“APA...!? kamu putus lagi sama Eja?” pekik Ditta.
“Yaps,” jawab Nadine santai.
“Ya ampun Nad... kamu itu jahat banget sih, jadi cewek.”
Nadine mendesah pelan. “Apaan sih, Ta... biasa aja kali. Palingan bentar lagi dia juga bakalan ngemis-ngemis buat minta balikan,” jawab Nadine.
“Gimana kalau dia nggak minta balikan lagi?”
Nadine yang sedang asyik dengan handphone-nya terdiam. Dia menatap Ditta, kemudian mencibir. “Impossible,” jawabnya.
Ditta hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan sahabatnya itu. Pandangannya beralih menatap keadaan di sekelilingnya. Kamarnya yang selalu rapi paripurna itu kini sudah berubah seperti kapal pecah sejak kedatangan Nadine. Sampah-sampah kemasan makanan berceceran di lantai. Seprai yang biasanya tampak licin kini sudah kusut sekusut pikirannya saat ini.
“Nad...,” panggil Ditta dengan nada hati-hati.
“Apa, Ta?”
“Hmm... kamu nggak mau pulang gitu,” ucapnya setengah berbisik.
Nadine langsung menyambut pertanyaan itu dengan tatapan tajam. “Kamu ngusir aku?”
“B-bukan gitu, Nad.” Ditta lekas mengklarifikasi. “Tapi besok kita kan, harus sekolah.”
“Aku bawa seragam kok,” ucap Nadine.
Ditta menelan ludah. “Syukurlah kalau kamu bawa seragamnya,” ucapnya dengan senyum terpaksa.
Handphone milik Nadine kembali berdering. Hampir seharian ini handphone-nya itu nyaris berdering setiap 5 menit sekali. Ada dua nama yang selalu muncul di layar handphone-nya, yaitu Papa dan Eja. Ditta pun juga sudah mencoba membujuk Nadine untuk mengangkat panggilan itu, tapi si keras kepala Nadine sama sekali tidak mendengarkannya. Bahkan puluhan pesan yang masuk pun juga tidak dibacanya sama sekali.
“Jadi cewek kemarin itu saudari tiri kamu?” tanya Ditta.
Nadine tidak menjawab.
“Namanya siapa?” tanya Ditta lagi.
Nadine menatap tajam “Nggak tau! Bodo amat ama si cupu itu.”
“Tapi kalo diperhatiin dia manis juga sih.” Ditta menerawang mengingat-ingat sosok Hanin yang dijumpainya kemarin malam.
“Apa? manis? Manis dari hongkong.” Nadine bangun dari tidurnya dan mengipasi wajahnya yang terasa panas.
“Cie... cie... jadi sensi gitu,” ledek Ditta.
“Kamu sih! ngapain jadi ngebahas anak kampungan itu coba.”
Ditta menjulurkan lidahnya. “Tapi kalau dilihat-lihat dia sepertinya anak yang baik kok.”
Sebuah bantal sukses mendarat di kepala Ditta dengan cukup keras. Ditta pun mendengkus kesal. Sedetik kemudian dia mengambil bantal itu dan melakukan serangan balasan. Perang bantal pun tak terelakkan. Suasana kamar itu menjadi gaduh dan hiruk karena suara kikik tawa mereka berdua.
Suara tawa Nadine menggema keras dan satu-satunya teman yang bisa menyaksikan tingkah konyolnya yang seperti itu memang hanyalah Ditta. Jika berada di sekolah ataupun dikeramaian, jangankan tertawa, tersenyum saja Nadine enggan.
_
Nama lengkapnya Nadine Anjani. Gadis itu memiliki aura yang misterius. Dia memiki ekspresi wajah yang terkesan jutek dan dingin. Gadis bertubuh tinggi semampai itu memiliki kecantikan yang unik. Nadine memiliki mata yang tajam, berhidung mancung dan mempunyai bibir yang terlihat penuh. Sekilas dia terlihat seperti orang asing. Nadine juga memiliki senyuman yang manis. Tapi dia sangat jarang menampilkan senyumannya itu.
Nadine yang berjiwa bar-bar terkenal di sekolahnya sebagai sosok yang cuek dan angkuh. Kehadirannya selalu membawa aura menakutkan sekaligus menakjubkan. Banyak yang diam-diam membencinya, namun tak sedikit juga yang menjadikannya sebagai panutan. Satu-satunya orang yang benar-benar dianggapnya sebagai teman hanyalah Ditta. Saat anak-anak yang lain mendekatinya, Nadine akan menganggap kehadiran mereka hanya untuk panjat sosial saja.
Sejak perceraian kedua orang tuanya, Nadine selalu mendapatkan kasih sayang melimpah dari sang papa. Segala keinginan dan kehendaknya selalu terpenuhi. Sepertinya sang papa berusaha menebus kesalahannya dengan memanjakan Nadine. Namun, hal itu membuat Nadine tumbuh menjadi anak yang egois. Dia tidak pernah mau mengalah ataupun memikirkan perasaan orang lain. Baginya menyakiti perasaan seseorang hanyalah masalah sepele. Nadine selalu merasa paling benar dan selalu melakukan pembenaran atas apa saja yang diperbuatnya.
_
Setelah puas perang bantal, Nadine pun terperangah dengan napas sesak. Rambut panjangnya kini sudah kusut. Sedangkan Ditta beranjak keluar kamar untuk mengambil minuman.
“Kamu mau minuman apa?” tanya Ditta.
“Air putih aja deh,” jawab Nadine.
Tak beberapa kemudian Ditta pun kembali masuk ke dalam kamar. Raut wajahnya terlihat gelisah. Dia juga tidak membawa apa-apa di tangannya.
“Lho... minumannya mana?” tanya Nadine.
“Nad, diluar ada....” ucapan Ditta terhenti.
Nadine mengernyitkan dahi menatap Ditta yang terlihat semakin gelisah. “Siapa? Eja?” tanya Nadin.
“B-bukan, Nad.”
“Terus siapa?”
“Papa kamu.”
Nadine mendengkus kesal. Dia pun melangkah keluar dengan hentakan kaki yang kuat. Bibirnya sibuk menggerutu tidak jelas apa yang dikatakannya. Begitu sampai di luar, dia mendapati sang papa yang tersenyum tipis kepadanya.
“Ngapain Papa ke sini?” bentak Nadine saat melihat papanya.
Sang papa tersenyum tipis. “Kenapa kamu belum pulang juga?”
Nadine memutar bola matanya malas. “Nadine kan, udah bilang mau nginap di rumah Ditta.”
“Tapi ini sudah dua hari Nadine.”
“Udah deh... mendingin Papa nikmatin aja waktu Papa sama mereka,” ucap Nadine.
Pupil mata sang papa bergetar mendengar kalimat itu. Ada emosi yang tersirat dari sorot matanya, tapi dia segera tersenyum dan menahan diri. “K-kita pulang sekarang, yuk!” ajak sang papa.
“Nggak! pokoknya Nadine nggak mau pulang!” pekik Nadine.
“Ayolah Nadine, kamu nggak boleh bersikap kekanak-kanakan seperti ini. Pokoknya Papa mau kamu ikut pulang SEKARAANG...!” nada suara sang papa sedikit meninggi.
Nadine terhenyak. Sementara sang papa sepertinya juga terkejut dengan apa yang baru saja dilakukannya. Nadine menggeleng pelan dengan air mata yang sudah menggenang. Gadis itu beringsut mundur sambil menyeka air matanya yang sudah tumpah.
“P-Papa barusan ngebentak aku?”
“Bukan Nadine... Papa nggak bermaksud seperti itu. Tapi kamu sudah seharusnya mengerti ka—”
“Nggak...! Papa udah nggak sayang lagi sama aku!” pekik Nadine memotong ucapan papanya.
“Nadine... papa nggak bermaksud seperti itu!”
“Sebelumnya Papa nggak pernah ngebentak Nadine kayak gini. Semua ini gara-gara mereka... Nadine benci... Nadine benar-benar benci sama mereka!”
“Nadine....”
Bibir sang papa terkatup saat Nadine kembali masuk ke rumah Ditta. Raut sedih jelas terpancar dari wajahnya. Ditta pun kini merasa serba salah. Dia hanya berdiri termangu dengan wajah di tekuk. Sampai akhirnya papa Nadine tersenyum tipis, lalu menepuk pundaknya pelan.
“Ditta... Om titip Nadine, ya.”
“I-iya Om.”
Papa Nadine pun melangkah pergi dengan wajah ditekuk. Ditta hanya bisa menghela napas, kemudian segera berlari ke kamarnya untuk melihat keadaan Nadine. Gadis itu kini sudah membenamkan wajahnya ke bantal. Ditta hanya bisa menggeleng pelan. Tidak ada yang bisa dilakukan jika Nadine sudah seperti itu. Membujuknya pun hanya akan menjadi usaha yang sia-sia saja. Ditta sudah paham betul kalau satu-satunya yang harus dilakukan hanyalah membiarkannya saja.
_
_