09. KEMARAHAN FERON

1110 Kata
"FERON!" Panggilan dari arah depan seketika saja mengalihkan fokus Feron yang sedang mati-matian menahan malu karena kelakuan Faren yang masih saja bertingkah gilaa di luar jendela kelas. Bukan hanya Feron, siswa lain juga ikut menolehkan wajahnya ke arah depan. "Feron, sekarang juga kamu keluar!" perintah Bu Aini—guru Biologi paling killer di sekolah elit tersebut. Feron yang notabene siswa yang termasuk golongan pintar, detik setelah ucapan guru tua itu, langsung saja terbelalak. Bukan hanya Feron yang terkejut, teman-temannya juga menahan napas sambil menatap Feron dan Bu Aini secara bergantian. Baru kali ini Feron sampai di tegur guru, alih-alih di puji seperti biasanya karena otaknya yang kelewat encer. Feron menelan ludahnya dengan kasar. "Bu, tap—" "Nggak ada tapi-tapian segala! Buruan keluar sana! Nilai kamu ibu kurangin sepuluh poin," potong Bu Aini, sorot matanya tajam, sementara tangannya sudah menunjuk ke arah pintu. Tidak ada nada keraguan dari perkataan guru tersebut, membuat Feron yakin jika Bu Aini tidak main-main. Dengan berat hati, Feron mengangguk pasrah. Ia mendesah panjang, menoleh ke samping, di mana posisi sahabatnya berada. "Gue pergi dulu," ujarnya singkat. Dialihkan pandangannya menuju tas hitamnya untuk mengambil uang dan ponselnya. Lalu ia bangkit dari duduknya. Sebelum ia melangkah keluar kelas, panggilan untuk dirinya kini terdengar. "Eh k*****t! Kalo elo pergi, terus semisal Bu Aini nunjuk gue buat ngisi di depan siapa bege!" omel Geo, teman bangkunya. Feron hanya melirik Geo sekilas, tanpa menjawab pertanyaan yang terlontar dari mulut sahabatnya, Feron pun langsung cabut, meninggalkan Geo yang sudah mengumpat di bangkunya. "Feron sialaan! Mati gue kalo kayak gini!" "Sekarang giliran Geo, ayo jawab pertanyaan ini di depan. Harus bisa, kalo nggak bisa nilai rapor kamu ibu kosongkan!" "Nah kan! Bangke emang," cibir Geo kesal. Tebakannya rupanya benar terjadi, nyawanya sekarang berada di ambang batas. Feron sialaan! Geo bakal balas dendam nanti. Setelah tubuhnya sepenuhnya keluar dari dalam kelas, Feron langsung berjalan menjauh. Pandangannya sama sekali tidak melirik Faren yang masih saja berdiri di atas meja. Melihat Feron yang pergi berbelok entah menuju ke mana, detik itu juga Faren langsung lompat turun dari meja, langkahnya ia percepat sampai akhirnya ia berdiri di samping Feron. Pandangan Faren tak lepas dari wajah Feron yang sungguh dekat dengannya, bahkan ia sama sekali tidak memperhatikan jalanan di depan sana. Sementara itu, dengan wajah datar dan dinginnya, Feron masih saja diam seraya memperhatikan jalanan. Ia mengabaikan Faren seolah-olah cewek itu tidak ada di sebelahnya. "Fegan kok keluar? Bukannya tadi masih pelajaran, ya? Atau Fegan sengaja mau ketemuan sama Faren? Kalo gitu, Fegan so sweet banget dong? Utututu ... Baper nih Faren. Udah ganteng, romantis pula!" cerocos Faren tidak tahu malunya. Feron hanya melirik Faren sekilas, ia mendesah kasar. Langkahnya pun kini terhenti. "Lo berisik!" ucap Feron tegas, matanya yang setajam silet langsung saja membungkamkan mulut Faren. Dengan modal nekat, Faren membalas tatapan Feron meskipun dadaanya sudah berdebar karena takut. Untuk menegarkan hatinya agar baik-baik saja dan agar ekspresinya tidak terlihat menahan takut di hadapan Feron, Faren pun nyengir lebar, disusul menjawab sahutan Feron. "Kan punya mulut, jadi Faren bisa ngomong apa aja dong!" Feron mendengkus kasar, ia berusaha untuk sabar menghadapi Faren. Sungguh, aneh rasanya dipertemukan dengan cewek bermodelan seperti Faren. Sudah nyebelin, cerewet, absurd pula! "Lo pergi sekarang, atau lo bakal nyesel!" "Kalo ngomong itu yang jelas dong Fegan! Jangan ambigu gitu, nanti Faren malah kegeeran sendiri. Faren harus pergi ke mana nih? Kalo ke KUA sih Faren selalu siap, tapi Fegan harusnya juga ikut dong, kan Fegan yang bakal jadi pasangan Faren. Calon suami hehehe ..." balas Faren, diakhir dengan kekehan kecil seperti biasanya. "Gue beri lo pilihan sekali lagi! Gue yang pergi atau lo yang pergi?!" tegas Feron, air mukanya terlihat dua kali lipat lebih serius. Faren diam mematung, namun wajahnya masih terarah pada Feron seraya menggigit bibir bagian bawahnya. Feron tersenyum miris, "gue pergi!" ucapnya dingin. Lalu ia melanjutkan langkahnya, tapi baru beberapa ia melangkah, Faren susah mencengkal pergelangan tangan Feron, membuat Feron seketika saja berhenti dan membalikkan badannya. "Fegan mau ke mana? Faren mau ikut kalo gitu," ujar Faren. "Nggak!" "Tapi Faren pengin terus deketan ama Fegan," cicit Faren, ia memasang ekspresi memelas, sangat berharap jika Feron luluh. Feron menarik tangannya, kemudian memberikan Faren sebuah tatapan mematikan. Faren pun tidak kuasa untuk menelan ludahnya karena takut. Memang kadangkala Feron sangat menyeramkan. Sebelum Faren bisa mencegahnya lagi, Feron buru-buru menghindar dari cewek gilaa itu. Pergi berlalu dengan langkah yang sengaja ia tancap penuh. "Fegan! Entar dulu, tungguin Faren dong! Faren mau ikut," ujar Faren dengan suara keras keras. Kini ia tidak melangkah lagi, justru ia berlari kencang untuk mengejar ketertinggalannya. Usahanya memindahkan meja agar melihat Feron di dalam kelas tadi, sudah cukup memakan banyak tenaga. Dan berhubung kali ini Feron sudah berada di luar kelas, sungguh waktu yang tepat untuk Faren mendekati si cogan berhati beku itu. "Fegan, jalannya jangan cepet-cepet. Nggak cuma Fegan, Faren pasti juga capek. Pergi ke kantin aja yuk? Faren janji, Faren yang bakal traktir. Seriusan ini nggak bohong lho! Ayo cus ..." "Lepasin gue!" ujar Feron murka, ia menyentak tangan Faren yang tidak berhenti untuk menggelayut manja di lengannya. Kemarahannya sudah keluar, dan Faren selalu saja bertingkah menyebalkan, membuat Feron semakin risih dan ingin pergi jauh dari cewek itu. Faren menunduk sebentar, kemudian ia melangkah mundur. "Fegan marah ya sama Faren?" "Gue benci lo!" "Tapi Faren salah apa?" tanya Faren polos, sorot matanya kini sepenuhnya ia pusatkan pada manik mata Feron. Dadaanya sudah bergemuruh kencang, dan Feron sama sekali tidak peduli meskipun Faren menunjukkan raut wajah sememelas mungkin. "Lo cerewet, satu kali elo maju, gue bakal beri elo peringatan!" ancam Feron sambil menunjuk-nunjuk wajah Faren dengan jari telunjuknya. Wajahnya terlihat merah, api berkobar dari kedua bola matanya. "Fegan kok jadi jahat gini sih sama Faren? Faren jadi takut kalo Fegan marah-marah kayak gini." "Lo ganggu!" "Tapi Faren cuma pengin deket sama Fegan. Faren suka Fegan, dan Fegan juga suka Faren, kan? Ayo jawab Fegan, jangan bohong," cicit Faren lagi. Napas Feron nampak memburu, seirama dengan detak jantungnya yang bergerak cepat. Rahangnya yang tegas sudah mengeras. Ekspresinya kini terlihat bertambah garang dan menyeramkan kala giginya bergemeretak. Dengan tatapan dinginnya, Feron mencengkram dagu Faren hingga mulut Faren nyaris saja membulat. "Gue nggak suka lo! Dan gue nggak bakal mau jadi pacar elo! Ngerti?" Setelah itu, Feron mendorong Faren dengan gerakan cepat. Tidak peduli meskipun Faren adalah seorang perempuan, yang seharusnya dilindungi, bukan dicaci maki ataupun disakiti, Feron sudah kehilangan kesabarannya. Ia sungguh terganggu atas kehadiran Faren. Hidupnya tidak lagi tenang. Akibat dorongan Feron, membuat Faren tersungkur ke lantai dengan begitu mengenaskan. Faren meringis menahan sakit, sementara matanya sudah memanas, mati-matian ia menahan air matanya agar tidak menetes. "Kenapa Fegan jadi jahat sama Faren?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN