Bab 6. Ternyata | Salah Tingkah

2655 Kata
Kedua telapak tangan Khalid semakin berkeringat dingin. Mustahil kalau dia berbohong kepada wanita yang telah melahirkan dan mendidiknya sejak kecil. Khalid tersenyum tipis sambil menoleh ke kiri. Sengaja menjeda waktu sambil berdoa kepada Allah agar semua terjadi sesuai rencana-Nya tanpa harus menyakiti hati kedua orang tuanya, termasuk hati sang Buya yang dulu pernah menerima Ayesha bekerja di Madrasah mereka. Ia tidak mau berprasangka buruk terhadap sang Pencipta alam semesta. “Umi, Khalid …,” gumamnya sambil tersenyum melirik sang Umi sekilas. “Sebenarnya—” ucapnya seketika berhenti kala mendengar ponsel sang Umi berdering. “Sebentar, Nak. Ponsel Umi berdering.” Asiyah memotong pembicaraannya. “Iya, Umi.” Khalid menarik napas panjang sambil membuka kopiah yang dikenakannya, menyeka keringat yang ternyata sudah memenuhi kening. Ia menyapu wajah dengan sorban yang ada di lehernya. ‘Ya Allah, aku sangat munafik. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membohongi Umi dan Buya. Jika harus jujur, aku akan berkata jujur.’ “Akhi Qais menelpon Umi, Nak.” “Yauda, Mi. Coba diangkat.” Asiyah segera menjawab panggilan telepon dari menantunya. “Assalamu’alaikum, Qais. Ini Umi, Nak.” “Wa’alaikumussalam, Umi. Ini Buya mau ngomong sama Umi.” “Oh iya, Nak.” Khalid melirik sang Umi sekilas sambil fokus menyetir. Ia sengaja melajukan mobil dengan kecepatan lebih supaya cepat sampai di toko bunga Ayesha. Hanya beberapa menit lagi, mereka akan sampai dan pertanyaan tadi tidak perlu dijawab sekarang karena ia belum siap. Dia bersyukur sambil melirik lafadz Allah dan Rasulullah berbahan emas yang menggantung pada kaca spion mobil. Sembari ia menormalkan degup jantung karena akan bertemu dengan Ayesha lagi sebentar lagi. Padahal, tadi pagi wanita itu sudah mengusirnya. “Umi, Ini Buya. Kata Ukhti, Umi sama Khalid mau ke toko Ayesha?” “Iya, Buya. Ini Umi sedang di jalan. Sebentar lagi sampai.” “Oh, ya sudah, Mi. Hati-hati di jalan. Jangan lupa beli Lily untuk kamar kita ya, Mi.” Asiyah tersenyum. Tanpa diperintah pun, ia sudah tahu aroma bunga kesukaan suaminya. “Iya, Buya. Umi juga mau pesan bunga buat rumah kita. Tadi Ukhti beri saran supaya kita tidak memakai pengharum ruangan lagi biar pilek Umi bisa sembuh.” “Oh, sesuai saran Dokter ya, Mi?” “Iya, Buya. Setelah Umi pikir-pikir, ya sudah tidak masalah. Biar nanti Ayesha datang ke rumah untuk menghiasi rumah setiap dua atau tiga hari sekali,” terangnya sambil menahan senyum di bibir tanpa melirik sang putra yang ia tahu tengah melihatnya. Khalid langsung melirik sang Umi. Kalimat barusan membuatnya syok. “Iya, Mi. Ide yang bagus. Biar rumah kita tetap wangi alami.” “Iya, Buya. Tinggal nanti Umi minta saran Ayesha, cocoknya bunga yang mana.” “Yauda, terserah sama Umi aja. Buya tutup dulu ya, Mi. Ini ceramah Buya di Majlis terakhir.” “Yassarallah, Buya.” “Sahhalallah lanal khaira haitsuma kunna, ya Umi.” Khalid melirik sang Umi sambil mengulum senyum. Panggilan yang sedang berlangsung cukup terdengar olehnya. Begitulah orang tua mereka yang selalu mendoakan dalam kebaikan, terlebih dengan niat menyebarkan risalah Nabi besar umat Islam. Setelah panggilan telepon tertutup, Khalid sengaja bertanya mengenai hal lain demi menyelamatkan dirinya dari pertanyaan sang Umi beberapa menit lalu. Dari kejauhan, toko bunga Ayesha sudah terlihat. Apa yang sedang dilakukan oleh Ayesha di sana mengalihkan perbincangan mereka. “Ayesha sedang bersama dengan siapa, Nak?” Khalid turut melihat apa yang sedang diperhatikan oleh sang Umi. “Sepertinya ada anak kecil yang membeli bunga, Mi.” Ia memarkirkan mobil tepat di sebelah toko bunga Ayesha. Wanita berparas cantik dan berhijab panjang di sana lantas menoleh ke arah mereka. “Ayesha pasti tidak tanda kalau Umi yang datang. Karena Umi tidak pernah ke sini dengan mobil kamu, Nak.” Khalid tersenyum. “Iya, Umi.” Padahal, dia pernah ke sini dengan mobil yang sama. Sambil membuka sabuk pengaman, ia bisa melihat raut wajah Ayesha di sana sudah tidak enak. Mungkin saja wanita itu telah mengenali mobilnya. “Sini, Mi. Biar Khalid yang bawa rantangnya.” “Iya, Nak.” Sementara di sana, Ayesha tengah mengikat satu buket bunga mawar berwarna campur hendak ia berikan kepada dua orang anak yang datang ke tokonya sambil menawarkan keripik dagangannya. “Ini untuk kalian ya. Sampaikan salam saya kepada almarhum orang tua kalian. Jangan lupa doakan mereka setiap hari,” pesan Ayesha sambil mengusap puncak kepala dua orang anak laki-laki di hadapannya. “Iya, Bu. Terima kasih banyak atas bunganya.” “Makasih banyak udah kasih kami makan di sini, Bu.” Ayesha tidak berhenti mengusap wajah mereka sambil berdoa agar Rahmat dan segala kebaikan dari Allah senantiasa tercurah untuk kedua anak itu. “Ya sudah, sana kembali ke rumah. Dagangan kalian sudah habis. Nanti singgah sebentar ke Masjid. Jangan lupa di makan ya nasinya?” ucapnya sambil menoleh ke arah sana. Seketika Ayesha terkejut melihat siapa yang datang berkunjung ke tokonya. “Iya, Bu. Sekali lagi, terima kasih banyak.” “Terima kasih banyak ya, Bu.” “Sama-sama.” Ayesha menatap Khalid berjalan di belakang wanita yang sudah ia tunggu-tunggu kedatangannya. Wanita itu turut menyapa dua orang anak yang ia beri uang saku sekaligus makan siangnya. “Ini untuk kalian, Nak.” Dia tersenyum sembari memberikan dua lembar pecahan seratus ribu rupiah, kemudian mengusap puncak kepala mereka. “Terima kasih, Nenek.” “Terima kasih banyak, Nek.” “Sama-sama. Kalian sudah makan siang belum??” “Belum, Nek. Tapi kami dikasih ini sama Ibu cantik itu.” “Iya, Nek. Kami juga dikasih bunga.” Senyuman merekah dua anak laki-laki itu lantas menyejukkan hati mereka. “Oh, begitu. Ya sudah, kalian mau ke mana setelah ini??” “Kami mau ke makam untuk menaruh mawar ini untuk bapak sama ibu, Nek.” Khalid langsung terdiam dan mengusap punggung sang Umi agar bertahan di hadapan dua orang anak yang telah yatim piatu. “Oh, iya sudah. Segera ke sana, mumpung bunganya masih segar.” “Iya, Nek. Kami permisi dulu. Assalamu’alaikum.” “Assalamu’alaikum, Nek.” “Wa’alaikumussalam,” jawab Asiyah dan Khalid kompak. Setelah melihat kepergian dua orang anak tersebut dengan menggunakan sepeda, Asiyah berjalan menghampiri Ayesha yang menyambutnya dengan senyuman. “Assalamu’alaikum, Nak.” “Wa’alaikumussalam, Umi.” Mereka berpelukan, membuat Khalid menjadi salah tingkah, menyeka keringatnya sendiri. Debaran di jantungnya tidak pernah berhenti kalau ia bertemu dengan Ayesha. Ia sempat berpikir, apakah rasa bersalah terhadap wanita ini memperburuk detak jantungnya. Dia harus ke Dokter jantung setelah kembali dari sini, pikirnya lagi. “Kamu sudah makan, Nak??” “Belum, Umi. Sebentar lagi aja. Oh, iya, bunga Umi ada di belakang. Sebentar Ayesha ambil.” Tangan Ayesha ditahan oleh sang Uminya. “Tapi ini sudah jam 3 lewat. Mau masuk ashar. Kenapa kamu belum makan, Nak?” Ayesha tersenyum, kemudian menuntun sang Umi berjalan masuk untuk duduk di depan tokonya. “Gak apa-apa, Umi. Anak-anak tadi lebih butuh makanannya dari pada Ayesha.” Dia mulai khawatir dengan keberadaan Khalid di sini. Melihat wajah pria itu, tiba-tiba mengubah suasana hatinya. Ayesha langsung beristighfar dalam hati. “Masha Allah, Nak. Beruntung sekali mereka memiliki anak perempuan sebaik kamu.” Asiyah mengusap punggung Ayesha dengan lembut tanpa melepas senyuman terbaik di wajahnya. “Umi, biasa aja ish. Tapi, Umi ke sini gak jadi sama Ukhti?” Ia melirik Khalid yang ternyata juga melirik ke arahnya. Dia langsung membuang pandangan dan fokus pada wajah sang Umi. “Ah iya, Nak. Aisyah tidur tadi. Jadi, Ukhti tidak mungkin pergi. Tapi Umi sama anak laki-laki Umi,” tuturnya sambil mengayunkan ke arah Khalid supaya mendekati mereka. “Ini, Nak. Anak bungsu Umi. Namanya Khalid. Khalid, ini Ayesha. Bunga yang selama ini Umi dan Ukhti beli ya dari sini, Nak.” Debaran jantung Ayesha yang semula tidak terlalu cepat kala melihat Khalid tadi, kini mendadak berbeda. Ia tersenyum tipis seraya menyapa Khalid demi menghormati sang Umi. “Assalamu’alaikum,” sapanya. “Wa’alaikumussalam,” balas Khalid sambil tersenyum sambil menundukkan pandangan. Asiyah menahan senyum di bibir sambil menyodorkan rantang nasi dan sayur untuk Ayesha demi mencairkan suasana. “Nak, ini dari Ukhti. Ada nasi sama lauk pauknya. Rezeki dari Allah karena kamu udah baik sama anak-anak tadi.” “Tapi, Umi ….” Ayesha sempat ragu menerimanya. Ia tersenyum. “Jangan menolak rezeki dari Allah, Nak.” Seketika mata Ayesha mulai berkaca-kaca dan berkata, “Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimush sholihaat. Jazakumullah khairan katsiran wa jazakumullah ahsanal jaza, ya Umi.” Ia langsung mengecup punggung tangan sang Umi berulang kali. Hatinya terenyuh. Asiyah membelai puncak kepalanya. “Wa iyyaki, Ayesha.” Dia memperhatikan putranya tidak melirik ke arah mereka, tetapi bibirnya tampak senyum-senyum. “Wafiika barakallah, ya Umi,” sahut Ayesha tersenyum sambil memeluknya. Khalid hanya mencuri pandang saja. Ada perasaan tenang di hatinya kala melihat dua wanita ini saling mendoakan dalam kebaikan dan berpelukan seperti tadi. Tiba-tiba ada yang aneh dalam benaknya. “Udah jam segini kenapa belum makan siang, Nak?” “Tadi kebetulan ada pelanggan minta rangkaian bunga untuk lamaran, Umi. Dan mereka menunggu. Lepas zhuhur, Ayesha langsung rangkai sampai selesai. Pas mau makan, rupanya anak tadi datang. Ayesha kasihan, katanya mereka belum ada makan sejak pagi.” Asiyah tersenyum sambil masuk ke dalam toko. “Ya udah, makan dulu. Biar Umi suapin.” “Umi, tidak perlu. Aduh, Ayesha bisa makan sendiri. Sebentar, Ayesha ambil wadah untuk memindahkan lauk.” “Tidak, Nak. Jangan. Wadah ini untuk kamu.” Ayesha bergeming sesaat. “Nak, ini hanya rantang biasa. Apapun yang Umi beri ke kamu, jangan dibalikin lagi. Kecuali memang kamu mau ngasih makanan ke Umi. Pakai aja rantang yang sama,” pesannya dengan harapan penuh. “Ah, iya, Umi. Insya Allah, nanti Ayesha ke rumah Umi sambil bawa cemilan.” Asiyah melirik putranya tengah duduk di bangku panjang, di depan toko. “Kalau misalnya kamu tidak tahu rumah Umi, kamu bisa minta tolong anak Umi untuk jemput kamu, Nak.” Ia melirik Khalid. “Nak, tolong kasih nomor telepon kamu ke Ayesha. Biar dia bisa hubungi kamu kalau mau ke rumah kita antar makanan.” Khalid langsung berdiri dan menyahut, “Ya, Umi? Ada apa? Tadi Khalid kurang mendengar.” Dia berjalan mendekati pintu pembatas toko. Ayesha langsung menahan tangan sang Umi. “Umi, tidak perlu.” Dia tersenyum. “Kasih tahu saja alamat Umi di mana. Ayesha bisa pergi sendiri nanti.” “Nak, Umi tahu kamu bisa pergi sendiri. Tapi ini hanya berjaga-jaga saja. Nanti kalau misalnya hujan? Khalid, tolong kasih nomor ponsel kamu ke Ayesha. Nanti kalau mau jemput Ayesha, jangan lupa bawa Aisyah atau sama supir saja.” Khalid dan Ayesha saling melempar lirikan. Entah kenapa, Khalid merasa kalau Ayesha mungkin tidak mau memberi nomor ponselnya secara langsung, meski ia sudah tahu. “Iya, Umi. Berapa nomor ponsel kamu?” tanya Khalid mengambil ponsel dari saku celana. Ayesha tersenyum tipis sambil menatap sang Umi. “Udah, gak apa-apa, Nak. Orang cuman nyimpan nomor ponsel aja ‘kan.” Akhirnya, ia terpaksa mengiyakan keinginan wanita yang sudah dianggap sebagai ibu sendiri. Ayesha mengambil butu catatan, kemudian menulis nomor ponselnya di sana. “Ini nomor ponsel saya,” ucapnya sambil meletakkan selembar kertas di atas meja. Khalid segera mengambilnya. “Ah, iya. Terima kasih. Saya izin menyimpannya di ponsel saya.” “Iya, silahkan.” “Nanti, saya hubungi kamu, supaya ada pertinggal nomor saya.” “Iya.” Asiyah tidak berhenti menahan senyum di bibir. “Di mana piring kamu, Nak? Sini, biar Umi suapin.” Dia mengalihkan keadaan agar keduanya tidak canggung. “Ish, Umi … tidak perlu. Biar Ayesha ambil bunganya di belakang.” “Nak, itu bisa nanti. Yang penting sekarang, isi dulu perut kamu.” Wajah Ayesha merona seketika sebab Khalid menyaksikan sikap sang Umi seakan menganggap dirinya seperti anak kecil. “Umi, Khalid ini sebentar ya,” ujarnya sambil memperlihatkan ponsel. Padahal, dia tidak tahu mau beralasan apa. “Iya, Nak. Jangan kabur ya?” “Ya Allah, tidak mungkin Khalid meninggalkan Umi.” Asiyah tersenyum dan mengangguk. “Iya, Nak. Umi sebentar saja mau nyuapi anak Umi.” Khalid mengangguk dan segera berlalu dari sana, menuju mobil. Dengan degup jantung masih belum normal, dia berharap bisa beristirahat sejenak sambil menunggu urusan mereka selesai. “Umi, Ayesha bisa makan sendiri. Tolong, jangan begini sama Ayesha.” Ia memohon sambil memegang kedua tangannya. Bukan tidak mau diperhatikan seperti layaknya anak sendiri, selain karena ada Khalid di sini yang membuat ia syok, ia merasa segan kalau wanita ini terlalu baik dan dia takut tidak bisa membalas kebaikannya dengan kebaikan yang sama. Ayesha akan semakin sungkan dan takut berhutang budi. “Nak, apa yang kamu khawatirkan? Apa yang menjadi beban di hatimu?” Seketika, Ayesha terdiam dengan kedua mata sudah memerah. “Sejak mengenal kamu dari almarhum orang tua kamu, Umi memang menunggu kepulanganmu, Nak. Umi punya anak perempuan cuma satu. Dan sekarang nambah karena ada kamu.” Asiyah duduk sambil mengusap tangan Ayesha. “Tapi, Umi tidak perlu bersikap seperti ini.” “Nak, jangan merasa kalau Umi mengasihani kamu. Umi hanya mengikuti pesan-pesan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa kita harus menyayangi antar sesama. Saling memberi hadiah dan menjaga silaturrahmi.” Ayesha menurunkan pandangan sambil menyeka buliran bening yang hendak terjatuh di sudut mata. “Apalagi sama anak secantik kamu. Semua ibu di dunia ini pasti saling berebut untuk mencari perhatian kamu.” Ucapannya seketika mengembangkan kedua sudut bibir Ayesha. “Tuh ‘kan, langsung senyum. Udah, sekarang kita makan dulu. Umi juga sedikit lapar. Biar kita makan sama.” Mendengar itu, ia bergegas mengambil piring di dalam toko. “Umi juga bawa kurma sama anggur, Nak. Minggu lalu, waktu Khalid balik dari Mesir, dia singgah ke Mekkah untuk beli kurma kesukaan Umi.” Ayesha tersenyum tipis. “Alhamdulillah, akhirnya Ayesha bisa ngerasain lagi kurma yang dibeli langsung dari sana.” Asiyah berusaha menenangkan hati Ayesha setelah ia mengenalkan Khalid secara langsung, lalu wajah Ayesha tampak merona. Dia tidak sabar ingin menceritakan kejadian ini kepada suaminya nanti malam. Dia berulang kali beristighfar sambil meneguk air mineral dalam tiga kali tegukan. Matanya terkunci pada dua orang wanita yang masih bisa ia lihat dari posisinya sekarang. Uminya menyuapi Ayesha sambil mereka tertawa, entah membahas apa. Walau berada di Mesir sampai bertahun-tahun, dia tetap tahu karakter dari sang Umi ketika memperhatikan siapa saja yang didekati. Dia tidak mau menaruh perhatian terhadap sembarang wanita jika hanya bermodalkan gelar sarjana pendidikan saja. Apalagi wanita yang memanfaatkan jilbab hanya untuk menutup sifat buruk tanpa berniat untuk merubah diri menjadi lebih baik. Yang ia tahu, kakak dan uminya tidak pernah mau akrab dengan wanita mana pun kecuali murid-murid mereka saja dengan niat menyebarkan ilmu dan kebaikan. Namun, berbeda sekali bila sudah menyangkut Ayesha. Keduanya seakan sudah akrab lama, bahkan sang Buya juga tidak mempermasalahkan umi dan kakaknya menganggap Ayesha seperti keluarga sendiri. Pikiran Khalid menjadi tidak tenang. Dia tahu kalau Allah tidak menyukai kebohongan dan kemunafikan. Demi menghindarkan penyakit berbangga diri karena ilmu, Khalid memvonis dirinya sebagai manusia paling munafik di muka bumi. Mau sampai kapan dia menyembunyikan berita bahwa dia sudah mengenal Ayesha sebelumnya dan wanita itu tidak lagi bekerja di Madrasah mereka. Lambat laun, keluarganya pasti tahu mengenai itu. Lalu, apa kata mereka kalau hari itu tiba. Dia pasti akan terdiam bak orang bodoh yang tidak berilmu. Keluarganya pasti akan kecewa karena selama ini dia tidak merespon pembahasan mengenai Ayesha seolah tidak pernah mengenalnya. Khalid turun dari mobil demi menghargai Ayesha. Dia tidak mau kalau wanita itu mengira dia enggan berlama-lama duduk di tokonya. Sungguh, Khalid tidak berniat suudzon terhadap Ayesha. Dia hanya mau menjaga perasaannya saja. Ia tahu bahwa mereka tengah berbincang di sana, lalu dirinya memilih duduk di bangku panjang, di depan toko. Sambil memperhatikan kerapian dan jenis bunga-bunga di sekitarnya, ia membuka aplikasi kamera dan memotret bunga yang ia anggap menawan. Di saat ia tengah asyik memotret bunga di dekatnya, terdengar deru sepeda motor menghampiri toko ini. Khalid melihat siapa yang datang. “Assalamu’alaikum, Ustadzah Ayesha. Eh, loh, Ustadz Khalid?” “Loh, ada Ustadz Khalid di sini??” Khalid terkejut dengan kedatangan mereka. Dia segera beranjak dari bangku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN