Kehebohan dan Penampakan

1164 Kata
Hanin baru saja selesai membantu mamanya membereskan meja makan setelah selesai makan malam. Waktu baru menunjukkan pukul delapan malam, tapi Hanin sudah merasa sedikit mengantuk. “Kalau ngantuk sebaiknya kamu langsung tidur saja,” ujar sang mama. Hanin menggeleng seraya tersenyum. “Hanin bantuin Mama cuci piring dulu deh.” “Nggak usah... tidur sana!” sergah sang mama. Hanin hanya menyeringai. Gadis itu pun beranjak menuju dapur hendak mencuci piring yang kotor. Hanin mulai merasa nyaman tinggal di rumah om Wisnu. Sedikit banyaknya dia sudah banyak beradaptasi. Diawal-awal Hanin hanya mengurung dirinya di dalam kamar. Dia hanya akan keluar ketika dipanggil sang mama untuk makan bersama. Namun sekarang Hanin mulai memberanikan diri untuk beraktivitas dan ternyata hal itu cukup membuat dirinya merasa lebih tenang dan nyaman. Hanin sudah menyinsing lengan bajunya, namun aksinya itu terhenti ketika mendengar kehebohan yang berasal dari ruang tamu. “Ada apa, ya?” bisiknya. Hanin bergegas pergi menengok. Langkahnya pun terhenti saat melihat sosok Nadine yang akhirnya pulang ke rumah setelah 3 hari menghilang. Saat ini dia sedang berdebat dengan papanya, sementara mama Hanin mencoba melerai dan menenangkan suaminya itu. “Papa bener-bener nggak ngerti sama kelakuan kamu akhir-akhir ini.” sang papa masih meluapkan kekecewaannya. “Udahlah Mas, biarin Nadine istirahat dulu... kamu belum makan malam kan, Nadine? Sebaiknya kamu mandi dulu, kemudian makan malam.” mama Hanin mencoba menyentuh lengan Nadine, namun gadis itu langsung menepisnya. “Tante nggak usah sok baik sama aku,” ucapnya. “Nadine...!!!” bentak sang papa. “Udah Mas, udah....” “Nggak usah pura-pura baik, deh,” ucap Nadine lagi. “Sejak kapan kamu jadi tidak sopan kepada orang tua, ha?” bentak sang papa. Nadine menatap sinis. “Orang tua? Emang dia itu mama aku?” Deg. Sang papa menatap nanar. Mama Hanin pun tertunduk dengan raut wajah sedih. Sedetik kemudian tangan sang papa terangkat ke udara. Bukannya takut, Nadine malah mendekatkan wajahnya pada sang papa. “Papa mau tampar aku? Ayo tampar!” Geraham sang papa beradu keras. kedua bola matanya juga sudah memerah. Melihat hal itu sang istri pun langsung menariknya menjauh dari Nadine. “Sudah, Mas... sudah!” Di pojokan sana Hanin menyaksikan pemandangan itu dengan jemari yang sudah mengepal kuat. Hanin pun bergegas mendekat dan langsung mengaitkan tangan pada lengan mamanya. Dia menatap Nadine sekilas, kemudian langsung menundukkan wajah. Sekesal apapun dia saat ini, tetap saja Hanin tidak berani melawan Nadine yang terlihat begitu menakutkan di matanya. Nadine pun menatap kedatangan Hanin dengan sinis, lalu menyilangkan tangannya di d**a. Tatapannya kini beralih pada sebuah figura besar yang berisikan potret pernikahan orang tuanya beserta dirinya dan juga Hanin. Selain itu kondisi rumahnya juga banyak berubah. Letak perabotan sudah berubah, ada banyak tumbuhan hias, guci-guci dan berbagai pernak-pernik yang kini menggantung di dinding. “Wah, rumah ini sekarang terasa berbeda, ya.” Nadine berkomentar singkat, kemudian melenggang pergi ke kamarnya. Sepeninggal Nadine, Om Wisnu pun langsung menepuk-nepuk pundak sang istri seraya menghela napas yang terdengar berat. Sang istri pun membalasnya dengan tersenyum dan mengangguk pelan. Sementara itu, Hanin masih merasa sesak di dadanya. Dia tidak mengerti kenapa Nadine harus bersikap begitu. Toh, dia sudah memberikan izin pada papanya untuk menikah lagi. Jadi kenapa sekarang dia malah bertingkah?  Apa gadis itu tidak bisa bersikap sedikit lebih baik saja? _  Jarum jam sudah menunjukkan pukul 00.00 tengah malam. Suasana rumah sudah sepi. Lampu pun sudah dipadamkan. Tetapi Hanin masih duduk di tangga dengan bertudungkan sebuah selimut tipis. Dia enggan masuk ke dalam kamar. Alasannya sudah jelas karena ada Nadine di sana. Hanin kini mulai bermenung sambil bertopang dagu. Tiba-tiba dia rindu pada teman-temannya di Malang. Hanin rindu sekolahnya dan dia juga rindu pada sosok lelaki yang selama ini selalu menganggunya di sekolah. Awan! Bagaimanakah kabar siswa tengil itu? Apakah dia sekarang merasa senang setelah kepergian Hanin? Hanin mengeluarkan handphone jadulnya, lalu mulai membuka daftar kontaknya. Tatapannya terpaku pada sebuah kontak yang diberi nama ‘Anak Tengil’ ya... itu adalah no handphone-nya Awan. Hanin pun iseng mengetik sebuah pesan. Hai... bagaimana kabar kamu? Tentu saja dia tidak berani mengirimkan pesan itu kepada Awan. Hanin hanya sekedar iseng dan tersenyum pelan. Dia menatap pesan yang sudah diketiknya itu lekat-lekat. Tak lama kemudian tanpa sadar jemarinya refleks memencet tombol kirim. Deg. Hanin langsung melotot. Sejenak aliran napasnya bahkan berhenti, setelah itu dia lekas menutup mulutnya yang kini menganga lebar. “Apa yang baru saja aku lakukan?” Hanin meringis dengan suara setengah berbisik. Hanin menggaruk kepalanya dengan gusar. Sekujur badannya kini bahkan terasa panas. Bagaimana bisa dia bertingkah gila seperti itu. Hanin membenamkan wajahnya di antara kedua lutut sambil terus menggerutu. Tak lama berselang dia tergelinjang kaget karena handphone-nya itu bergetar pelan. Hanin menatap nanar ke layar handphone-nya yang sudah menggelinding di anak tangga. Dia mendekat untuk melihat lebih jelas. Itu benar-benar panggilan dari Awan. Sontak Hanin menjadi semakin gelisah dan bingung harus berbuat apa. Dia mengambil handphone itu dengan jemari bergetar. Setelah menghela napas yang sangat panjang barulah dia menjawab panggilan itu. Hening. Hanin hanya menempelkan handphone itu ke telinganya. Sementara Awan di seberang sana juga tidak bersuara. Detik demi detik pun berlalu, namun mereka masih saja tidak memulai pembicaraan. Tidak lama kemudian Awan pun memutus panggilan itu. Hanin cukup terkejut dan menatap layar handphone-nya dengan wajah heran. “D-dia kenapa sih?” tanya Hanin. Drrttt... drrttt... Sebuah pesan dari Awan pun masuk: Maaf... aku tidak sengaja melakukan panggilan, handphone-ku ada di bawah bantal dan terpencet dengan sendirinya.... Hanin  mengeja pesan itu perlahan, kemudian langsung berdecak pelan. “Apa-apaan dia? alasannya sungguh tidak masuk akal,” desis Hanin. Di dalam kamar, Nadine ternyata juga belum tertidur. Dia menatap ke lantai tempat di mana biasanya Hanin tidur. Tatapannya pun kemudian beralih ke pintu kamar. Nadine mendesah pelan. Dia berusaha memicingkan matanya, tapi kemudian matanya itu kembali terbuka diiringi dengan kedua kakinya yang menendang selimut hingga jatuh ke lantai. “Ke mana sih, gadis kampungan itu?” bisik Nadine. “Apa jangan-jangan dia tidur sama mamanya?” Nadine berpikir sejenak, tapi tak lama kemudian dia lekas menggeleng pelan. “Nggak itu nggak mungkin... masa iya dia tidur sama papa dan mamanya.” Diliputi rasa penasaran, Nadine pun menjinjit langkah keluar kamar. Dia berjalan pelan sekali dan membuka pintu kamarnya itu dengan berhati-hati. pandnagannya pun segera menelusuri semua penjuru. Keadaan begitu gelap. Hanya ada secercah cahaya temaram dari arah dapur. “Apa dia ada di sana?” pikir Nadine. Nadine pun melanjutkan langkahnya menuju dapur, tapi begitu melewati anak tangga. Seketika bulu kuduknya meremang. Langkah gadis itu terhenti. Detak jantungnya kini memompa dua kali lebih cepat. Nadine meneguk ludah, lalu menggerakkan lehernya perlahan menatap ke atas tangga. “AAAA....!!!” Pekikan histeris itu sukses membuat orang tua mereka terbangun. Sang papa dan mama keluar dari kamarnya dan langsung menyalakan lampu. Tatapan mereka pun tertuju pada Hanin dan Nadine yang kini masih saling pandang. Hanin berdiri di atas anak tangga, sedangkan Nadine berada dibawahnya. “A-ada apa? kenapa kamu berteriak?” tanya sang papa. Nadine pun tersadar, lalu menatap sinis ke arah Nadine. “Tau nih... dia ngapain sih berdiri di tangga dalam gelap dengan cahaya handphone menerangi wajahnya. Udah kayak setan aja! bikin orang jjadi jantungan.” Nadine berkata ketus dan kembali masuk ke kamarnya. Hanin pun terpekur di tempatnya berdiri. sang mama dan om Wisnu salin pandang, lalu kembali beralih menatap Hanin. “Kamu ngapain di sini?” tanya sang mama. Hanin mengangkat wajahnya malu-malu. “T-tadi aku telponan sama temen aku, Ma. J-jadi aku keluar kamar sebentar.” “Ini sudah malam, lho ... lebih baik sekarang kamu beristirahat,” timpal om Wisnu. “I-iya Om. Aku ke kamar dulu.” Hanin pun segera lari masuk ke dalam kamar menyusul Nadine. _ Bersambung...    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN