Minggu, pukul 22.00 WIB. Lelah karena seharian sibuk membuka google demi mencari jawaban atas pertanyaanku. Saat ini, aku memutuskan untuk beristirahat.
Malam tadi, seharusnya aku dapat menikmati suasana yang berbeda. Pergi bersama laki-laki favorit, menikmati aneka permainan, dan makan apa saja sambil tertawa seru.
Namun nyatanya, aku terus saja terperangkap di dalam rumah ini dan sulit untuk lepas. Mungkin Adam pun berpikir, bahwa aku ini adalah gadis yang aneh. Tapi, aku tidak memiliki pilihan selain jadi diriku sendiri bersama keadaanku yang sebenarnya.
Mungkin benar, aku tidak akan pernah bisa tenang dan hidup normal, sebelum tabir misteri ini terbongkar. Walau takut dan tidak tahu harus bertanya ke mana, aku musti tetap menjalani hidup dengan baik.
Seperti biasa, di dalam kesendirian, aku mulai berpikir. "Tunggu sebentar!" Aku terhenyak dan langsung berdiri dari tempat tidur. "Apa tidak sebaiknya aku mencari orang pintar saja? Mungkin jalan ini bisa membantu?"
Aku berdiri seraya berpikir keras dan menatap diri di muka cermin, 'Setidaknya, aku bisa tahu tentang sedikit saja urusan keluarga ini. Tidak seperti sekarang, aku benar-benar buta. Hanya takut dan terus berlari."
Sedang berpikir sendiri, aku merasa, melihat sebuah sosok atau bayangan melintas dengan gerakan yang begitu cepat. Pandanganku teralihkan kepadanya dan sangat ingin tahu siapa yang berada di balik jendela pada pukul segini.
Dari semua kaca samping ukuran besar, aku memperhatikan ke arah luar. Hingga pandanganku teralihkan pada seseorang yang sangat aku kenali.
Ternyata Ida. Lagi-lagi, ia mengenakan pakaian yang sama dengan wajah pucat pasi yang semakin tampak jelas di wajahnya.
Aku pun mulai curiga dan kali ini ingin sekali mengetahui, tentang alasan di balik sikap janggalnya tersebut.
Aku menarik pintu rumah yang dibuat ke dalam dua sisi. Kemudian langsung menatap Ida yang berdiri di sisi gelap pekarangan rumahku.
Di bawah pohon mangga itu, memang hanya ada secercah cahaya dari sinaran lampu ruang tamu. Tetapi, dapat menyorot wajah hingga perut Ida dengan jelas.
Saat ingin turun ke tanah, "Jangan mendekat!" pintanya dengan tatapan iba dan kosong. "Tetap di dalam sana, Nora!"
"Ya sudah. Kalau begitu, kamu saja yang ke sini!?" kataku dengan nada bicara yang sering aku perlihatkan kepadanya.
"Ingat! Jangan lagi keluar rumah di atas pukul 21.00 WIB! Itu adalah batasmu, Nora." Ida mengatakan hal yang sama dengan almarhum eyang beberapa tahun yang lalu, ketika aku pergi bersama teman dan pulang larut malam.
Makanya, beliau selalu mengatakan agar aku membawa teman ke rumah daripada berkeliaran di jalan. Menurut eyang, rumah ini adalah tempat teraman bagiku.
Namun, semakin lama, aku merasa tidak seperti itu. Bahkan, banyak sekali gangguan dan penampakan asing di sini. Semua itu, membuatku tidak nyaman, bahkan takut untuk tinggal di rumahku sendiri.
Belum lagi aura sepi dan kesendirian yang selalu menghantuiku. Rasanya, aku ingin mati jika berada di dalam rumah ini. Hanya saja, selama ini eyang tidak pernah berbohong dan sangat menyayangiku.
"Apa?"
"Apa pun yang terjadi, rumah ini adalah tempat teraman bagimu."
"Sebenarnya, apa yang terjadi? Apa yang kamu ketahui? Aku bisa gila, Ida. Tolong katakan kepadaku!"
"Kamu harus mulai membaca buku itu dengan seksama. Lakukan di siang hari, jika kamu takut! Sebaiknya, kurangi rasa itu dan pergunakan waktu dengan normal! Siang untuk bekerja dan melakukan sesuatu. Malam untuk beristirahat dan tidur. Dengan begitu, semuanya akan lebih baik." Ida memberikan nasihat, seakan ini adalah pertemuan kami yang terakhir.
Aku menunduk karena tahu persis tentang apa yang Ida katakan adalah benar. Sebaiknya, aku memulai semuanya sejak malam ini.
"Baiklah, aku janji!"
Ida mengangguk dan kali ini ia tampak tersenyum. "Nora?"
"Iya? Ayo masuk?" Aku mengajak Ida bersama senyum.
Ida menatapku dalam-dalam, "Maaf, Nora! Tidak bisa. Aku tidak kuat lagi dan sebenarnya ada yang ingin aku minta kepadamu."
"Katakan!" pintaku yang sangat ingin melakukannya. "Mengantarkan obat untuk bapak?"
"Aku tidak bisa lagi," jawab Ida terlihat begitu kecewa dan sedih.
"Kenapa?" tanyaku sangat penasaran. Sebab selama ini, ia terlihat begitu bersemangat.
Ida tampak murung, "Aku tidak mampu lagi ... ."
"Ida," gumamku yang tiba-tiba paham akan maksudnya. "Tenang saja! Aku akan membantumu. Aku juga akan ikut menyediakan obat untuk bapak. Janji deh!"
"Terima kasih, Nora," jawabnya parau.
"Kemarilah! Masuk dan temani aku! Satu lagi, biarkan aku puas memelukmu!"
"Besok saja ya!" kata Ida menolak keinginanku yang sederhana itu.
"Kok gitu? Jangan pelit ya!"
"Besok, aku janji. Kamu boleh memelukku sangat erat hingga puas."
Detik ini, ada yang membuat Ida tampak berbeda. Yang pertama, ia tidak langsung memenuhi keinginanku untuk bersamanya. Apalagi, tampaknya ia tak berniat untuk masuk ke dalam rumah ini dan aku tidak diizinkan keluar.
Aneh rasanya ketika berpikir bahwa Ida menjaga jarak dan memiliki mimik serta warna wajah semakin pucat seperti ini.
Selain itu, pakaian yang Ida kenakan sangat mencurigakan. Bukan tanpa sebab, bagaimana mungkin seseorang, apalagi gadis, awet mengenakan baju yang sama selama tujuh hari tujuh malam.
Meskipun aroma tubuhnya sama sekali tidak menyengat ataupun amis, tetapi tetap saja jika aku menjadi Ida, maka akan risih dan tidak nyaman. Ditambah lagi, malam ini tampaknya pakaian yang ia kenakan sudah lusuh seperti terkena kotoran dari tanah liat yang berlumpur.
Selama ini aku tidak pernah melihat hal demikian. Tapi semuanya tidak memutus rasa peduliku terhadap Ida. Malahan, aku semakin menaruh iba kepadanya.
Malam ini, gadis sebaya denganku itu, memperlihatkan wajah lelah dan kesedihan yang mendalam. Mungkinkah ia kena marah oleh bapak ataupun ibu, karena beberapa malam ini tidak pulang dan lebih memilih untuk menemaniku.
Sedang menatapnya yang memilih untuk menunduk, tiba-tiba saja jantungku berdetak tidak karuan. Seperti sinyal acak yang tidak memiliki arah tujuan.
'Kenapa?' tanyaku tanpa suara. Lalu terdengar suara teriakan histeris yang tidak kunjung habis. Rasanya, yakin sekali bahwa suara itu adalah milik Ida.
Aku pun memfokuskan penglihatan dan kali ini tidak mungkin salah. Yang terdengar di telingaku adalah suara teriakan histeris dari Ida. Tetapi pada saat yang bersamaan, aku melihat ia dalam posisi menunduk, tanpa membuka bibirnya sedikit pun.
'Tolooong!' pekik suara itu terdengar semakin jelas.
Pada detik yang sama, aku melihat sebagian tangan yang berwarna hitam legam, bersama kuku hitam panjang yang kotor, menyelimuti wajah Ida.
Aku memang hanya dapat melihat rambutnya saja. Tetapi, hati ini begitu yakin bahwa sosok itu adalah Barsha.
"Aaa ... ." Ida mengeluarkan suara yang sangat kuat seolah ia begitu kesakitan, bahkan matanya hanya tampak bagian putihnya saja.
"Ida!" pekikku dengan suara yang sama kuatnya dengan Ida. "Tidak! Jangan ganggu dia!" pintaku dalam teriakan kencang.
Saat ini, rasanya begitu ingin berlari ke arah Ida. Hanya saja, kedua kakiku sama sekali tidak dapat digerakkan dan aku tak dapat berbuat apa-apa.
Kedua mataku fokus pada mata maki yang seakan dijerat oleh sesuatu dengan begitu erat. Merasa tidak memiliki pilihan lain, aku memutuskan untuk memohon pertolongan dari orang lain dan terus berteriak.
"Tidaaak! Siapa pun, tolooong ... ." teriakanku malam ini lebih kuat daripada malam di saat aku diseret paksa oleh makhluk asing yang tidak aku pahami.
Tiba-tiba saja, ketika aku mengangkat wajah, Ida sudah menghilang. Entah ke mana makhluk itu membawanya pergi. Aku pun semakin histeris dan memanggil namanya berulang-ulang kali. Tetapi sosok Ida tidak lagi tampak, seakan ia raib ditelan bumi.
"Idaaa!" pekikku tanpa ampun.
Tak lama, aku terduduk dengan wajah yang sudah dibanjiri peluh. Ternyata, teriakanku bukan tidak didengar oleh orang-orang sekitar. Melainkan, aku berada di dalam mimpi.
Aneh sekali, semua terasa berat dan nyata. Begitu juga dengan pergelangan kakiku yang terasa panas. Ketika selimut disingkap, aku dapat melihat lingkaran seperti cengkraman tangan di sana.
"I-ini?" gumamku seraya mengernyitkan dahi. "Berarti, tadi itu bukan mimpi biasa."
Bingung, aku pun menutup wajah dengan kedua tangan. Pikiranku semakin kuat mengarah ke tempat orang pintar untuk menyibak rahasia ini.
Sementara, pergelangan kakiku terasa berat dan panas. Seperti diikat dengan rantai yang sudah direbus lama di dalam air mendidih.
Aku pun kehilangan rasa kantuk dan langsung mencari obat, guna meredam rasa sakitnya. Tapi, tidak ada obat semacam itu di rumah ini.
Bingung, aku pun memutuskan untuk merendam kedua kaki di dalam sebuah baskom. Namun semua itu tidak juga berarti banyak. Hingga aku mendengar suara seseorang yang memberiku saran.
'Berikan garam, Nora!' Kalimat itu terdengar di telingaku.
Sambil mencari-cari sumber suara, aku mengikuti perkataannya tersebut. Dengan cepat, aku mengambil sebongkah garam yang ukurannya cukup besar, lalu meletakkannya didalam baskom.
Semakin lama, aku merasa beban dan rasa tidak nyaman di kedua kakiku berkurang. Aku pun melanjutkan rendaman kaki hingga batas kemampuanku untuk menahan rasa sakitnya.
Bersambung.
Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin ya. Untuk satu minggu ini, aku up sangat sedikit. Maafin ya, nanti aku revisi dan tambahkan jumlah katanya. Makasih.