Pulang ke rumah Nadine kembali menjadi anak manis nan berbakti pada orangtuanya. Nadine tidak pernah menyalahkan orangtuanya atas kejadian buruk yang dulu ia alami. Memilih untuk tidak menceritakan kejadian itu ia lakukan agar kehidupan mereka tetap berjalan baik-baik saja. Tidak ada guncangan yang berarti.
"Din, gimana pekerjaan di kantor, lancar?" tanya sang Ayah di sela makan malam mereka.
"Lancar Pa, tidak ada kendala yang berarti. Rencana peluncuran produk baru kita juga sudah tersusun rapi tinggal menggelarnya saja," jawab Nadine.
"Baguslah, semoga produk baru kita meledak dan mudah di terima masyarakat, Om Shaka sudah menaruh banyak uangnya di sini dan semoga kita bisa mengembalikan sekaligus memberinya keuntungan segera."
"Iya, Pah. Di jaman sekarang, masyarakat kalangan atas lebih suka barang yang berkualitas dengan harga tinggi. Keputusan kita sudah tepat, mengeluarkan modal banyak untuk membeli bahan berkualitas dan memberi harga setinggi produk impor jauh lebih menarik di mata masyarakat." Ucap Nadine tentang perusahaannya yang belakangan gencar membuat produk-produk alat rumah tangga modern yang mewah dan berkelas.
"Baguslah, kamu sudah lebih pintar mengincar pasar sekarang," ucap sang Ayah bangga. "Ngomong-ngomong untuk urusan jodoh gimana Din? Bukannya kamu dulu bercita-cita menikah di umur 23 tahun? Di usiamu yang sekarang ini sudah cukup loh untuk menikah dan punya anak," ucap sang Ayah.
"Nadine belum ketemu laki-laki yang pas Pa," jawab Nadine. Seandainya Shaka bukanlah ayah dari mantan kekasihnya, ia akan memperkenalkannya pada sang Ayah dan meminta restu. Nadine tidak main-main saat mengatakan pada Om Shaka dia akan menjalani hubungan yang serius. Sayangnya takdir tak memberinya restu untuk bersatu.
"Ya sudah, Papa bantu doa ya biar kamu segera mendapat jodoh yang tepat. Bisa menjaga dan melindungi kamu dengan baik, bisa menenuhi kebutuhan kamu tanpa kekurangan."
"Amiin Pah, terimakasih doanya."
"Sama satu lagi, kita udah pengin gendong cucu. Iya kan, Ma?" tanya Ardian pada sang istri.
"Iya Din, rumah rasanya sepi setelah Nando gede dan pulang sekolahnya sore," jawab Alita sang istri.
"Salah kalian sendiri dulu waktu Nando masih kecil nggak program buat punya anak lagi," sahut Nadine.
"Kan kita sudah berpedoman dua anak saja sudah cukup, Nadine."
"Tapi kan di sini Papa yang punya anak dua, Mama baru satu."
"Jangan begitu Din, Mama Lita nggak pernah menganggap kamu bukan anaknya," ucap sang Ayah. Alita memang bukan Ibu kandung Nadine, tapi dia bukan sosok Ibu tiri yang jahat. Ibu kandung Nadine sendiri sudah meninggal saat usia Nadine baru lima tahun karena sakit.
"Iya Pah, aku nggak ada niat menyinggung perasaan Mama kok."
"Udah, udah. Di habisin dulu makanannya ngobrolnya di lanjut nanti." Ucap Alita menengahi dan mereka menurut.
Meski tinggal bersama Ibu tiri sejak kecil, Nadine tidak pernah ada masalah dengan keluarganya. Alita menyayanginya, tidak pernah berbuat kasar dalam bentuk ucapan apalagi tindakan. Hanya saja setelah dewasa, terlebih setelah kejadian enam tahun yang lalu Nadine memilih untuk memberi jarak. Tidak semua hal bisa ia ceritakan pada Ibu tirinya dan lebih banyak ia pendam sendiri.
***
Sudah tiga minggu sejak di mana terakhir kali Nadine bertemu dengan Om Shaka. Kabar yang Nadine dapatkan beliau tengah berada di luar negeri entah ada urusan keluarga atau pun bisnis ia tak tahu. Mereka tak lagi bertukar kabar karena Nadine sendiri yang memutus jalur komunikasi di antara mereka. Tapi ini cukup memberikan Nadine ketenangan. Entah sebenarnya hubungan asmara di antara dirinya dan Om Shaka sudah putus atau belum Nadine tak lagi peduli.
Sayangnya ketenangan itu akan berakhir siang ini saat sekretarianya mengabarkan dirinya harus menghadiri makan siang bersama sang Ayah dan Om Shaka yang baru saja pulang dari luar negeri.
"Bilang saja saya sedang sibuk dan tidak bisa datang, Ra," ucap Nadine pada sekretarisnya Rara.
"Tapi Bapak mengatakan tidak menerima penolakan Bu. Beliau ingin Bu Nadine hadir, mau mengucapkan terimakasih pada Pak Shaka karena produk baru kita yang sukses besar di pasaran katanya."
"Buat apa sih ucapin terimakasih ke beliau? Ini kan hasil ide dan kerja keras kita, beliau cuma kasih modalnya aja," keluh Nadine yang malas untuk pergi.
"Ya sama saja Bu, kalau nggak ada modal, mau kita punya ide dan pemikiran se-brilian apa pun nggak akan bisa jalan dan produksi. Investor itu ibaratkan seorang suami, cuma tanam benih pun dia akan tetap dapat gelar seorang ayah dan sangat berjasa atas lahirnya seorang anak. Begitu pun dengan hubungan perusahaan kita dengan investor yang sudah menanamkan modal."
Nadine terdiam, ia mendengar kata-kata Rara tapi otaknya berjalan kearah lain, yaitu tentang ayah dan anak seperti yang Rara sebutkan tadi. Nadine belum mendapatkan tamu bulanannya dan itu membuatnya tidak tenang. Sialnya ia tidak pernah mengingat-ingat di tanggal berapa terakhir ia mendapatkannya.
"Ya sudah, saya berangkat. Kamu nggak usah ikut Ra, jaga meja aja siapa tahu ada yang cari saya."
"Baik, Bu."
Nadine berangkat sendiri ke restoran tempat sang Ayah membuat janji makan siang. Setelah sampai ternyata mereka sudah datang dan tengah berbincang bersama.
"Selamat siang."
"Siang Nadine, sini Nak. Ini Om Shaka baru saja pulang dari luar negeri. Beliau pengin ketemu kamu dan mengucapkan selamat atas kesuksesan produk baru hasil kerja keras kamu," jelas sang Ayah.
Nadine menatap Shaka lalu tersenyum dan menganggukkan kepala seraya mengucap terimakasih.
Nadine yang sangat profesional bukan hal aneh di mata Shaka, ini sudah biasa. Nadine selalu memisahkan antara urusan pekerjaan dan urusan asmara.
"Oh iya, Din. Nanti Om Shaka minta di temani kamu buat lihat langsung ke beberapa store yang memasarkan produk kita."
"Apa itu perlu Pah? Biasanya tidak harus sampai seperti itu," tanya Nadine yang curiga ini hanya akal-akalan Shaka saja agar bisa bertemu dan bicara dengannya.
"Sesekali melakukan cek pasar tidak masalah 'kan Nadine?"
Nadine menghembuskan nafas berat. Baiklah, dia akan menuruti keinginan Shaka. Masalah bukankah harus di hadapi bukan di hindari?
***
"Buka blokiran nomor ponselku Nadine," ucap Shaka ketika mereka berada dalam perjalanan satu mobil.
"Buat apa? Hubungan kita sudah berakhir dan Om tidak perlu menghubungiku lagi selain untuk urusan pekerjaan," jawab Nadine.
"Sekali lagi saya menolak perpisahan kita tanpa alasan yang jelas."
"Alasannya aku sudah tidak cinta Om Shaka lagi, setelah di pikir-pikir usia kita terpaut terlalu jauh jika harus menikah, Om."
"Oh ya? Benarkah? Lantas dulu siapa yang mengatakan jika usia hanyalah sebuah angka?"
"Dulu dan sekarang berbeda, Om."
"Kamu menyebalkan Nadine. Baiklah, bagaimana kalau kita bertaruh Nadine? Saya akan menerima keputusanmu dengan catatan kamu tidak sedang mengandung anakku," pungkas Shaka.
"Om percaya diri sekali benihmu akan langsung tumbuh di perutku dan jadi anak," sahut Nadine meremehkan.
"Karena saya menghitung masa suburmu Nadine, saya ingat di tanggal berapa kamu kedatangan tamu bulanan."
Jantung Nadine berdetak cepat. Shaka melakukannya bukan tanpa perhitungan ternyata, dan jika benar ada janin yang tengah tumbuh di dalam perutnya bagaimana? Apa yang harus ia lakukan? Haruskah Nadine membuangnya lagi dengan paksa untuk kedua kalinya? Apa dia bisa setega dulu? Tapi jika iya ini adalah bayi dari benih Shaka, orang yang jelas dan Nadine sendiri yang memilihnya.
Bukan ke mal apalagi pasar, tapi Shaka membawa Nadine ke sebuah rumah sakit.
"Aku tidak mau turun," ucap Nadine.
"Tubuhku masih cukup kuat untuk menggendongmu."
"Aku tidak mau melakukan pemeriksaan apa pun, Om."
"Harus Nadine!"
"Tapi apa pun hasilnya tidak akan merubah keputusanku!"
"Kenapa tidak? Seorang anak membutuhkan peran Ayah di hidupnya Nadine."
"Tapi seorang wanita juga berhak memilih untuk melahirkannya atau tidak, Om. Aku bisa saja membuangnya."
"Jangan nekad dan keras kepala, Nadine!" Teriak Shaka takut mendengar ancaman Nadine.
Nadine meremas perutnya, air matanya tak dapat ia tahan mendengar nada keras dari Shaka. Belum di periksa pun hatinya mengatakan dia memang sudah ada di dalam sana. Dan apakah dirinya siap menjadi calon Ibu, tanpa Ayah untuk anaknya?