I’m so sick of this fake love, fake love. fake love...
I’m so sorry but it’s fake love, fake love, fake love...
Hanin terkejut mendengar suara musik yang menggema keras begitu memasuki kamar. Dadanya bahkan ikut berdebar kencang setiap kali musik itu menghentak kuat. Hanin menghela napas panjang, sepertinya ini akan menjadi malam yang melelahkan. Rasa kantuknya yang tadi menyerang sirna sudah. Hanin mengambil selimut dan bantal, kemudian membawanya ke pojokan kamar. Dia memilih tidur di sana dengan sebuah seprai tebal sebagai alas tidurnya. Hanin mencoba memejamkan matanya, tapi suara musik yang keras itu benar-benar terasa mengganggunya. Dengan sedikit jengkel Hanin pun memilih untuk membaca buku guna mengusir rasa jenuhnya.
Sementara itu Nadine bersikap acuh di atas ranjangnya. Dia memutar volume musiknya lebih keras lagi dan sesekali ikut bernyanyi mengikuti alunan musik. Suaranya yang fals sesekali membuat Hanin terkejut. Lengkingan suara yang menakutkan itu mungkin mampu membunuh nyamuk yang sedang beterbangan atau mengusir maling yang hendak beraksi di malam ini.
Hanin pun merasa heran melihat tingkah Nadine. Dia tidak mengerti dengan lagu yang sedang diputarnya itu. Lirik lagu itu terdengar aneh dan asing di telinganya. Sesekali gadis itu mengintip Nadine dari balik bukunya. Sesekali dia juga menahan tawa mendengar suara Nadine yang menggelitik telinganya itu.
Diam-diam Nadine pun menyadari kalau Hanin sedang mengintipnya. Raut wajah gadis itu seketika berubah sangar. Dia bangun, mematikan musiknya, kemudian mendekati Hanin yang kini meringkuk ketakutan dan tidak berani menatap ke arahnya.
“Kamu kenapa ketawa?” tanya Nadine.
Hanin diam membisu. Dia bangun dari tidurnya dan duduk menyandarkan punggungnya ke dinding.
“Kenapa ketawa, ha? Apa ada yang lucu?” Nadine berjongkok di depan Hanin dan menatapnya tajam.
“Kalau orang nanya itu dijawab...!!!” bentak Nadine.
Hanin tetap bungkam. Hal itu membuat Nadine semakin jengkel. Gadis bar-bar itu lalu mengangkat dagu Hanin dengan telunjuknya, memaksa Hanin untuk melihat tatapan ganasnya.
“Sekali lagi aku tanya... kenapa kamu ketawa?” Nadine memelankan suaranya, tetapi itu terdengar lebih menakutkan lagi.
“A-aku c-cuma ngerasa aneh sama lirik lagunya.” akhirnya Hanin terpaksa bersuara.
“A-aneh sama liriknya?” Nadine cukup terkejut dengan jawaban itu.
“I-iya bahasanya terdengar aneh dan lucu,” jawab Hanin dengan wajah polos.
Raut wajah Nadine yang tadinya galak berubah heran. “Kamu nggak tau BTS?” tanyanya.
Hanin menggeleng.
“EXO?”
Hanin menggeleng lagi.
“Seventeen? Big Bang? Super Junior? Mamamoo? SNSD? Wanna One? Blackpink? Twice? Blablablabla...?” Nadine memberondongnya dengan banyak pertanyaan.
Sebanyak apa pun pertanyaan Nadine yang terlontar, sebanyak itu juga Hanin menggelengkan kepalanya.
“Kamu nggak tau K-POP?”
Hanin menggeleng dengan wajah malu.
Nadine pun menatap tak percaya. Gadis yang kini menjadi saudaranya itu bahkan lebih buruk dari bayangannya. Nadine paham bahwa Nadine terlihat cupu dan kurang gaul, tapi menurut sepengetahuannya secupu-cupunya remaja masa kini mereka pasti sudah terkontaminasi virus K-POP yang sudah mendunia itu.
“Dasar manusia rimba,” ejek Nadine. Dia kembali berdiri sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Apa aku harus mengetahui tentang itu semua?”
Pertanyaan Hanin membuat Nadine kembali berbalik.
“Aku hanya ingin mengetahui apa yang ingin aku ketahui saja. Apa itu salah?” tanya Hanin lagi.
Nadine berdecak pelan. Dia menangkap ucapan Hanin itu sebagai tanda genderang perang.
“Eh cewek udik! Jaman sekarang itu semua orang tau sama K-POP... aku aja udah jadi Army sejak BTS debut sampai mereka jadi terkenal di dunia sekarang ini. Anak-anak jaman now itu semuanya pada gabung jadi fandom grup idol kesayangan mereka,” jelas Nadine panjang lebar dengan gaya sombong.
“Oh... begitu ya. Army itu apa?” tanya Hanin.
“Hahaha.” Nadine tertawa pelan. Dia merasa kesal tapi juga tidak bisa mendiamkan pertanyaan itu. “Army itu nama fandom pendukungnya BTS. Army itu selalu ada buat BTS, selalu mendukung mereka, dan membela mereka dari serangan haters ataupun fandom lain.”
Hanin mengangguk tanda mengerti. Nadine pun sudah merasa puas menjelaskan, tetapi tidak lama kemudian Hanin kembali menampakkan wajah bingung yang membuat Nadine kembali terusik.
“Apa lagi, ha? Apa lagi?” bentak Nadine.
“Apa BTS itu kenal sama kamu? Apa kamu pernah ketemu sama mereka? katanya kamu itu Army yang selalu ada buat mereka. Terus apa keuntungan dan dampaknya sama kehidupan kamu setelah setia sama mereka?”
Jleb.
Pertanyaan itu sukses membuat Nadine terperangah. Mulut gadis itu bergerak-gerak, tetapi tidak ada kata yang terucap. Nadine merasa marah dan malu secara bersamaan. Dia pun kini menyadari bahwa Hanin tidak selugu yang dipikirkannya. Nadine menatap wajah polos itu lekat-lekat, kemudian tersenyum kecut.
“Okey... aku rasa aku udah make a mistake karena udah bicara sama kamu. Buang-buang energi. So mari kembali jaga batasan kita. Kamu nggak perlu bicara lagi sama aku,” ucap Nadine.
“Bukannya kamu yang duluan bicara sama aku?” sanggah Hanin.
Geraham Nadine beradu kuat. “Karena itulah aku bilang itu sebuah kesalahan,” jawabnya.
Nadine mulai jengah dan tidak ingin lagi menatap wajah itu. Dia bermaksud pergi menjauh, tetapi Hanin langsung menarik tangannya kembali. Sontak hal itu membuat Nadine terkejut. Kedua matanya tersentak menatap Hanin yang juga menatapnya dengan wajah serius.
“A-ada apa?” tanya Nadine seraya menarik tangannya.
“Aku nggak akan mengganggu kehidupan kamu. Aku nggak akan mengusik ketenangan kamu. Aku akan tinggal di rumah ini seperti seakan-akan aku nggak pernah ada, tapi aku mohon... jangan buat Mama aku sedih!”
Perkataan Hanin membuat perasaan Nadine terasa aneh. Tatapan mata itu bahkan membuat Nadine tidak bisa berkata-kata. Lama Nadine terdiam seperti terhipnotis oleh kedua mata Hanin yang masih menatapnya tajam. Setelah itu dia pun tersadar dan bermaksud pergi, tapi lagi-lagi Hanin mencegat lengannya. Bahkan kali ini dia menggenggamnya lebih erat lagi. Hal itu cukup membuat Nadine ketakutan. Nadine berusaha melepaskan tangannya, tapi Hanin ternyata lebih kuat dari dugaaannya.
“Oke... aku nggak akan bikin Mama kamu sedih. Puas?”
Nadine akhirnya bersuara dan baru jugalah Hanin melepaskan tangannya.
_
Pagi ini suasana di rumah om Wisnu mulai sedikit membaik. Untuk pertama kalinya mereka semua kini duduk di meja makan untuk menyantap sarapan pagi bersama. Hanin melahap makanannya tanpa banyak bicara. Sementara Nadine juga bersikap cuek sambil memainkan handphone-nya. Kedua orang tua mereka pun sesekali saling pandang kemudian tersenyum senang.
“Oh iya, tante udah bikini bekal makanan buat kalian berdua,” ucap mama Hanin.
“Aku nggak bawa bekal ke seko....” perkataan Nadine terhenti saat menyadari Hanin sedang menatapnya. “Sial... kok aku jadi parno gini sih, sama tu anak,” bisiknya dalam hati.
“Apa tidak sebaiknya kamu mengganti panggilan kamu, Nad? Toh, sekarang Tante Amanda sudah menjadi mama kamu.” pandangan sang papa lalu beralih pada Hanin. “Kamu juga... sampai kapan kamu mau manggil Om terus?”
Kedua gadis itu kompak tersedak dan meneguk gelas minumannya.
“Aaa... rasanya masih agak canggung deh, Pa. Mungkin nanti,” jawab Nadine.
“I-iya Om... aku juga belum terbiasa,” timpal Hanin.
“Pelan-pelan aja, Mas... semua butuh waktu,” tutur mama Hanin.
“Iya deh... kalau begitu ayo kita segera berangkat. Hari ini biar sekalian Papa anter kalian ke sekolah.” papa bangun dari kursinya.
Nadine memiringkan wajahnya mendengar kalimat itu. “K-kalian?” tanyanya.
“Oh iya, Papa lupa bilang sama kamu kalau Hanin sudah Papa pindahkan ke sekolah kamu,” jawab sang papa.
Hanin menelan ludah, kemudian dia memejamkan mata karena sudah tahu bagaimana Nadine akan bereaksi.
“APA...!?” pekikan Nadine pun menggelegar membelah langit pagi ini.
_
Bersambung....