SEKITAR pukul sembilan malam, Faren masih duduk di meja belajarnya. Lampu kamarnya sudah di matikan, ia kini hanya diterangi oleh lampu belajar. Pandangannya lurus menatap tumpukan buku di hadapannya sambil mengigit ujung pulpen. Sorot matanya nampak kosong, sedangkan pikirinnya melayang pada kejadian waktu di sekolah hari ini.
Feron marah kepada dirinya. Dan Faren merasa kebingungan sendiri. Ia tidak ingin berhenti sampai sini untuk memperjuangkan Feron. Ia ingin ambisinya ini terpenuhi. Memiliki Feron seutuhnya adalah satu-satunya harapan Faren saat ini.
"Fegan kenapa sih? Faren, kan, cuma pengin deket sama Fegan. Apa nggak boleh? Ketika cecan sama cogan digabungin bukannya cocok tuh?" gerutu Faren sambil menyangga dagunya, mulutnya masih sibuk mengulum ujung pulpen.
"Mana Faren takut banget lagi waktu Fegan marah, tatapannya tajem pula. Tapi Fegan tetep ganteng nauzubillah banget. Kapan ya Fegan bakal nerima Faren jadi istrinya? Kalo nggak, minimal jadi pacarnya deh," ujar Faren lagi, pada dirinya sendiri.
Setelah itu Faren diam, matanya belum kunjung terasa berat. Jarang sekali Faren tidur larut malam, ia mendesah kasar, mulai melipat tangannya di permukaan rata meja belajarnya, lalu ia menidurkan kepalanya di atas lengannya yang ia jadikan sebagai bantal. Matanya mengerjap, jari tangannya kini sibuk mengetuk-ngetuk di meja. Hingga tiba-tiba saja ia tergelak kecil. Bohlam lampu yang bersarang di kepalanya kini langsung berpendar terang. Seiiring senyuman Faren yang mengembang.
Buru-buru Faren membuka lembar bukunya di bagian belakang, mulai menulis sesuatu di sana. Beberapa menit setelah berkutat dengan alat tulisnya, Faren pun akhirnya selesai. Dibacanya sekali lagi hasil maha karyanya. Kikikan geli terlepas dari mulutnya.
Rencananya yang ia buat pasti bakal berhasil seratus persen. Faren tersenyum lebar lagi, kemudian menutup bukunya, meletakkannya ke tempat semula, sebelum pada akhirnya ia bangkit dari kursi dan memilih untuk tidur.
***
Sambil melangkah riang menuju kelasnya yang berada di lantai dua, Faren tidak berhenti bersenandung. Memang sifatnya yang jarang pakai otak dalam bertindak dan tidak punya urat malu, Faren pun merasa biasa saja. Senyuman dan tawa orang lain saat dirinya bertingkah konyol membuat d**a Faren terasa sejuk. Ada kebahagiaan sendiri yang ia rasakan ketika melihat orang lain terhibur.
"Digeboy geboy mujair, Nang-ning-nong, nang-ning-nong, Pak guli pak, bang dung ding ser."
Faren bergoyang sambil menyanyikan salah satu lagu hits Ayu Ting Ting, tidak lupa pula ia berjoget hingga menimbulkan gelak tawa siswa di sekitarnya.
"Faren, buatin pantun buat gue dong?" goda seorang cowok yang berdiri tidak jauh dari dirinya. Faren terkikik geli, berpikir sejenak, lalu berdehem untuk menguasai dirinya. Kemudian dilanjutkan dengan senyuman lebar.
"Bangun tidur langsung sikat gigi, selamat pagi!" ujar Faren.
"Masok! Lagi dong?" goda cowok lain setelah bertos ria dengan cowok yang satunya. Tanpa berpikir dua kali, Faren mengangguk.
"Nonton drama bareng si Ulum, para cogan ini udah sarapan belum?" lantun Faren lagi. Ia terkekeh geli.
"Belum sarapan nih, minta disuapi boleh nggak?" sahut si cowok tadi.
"Iya nih, gue juga belum, gimana kalo elo temenin gue makan di kantin Ren. Mau nggak? Tenang aja, nanti gue traktir deh," ujar si cowok yang lain.
Faren tersenyum malu-malu, sebelum mulutnya mengeluarkan suara, tiba-tiba saja ia dikejutkan dengan sambaran tangan orang lain. Faren tersentak kaget, tubuhnya terhuyung mengikuti arah tarikan orang tersebut.
Setelah cukup jauh dari tempat tadi, Faren yang sedang sibuk menggerutu karena ditarik dengan sebegitu kerasnya, seketika saja bentuk bola matanya melebar. Tidak percaya dengan orang yang kini berdiri di hadapannya. Faren yang awalnya siap untuk meluapkan sumpah serapah, detik itu juga digantikan dengan senyum tiada kira.
"Ya ampun Fegan! Pagi-pagi udah nyeret Faren aja? Udah siap ke KUA sekarang nih? Yuklah cuss ... Kita berangkat, nanti malam tinggal main kuda-kudaan." Faren berceloteh aneh seperti biasa, ia hendak menarik tangan Feron, tapi Feron menghindar. Tatapannya masih mengarah pada Faren, tajam seperti biasa.
"Jelasin!" ujar Feron singkat, tangannya kini terlipat di depan dadaanya.
"Jelasin apa?" tanya Faren, bingung sendiri. Ia menoleh ke kanan kiri, tidak tahu maksud ucapan Feron mengarah ke mana.
"Yang tadi!"
"Apaan sih? Jangan pendek-pendek lah kalo ngomong. Faren mana paham? Yang tadi apaan? Pergi ke KUA? Apa Fegan belum tahu caranya ijab kabul?" Faren langsung menampilkan ekspresi terkejut. Ia terus memandangi Feron, menuntut penjelasan lebih.
Feron menghela napas pendek. Sejujurnya ia juga bingung harus berkata seperti apa dan bagaimana untuk menjelaskan kepada Faren. Ia diam sejenak, lalu akhirnya berdehem kecil. "Pantun buat gue!" tegas Feron.
Senyuman Faren langsung terbit mendengar tiga kata yang terlantun dari bibir seksi Feron. Tentu saja Faren punya, dan ia sudah menyiapkan pantun khusus untuk Feron.
Entah kenapa juga Feron bisa berkata seperti itu. Ia hanya tidak suka Faren dekat dengan cowok lain. Apalagi cowok-cowok tadi yang menggodanya. Bukan apa, Feron cuma risi melihat pemandangan itu. Hatinya tidak tenang, dan matanya sakit melihat Faren yang selalu gampang di suruh-suruh seperti tadi. Intinya Feron tidak suka melihat itu.
"Dengerin pantun Faren baik-baik ya Fegan. Ini pantun bakal bikin Fegan seneng deh. Faren janji, kalo pantunnya jelek dan nggak bikin Fegan baper. Sebagai gantinya, Fegan boleh kok cium Faren, hehehe ..."
Feron tidak menjawab, ia hanya memberikan Faren tatapan datar tak berekspresi. Ia sudah biasa, bahkan sering mendengar kalimat nggak ada akhlak yang keluar dari mulut Faren akhir-akhir ini. Semua itu sudah biasa bagi Feron, sudah tidak heran lagi. Meskipun belum lama ia mengenal cewek aneh macam Faren ini.
Faren tersenyum lebar. "Fegan nungguin Faren? Utututu ... Gemesin banget. Sabar ya Fegan, ini Faren lagu mikir kok."
Dengkusan kasar keluar dari bibir Feron. Kini ia sudah kehilangan mood-nya dan kekesalannya sudah menyelubungi batinnya. Feron menghela napas gusar, kemudian dilanjutkan berkata singkat. "gue pergi!" ujarnya dingin.
"Lha kok pergi gitu aja? Katanya mau dengerin Faren ngegombal? Eh ... Ngepantun maksudnya. Kok nggak jadi gini? Fegan mau ke mana?" teriak Faren keras. Ia memandangi punggung Feron yang mulai menjauh. Tanpa sadar Faren sudah berdecak. Ia pun memilih berlalu pergi ke kelasnya dengan bibir yang manyun. Terlihat sangat menggemaskan.
"Fegan mah aneh. Minta diberi pantun, malah pergi. Tadi juga maksudnya apa coba? Kenapa narik-narik tangan Faren segala? Bukannya kemarin Fegan marah ya sama Faren? Berarti sekarang Fegan nggak marah lagi dong sama Faren? Alhamdulillah, nanti istirahat Faren bisa deh nembak Fegan. Semoga kali ini dapet hidayah. Aamiin ya rabbal alaamiin."