Rinai hujan membasahi bumi, rasa akan kehadiran Barsha mulai tercium jelas olehku. Biasanya, aku suka sekali ketika hujan turun. Sebab, udara menjadi dingin dan peluh pun berkurang. Tapi, sejak ada hubungan dengan wanita itu, semua berbanding terbalik.
'Makhluk itu, sebenarnya apa tujuannya? Jika ingin membunuh, kenapa tidak langsung saja? Aku yakin semua tidak sulit baginya. Atau, ia memang gemar memangsa, mendapatkan, mempermainkan hingga ketakutan, baru memusnahkan?' Tanyaku tanpa suara.
Selama diperjalanan pulang, Adam terus saja memperhatikan mimik wajahku yang tiba-tiba saja menjadi tegang. Tampaknya ia ingin bertanya, tetapi ragu. Aku pun enggan menceritakan semuanya, sebab aku takut kehilangan Adam dan dianggap tidak waras.
"Setelah sampai di rumah, kamu tunggu aku di teras ya!?"
"Kenapa?"
"Aku ingin keluar sebentar dan membeli beberapa kudapan. Kita malam mingguannya di rumahmu saja."
"Adam ... ?" gumamku karena melihatnya begitu sabar dalam menghadapiku.
Awalnya, aku kita di akan pulang dengan tergesa-gesa sambil memperlihatkan wajah masam kepadaku. Tapi, ternyata aku salah lagi. Malahan, Adam menyajikan opsi lain hingga membuatku tersenyum di dalam ketegangan.
"Ada request?" tanyanya sesaat melihatku berdiam diri dan tersenyum sendiri.
Aku menggelengkan kepala, hampir menangis. "Makasih ya?"
"Tapi, aku lebih suka kalau kamu bersedia mengatakan ingin makan apa saat ini?"
"Bakso, sepertinya enak," jawabku dengan cepat. Aku tidak ingin mengecewakan Adam untuk yang kesekian kalinya. Dia sudah banyak mengalah untukku.
"Cocok tuh, mana dingin begini."
Aku mengangguk sambil memaksakan senyum, "Iya, maka nya."
"Baiklah. Aku akan segera membelinya untukmu."
"Tidak mau kalau makan sendiri," elakku manja. "Barengan baru oke."
"Iya-iya. Barengan, ha ha ha ha ha."
'Adam, kamu baik banget. Aku nggak tahu harus bilang apa dan mengatakan apa. Terima kasih.' Ujarku di dalam hati.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 17 menit dengan kecepatan sedang, kami tiba di rumah. Rasanya lega sekali dan aku pun langsung turun untuk menunggu Adam kembali.
Setelah lima belas menit, aku masuk ke dalam rumah dan menyiapkan air untuk menemani santap bakso malam ini. Rasanya, tidak ada yang aneh di dalam rumahku. Aku berharap, tak kan ada yang mengganggu.
"Oh iya, Ida. Kemana dia?" tanyaku sambil meletakkan dan menata ceret serta gelas di atas meja. "Aku ingin memperkenalkan dirinya dengan Adam. Semoga saja datang tepat pada waktunya (Pulang kerja)."
"Assalamu'alaikum, Annora!"
"Waalaikum salam. Cepat banget pulangnya?"
"Aku pakai jet," jawab Adam dengan tas kresek berwarna merah. "Ini!"
"Baiklah. Aku siapkan dulu ya?"
"Baiklah. Aku tunggu di sini ya!?"
"Iya."
Setelah siap memasukkan bakso ke dalam wadah, aku langsung keluar untuk menemui Adam. " Ayo dimakan, Adam! Sebelum dingin," saranku yang sudah berdiri di belakangnya. "Kamu, lihatin apa?"
"Janur dan payung ini," tunjuknya. "Terlihat begitu serasi dan apa kamu selalu menggantinya setiap hari?" tanyanya kembali sembari menunjuk ke arah janur.
"Tidak. Bahkan aku sama sekali tidak memperhatikan daun-daun itu," jawabku cuek karena apa yang aku katakan adalah benar.
"Hebat sekali ya. Karena biasanya janur hanya bisa bertahan dalam keadaan segar selama beberapa hari saja. Tapi ini ... ." Adam berdiri di sisi janur itu dan berpikir, seraya memegang kepalanya.
"Kenapa?" tanyaku kembali karena memang tidak paham akan ucapan Adam. "Apa ada yang aneh?"
"Aneh?" Adam menatapku seraya mengernyitkan dahi. "Ini, lebih tepatnya seperti ... spesial."
"Spesial?" tanyaku sembari meletakkan mangkuk ke atas meja. "Eh, makan dulu! Baru ngobrol lagi!?"
"Iya, baiklah." Adam setuju dan kami menikmati makanan hangat yang sudah ia beli.
Aku dan Adam pun menikmati bakso hangat bersama suasana dingin yang terasa mendukung kenikmatan saat santap malam ini. Ternyata, aku memang butuh teman untuk bercakap-cakap. Sadarku yang lebih terpancing untuk tersenyum.
"Adam, kamu tahu banyak ya tentang dunia ini. Aku jadi heran," tanyaku dengan dahi yang ditekuk.
"Mungkin karena aku suka membaca dan anak tertua di keluarga. Jadi, lebih mandiri dan banyak mendengar dari para orang tua."
"Cerita apa yang paling kamu suka?" tanyaku yang juga ingin tahu mengenainya.
"Mitis dan legenda," jawabnya sambil mengunyah mie yang berada di dalam sendok. "Soalnya terasa seru dan sensasinya membuat adrenalin naik-turun," jelas Adam tampak sungguh-sungguh.
"Kenapa? Kok bisa gitu?"
"Iya karena, konon kisah-kisahnya mendekati nyata."
"Eeemh ... ," gumamku mendekati kebingungan. "Seperti apa?"
"Ledenda penguasa laut kidul, Naga, banyu wangi, dan sebagainya. Memang sih, itu kumpulan cerpen kampung ya? Tapi aku suka aja. Lebih berasa, apalagi jika berhubungan dengan hal mistik," jelasnya tampak jujur.
"Kenapa begitu?"
"Entahlah, suka aja. Jangan tanya kenapa dan kenapa lagi! Pusing tau."
"Ha ha ha ha ha ha, iya maaf. Lalu, apa yang kamu ketahui tentang itu?" tanyaku bersama lirikan mata yang mengarah kepada janur dan payung berwarna kuning itu.
"Setahuku, janur berasal dari bahasa Arab yang artinya cahaya dari surga sedangkan kata kuning diambil dari bahasa Jawa yang berarti suci," kata Adam tampak begitu paham.
"Lalu?" tanyaku yang mulai penasaran. "Apa hubungannya dengan digantung di sana dan rumah ini?"
"Soal itu, terus terang saja aku tidak tahu. Hanya saja, seperti demi kebaikan. Auranya juga ringan, tetapi hangat. Seperti dibuat dan digantung dengan perasaan kasih sayang mendalam."
"Benarkah? Kenapa aku tidak bisa merasakannya?" Aku memperhatikan Adam dan benda-benda yang digantung pada dua sisi rumahku.
"Oh iya, masyarakat Jawa sering mengartikan janur sebagai sejating nur yang berarti cahaya sejati. Dengan begitu, menurut mereka janur memiliki makna bahwa sejatinya manusia membutuhkan cahaya dari Tuhan Yang Maha Esa untuk dapat melihat jelas hal yang baik dan buruk."
Aku menghentikan suapan, itu terdengar seperti doa dan tiba-tiba saja jiwaku merasa damai. "Serius?"
Adam mengangguk sambil tersenyum, "Iya, begitulah yang aku ketahui. Coba deh! Kamu baca Google supaya banyak pengetahuan. Biasanya, orang-orang yang menulis di sana, karena pengalaman. Apalagi hal-hal itu berbau mistik dan hal tabu," jelasnya yang tampak sering mengular hal demikian.
"Dalam tradisi Jawa, janur juga dianggap sebagai simbol kebahagiaan. Simbol kebahagiaan janur itu dibentuk beragam bentuk dan fungsi.Itu bisa kamu lihat saat pesta pernikahan, Nora."
"Iya, aku tahu kalau soal itu. Tapi, aku pikir hanya hiasan saja."
"Ha ha ha ha ha. Mereka percaya, dari kondisi janur saja, bisa mengetahui apakah pengantin itu masih suci atau tidak. Perawan dan perjaka atau tidak."
"Apa? Benarkah? Maksudnya?" tanyaku semakin penasaran. "Aku jadi ingin tahu lebih banyak lagi. Jelaskan bagian itu saja!"
"Ha ha ha ha ha, dasar konyol kamu."
"Biarin," jawabku yang juga ikut terkekeh kecil. " Ha ha ha ha ha. Aku ingin tahu saja."
"Baiklah, begini. Mitosnya, ketahanan dari warna janur kuning yang dipasang sepanjang acara bisa menandakan keperjakan dan keperawanan pengantin. Jadi, jika hiasannya janur kuning yang dipasang tidak layu sampai acara selesai, maka tandanya sepasang pengantin tersebut masih perjaka dan perawan," ungkap Adam sambil menatapku dalam.
"Lalu?" Aku mencela perkataannya, tetapi ia langsung melanjutkan ucapannya.
"Namun jika salah satu janur kuning menjadi layu maka salah satu di antara pengantin ini sudah tidak perjaka dan perawan. Penanda keperawanan dan keperjakaan disebut dengan tetengger."
"Terus dari mana bisa mengetahui siapa diantara mereka yang sudah bekas?" tanyaku serius.
"Kalau melihat dari tata letak janurnya, maka orang bisa melihat janur yang menyimbolkan pengantin laki-laki dan perempuan. Secara tidak langsung jika salah satu layu maka bisa dilihat janur kiri atau kanan dan orang-orang akan bisa menyimpulkan."
"Oooh, berarti memang sudah pengetahuan umum. Aku mengerti."
"Bener banget. Makanya kamu hati-hati dalam menjaga diri! Sebab, aku tahu loh kalau kamu nggak perawan lagi." Adam mulai menggoda sambil menaikkan alis matanya berulang kali.
"Ha? Apa-apaan itu. Dasar nyebelin. Kamu juga loh ... aku sekarang sudah tahu kuncinya."
"Ha ha ha ha ha. Tapi aku serius, Annora. Kamu harus pandai menjaga diri dan kesucian!"
"Baiklah aku mengerti." Kemudian kami menghabiskan banyak makanan dalam tawa dan kegembiraan. "Oh iya, maaf soal tadi ya! ? Kita jadi gagal jalan-jalan ke luar deh," kataku karena sudah merusak momen malam minggu diantara kami berdua.
"Sudahlah!" jawab Adam tampak tenang. "Lagipula, aku bisa melakukannya kapan saja dan di mana saja," kata Adam dan itu berhasil membuatku jadi bingung, sekaligus penasaran.
"Memangnya, apa yang kamu pikirkan dan inginkan?"
"Sebuah momen yang indah untuk mengungkapkan isi hatiku."
Aku mengentikan aktivitas karena merasa percaya diri dalam berpikir, bahwa adam ingin menembakku malam ini. Aku pun jadi malu dan senyum-senyum sendiri.
"Kamu kenapa?" tanya Adam yang sadar akan perubahan rona wajahku.
"Nggak apa-apa kok."
"Oh iya. Aku ingin jujur mengenai sesuatu," kata Adam sambil menatapku.
Aku menarik kedua sisi sama rata, "Katakan saja!?"
"Kemarin, Almira datang ke rumahku," ujar Adam dengan wajah biasa.
Aku menghela napas panjang. 'Ternyata, ini soal Almira. Aku pikir, Adam akan mengatakan cinta kepadaku. Ternyata aku salah besar dan terlalu buru-buru. Aku pun menjadi tidak enak sendiri.'
Aku menyembunyikan senyum dan menundukkan kepala. Rasanya, sakit sekali dan akun tidak dapat membedakan antara desiran kesakitan atau kebahagiaan. Semuanya sama saja bagiku.
"Lalu?" tanyaku dan terus menyembunyikan pikiran bodoh, beberapa saat yang lalu.
"Dia ingin kami memiliki hubungan khusus," jawab Adam simpel.
Aku menelan air liur yang terasa berat, "Oh begitu ya?"
"Makanya malam ini aku menemuimu, Nora."
Aku kembali memaksakan senyum, "Kamu ingin menanyakan pendapat dariku, Adam?" tanyaku yang merasakan hati ini teriris kata.
"Tidak juga," jawab Adam sambil menatapku. "Hanya saja, aku berpikir seorang diri. Perempuan aja berani datang dan menyampaikan isi hatinya. Kenapa laki-laki tidak?" sambungnya terlihat gugup.
"Begitu ya? Menurutku, Almira adalah gadis yang baik. Dia sangat cantik dan lembut. Aku rasa, siapa pun akan menyukainya." Bibirku memuji, tetapi hatiku mengutuk.
"Aku tidak dapat merasakan apa yang kamu katakan itu, Annora!" Adam menunduk sambil memperhatikan tangannya sendiri.
"Kenapa?" tanyaku yang sebenarnya sudah tak ingin tahu. Tapi, tidak enak jika kurang melayaninya saat bicara.
Adam mengangkat wajah dan menatapku dalam-dalam."Mungkin karena aku menyukai kamu, Nora."
Desiran di dadaku naik turun tidak terkendali. "A-aku?"
Adam tersenyum tampak malu, "Iya, kamu." Lalu ia mengatur napas yang tampak berantakan. "Bagaimana?"
"Bagaimana apanya?"
"Terima nggak?" Adam berbicara dengan wajah memerah. "Kamu mau nggak jadi pacar aku?" tanyanya sekali lagi dan kali ini jauh lebih jelas, hingga membuatku bahagia.
"Aku tidak pantas ... ."
"Jangan menolakku! Ini yang pertama kalinya," ungkap Adam yang menjelaskan bahwa aku adalah cinta pertamanya. "Begini saja. Sebaiknya aku memberikanmu waktu untuk berpikir sebelum menjawab. Tapi, aku harap, jawabannya adalah iya."
"Aku ... ."
"Please ... jangan dijawab dulu!" pintanya sambil melipat tangan di depan dadanya.
"Baiklah, aku akan memikirkannya."
Adam kembali tersenyum dan suasana diantara kami menjadi canggung. "Sebaiknya, akun pamit dulu ya." Adam tampak grogi. "Makasih buat malam ini." Lalu ia berdiri dan meninggalkan aku begitu saja.
Sebenarnya, aku sangat ingin menjawab langsung dan menerimanya. Tapi, getaran ini sudah membuatku menggila dan tidak bisa berkata-kata.
Aku pun hanya menatap punggung Adam yang kian menjauh. Setelah mobilnya meninggalkan rumah, aku kembali tersenyum sambil memegang dadaku.
Setelah Adam membunyikan klakson dan pergi, aku melihat Ida sudah di sisi kiri rumahku. Ia pun tampak tersenyum dan itu membuatku semakin malu.
Sepertinya, ia menyadari tentang hatiku yang sedang berbunga-bunga saat ini. Mendapat tatapan yang semakin menggoda, aku segera masuk ke dalam rumah karena rasa malu.
"Sudah larut, ayo masuk dan segeralah tidur!" pekikku kepada Ida yang masih berdiri di halaman rumah.
Rasa bahagia yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya, sudah membuat aku lupa akan kata-kata dari makhluk asing yang sebelumnya menghampiriku.
Hingga malam menjelang, aku masih tertidur bersama Ida. Rasanya, tidak ada yang aneh bagiku dan aku juga tidak merasa jika Ida mengancam keselamtanku.
Bersambung.