawa motor, dulu dia pernah belajar eh malah nabrak gerobak bakso. Trauma sih lebih tepatnya sehingga Athar tidak mau belajar mengendarai motor lagi.
"Terus aku bilang kerja apa dong?"
"Iya kali kalau Kak Ayara nanya, kalau dia nggak nanya gimana?" Halil tertawa dalam hati melihat kegusaran yang Abangnya rasakan.
"Kamu kesini bikin aku tambah pusing, sana pulang!" Athar menarik tangan Halil agar beranjak dari ranjangnya.
"Santai santai Bang. Aku bakal kasih ide, tapi sebelum itu tolong ambilin minum dong."
Oke Athar, tahan diri. Jangan sampai kamu menendang Halil sampai ke hongkong. Athar mengikuti kemauan Halil, ia keluar kamar untuk mengambil air dan memberikan kepada sang adik.
"Jangan melotot gitu," ucap Halil menahan tawa. Air yang berada di dalam gelas sudah kosong.
"Makanya kasih ide!" Jika orang marah tanduknya keluar, maka tanduk Athar akan keluar banyak.
"Bilang aja kalau Abang punya usaha sendiri, contohnya kayak punya toko baju, toko barang harian, toko budidaya ikan cupang atau apa gitu."
Ide Halil tidak buruk. Athar akan memikirkan lebih lanjut lagi. Tapi sebelum itu, bagaimana penampilan yang terlihat biasa itu? Tolong kasih tahu Athar.
Setelah berbincang dan menemukan keputusan akhir, Athar meminta tolong agar Halil memberikan arahan dia harus berpenampilan seperti apa.
"Coba pakai kacamata deh, kan biasanya kalau kerja Abang pakai juga."
Athar mengambil salah satu kacamata.
"Jangan yang itu. Yang petak coba."
"Gini?" Athar sudah memakainya dan meminta pendapat.
"Masih keren sih, coba jidatnya ditutupi rambut deh," usul Halil.
Athar menurunkan rambutnya untuk menutupi jidat.
"Kalau asalnya ganteng mau digimanain juga bakal tetap ganteng." Halil memilih menyerah. Sejak tadi Athar menata rambutnya bahkan sampai berantakan sekalipun malah makin keluar auranya.
"Jadi gimana dong?" Ingin rasanya Athar menangis sekarang juga.
"Penampilan apa adanya aja deh, walaupun dia anti sama orang good looking ya kalau memang jodoh bakal kepincut kok."
***
Sudah 7 bulan berlalu, Ayara masih pengangguran. Gunjingan tetangga plus sanak saudara sudah menjadi makanan sehari-hari. Ayara menendang-nendang angin saking kesalnya karena tidak ada tahap interview yang memberikan hasil.
"Kak!!" panggil Adam dari luar.
Ayara bangkit dan membuka pintu kamar. "Kenapa?"
"Ibu nggak enak badan, bisa kakak yang jaga minimarket hari ini?"
"Ha? Ibu sakit apa?" Ayara langsung berlari ke kamar sang Ibu. Terlihat perempuan paruh baya tengah berbaring diatas ranjang. "Ibu kenapa?" tanya Ayara khawatir.
Ibu tersenyum. "Ibu nggak apa-apa, cuma pusing sedikit saja."
Ayara menyentuh kening sang ibu untuk mengecek suhu. "Kita ke rumah sakit aja ya Bu?"
Ibu menggeleng. "Ibu cuma pusing, setelah minum obat pasti sembuh."
Ayara tidak bisa bersikeras. "Ibu udah makan?"
"Sudah, Adam beliin bubur di depan kompleks tadi."
"Di meja makan juga ada bubur buat Kakak," ujar Adam.
"Hari ini Aya jaga minimarket dulu ya, soalnya Adam mau ke sekolah ambil ijazah."
"Iya Bu, biar Aya yang jaga minimarket. Ibu nggak usah khawatir."
Biasanya Aya akan menjaga dari siang sampai sore, paginya sang ibu dan malamnya Adam.
Sebelum Ayara berangkat ke minimarket karena sekarang sudah jam delapan pagi, dia menghubungi Tante Dina lebih dulu. Tentu saja Ayara khawatir dengan kondisi sang ibu sehingga meminta tolong kepada Tante Dina untuk memeriksa.
Kali ini Ayara ke minimarket menggunakan sepeda karena jaraknya tidak begitu jauh. "Maaf ya Mbak Kezie aku telat." Kezie adalah karyawan di minimarket milik keluarga Ayara. Di sini ada 2 karyawan, satunya lagi bernama Anang.
"Tumben Aya yang jaga, Ibu Reka mana?"
"Ibu lagi nggak enak badan Mbak." Mereka langsung masuk ke dalam minimarket. Tidak lama setelah itu Anang datang.
Meskipun banyak minimarket yang berada di daerah ini, tapi urusan Rezeki itu sudah diatur. Minimarket lumayan ramai, apalagi ada fasilitas tempat duduk dan juga wifi.
"Ini saja Mas, nggak ada tambahan lain?"
"Halo Mas!" Ayara kembali memanggil karena tidak mendapat respon dari pembeli yang ada di depannya.
"Oh iya, i-ini saja Mbak."
"Mas kenapa wajahnya merah. Lagi sakit atau bagaimana?"
"Ti-tidak Mbak."
Ayara menerima uang yang diberikan oleh pembeli.
"Kalau sakit duduk di depan dulu Mas, tunggu sebentar ya."
Ayara mengambil kotak di laci meja. Di sana ada kotak P3K. "Badan Mas panas nggak?"
"I-iya."
"Pusing juga?"
Lagi-lagi pembeli tersebut menjawab iya.
"Coba minum ini Mas, semoga cepat membaik ya." Ayara memberikan satu butir obat yang terbungkus. Stuck belanjaan dan juga uang kembalian tidak lupa diberikan.
"Jantung aku," ujar Athar dengan kaki lemas. Dia tidak sakit, tapi karena bertemu dengan Ayara wajahnya jadi memerah. Ayara masih sama, dia sangat baik kepada orang lain. Bagaimana Athar tidak jatuh hati kalau begini?
"Mama anakmu hampir jantungan!!!" batin Athar berteriak.
Senyum tidak bisa Athar sembunyikan, setidaknya Ayara tidak menunjukan wajah datar pada dirinya. Penampilan Athar untuk bertemu dengan Ayara memang terkesan biasa. Bahkan matanya tertutup oleh kacamata petak. Pokoknya Athar sekarang berubah 180 derajat dari Athar yang merupakan CEO dari perusahaan Foodid.