Gemerlap kota metropolitan di malam hari, membuat Embun membelalakkan mata, lampu – lampu menyala berkelap kelip di malam hari seolah menyambutnya. Tak henti Embun mengagumi keindahan langit malam ini.
Setelah menempuh perjalanan lebih dari enam jam, dan beberapa kali singgah untuk makan atau sekedar melemaskan punggung. Akhirnya mereka sampai di ibu kota yang terkenal di seluruh pelosok negeri.
Banyak yang katanya sukses mengadu nasib di kota metropolitan ini, meskipun tak sedikit juga yang harus menelan pil kekecewaan yang terasa sangat pahit.
Mira menghentikan mobilnya tepat di halaman sebuah rumah yang sangat besar, dengan banyak kamar di lantai dua dan tiganya. Embun terpana dan ikut keluar dari mobilnya.
“Wah rumah mbak Mira besar banget,” ujar Embun, menatap rumah tiga lantai tersebut, yang mana ada balkon menghadap ke arahnya dan banyak pintu di setiap kamar di depan balkon tersebut.
“Bukan rumah mbak, mbak ngekost disini, lebih baik bikin rumah di kampung, di sini mahal,” ucap Mira sambil terkekeh. “Yuk masuk,” ajaknya.
Embun hanya mengangguk dan mengikuti langkah Mira dengan membawa satu tas besar berisi pakaiannya.
Tak mudah meminta restu pada orang tuanya tadi, namun dia meyakinkan bahwa dia tak mau menjadi korban lintah darat itu dan memilih mengadu nasib disini, ayahnya pun akhirnya menyetujui meski dengan berat hati, pun dengan ibunya yang melepas dengan tangisan.
Mira berjalan melalui tangga yang berada di sisi rumah kost tersebut, menuju kamarnya di lantai teratas, membuka kunci kamar dan mendorongnya, sesaat udara pengap dan bau bekas rokok menyergap indera penciuman Embun, hingga wanita itu mengernyit mencoba menghalau baunya.
“Maaf ya berantakan,” ucap Mira, membuka pintu kamarnya semakin lebar dan memperlihatkan isi kamarnya yang berantakan, Embun hanya tersenyum tak enak.
Di kamar itu ada ranjang berukuran single namun ternyata di bawahnya ada kasur yang bisa di tarik, satu lemari kayu kecil dan televisi berukuran 14 inch, serta kipas angin yang menempel di dinding, dan dispenser di sudut kamar.
Selain itu ada kamar mandi di dalamnya, meski berukuran sangat kecil, setidaknya cukup nyaman andai saja lebih bersih.
Namun tumpukan baju kotor dan juga sampah snack dan puntung rokok bertebaran dimana-mana, membuat Embun tak bisa berkata-kata.
Mira menutup pintu dan berjalan menuju lemari, mengambil satu gaun pendek dari dalam lemari dan mengganti bajunya di hadapan Embun, menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhnya dengan bau yang sangat menyengat, tak lupa memulas lipstiknya yang mulai terhapus.
“Kamu istirahat saja dulu,” ucap Mira sambil mengambil tas tangan dan memasukkan dompet serta ponselnya.
“Mbak mau kemana?” tanya Embun yang sudah duduk di ranjang itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Apa yang ingin dilakukan Mira di jam segini?
“Kerja, berangkat dulu ya,” ucap Mira sambil berjalan meninggalkan Embun. Embun tak bisa bertanya lagi ketika pintu kamar itu ditutup oleh Mira, dia hanya mampu menghela napas dan memutuskan untuk membereskan kamar Mira sebelum tidur, dia tak akan bisa tidur dengan bau aneh seperti ini. Dadanya terasa sesak. Karenanya dia menyalakan kipas angin dan mulai melepas jaketnya, menyapu setiap sudut kamar Mira.
Dia pernah mendengar tentang shift di perkotaan, mungkin Mira memang masuk kerja shift malam sehingga dia berangkat di tengah malam seperti ini.
Embun sangat salut karena Mira yang seharian ini menyetir namun tak tampak lelah dan tetap pergi bekerja, dia harus mencontoh Mira nantinya jika ingin sukses.
Embun sedikit kebingungan, ketika melihat gaun-gaun yang berserakan itu, dia tak berani meletakkan di tempat pakaian kotor, karenanya dia hanya melipatnya dan meletakkan di sudut.
Pekerjaan Mira apakah diharuskan mengenakan gaun berukuran sangat pendek seperti tadi?
Embun memperhatikan tubuhnya yang mungil, mungkin jika gaun itu dipakainya, akan tampak kelonggaran. Apalagi Mira memang lebih tinggi lima senti darinya yang berukuran 160 senti.
Embun merasa sangat lelah, waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi, karenanya setelah mencuci muka, dia langsung terlelap di kamar itu.
***
Embun yang tak pernah bangun siang sebelumnya, kini bangun cukup siang, matahari sudah meninggi saat dia membuka matanya, mendapati Mira yang juga masih tertidur di ranjang atasnya.
Dia pun memutuskan mencuci muka dan melihat ke luar kamar.
Saat membuka pintu, ada beberapa penghuni kost lain sedang beraktifitas di luar, ada yang menjemur pakaian, ada yang menyapu juga ada yang membersihkan kaca jendela. Dan kesemuanya perempuan yang berpakaian sangat pendek.
Embun memperhatikan penampilannya, kaos kebesaran, dengan celana training panjang, juga rambut panjang yang diikat.
Sementara penghuni kost lain memakai celana sangat pendek, dengan atasan kaos ketat, bahkan banyak yang memakai tank top saja, semua mengalihkan perhatian ke Embun yang salah tingkah, lalu seolah tersenyum meremehkan.
Hingga seorang wanita yang mungkin seusia Mira maju dan memperhatikan penampilannya dari atas kebawah.
Embun hanya bisa menunduk saat tatapan wanita itu seolah menelanjanginya.
“Kulitnya bagus, putih, dan lembut,” ucap wanita itu sambil mengusap lengan Embun, Embun mundur satu langkah dan menabrak tembok, balkon ini memang tak terlalu besar sehingga semua yang ada disana bisa mendengar ucapan wanita yang kini mengangkat dagu Embun agar mendongak.
“Bulu mata lentik, mata besar, hidung mungil tapi mancung, bibirnya tipis, korban baru ya?” ucapnya yang memancing gelak tawa dari penghuni kost lainnya.
“Siapa namanya?” tanya wanita itu.
“E-Embun,” jawab Embun, kembali menunduk saat tangan yang menopang dagunya melepasnya.
“Dari kampung Mira?” tanya wanita itu lagi yang diangguki Embun.
“Wah bakalan menang banyak dia, bagus kayak ini,” kekeh wanita itu. Yang ditimpali dengan sorakan dari penghuni lainnya.
“Apa sih pagi-pagi sudah berisik!” Mira mengacak rambutnya dan berdiri di depan pintu kamar sambil bertolak pinggang.
“Ups, sorry,” ucap wanita itu mengambil langkah menghindari Mira, namun tak tampak raut penyesalan di wajahnya.
“Siapa Mir?” tanya wanita lainnya.
“Keponakan dari kampung, mau coba adu nasib disini,” jawab Mira, menyuruh Embun masuk dengan mengedikkan dagunya. Embun pun masuk sambil menunduk. Mira menatap teman kostnya satu persatu sambil meletakkan jari telunjuk di bibir, “Sssst,” ucap Mira sambil menahan tawanya. Membuat teman yang lain hanya menggeleng geli.
Embun duduk di lantai dengan perasaan bingung, apakah semua orang kota seperti itu? Tingkah lakunya membuat dia sangat takut.
“Jangan di dengerin, mereka memang suka usil,” ucap Mira sambil kembali berbaring di ranjang.
“Oiya tadi pagi mbak sudah beli sarapan sebelum pulang, makan aja ya, disitu. Mbak pusing mau tidur lagi,” ucap Mira sambil memejamkan matanya.
Embun melihat ke arah yang tadi ditunjuk Mira, tergeletak sebuah plastik berwarna hitam, Embun pun membukanya dan mengambil nasi bungkus, dengan segera dia membuka dan memakannya. Perutnya terasa sangat lapar, dan dia yang masih kelelahan pun tertidur setelah makan.
***
Selama hampir empat hari Embun tinggal di kamar kost Mira, dia belum juga tahu apa pekerjaan yang Mira lakukan, setiap malam selalu keluar dan pulang saat pagi hari,
Ketika siang sampai sore dia akan mengajari Embun berdandan dan mencoba pakaiannya, berlatih jalan dan sebagainya, Embun tak berani bertanya macam-macam, karena Mira sering naik pitam ketika mengajari Embun yang tak bisa-bisa mengerlingkan matanya untuk menggoda.
Embun mulai khawatir, dapatkah dia melunasi hutang ayahnya? Bahkan sudah hari keempat kepergiannya, dia belum juga mendapatkan pekerjaan. Dia tak mau ketika pulang ke kampung dan tak mendapati orang tuanya lagi.
“Mbak, kapan aku diajak kerja?” tutur Embun saat Mira terlihat asik berbalas pesan. Sementara dirinya, punya ponsel pun tidak.
“Malam ini. Mbak lagi pesan baju untuk kamu, sabar ya,” ucap Mira. Embun tersenyum lebar, akhirnya kesempatan itu terbuka, dan dia akan memanfaatkan kesempatan ini demi keluarga yang dicintainya.
***
Embun menutup d**a dengan tangannya ketika selesai memakai gaun berbelahan d**a sangat rendah itu, dia bahkan tak diperkenankan memakai kain penutup dadanya meski sudah memohon pada Mira.
Mira justru menggertaknya dan mengancam akan memulangkannya jika Embun tak menurut.
Akhirnya Embun hanya bisa terpojok di samping Mira yang mengendarai mobil, apalagi Mira selalu memberikan pelototan dari matanya dan meminta Embun untuk tak membuatnya malu.
Embun masih terdiam ketika Mira menyuruhnya turun dari mobil, mereka ada di basement parkiran hotel ternama saat ini.
Mira mengajak Embun untuk naik lift dan menekan tombol teratas di hotel itu. Lalu Mira berjalan melewati koridor panjang kamar hotel, Embun mengambil jarak dua langkah dari dirinya.
Dan Mira membuka dompetnya, mengeluarkan sebuah kartu yang ditempelkan ke benda di samping pintu yang ternyata merupakan kunci kamar tersebut. Melihat Mira yang sangat hapal seluk beluk hotel itu membuat Embun yakin pasti wanita itu bekerja disini.
Sesaat Embun melihat Pria memakai setelan jas dengan rambut dikuncir melirik ke arahnya, mereka bertatapan selama beberapa detik, Embun menunduk dan mencoba menutupi dadanya. Pria itu membuka pintu kamar di sebelahnya dan menghilang di balik pintu itu.
Mira mendorong pintu kamar hotel berukuran sangat luas dengan furniture yang sangat lengkap.
Tak bisa mengaguminya, karena Embun justru ketakutan. Mengeratkan gaun merahnya agar menutupi dadanya meskipun tak berhasil.
Mira meminta Embun duduk di sofa dan dia berniat meninggalkannya.
“Mbak mau kemana? Aku takut,” ujar Embun sambil menarik tangan Mira namun Mira menghempaskannya.
“Kamu ingat saja hutang orang tua kamu! Dengan begitu kamu nggak akan takut! Kamu pikir mudah dapat uang ratusan juta disini! Masih sukur ada yang mau bayar kamu seperapat dari hutang itu!”
“M-maksud mbak?”
“Kamu akan tahu nanti,” ucap Mira sambil berjalan, namun lagi-lagi Embun menarik tangan Mira.
“Mbak jual aku?” tanya Embun dengan mata membelalak.
“Kamu yang jual diri kamu sendiri! Ingat itu!” ucap Mira sambil kembali menghempaskan tangan Embun.
“Mbak jahat!” ucap Embun terisak. Mira hanya menggeleng sambil meninggalkan Embun yang ingin mengekornya dan dengan cepat Mira mendorong Embun hingga terjatuh agar dia bisa menutup pintu itu dan menguncinya dari luar.
Embun tak tahu lagi harus apa? Sudah mencoba mendorong pintu itu namun tak ada gerakan yang berarti dari pintu tersebut. Hingga dia menyerah dan terjatuh di lantai, meratapi nasibnya.
Setelah beberapa menit, pintu tersebut terbuka dan Embun semakin takut, beringsut menjauhi pintu tersebut.
Embun menunduk dengan memeluk lututnya di lantai, hanya bisa melihat sepatu pantofel berkilap milik seseorang yang kini berdiri di hadapannya.
“Bangun!” perintah dari suara berat itu, Embun ketakutan dan tetap terdiam, hingga pria itu menarik tangan Embun dan membuat Embun terpaksa melihat ke arahnya.
Pria bertubuh besar dengan perut buncit dan tampang yang cukup seram, usianya sepertinya dua kali lipat dari usia Embun.
“Manis juga,” ucap pria itu sambil menjilat bibirnya sendiri, tangannya menelusuri leher Embun hingga Embun menahan napas karena ketakutan.
“Tolong jangan sentuh saya,” ucap Embun sambil terisak, air matanya mengalir begitu saja. Pria itu justru tertawa menanggapinya, tangannya dengan kurang ajarnya menarik turun tali gaun Embun sampai terkoyak, sekuat tenaga Embun menahannya hingga pria itu jadi tak sabar dan mendaratkan tangannya di pipi Embun. Embun tersungkur karena tamparan itu sangat keras dirasanya.
“Tolong ... .” ucap embun putus asa.
“Sepertinya kamu suka pakai kekerasan ya?” ucap pria itu sambil menyeringai, melepas jasnya dan juga ikat pingganya. Embun beringsut mundur dan berteriak, namun dia tak bisa melakukan apa-apa ketika pria itu mencoba terus meringsek maju.
Suara bel khusus kamar hotel yang ditempatinya membuat pria itu menghentikan aksinya, lalu dengan kesal membuka pintu kamar untuk melihat makhluk yang mengganggunya.
“Siapa kamu?” tanya pria itu pada seorang laki-laki yang lebih tinggi darinya, dengan rambut dikuncir, lelaki itu tampak menelisik kamar hotel tersebut.
“Saya mau cari kelinci saya, sepertinya lepas kesini lewat balkon tadi, kebetulan jendela anda terbuka kan?” ucap pria berambut gondrong tersebut.
“Mas!! Tolong saya!” teriak Embun yang tak mau membuang kesempatan, berlari menuju pintu hingga pria tadi menghalaunya.
“Nah, ketemu,” seringai pria gondrong itu sambil mendaratkan tinjunya di pipi pria tadi, baku hantam tak dapat dihindarkan, dan pertarungan dimenangkan pria berambut panjang tadi, sambil melemparkan kartu nama ke muka pria yang sudah tersungkur di bawah itu, dia menarik tangan Embun dan mengajak ke kamarnya.
Menutup pintu itu dan membuang napasnya kasar.
“Bagaimana bisa kamu diperlakukan seperti itu?” tanya pria itu sambil mengusap pipinya yang lebam. Embun terus terisak, “Mbak Mira yang jebak saya, saya hanya sedang butuh uang untuk bapak j-jadi ... ,” Embun tak dapat lagi menahan kesedihannya.
“Berapa banyak uang yang kamu butuhkan?”
“110 juta,” ucap Embun sambil menunduk.
“Saya bisa memberinya, kita adakan perjanjian,” ucap pria itu. Embun mendongak.
“Perjanjian apa?”
“Kamu harus mengandung anak saya, saya akan memberikan berkali lipat dari uang yang kamu butuhkan.” Pria itu berjalan menuju balkon yang terbuka, tempat tadi dia mendengar suara Embun berteriak, ingin mengabaikannya namun pandangan mata Embun saat bersirobok dengannya tadi mengusiknya, ada sesuatu di mata itu yang seolah memanggilnya.
Embun mengikuti pria itu dan memilih duduk di ranjang, beringsut sambil memeluk kakinya. Dia tak tahu siapa yang harus dia percayai, bukankah sama saja dengan dia menjual diri, namun setidaknya dia masih ada harapan jika dengan pria ini, Embun yakin pria yang menolongnya ini lebih baik dari pria yang tadi hampir merenggut keperawanannya.
Karena itu, Embun memintanya menikahinya, dia tak mau melakukan hubungan itu tanpa menikah. Dan ternyata pria itu menyetujuinya.
Embun tak tahu, bagaimana kisah dia berakhir, yang terpenting sekarang adalah, keluarganya bisa selamat. Tak apa dia yang menjadi korban.
***