Mata ini terus tertuju pada sosok Ida. Ia terlihat, seakan sedang berjuang untuk melawan sesuatu atau mengalihkan hal berbahaya dariku, demi memberi informasi berharga.
Sesaat setelah mengatakan mengenai Barsha, langit-langit kamar seolah begitu lunak dan bergelombang. Seperti jelly yang fleksibel dan lentur.
Deg berwarna putih itu seperti buih di tepi lautan. Atau bagaikan perut seorang wanita yang tengah hamil besar dan ada sesuatu di dalamnya dan hendak keluar, lalu merobek daging, demi menghisap darah serta sum-sum di dalam tulang-tulangku.
Kemudian disusul dengan suara bunyi-bunyian yang kuat menyerupai suara tapak kaki kuda dalam jumlah banyak. Seketika, aku bergidik. Bulu-bulu halus di sekitar wajah dan leher kembali berdiri dengan cepat.
Tangan yang semula fokus memukul panci pun, terdiam karena tidak mampu lagi untuk bergerak. Aku merasa atmosfer di dalam kamar ini pun, berubah.
Apalagi tiba-tiba saja listrik di rumahku padam. Padahal di sekitar masih tampak terang benderang. Aku merasa, seolah tengah di serang oleh energi lain yang tidak ingin melihat Ida membocorkan rahasia mereka.
Sekitar lima belas menit berpacu di dalam ketakutan, lampu menyala dan mati dengan cepat, seperti ada arus yang terganggu.
Kemudian semua kembali normal dan aku melihat, Ida sudah terlelap di sisi kanan tempat tidur dengan keadaan membelakangiku.
"I-ida?" tanyaku dengan gerakan kedua tangan yang sudah terhenti. "Kamu baik-baik saja?" sambungku, tetapi ia tidak menjawab. Bahkan Ida tampak benar-benar terlelap dan pulas.
Kedua tangan ini masih gemetaran, keringat dingin pun telah bersarang di dahi. Terlalu takut, aku pun menangis sejadi-jadinya, sembari menutup wajah dengan bantal.
Tiba-tiba saja, hujan turun dengan lebatnya. Terbayang dengan perkataan Ida tentang Barsha, jantungku kembali berlari seolah sosok itu terus mengawasi dan ingin menelanku bulat-bulat.
Tidak ingin gila sendiri, aku memutuskan memasukkan seluruh tubuhku ke dalam selimut tebal.
Suasana malam ini semakin mencekam, ditambah lagi dengan listrik yang kembali padam total. Kali ini, aku benar-benar tidak dapat melihat cahaya sedikit pun dari luar.
Namun satu hal yang membuatku sedikit tenang. Meskipun hanya punggungnya dan punggungku saja yang bertemu, tetapi kehadiran Ida begitu membantu. Ia berhasil membuatku sedikit tenang di dalam ketakutan yang besar.
Sedang berdiskusi dengan diri sendiri, terdengar suara pintu kamar yang dibuka. Irama menyeret dan suara terputus-putus itu, membuat seluruh tubuhku kembali bergetar dengan sendirinya.
Tak lama, terasa suara sepasang kaki tipis dan halus, dari susunan tubuh yang tampaknya begitu ringan. Atau sehelai kain gorden yang seolah terseret oleh angin, hingga mengeluarkan suara yang begitu halus, namun mencekam.
Aku semakin menenggelamkan wajah pada bantal. Kemudian berusaha untuk tetap tidak bersuara seakan sudah terlelap.
'Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Aku sudah sangat lelah dengan ketakutan ini. Aku juga tidak tahan lagi hidup bersama kesendirian ini. Tolonglah ... .' Aku memohon tanpa suara, dengan bulir-bulir air mata yang terus menetes.
Pada saat yang bersamaan, suara gemuruh bersahut dengan kilatan yang cukup besar tampak menerangi ruang kamarku. Saat ini, aku seperti melihat sesuatu atau seseorang dari sudut kanan mata.
Sosok itu berdiri di samping dengan tangan yang menjuntai. Tetapi, hanya itu saja yang aku lihat. Sebab, aku tidak bersedia untuk memperhatikan semuanya lebih dalam lagi.
Setelah beberapa menit, sesuatu yang asing tersebut terasa menghilang dari sisiku. Tepatnya, setelah suara hewan merayap di dinding yang saling bersahutan.
Selama ini, walaupun rumah ini model kuno, tetapi aku tidak pernah menciptakan dengar suara cicak berteriak dengan kompaknya. Sepertinya, kamar ini adalah rumah mereka, bukan milikku.
Alih-alih bisa menikmati hidup dengan tenang, yang ada aku malah semakin kacau. Pikiran dan jiwaku terganggu, bahkan rasanya jiwa ini tidak mungkin bisa diselamatkan lagi.
"Tidurlah, Nora!" pinta Ida. "Abaikan saja mereka. Aku lelah," kata Ida dengan suara parau. Ia seperti baru saja mengalami kecelakaan hebat dan tidak bisa berbicara dengan baik.
"I-iya," jawabku penuh ketakutan. "Tapi, kamu akan selalu menemaniku, kan?"
"Iya, sampai aku tidak mampu."
"Ida ... ?"
"Selamat malam." Suara Ida semakin terdengar tegang dan ia sama sekali tidak menatapku.
Padahal, aku yakin sekali bahwa ia tahu persis tentang perasaan sakit dan ketakutan malam ini. 'Ya Tuhan, aku benar-benar bingung.'
'Di mana aku akan mencari orang sakti?' Tanyaku tanpa suara dan terus saja berbincang pada diri sendiri. 'Iya, aku harus mengetahui lokasinya dan menyusul. Ini semua sudah keterlaluan.'
Entah berapa lama waktu yang aku habiskan. Rasanya, kelopak mata terasa berat dan bengkak. Setelah itu, semua begitu gelap dan aku berharap agar segera terlelap.
"Tolong ... !" bisik seseorang menyayat di telinga. Sepertinya, ia begitu menderita dan kesakitan. Isak tangis pun terdengar menyeret jiwa, bersama angin yang menerjang. "To-long."
Rasa kemanusiaan membangkitkan kedua mata untuk memastikan keadaan. Dunia ini, kenapa begitu kejam. Dengan usaha yang keras, aku membuka kelopak mata yang terasa seperti sudah dilem dengan akurat.
Posisiku sama dengan ketika tidur tadi. Saat mengangkat wajah, aku melihat Barsha sudah begitu dekat denganku. Bahkan aku dapat menyentuh ujung jari tangannya yang telah terpanggang habis.
Saat ini, Barsha juga terlihat tidak berdaya. Posisi tidurnya juga tengkurep sama sepertiku. Tiba-tiba saja, bulir-bulir air mataku menetes. Wanita itu terlihat begitu cantik, meski dengan rambut panjang yang hanya tersisa beberapa helai saja.
"Ba-Barsha?!" Aku menangis dengan segenap jiwa. Barsha yang tidak bersedia menatapku, hanya menarik air hidungnya beberapa kali.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku yang dapat melihat kemiripan wajah diantara kami. Bahkan, rasanya aku seperti melihat diriku sendiri terpanggang habis di depan sana.
Aku pun berusaha untuk mengangkat tubuh. Jiwaku terpanggil untuk memeluknya. Namun pada saat yang bersamaan, aku merasa tubuhku ditindih oleh seseorang yang memiliki berat badan lima kali lipat, dari berat tubuhku.
Dengan lambat, aku mengerlingkan mata. Saat itu, walaupun samar-samar, aku bisa melihat sosok yang sangat menakutkan dan menjijikkan menginjak punggungku, hanya dengan satu kakinya saja.
Meskipun begitu, rasanya bagai dihimpit mobil, sehingga sulit untukku bernapas, apalagi bergerak. Kedua tanganku pun bergetar hebat dan aku merasa seperti berada di dalam laut dengan kedalaman yang sangat terjal. Tidak ada udara, yang ada hanya gambaran kematian.
'Tuhaaan ... Tuhaaan ... siapa pun, tolonglah kami!' pekik laki-laki yang tidak aku kenali tanpa henti, hingga suara itu lenyap dari tenggorokannya.
'Apa yang sebenarnya terjadi?" gumamku tanpa suara dan masih dalam posisi tengkurep serta terpijak habis. Ini seperti mimpi sebelumnya, ketika pertama kali aku melihat wajah Barsha.
'Ya Tuhan ... kenapa semua ini terjadi?' ratap laki-laki tersebut kembali terdengar jelas, meskipun dengan suara yang tipis. 'Ampuni saya karena tidak mampu melindungimu!'
"Ma ... s," ratap Barsha dengan suara lembut. suara itu terdengar jelas di telingaku karena Barsha tidak berada di sisi laki-laki itu seperti sebelumnya, melainkan di depanku.
Rintihan kesakitan dan hisapan air mata, terdengar jelas dari keduanya. Sakit, aku pun ikut menangis ketika melihat mereka diperlakukan tidak manusiawi.
"Mas ... ," panggilnya sekali lagi. "Saya akan membalas semua ini hingga habis keturunan mereka!" Wanita itu meraup tanah dengan kedua tangannya yang sudah gosong "Hingga darah terakhir!"
"Jangan ... ."
"Aku serahkan jiwa dan ragaku untuk sesembahan yang agung. Ambilah-ambilaaah! Jadikanlah aku halus lebih dari udara untuk membalaskan rasa sakit ini! Jadikanlah aku kuat, lebih dari iblis untuk mengoyak mereka semua. Dan jadikan aku abadi, di dalam dunia fana ini?" teriaknya sangat kencang, hingga suara itu menghilang, bersama nyawanya.
'Barshaaa! Tidaaak!" pekik laki-laki yang sempat kehilangan suaranya beberapa saat yang lalu. "Ampun, Gusti. Tolong ... .'
Tak lama, suara penuh pilu dan kesakitan, menghilang dari telingaku. Aku pun dapat merasakan ketenangan yang sudah lama menjauh hingga berniat untuk benar-benar dapat tertidur dengan pulas.
'Besok, aku harus bergerak cepat untuk mencari seseorang yang bersedia membantuku. Aku benar-benar tidak sanggup lagi. Rasanya, setiap hari adalah waktu p********n untukku.'
'Makan ini, aku memang selamat. Lalu, bagaimana dengan besok dan lusa? Sementara, dia semakin dekat dan terus mengancam dengan kuku tajamnya yang lebih runcing daripada mata pisau.
Saat tengah berdiskusi pada diri sendiri, cahaya dari luar masuk ke dalam kamar. Ternyata aku tidak salah lagi, di sini buka hanya ada aku dan Ida. Tetapi sosok lain yang tidak bersedia meninggalkan aku dan membiarkanku bahagia.
Bersambung.
Sebenarnya, siapa Barsha dan apa hubungannya dengan Annora? apakah dia roh jahat yang ingin membalaskan dendam? Atau malah sosok yang ingin melindungi? Ikuti ceritanya ya, free sampai tamat. Makasih.