Matahari terik menyilaukan indera penglihatan, Albee bahkan lupa menutup jendela kamar setelah ketiduran semalam.
Tampak Embun masih meringkuk di ranjang dengan selimut menutupi tubuhnya, membuat Albee curiga apakah semalam tadi wanita itu meminum obat tidur?
Albee turun dari ranjang yang sama dengan Embun dan memutar tubuhnya menghadap ke wanita yang tadi terbaring membelakanginya.
Memegang kening Embun untuk memastikan suhu tubuhnya yang ternyata normal. Dengan perlahan, diguncang bahu Embun untuk membangunkannya, dia yang kini telah memakai kaos hitam polos itu menyugar rambut yang menjuntai ke belakang.
Mata Embun tampak berkedut dan perlahan dia membuka kelopak matanya dan terbelalak saat melihat Albee yang membungkuk ke arahnya. Albee berdiri dan menyibak tirai jendela semakin lebar.
“Sudah siang, saya harus berangkat kerja, sebaiknya kamu ikut saya pulang,” ucap Albee, mengambil kotak rokok miliknya dan menyalakan pemantik untuk rokok tersebut, duduk di tepian jendela. Embun duduk dan menurunkan selimutnya, bajunya yang koyak jelas memperlihatkan bagian tubuhnya yang biasa tertutup rapat.
Albee hanya melirik dari sudut matanya dan menunjuk paper bag yang terletak dimeja, “ganti pakaian kamu dengan baju disana,” ucap Albee, kembali melihat ke arah jalanan di bawah sana yang mulai ramai di pagi hari.
Embun turun dari ranjang dengan pelan, memakai sandal hotel yang entah sejak kapan sudah berada di sisi ranjangnya. Lalu berjalan menuju meja dimana terletak paper bag yang ternyata telah berisi satu stel pakaian, yang terdiri dari kaos berwarna hitam dan juga celana jeans yang sepertinya pas dengan tubuhnya. Bahkan dia membelalakkan mata ketika melihat setelan dalaman. Apakah Albee bisa menebak ukurannya?
Embun menggeleng dan segera berjalan cepat menuju toilet, sebaiknya dia membasuh tubuhnya yang lengket dibawah kran shower. Menyabuni tubuhnya dengan perlahan dan tak terasa air matanya meleleh, tak menyangka Mira sekejam ini padanya.
Memang apa yang dia harapkan dari saudara jauhnya yang katanya bekerja di perusahaan besar itu? Harusnya dia sudah menyadari bahwa Mira pasti melakukan bisnis kotor untuk mendapatkan harta kekayaannya.
Setelah mandi, Embun mengenakan bajunya dan meletakkan gaun yang koyak tadi di paper bag, menyisir rambutnya yang masih agak basah dan keluar dari kamar mandi dengan menenteng paper bag tadi, berpapasan dengan Albee yang telah menghabiskan satu batang rokoknya dan berniat membasuh diri.
Embun mengambil sepatu heels yang semalam tadi dikenakan dan memasukannya ke paper bag, dan saat Albee keluar dari kamar mandi, dia pun segera menoleh pada pria yang telah mengikat rambutnya dengan rapih itu.
“Sandal ini boleh dibawa pulang? Aku nggak nyaman pake heels,” ucap Embun. Albee menjawabnya dengan anggukan kepala.
“Kita sarapan di jalan saja ya,” ucap Albee lalu mengajak Embun keluar dari kamar tersebut, menenteng jasnya yang berada di sandaran sofa.
Saat keluar dari kamar, terlihat Mira yang sedang mengomel pada petugas kebersihan. Dengan spontan, Embun bersembunyi dibalik tubuh Albee, sekilas saja Albee tahu bahwa wanita itulah orang yang dibicarakan Embun semalam.
“Embun!” teriak Mira, matanya melotot dan berniat menarik Embun namun Albee menghalaunya.
“Kamu siapa? Jangan ikut campur!” teriak Mira. Albee mengambil dompetnya dari saku celana.
“Saya calon suami Embun,” ucapnya dengan tangan mengeluarkan lembaran merah dari dalam dompet itu, sebenarnya dia tak banyak menyimpan uang cash dan lebih sering membayar dengan uang elektronik, karena itu dia keluarkan semua yang ada di dompet. “Jangan pernah ganggu dia lagi! Dia mempunyai hak penuh atas tubuhnya! Dan apa yang kamu lakukan itu illegal, saya bisa memenjarakan kamu atas hal itu!” Albee melempar lembaran uang itu ke tubuh Mira sambil berdecih lalu menggandeng tangan Embun, meninggalkan Mira yang tampak marah.
***
Albee menyetir mobil sendiri pagi ini, sementara Embun berada di sampingnya, saat Albee ingin menekan pedal gasnya, sontak melihat ke arah Embun yang tak jua memakai seat belt membuat dia menghela napas dan menarik seat belt, melewati tubuh Embun dan memakaikannya, Embun menahan napas dengan jarak sedekat itu.
Terhirup aroma parfum dari Albee yang meskipun tak menyengat namun mampu menggetarkan syaraf di indera penciumannya. Albee mengernyitkan kening melihat Embun yang membeku, dia pun mengacuhkannya dan mulai melajukan mobil.
Membelah jalan Jakarta tanpa banyak bicara, lalu melewati restoran cepat saji dan memesan makanan secara drive thru, tak ada waktu banyak karena dia perlu mengganti pakaian di rumah dan berangkat kerja, hari ini ada meeting di perusahaannya. Meeting yang sangat penting mengenai saham yang menurun karena dirinya dinilai tak profesional dan tak menuruti keinginan sang ayah yang mengakibatkan saham miliknya masih dibekukan.
Ya sang ayah yang merupakan pemilik saham terbesar di perusahaan itu memberi surat wasiat saat sakit, yang menyatakan bahwa Albee hanya bisa mewarisi seluruh sahamnya setelah menikah dan mempunyai anak. Kehidupan Albee yang terlalu fokus pada bisnis membuat ayahnya khawatir bahwa Albee mempunyai orientasi seksual berbeda, atau tak tertarik dengan kehidupan pernikahan. Sehingga dia menuliskan hal itu yang disaksikan oleh notaris juga beberapa direksi, orang kepercayaannya di perusahaan.
Albee tak bisa berkutik atau protes karena tak lama setelah pengesahan wasiat itu, ayahnya menghembuskan napas terakhir. Yang lebih membuatnya kesal adalah, sang ayah menuliskan jika sampai usia Albee ke tiga puluh tiga dan dia belum mempunyai anak dan istri, hak waris perusahaan itu akan jatuh ke istrinya atau ibu sambung Albee.
Seperti yang Albee tahu, bahwa Meisie, sang ibu sambung tak pernah tertarik dengan perusahaan dan hanya senang berfoya-foya, bahkan setelah suaminya meninggal, dia tak segan – segan bergonta ganti pacar, sementara Albee tak bisa berbuat apa-apa atas itu karena saat ini kedudukan dirinya dan sang ibu sama.
Albee menerima makanan yang disodorkan kasir kepadanya dan mulai melajukan mobil lagi, menyuruh Embun membuka makanan itu dan memakannya, dua buah burger ukuran besar dengan kopi hangat dan juga kentang goreng menjadi sarapan mereka di mobil pagi ini.
Saat lampu merah, Albee mengambil satu potong burger miliknya dan memakannya, lalu mengendarai mobil sambil makan, dia tak terbiasa tak sarapan di pagi hari, sehingga sarapan adalah hal wajib yang menjadi rutinitas hariannya.
“Kenapa? Nggak enak?” tanya Albee pada Embun yang tak bernapsu memakan makanannya. Embun menggeleng dan mengunyah roti isi daging yang kini ada di mulutnya itu.
“Besok hari terakhir bapak harus membayar hutangnya, tapi aku belum pegang uang sepeser pun,” cicit embun, menunduk untuk menatap burger di pangkuannya.
“Nanti sore sepulang kerja kita ke kampung kamu, aku lunasi hutang itu sekaligus melangsungkan akad nikah,” ucap Albee sambil menyuap makanannya, melihat wajahnya yang tampak tenang, membuat Embun didera penasaran. Apakah sebegitu tak berharganya kah pernikahan di matanya?
“Kalau boleh tahu alasan kamu menikahi aku apa?” tanya Embun. Albee melirik Embun dan menandaskan makannya lalu meremas bungkusan bekas burger itu dan menyerahkan pada Embun untuk diletakkan di plastik yang tadi dipakai membungkus makanan itu.
“Kamu tahu simbiosis mutualisme?” tanya Albee yang diangguki Embun.
“Aku butuh kamu dan anak kita nanti untuk mendapatkan hak aku atas perusahaan, dan kamu butuh uang aku untuk membayar hutang bapak kamu kan? Meskipun demikian, aku janji akan tetap memperlakukan kamu dengan baik dan selayaknya istri aku, tak ada perceraian kecuali kamu yang menginginkannya.
“Setiap bulan aku akan memberikan kamu uang nafkah, anggaplah uang jajan karena semua kebutuhan akan aku sediakan. Selain itu jika kamu mau kuliah, aku akan membantu kamu,” tutur Albee. Embun menatap Albee dengan mata membesar, kuliah? Dia tentu sangat menginginkan hal itu. Bolehkah?
“Apa ada yang kurang?” tanya Albee dan Embun menggeleng.
“Bolehkah aku kuliah jika sudah menikah?” tanya Embun dengan suara pelannya.
“Tentu saja, nanti aku bantu cari kampus yang bagus, tapi kamu jangan lupakan kewajiban kamu sebagai istri aku, ya?”
“Iya,” jawab Embun antusias dengan senyumnya yang terkembang, senyum pertama yang ditunjukkan untuk Albee semenjak bertemu dengannya semalam. Senyum yang entah mengapa terlihat sangat indah di mata Albee. Seolah ada sebuah rasa asing yang perlahan merayapi hatinya, membuatnya ingin terus melihat senyum itu.
***
Embun ternganga, melihat rumah yang seperti istana di hadapannya, sangat luas dan besar, bahkan rumah Mira di kampung tak ada apa-apanya dibanding kan bangunan megah di hadapannya. Albee mengajak Embun masuk ke dalam rumahnya, seorang pelayan tampak membuka kan pintu untuk Albee.
Dan pria yang memakai earphone di telinga menyambutnya, “jadwal hari ini, meeting dengan dewan direksi mengenai saham, peninjauan lokasi proyek dan zoom meeting dengan mister Rudolf,” ucap sekretaris sekaligus supir pribadi Albee. Pria berusia tiga puluh lima itu berpakaian sangat rapih dengan setelan jas yang berwarna hitam, melirik ke arah Embun yang mengekor Albee.
“Batalkan mengenai peninjauan lokasi dan majukan zoom meeting dengan mister Rudolf karena sore ini saya harus segera menuju rumah wanita ini,” ucap Albee. Sekretaris itu bertanya dengan kode matanya, membuat Albee menghentikan langkahnya.
“Dia Embun, calon istri saya,” ucap Albee. Pria itu pun mengulurkan tangan yang disambut dengan kaku oleh Embun.
“Margo, sekretaris bapak Albee,” kenal Margo.
“Embun,” tutur Embun. Margo hanya tersenyum sekilas melihat pakaian yang dikenakan Embun, dia tentu tahu pakaian itu karena dia yang mencarikannya sesuai perintah atasannya malam tadi.
Setelahnya, Embun diminta beristirahat di kamar Albee, kamar yang bahkan tak pernah dimasuki siapapun terkecuali pelayan khusus Albee.
Embun memperhatikan kamar yang didominasi warna hitam itu, tampak sangat elegan meskipun cukup gelap, kasur besar yang sangat empuk akan membuatnya betah berlama-lama disana.
Setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian formal, Albee pun pergi meninggalkan Embun dengan beberapa pesan untuk pelayannya agar melayani Embun sebagai calon istrinya.
Lalu Albee duduk di kursi penumpang, sementara Margo yang menyupir untuknya.
“Setelah ini, kamu cari rumah wanita bernama Mira, katanya berada di sekitar perumahan Cempaka. Ambil barang Embun dan beri imbalan untuk kompensasi. Dan persiapkan berkas pernikahan untuk saya,” ujar Albee, menginstruksikan Margo namun matanya tetap menatap tablet indeks saham perusahaannya.
“Anda serius ingin menikahinya?” tanya Margo terdengar ragu.
“Dia pintu keluar darurat saya, jadi tolong lakukan semua dengan baik,” ucap Albee yang diangguki Margo. Perintahnya mutlak tak bisa diganggu gugat. Albee hanya berharap semua sesuai dengan rencananya tak ada halangan apapun, dia sangat ingin mendepak Meisie yang terlalu ikut campur akan kehidupannya. Wanita yang bahkan hanya menginginkan harta ayahnya saja itu harus pergi jauh darinya, agar hidupnya tenang.
***