1. Aku Ingin Hubungan Kita Berakhir
Datang ke sebuah unit apartemen mewah milik kekasihnya menjadi rutinitas akhir minggu seorang Nadine Alyawinata. Perempuan lajang yang baru berusia 23 tahun. Disanalah Aldrich Bimashaka Adiraja lelaki matang dan seorang duda berusia 41 tahun yang sudah setahun menjalin kasih dengannya tinggal.
Jika biasanya Nadine datang hanya untuk bersenang-senang, tapi tidak untuk malam ini. Ada sesuatu yang harus ia sampaikan pada kekasih yang sudah setahun ini menemani harinya.
"Kamu kenapa?" tanya Shaka panggilannya yang tahu jika suasana hati Nadine sedang tidak begitu baik. Biasanya Nadine langsung memberi pelukan dan ciuman mesra padanya ketika datang, bukan duduk diam dan melamun.
"Nggak apa-apa lagi banyak pikiran aja."
"Apa ada masalah dengan pekerjaan atau perusahaan Ayahmu?" tanya Shaka sekali lagi.
Nadine menggeleng, semuanya baik-baik saja. Yang saat ini ada dalam pikirannya bukan masalah pekerjaan, melainkan masalah hatinya, hidup, serta masa depannya.
"Om, aku mau sekarang," pinta Nadine.
Mereka berpacaran, tapi panggilan Om sudah melekat di lidah Nadine, karena begitulah dulu sang Ayah ketika mengenalkan seorang Adrich Bimashaka padanya sebagai partner bisnis.
Shaka segera menyelesaikan pekerjaan dan menutup laptopnya. Kedatangan Nadine ketempatnya bukan untuk membahas pekerjaan apalagi hanya sekedar makan malam bersama atau minum kopi. Mereka adalah sepasang kekasih yang menjalani hubungan secara dewasa. Shaka sadar ini salah, tak seharusnya mereka melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan. Tapi sebagai lelaki dewasa yang sudah pernah menikah, tubuhnya punya pagar batas akan sebuah godaan. Sayangnya pagar itu telah berhasil di runtuhkan oleh seorang Nadine Alyawinata, puteri dari Ardian Aryawinata salah satu teman bisnisnya yang sudah ia kenal lima tahun lalu saat ia kembali ke Indonesia. Nadine membuatnya terjerat dalam hubungan penuh kenikmatan dan ia tak bisa lari.
"Kamu nggak mau makan dulu?" tanya Shaka ingin sedikit mengulur waktu.
"Aku nggak lapar."
Nadine mendekati Shaka, duduk di pangkuannya dan memulai sesuatu yang akan berakhir panas di ranjang.
Shaka menghembuskan nafas berat, sejujurnya ia merasa sangat berdosa ketika melakukannya, tapi menolak keinginan Nadine tubuhnya tak lagi mampu. Beberapa kali ia mengajak Nadine menikah tapi masih di tolaknya dengan alasan dia masih terlalu muda untuk menikah dan punya anak.
Shaka segera meraih pengaman di laci nakas, ia tidak ingin memgambil resiko Nadine hamil di luar pernikahan dan dirinya tak bisa menjadi wali resmi anaknya nanti jika berjenis kelamin perempuan.
"Eunghh, lebih cepat lagi, Om," racau Nadine di tengah percintaan mereka.
Di mata Shaka, Nadine termasuk perempuan yang liar ketika bercinta meski terlihat kalem dan berwibawa saat sedang bekerja. Wanita yang tengah mendesah di bawah kungkungannya ini tak malu mengatakan keinginannya untuk bercinta dengan posisi seperti apa dan meminta dirinya bergerak lebih cepat ketika hendak mencapai puncaknya. Tapi Shaka tak pernah menanyakan seberapa jauh pengalamannya Nadine dulu bersama mantan kekasihnya, saat usia berapa Nadine melepas keperawanannya dan dengan siapa saja kekasihnya ini pernah bercinta. Baginya, semua orang punya masa lalu dan tidak semua perlu ia campuri.
Setelah percintaan mereka selesai, satu kegiatan yang tak pernah mereka lewatkan adalah mandi dan membersihkan tubuh bersama. Nadine tidak akan pulang kerumah orangtuanya dengan membawa sisa-sisa dan aroma bekas percintaan mereka.
"Om, aku ingin mengakhiri hubungan kita," ucap Nadine tiba-tiba sambil mengancingkan bajunya.
Shaka menghentikan pergerakan tangannya yang tengah mengeringkan rambut Nadine sehabis keramas. Telinganya tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Nadine memutuskan hubungan tak pernah ia bayangkan sebelumya.
Ia lalu mematikan mesin pengering rambut dan berjongkok di hadapan Nadine.
"Jangan bercanda, Nadine."
"Aku serius, Om."
"Saya tidak akan mengabulkan permintaanmu. Kita sudah sejauh ini dan akhir dari hubungan kita nanti hanyalah pernikahan, Nadine."
"Tolong, Om," ucap Nadine penuh permohonan.
"Tetap tidak."
"Bukankah memutuskan sebuah hubungan itu hak pasangan Om, ketika kita sudah merasa tidak nyaman?" tanya Nadine.
Shaka menatap mata Nadine dalam.
"Memangnya di bagian mana kamu sudah merasa tidak nyaman dengan hubungan kita, Nadine?"
Nadine terdiam, bukan hubungan mereka yang membuatnya tidak nyaman, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berhubungan dengan masa lalunya yang tidak menyenangkan.
"Aku nggak mau banyak alasan, tapi aku ingin hubungan kita berakhir. Dan malam ini untuk yang terakhir kalinya. Terimakasih atas semua perhatian, waktu, dan kasih sayang yang sudah Om Shaka berikan pada Nadine selama ini. Maaf kalau aku terlalu banyak menuntut." Nadine mengusap satu bulir air matanya yang jatuh. Shaka tidak salah apa-apa, bagi Nadine dia adalah laki-laki paling baik yang pernah ia kenal. Sayangnya, warna bola mata sama dan bertatap muka dengannya dua hari lalu membuat Nadine harus mundur dari hubungan menyenangkan dan penuh kasih sayang ini. Jika ia masuk terlalu dalam di kehidupan Shaka, masa lalu penuh luka yang sudah susah payah ia lupakan akan kembali mengiringi dan menghantui hidupnya.
"Jangan mempermainkan saya, Nadine! Berapa kali saya menolak pernyataan cintamu dulu? Bukankah ketika saya menyerah dan akhirnya mau menerima dirimu sudah menanyakan kamu mau serius atau tidak? Dan jawabanmu saat itu adalah akan serius dengan hubungan kita bahkan kamu menjanjikan pernikahan."
"Tapi manusia berubah pikiran itu hal yang wajar bukan? Toh, Om tidak di rugikan sama sekali dengan hubungan kita, bahkan Om bisa bercinta tanpa harus mengeluarkan uang."
Shaka mencengkeram kedua lutut Nadine kuat, tak terima dengan pernyataan wanita muda berambut panjang yang tengah duduk di hadapannya.
"Saya memang seorang duda Nadine, tapi bukan laki-laki yang haus akan urusan ranjang. Ingatlah, semua percintaan itu kamu yang meminta, saya tidak pernah menuntut apalagi memaksa."
Nadine terdiam. Benar, semua yang di katakan Shaka memang benar. Dan itu terdengar sangat menyedihkan di telinga Nadine. Ada sesuatu yang tidak dapat ia jelaskan pada orang lain mengapa dirinya bisa se-murahan ini.