Satu
“Haruskah kita menikah?” tanya seorang wanita di sudut kamar sebuah hotel berbintang yang jendelanya dibiarkan terbuka lebar.
Rambutnya berantakan, wajahnya lebam dan gaun merahnya koyak, mata besarnya tampak sembab karena terlalu banyak menangis dan di sudut bibirnya masih ada sisa darah.
Di depan jendela, berdiri seorang pria berambut sebahu, bajunya sama mengenaskan dengan wanita itu, kemeja putihnya koyak dan kancingnya lepas, rambutnya tertiup angin malam yang berhembus kencang. Baju yang tersingkap menampilkan otot di perutnya yang tercetak jelas, tinggi badannya sekitar 185 senti, menunjang penampilannya yang membuatnya tetap terlihat tampan meskipun di pipinya ada bekas tonjokkan.
Hidung mancung dan bibirnya yang terlihat seksi meski sedang menghisap rokok. Matanya tampak tajam saat menatap lawan bicaranya.
“Haruskah?” pria itu bertanya seolah kepada dirinya sendiri dan tak mengindahkan wanita mungil yang masih gemetar memegang lututnya di sudut ranjang itu.
“Bapak bilang, bapak butuh anak dari saya, bukan?” cicitnya sambil menunduk, rasa trauma atas kejadian yang baru saja dialaminya membuatnya sangat takut.
“Siapa nama kamu tadi?”
“E-Embun,” jawabnya dengan mengangkat sedikit wajahnya dan melirik ke arah pria yang sudah melemparkan rokoknya ke balkon. Lalu berjalan menghampirinya.
Wanita itu semakin ketakutan ketika pria asing tadi duduk di dekatnya.
“Embun, bagaimana kita bisa punya anak jika kamu ketakutan seperti ini?” ucap nya dengan suara dingin.
“M-Maaf.”
Pria itu berdiri dan mengurut pelipisnya, baru terasa wajahnya yang kesakitan, seharusnya tadi dia tak membiarkan wajah tampannya di pukul. Namun nasi telah menjadi bubur. Dia kini hanya dapat menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan.
“Panggil saya Albee atau Mas Albee karena sepertinya usia saya lebih tua dari kamu, dan baiklah kita akan menikah dahulu sebelum mewujudkan keinginan kita. Tapi sebelum itu, kamu harus tinggal dirumah saya dulu, dunia luar terlalu berbahaya untuk gadis polos seperti kamu,” ucapnya sambil meninggalkan Embun yang masih gemetar ketakutan.
Albee menelepon seseorang dan memilih menyetel televisi, meninggalkan Embun di ranjang hotel yang dia pesan tadi. Wanita itu masih terdengar terisak, memilih membaringkan tubuhnya di ranjang dengan tubuh meringkuk persis bayi.
Saat Albee membuka pintu dan menerima barang yang dimintanya, dia pun berniat memberikan satu kantung barang yang berisi baju ganti itu ke Embun, namun melihat Embun yang tertidur pulas membuatnya urung.
Dia pun menarik selimut untuk menutupi tubuh Embun yang tampak kedinginan, lalu duduk di ranjang itu, memperhatikan wajah mungil Embun dengan make up yang hancur, mungkin sehancur hatinya saat ini.
Albee tersenyum simpul, lalu menggaruk belakang kepalanya. Merasa bodoh sendiri, mengapa dia harus terlibat dalam insiden ini? Dan ketika dia sudah melangkah, pantang baginya untuk mundur. Apapun yang terjadi, dia akan menghadapinya.
***