Janjian

1501 Kata
Dengan mata yang masih mengantuk, aku berangkat ke sekolah. Setibanya di tempat aku menuntut ilmu, sudah tampak jadwal ujian yang akan diadakan mulai hari senin. Sabtu, pukul 09.30 WIB. Aku mulai mencatat jadwal ujian kenaikan kelas. Setelah ini, kami akan libur panjang dan aku merasa akan semakin bertambah gila. Disaat teman-teman lainnya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang bersama kebahagiaan dalam dekap keluarga, aku malah disibukkan dengan ketakutan dan keinginan untuk bersama mereka kembali di sekolah ini, agar tidak merasa sendirian. Detik ini, bagiku, tempat ini adalah lokasi terbaik untuk menarik udara segar dengan tenang. Walaupun sibuk dengan banyaknya aktivitas pembelajaran, tapi aku merasa lebih hidup dan damai. "Rajin amat!" Adam berdiri di samping kanan dan memperhatikan gerakan tanganku. "Ntar, aku tinggal nyalin aja ya?!" "Boleh." Aku menjawab dengan gaya seadanya karena memang begitu lelah. "Habis ujian mau ke mana? tanyanya lagi, sambil terus menatap. " Maksudku jalan-jalan ke mana?" Aku melanjutkan aktivitas dan tak memperdulikan pertanyaan dari Adam. Semua itu karena aku tidak mempunyai jawaban atas pertanyaannya. Namun, ia semakin memajukan wajah hingga kami begitu dekat. Aku menoleh, lalu menjawab ucapannya, "Makam," jawabku singkat. "Apa?" Adam terkejut bukan kepalang karena tempat itu bukanlah lokasi untuk menghabiskan waktu demi bersenang-senang. "Apa?" tanyaku kembali sambil menantang matanya. "Apa aku terlihat seperti gadis yang angker?" "Ha ha ha ha ha," tawa Adam meledak di mulutnya. "Jika iya, kamu adalah hantu tercantik yang pernah aku temui." Aku mencubit sisi pinggang Adam, kemudian menggelitiknya. "Coba katakan padaku! Apa kamu tidak punya kerjaan lain, selain menggangguku?" "Ha ha ha ha ha, bagaimana ya?" tanyanya seraya menggaruk kepala yang sama sekali tidak gatal. "Aku suka melakukannya dan aku bahagia. Jadi ... bagaimana bisa diam dan tidak mengganggu kamu, Annora?" "Konyol!" Aku menarik bagian bawah telinga kiri Adam, lalu meninggalkannya. "Dia memang pengganggu. Padahal menurut orang lain, dia sosok yang perfect," omelku tanpa henti dengan suara yang samar terdengar. "Auh," keluhnya yang sudah merasakan sakit. "Nora, tunggu!" "Apalagi?" sahutku pura-pura tidak suka dengan semua tingkahnya itu. Padahal, aku begitu senang jika Adam rajin menggoda. Adam jalan terbalik, ia terus menatap, dan mengikuti langkahku dengan gaya mundur, "Bagaimana kalau nanti malam, kita menghabiskan waktu bersama? Malam mingguan dengan menikmati apa saja." "Hmmm, gimana ya?" Aku pura-pura berpikir keras, seolah sulit mengatur waktu yang padat. Padahal, aku tidak memiliki aktivitas lain dan hanya diam di rumah saja. "Apanya yang gimana?" "Aku tidak bisa meninggalkan rumah terlalu lama," elakku dengan cara yang lembut, agar ia tidak tersinggung. "Maaf ya, Adam!" "Tidak asik!" ejeknya sambil melipat tangan dan memeluk tubuhnya sendiri. "Apa?" "Kamu, Nora. Tidak asik!" "Haaah ... mau gimana lagi?" "Ayo pergi bersamaku! Kita ke pasar malam. Di sana banyak permainan dan beberapa barang dijual murah. Ayolah!" Adam semakin bawel dan ini tidak pernah terjadi sebelumnya. "Tumben kamu bawel dan terasa sangat memaksa?" Adam meluruskan pandangannya ke arah yang sama denganku. "Soalnya, ada yang ingin aku sampaikan juga. He he he he he," jawab Adam sambil terkekeh kecil. "Terdengar cukup penting." "Sangat," katanya tampak bersemangat. "Ayolah! Jangan menolak." "Kamu seperti seseorang yang sedang jatuh cinta, Adam. Maunya, diturutin saja dan tidak bersedia untuk mengalah." Adam menghentikan langkahnya, aku pun demikian. "Coba kamu ingat-ingat! Hal seperti ini, jarang sekali terjadi, kan? Ayolah!" "Iya, baiklah." "Yes." Adam tampak sumringah dan wajahnya memerah. "Tapi, jangan lama-lama ya!?" "Iya-iya. Soalnya, kamu tidak bisa meninggalkan rumah lama-lama, bukan?" Adam menyalin ucapanku. "Iya, begitu." "Baiklah. Kita akan pulang sekitar pukul 21.00 WIB. Makanya, pergi nanti juga jangan kemalaman ya!?" "Tergantung." "Pada apa?" "Sopirnya." "Baiklah. Kalau perlu, biar aku jemput mulai dari sore." "Tidak perlu seperti itu." Aku dan Adam saling bercakap ringan di bangku ruang kelas. Seperti sebelumnya, ketika sudah mengobrol bersama Adam, rasanya begitu nyaman dan bahagia. Namun, dari sudut lain. Aku juga merasa bahwa ada seseorang atau sesuatu yang memperhatikan kami sedemikian rupa. Parahnya lagi, energi itu terasa negatif dan menakutkan. *** Malam harinya, sekitar pukul 19.00 WIB, Adam sudah berada di teras rumah untuk menjemput. Waktu yang singkat untuk bersenang-senang, tetapi Adam sudah tampak bersyukur atas waktu yang aku berikan kepadanya. Malam ini, Adam tampak lebih dewasa dan tampan. Wajah kekanak-kanakan yang biasanya menonjol, sirna akibat pakaian dan gaya rambutnya yang stylish. Pesonanya pun, kian tampak, ketika ia tersenyum manis di hadapanku. Adam menatapku dalam. "Sudah siap?" Aku mengangguk lembut, "Iya." "Sebaiknya, kamu pakai jaket! Udaranya dingin sekali, seperti akan turun hujan deras malam ini." Aku menatap langit yang bintangnya memang tidak tampak, seperti biasanya. Saat itu, hatiku bergidik karena jika itu tentang hujan, maka satu-satunya hal yang aku ingat hanyalah Barsha. "Sebentar ya! Aku ambil jaketnya dulu." "Iya," jawab Adam yang kembali duduk. Malam ini, aku tampil manis dalam balutan baju kaos dan celana jeans pemberian eyang yang terakhir. Di tambah lagi dengan jaket berwarna hitam yang membuat modis penampilanku. Selama ini aku hanya membeli pakaian baru, jika hari raya saja. Itu sebabnya, aku tidak memiliki banyak koleksi baju seperti teman-teman yang lainnya. Perjalanan untuk bersenang-senang dilalui dengan senyuman. Saat ini, rasanya aku seperti gadis ABG tanggung pada umumnya. Sambil membelah jalanan, Adam melirikku dari kaca depan. Ia tampak suka dengan penampilan ringanku malam ini. Aku pun berharap, semua akan baik-baik saja. "Liburan ini, kamu mau ke mana?" Adam kembali mempertanyakan hak yang sama dengan ketika kami di sekolah tadi. Agaknya, ia tidak puas dengan jawabanku yang sebelumnya. "Tidak tahu," jawabku sambil menghela napas panjang. "Soalnya, aku tidak memiliki siapa pun. Kamu sendiri?" "Aku ya?" Adam tersenyum simpul. "Papa mengajak untuk keluar kota." "Pasti menyenangkan ya?" "Tergantung." "Kok gitu?" "Sebenarnya, aku bukan tipe laki-laki yang suka jalan-jalan. Tapi, karena tahun ini semua orang berkumpul dan punya waktu, jadi ... ya, begitulah." Aku mengurai senyum, "Seharusnya kamu bahagia dengan keadaan itu, Adam. Nggak semua anak di dunia ini, masih bisa merasakan kasih sayang dari keluarga yang hangat." "Emh, bagaimana kalau kamu ikut saja? Kan ada adikku, kamu bisa sekamar dan main dengan dia. Mama dan papa mungkin akan mengizinkannya." "Benarkah?" "Iya. Aku coba aja dulu ya? Mana tahu, diizinkan." "Adam ... ," gumamku lirih hampir menangis. "Makasih ya. Kamu satu-satunya yang perduli." "Sudahlah! Jangan bersedih hati! Ingat, malam ini tidak untuk air mata dan suara yang bergetar!" Aku mengangguk paham, "Aku mengerti, Adam." "Gitu dong." Ketika percakapan manis ini terjadi, aku tidak mengingat apa pun. Rasanya hanya bahagia saja dan laraku menjauh. "Kita isi bensin dulu ya?" tanya Adam sambil memperhatikan jalanan dan memperlambat laju gerakan mobilnya. Setibanya di sisi kiri pom bensin, Adam keluar dari mobil dan aku hanya menatap lurus ke depan. Tak lama, bayangan hitam dalam ukuran besar melintas. "Apa?" gumamku seraya memajukan tubuh. "Apa itu?" tanyaku kembali seraya memperhatikan pohon pule yang menjadi tanaman penyejuk sekaligus pelindung di areal ini. Seperti oli yang semakin menghilang, aku pun tidak dapat lagi melihat sosok asing yang bergerak sangat cepat. Sambil mengatur napas, aku kembali menyandarkan tubuh di kursi. Tak lama, sepasang tangan dan wajah asing yang tidak aku kenali, menempel sempurna di kaca mobil bagian kiri, tepat di sebelahku. Aku begitu terkejut hingga menjauhi pintu serta memeriksa menguncinya. Tiba-tiba seseorang itu tertawa hingga memperlihatkan giginya yang runcing dan tajam. 'Bau bangkai. Terlalu lama bersama dengan mayat,' bisiknya terdengar liat di rongga telingaku, tetapi begitu jelas. "Apa?" tanyaku yang terus memperhatikan sosok tersebut. "Haaah ... ." Kemudian ia mengeluarkan aroma tak sedap dari dalam mulutnya dan tiba-tiba saja memenuhi lubang hidungku. Aku menjepit kedua sisi lubang indra penciuman ku, lalu menahan rasa muntah yang bergejolak besar didalam dadaku. Setelah lima menit, "Terima kasih ya!" ucap Adam yang baru masuk bagian kaki kirinya saja. Saat itu, pandanganku teralihkan kepada Adam. Yakin bahwa ia lah yang masuk dan duduk bersamaku, hati ini pun merasa lega. Kemudian, aku kembali menatap kaca jendela di sisi kiri. Saat itu, sosok aneh tersebut tidak lagi berada dan menempel di jendela. Namun, kata-katanya terus terngiang di telingaku hingga membuat merinding seluruh tubuh. 'Bau bangkai. Terlalu lama bersama dengan mayat. Bau bangkai. Terlalu lama bersama dengan mayat. Bau bangkai. Terlalu lama bersama dengan mayat.' "Ah ... ," keluhku sembari memegang kepala. "Annora?" Adam memegang pundak kananku dengan lembut. "Kamu kenapa?" "Adam, sebaiknya kita pulang saja! Aku pusing sekali." "Oh ya sudah, nggak apa-apa kok." Adam memutar mobilnya dan kami bergerak untuk pulang. "Yang penting, kamu nggak kenapa-kenapa, Nora!" "Aku pusing sekali," ucapku sambil memejamkan kedua mata dan menyandarkan punggung di kursi mobil. "Sejak kapan dan mengapa tiba-tiba sekali?" tanya Adam sembari memutar setir mobil dan menatapku dari ujung mata kirinya. "Ssst, ini sakit sekali. Seperti sedang dijepit dengan ujung pintu besi, Adam," keluhku dengan suara yang lemah. "Sabar dulu! Apa kita ke dokter praktek saja?" Aku menggeleng, "Tidak mau!" tolakku yang tahu bahwa saat ini sedang sakit gaib, bukan penyakit dunia. Kami pun kembali membelah jalanan dan Adam tampak sigap kali ini. Dengan kecepatan tinggi, ia membantu ku untuk segera sampai di rumah. Entah apa yang ia pikirkan mengenaiku, yang jelas aku hanya ingin selamat tanpa tekanan. Selain itu, aku tidak berniat untuk menceritakan apa yang aku lihat dan dengar barusan, kepada Adam. Hanya saja, kalimat itu terus terngiang-ngiang di telingaku. Semua itu mengusik dan membuat pertanyaan di dalam hatiku. 'Mayat, siapa?' Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN