3. Trauma Masa Lalu Nadine

1047 Kata
Menangis, meratap, dan meraung bukan tipe Nadine ketika menghadapi masalah setelah ia berusia dewasa. Masa-masa kelam seperti itu sudah lama ia lalui. Setelah Shaka menyelesaikannya. Nadine segera bangkit dari tempat tidur, memungut pakaiannya dan berjalan menuju kamar mandi. Ia segera buang air kecil berharap benih-benih yang di tanamkan Shaka bisa ikut keluar meski ia tak yakin. Shaka melakukannya dua kali, dan untuk sesi pertama bisa saja sudah berhasil masuk kedalam rahimnya. Nadine mengguyur tubuhnya dengan air hangat untuk meredakan rasa sakit di tubuh serta hatinya. Selama menjalin hubungan dengan Shaka, hari ini adalah percintaan yang paling menyakitkan. Miliknya perih karena ia tidak siap ketika Shaka memasuki tubuhnya. Baru kali ini ia merasa tersiksa dengan ukurannya. Shaka yang berdarah campuran memang membuat lelaki itu memiliki daya tarik sendiri dari segi fisik maupun rupanya. "Saya bantu keringkan rambutnya?" tawar Shaka begitu Nadine keluar dari kamar mandi. Nadine menurut ia duduk di tempat biasa lalu Shaka mengeringkan rambutnya. "Aku pulang ya?" Ucap Nadine setelah rambutnya kering dan pakaiannya rapi. Tidak ada lagi kata-kata dengan nada ngotot Nadine minta pisah, tapi sorot matanya begitu penuh luka. Tatapan seksi dan menggoda yang biasa Nadine layangkan pada Shaka lenyap tak bersisa. "Saya antar," tawar Shaka dengan penuh kelembutan. "Nggak usah, aku mau langsung pulang ke rumah." Meski berat dan di liputi rasa bersalah, Shaka melepas kepergian Nadine dari apartemennya. Dia tak tahu setelah hari itu, ia tak lagi bisa menemui Nadine yang sama. *** Nadine berbohong, dia tidak langsung pulang kerumah. Ada tempat dan seseorang yang ingin dia kunjungi di saat jiwa dan hatinya sedang tidak sehat seperti sekarang. "Lo ingat gue berarti lagi ada masalah." Tebak Erick salah satu teman masa SMA-nya dulu akan kedatangan Nadine di rumah sakit tempatnya bekerja. "Tahu aja, tapi buat cerita masalahnya gue mau ke Mbak Riska aja nanti. Lo 'kan masih baru, takutnya belum bisa carikan solusinya." "Enak aja, gini-gini pasien gue udah banyak. Cuma target utamanya aja yang belum pernah datang buat berobat ke gue," jawabnya. Nadine tertawa. Pilihan Erick untuk menjadi psikolog memang karena dirinya. Dia adalah orang yang takut dirinya gila. Erick juga yang dulu membawanya rutin konsultasi dan berobat di Kakaknya yang berprofesi sama yaitu, Riska. Sejak ia masih duduk di bangku SMA, dua Kakak beradik itulah yang berjasa besar pada hidup serta kewarasannya. "Rick, dua hari yang lalu gue ketemu Melvin." Pada akhirnya Nadine buka suara akan sesuatu yang mengganjal di hatinya. Erick tertegun. Sapaannya tadi hanyalah sebuah candaan, tapi ketika Nadine sudah menyebutkan nama itu berarti masalahnya serius. "Bumi 'kan emang sempit, Din. Kayaknya potensi buat lo nggak ketemu dia seumur hidup itu memang kecil." "Tapi seharusnya nggak sesempit ini juga, Rick," keluh Nadine. "Maksudnya?" "Lo tahu Om Shaka gue 'kan?" "Ya tahu, sugar daddy setengah bule kesayangan lo itu." "Ternyata Melvin anak kandungnya Om Shaka, Rick." Erick terkejut, tak menyangka jika sempitnya dunia Nadine benar-benar sesempit ini. "Din?" "Trauma gue sembuh di tangan seorang Ayah yang anaknya menjadi penyebab trauma itu sendiri. Gila kan? Apa nasib dan takdir hidup gue se-bercanda ini Rick?" Erick terdiam. Jika yang ada di hadapannya ini adalah pasien lain. Ia bisa dengan mudah memberikan banyak petuah ketenangan. Tapi di depannya ini seorang Nadine, wanita yang ia ketahui dengan jelas seperti apa masa lalu yang begitu menyakitkan jiwa hingga raganya karena ulah seseorang bernama Melvin Alga Wijaya teman sekelas sekaligus pacar Nadin semasa SMA dulu. "Ngopi yuk, Din," ajak Erick yang paham cara menghilangkan kesedihan di hati seorang Nadine. "Nggak ah, nanti gue malah nggak bisa tidur dan tambah stres. Gue minta obat aja ya Rick." "Sakit kepala lo kambuh lagi?" tanya Erick khawatir. "Dikit. Kebanyakan ngamar sama Om Shaka kayaknya jadi kurang istirahat," jawab Nadine seraya tertawa. Erick tersenyum getir. Ia tahu seperti apa hubungan antara Nadine dan kekasihnya termasuk mereka yang sering berhubungan badan. Erick tahu apa yang di lakukan Nadine adalah salah, tapi ia tak bisa melarangnya karena suatu sebab. Nadine mengalami trauma berat pada laki-laki karena kenangan buruk masa lalunya. Enan tahun yang lalu, Nadine mengalami pelecehan oleh satu geng teman dari Melvin kekasihnya. Semua berawal ketika Nadine datang ketempat tongkrongan mereka, menenuhi undangan ulang tahun salah satu anggota geng itu di sebuah klub kecil. Sayang Melvin tidak datang, membuat Nadine menjadi santapan teman-temannya yang tengah terpengaruh minuman beralkohol dan dia tak dapat melawan. Dan yang membuat Erick begitu iba, sehancur-hancurnya Nadine kala itu, tak mau kasus ini di ketahui orang dan memilih menendamnya sendiri. Nadine takut orang akan memandang buruk dia dan pergaulannya. Bahkan orangtuanya pun tak di beritahu karena pasti akan membawa kasus ini ke ranah hukum dan membuat Nadine kehilangan kebebasan di masa mudanya. Hanya pada dirinyalah Nadine menceritakan apa yang sudah terjadi. Sebagai teman, Erick menyesali dirinya yang tak bisa melindungi Nadine sebagai teman. Nadine hanya langsung pindah sekolah tak lama setelah itu dan ia pun mengikutinya. Membuat ia tahu Nadine memiliki trauma besar pada laki-laki. Terlebih setelah tahu kejadian malam itu meninggalkan janin di perutnya dan terpaksa di gugurkan demi masa depan Nadine. Satu tahun lalu Erick terkejut kala Nadine terus saja mengatakan tak lagi tertarik pada laki-laki padahal Ayahnya sudah ingin dia menikah. Erick takut Nadine jadi menyimpang, terlebih seringnya Nadine pergi keluar kota bersama sekretaris cantiknya. Saat Nadine mengatakan bertemu lelaki dan menyukainya ia tak pikir dua kali untuk memberi persetujuan. Sayangnya ternyata langkah yang mereka ambil salah. Nadine menemukan orang yang salah untuk mengobati traumanya. "Din, gue traktir makan mau?" tawar Erick. Ia yakin saat ini Nadine sedang butuh teman. "Boleh deh. Tapi beneran lo yang traktir ya." "Iya, tenang aja. Kenapa sih, lo lagi nggak punya uang?" "Iya, Om sugar daddy-nya mau gue putusin." "Ck, kaya yang biasa lo minta uang ke dia aja." Ucap Erick yang tahu segala apa yang terjadi pada seorang Nadine. "Rick, ngomong-ngomong kalau gue hamil anaknya Om Shaka gimana?" Erick terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba Nadine. "Ck, jangan bercanda. Bukannya kalian selama ini sepakat main aman?'' tanyanya dengan jantung berdetak cepat. "Iya, tapi buat yang tadi enggak,'' jawab Nadine. "Tadi?" Erick bertanya tak percaya. Di tengah kenyataan berat yang harus di hadapi Nadine masih sempat-sempatnya untuk bercinta. Itu berarti Nadine sudah benar-benar sembuh. Atau bahkan kelewat sembuh. Erick senang, meski sudut hatinya sedikit terluka. Erick menghembuskan nafas berat. Setelah ini sepertinya jika apa yang di takutkan Nadine terjadi, temannya ini akan kembali melewati hari-hari yang tak mudah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN