Bab 7. Kepergok

3008 Kata
Ayesha merasa kalau semua orang tengah mengasihani dirinya. Seharusnya memang begitu, keadaannya patut dikasihani sebab tidak ada lagi tempat ia untuk membahu kecuali kepada sang Pemilik alam semesta. Dia tidak menyalahi siapa pun yang mengasihani dirinya. Menganggap bahwa rasa kasihan seseorang terhadapnya adalah bentuk kasih sayang dari Allah secara tidak langsung. Rezeki yang datang dari arah tak disangka-sangka dalam keadaan dia sangat membutuhkan. Tidak ada seujung kuku pun nikmat Tuhan yang ia dustakan. Sejak terakhir kali ia kembali ke Mesir hingga mendengar kabar duka bahwa ibunya meninggal dunia, Ayesha tidak pernah lagi mendapat suapan makanan dari tangan seorang Ibu. Kesedihan dan kerinduan itu ia lempar ke langit melalui bisikan di atas bumi. Namun, pagi ini Tuhan semesta alam memberikan balasan atas doa yang ia panjatkan selama beberapa hari terakhir. Mendapat perhatian dari wanita yang sangat baik hatinya. Tidak ia sangka, wanita ini menyuapi makanan bak seperti mengasihi putri kandungnya sendiri. Ayesha berusaha menahan air mata karena tidak ingin dianggap lemah. Ia sengaja membahas banyak hal mengenai buku-buku yang sering dikaji oleh sang Umi ketika sedang mengadakan majlis taklim. Pembicaraan yang semula asyik tiba-tiba berhenti kala mereka mendengar salam dari halaman toko. Beberapa orang menyapa Khalid yang duduk di sana. “Wa’alaikumussalam.” Asiyah menjawab salam dari luar toko. “Wa’alaikumussalam,” jawab Ayesha segera meneguk air mineral dengan sekali tegukan saja. Kemudian, ia berdiri untuk melihat siapa yang datang. “Sebentar ya, Mi.” “Iya, Nak. Tapi kok mereka menyapa Khalid juga?” “Suaranya seperti guru-guru Madrasah.” Hati Ayesha tidak tenang. Kalau tamu yang datang mengenal Khalid, kemungkinan besar mereka adalah guru-guru dari Madrasah yang sama. Langkah kakinya semakin cepat. “Ustadzah Ayesha, kami rindu sekali.” “Ya ampun, Ustadzah udah lama kita gak ketemu.” Dua orang wanita langsung menghampiri Ayesha, lalu memeluknya bergantian. “Bu Novi, Bu Citra. Ada Pak Imran juga. Ya ampun, baru balik dari Madrasah, Bu??” “Iya, Ustadzah. Baru juga semua pada bubar, termasuk Ustadz Khalid tadi pulang lebih awal ya, Ustadz.” Citra tersenyum sambil mengangguk. Khalid tersenyum ramah. “Iya, Bu.” Imran tersenyum sambil membenarkan dugaannya dalam hati. Di sini ada orang tua Khalid juga, itu artinya mereka memang sudah saling mengenal. Namun, yang membuat ia bertanya-tanya, kenapa Ayesha justru keluar dari Madrasah. Mungkinkah Khalid sudah melamar Ayesha, pikirnya lagi. Asiyah keluar sambil membawa piring dengan tangan kanan belum dicuci. “Loh, rupanya kawan kerja Khalid pada datang semua ya? Langganan bunga di sini juga toh, Pak Imran?” Pertanyaan ibunda Khalid lantas membingungkan mereka, kemudian melirik satu sama lain. Khalid kalut dan menatap Ayesha seperti tidak nyaman. Belum sempat Ayesha membuka suara, Novi lebih dulu berbicara. “Maaf, Bu. Kami ke sini mau jumpai Ustadzah Ayesha. Sejak resign dari Madrasah, kami bingung kalau mau meminta pendapat,” ujar Novi mencari alasan. Imran, Novi, dan Citra saling melempar senyuman. “Oh, jadi Ustadzah Ayesha sudah resign. Kapan kamu resign, Nak?” tanya Asiyah sambil tersenyum, menatap teduh Ayesha. Ia melirik putranya sekilas. Ayesha tersenyum sambil mengatur debaran jantung. Ia tidak tahu harus bersikap apa sekarang. Mereka datang di saat yang tidak tepat. Umi Asiyah menjawab jujur kalau mereka sedang makan bersama dan menyuapi dirinya. Betapa malu Ayesha di hadapan mereka, meski sang Umi mengakui telah menganggap dirinya sebagai anak. Terlebih ketika ia melihat sikap Khalid terlihat mengkhawatirkan sesuatu. Entah karena apa, tapi selama perbincangan, Khalid hanya diam dan enggan ikut menimbrung. Namun, karena ada panggilan ceramah mendadak dari Masjid di kampung sebelah, Khalid pun memutuskan untuk kembali. Imran, Novi, dan Citra juga turut balik setelah membujuk dirinya untuk mengajari anak-anak membaca Al-Qur’an sebagai persiapan untuk acara Musabaqah Tilawatil Qur’an antar Madrasah. Begitu juga dengan Asiyah yang ikut kembali bersama Khalid dengan membawa bunga yang sudah dirangkai. *** Sepertiga malam merupakan waktu teduh bagi seluruh Mukmin untuk bermunajat kepada sang Maha Mendengar. Waktu yang sangat mustajab untuk menenangkan hati, jiwa, serta pikiran agar terlepas dari beban dunia. Ayesha menutup kitab suci Al-Qur’an, kemudian menengadahkan kedua tangan sambil menatap kitab suci tersebut. Sambil tersenyum, napas yang berhembus menandakan bahwa dirinya mendapatkan ketenangan yang diinginkan. “Hamba tidak tahu menahu dengan takdir-Mu, ya Allah. Engkau mempertemukan hamba dengan Buya Hamzah yang baik hati. Dan ternyata Buya adalah istri Umi Asiyah. Lalu, Engkau memberitahu hamba bahwa pria itu adalah putra mereka.” Ia berhenti sejenak, sembari menghalau rasa sakit akan kalimat Khalid yang sering terlintas dalam benak. Mengulang kejadian yang ia alami dalam doa adalah kebiasaannya. Dia tahu bahwa Tuhan semesta alam melihat keadaannya. Namun, ia bersikap selayaknya seorang hamba yang lemah dan selalu membutuhkan pertolongan. “Engkau tidak suka siapa pun memutuskan silaturrahmi, ya Allah. Tapi apa yang hamba alami, berhak ‘kah diri ini memutuskan untuk diam demi menjaga jarak juga hati ini dari rasa sakit?” Air mata Ayesha terjatuh, ia langsung merundukkan kepala. “Sesungguhnya, hamba tak berhak mengatakan ini pada-Mu, ya Rabb. Tapi, kepada siapa lagi diri ini meminta dan memohon kecuali kepada Engkau, wahai sang Pembolak-balik hati. Izinkan hamba menjaga kebersihan qalbu dan hati ini demi memandang keindahan wajah-Mu di hari yang telah Engkau janjikan. Ilmu yang Engkau amanahkan kepada hamba tidak akan berguna jika tiada maaf dari-Mu, wahai sang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Ayesha terisak dalam linangan air mata yang tidak kunjung berhenti. Ia teringat akan masa-masa indah bersama almarhum sang ayah dan ibunda yang dirindukan. Hidup sebatang kara di rumah ini memang menyisakan banyak kesedihan. Tiada yang bisa ia ajak bicara dan bertukar pikiran. Tiada yang menghiburnya di kala sedih. “Waktu hamba habis untuk menuntut ilmu, menyebarkan agama-Mu, berjihad di jalan-Mu, ya Rabb. Maafkan hamba yang selalu merindukan mereka. Adakah secercah harapan dan kebaikan dari-Mu untuk mengobati kerinduan di hati ini, ya Rabb? Umi Asiyah sangat baik. Hamba menyayanginya. Hamba mohon, jangan persulit hamba untuk keadaan yang tidak mampu hamba lewati seorang diri. Hanya kepada-Mu, ya Rabb.” Ia bersujud, menekan kening menyentuh bumi. Ada perasaan lain di hatinya kala melihat Khalid. Namun, pria itu sungguh tega sekali menghakimi sikapnya seperti layaknya wanita tak tahu malu. Kesal, kecewa, dan serbuk duri menikam hatinya hingga rasa sakit itu masih membekas sampai detik ini. Berulang kali ia mencoba melupakan, tapi sungguh sulit. Hanya doa yang bisa melegakan hatinya walau sesaat. Melepas bayangan Khalid, ia tidak mau menaruh rasa benci lagi terhadapnya. Kalau bertemu dengan pria itu lagi, dia akan bersikap biasa. Ya, semoga saja dia bisa melakukannya. *** Malam kemarin, mereka ingin membahasnya. Namun, malam jumat bukan malam yang tepat untuk membincangkan masalah dunia selain banyak berdzikir serta bershalawat. Asiyah mendesak suaminya untuk mengajak mereka bicara. “Buya lihat sendiri. Tadi pagi Khalid cuma diam. Sudah jelas-jelas kalau Umi pura-pura marah, tapi dia tetap biasa aja. Zainab juga gak mendukung Umi,” gerutunya kesal. Hamzah tersenyum sambil memegang tangan sang istri untuk menenangkannya. “Sayang, kita gak boleh ngoyo sama keinginan kita. Umi mau kita jadi orang tua yang egois?” Asiyah menarik napas panjang sambil beristighfar lalu berkata, “Tidak, Buya. Maafkan, Umi. Tapi, Umi kasihan sama Ayesha. Kenapa Buya sampai tidak tahu kalau Ayesha mengundurkan diri dari Madrasah.” “Umi, Buya ‘kan udah bilang kemarin, Buya gak tahu. Pas Buya telpon Imran, malah dia ngira kalau Buya udah tahu dari Khalid. Ya demi menjaga nama baik anak kita, Buya bilang cuman mau memastikan aja,” terang Hamzah berbicara dengan lembut untuk meredakan perasaan di hati sang istri. “Jadi, apa malam ini Buya gak mau selesaikan ini? Umi mau Khalid mengakui pada kita kalau sebenarnya dia sudah tahu siapa Ayesha.” Hamzah mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Umi.” Bagaimana mungkin dia menolak keinginan wanita yang telah mengandung, mendidik, dan menjadi Madrasah terbaik bagi kedua anaknya. Bahkan dia tidak sanggup meninggikan suara di hadapannya. “Kalau kita memang sudah mengenal Ayesha sejak almarhum orang tuanya masih ada, tapi Zainab dan Qais wajib tahu. Umi berniat mengajak Ayesha untuk mengenal keluarga kita. Jangan sampai mereka heran karena Khalid pura-pura tidak mengenal Ayesha padahal Ayesha pernah mengajar di Madrasah kita. Umi tidak mau terjadi prasangka buruk, Buya.” Tahu bahwa sang istri masih meluapkan semua yang ada di hatinya, Hamzah memilih diam menunjukkan wajah serius mendengarkan sambil sesekali mengangguk kecil. “Iya, Umi. Buya ngerti.” “Kita sengaja menuntun dia supaya ngajar di Madrasah kita biar bisa bertemu dengan Khalid. Tapi setelah Khalid di sana, dia langsung keluar. Umi tidak mau berprasangka buruk, Buya. Tapi Umi tidak mau Ayesha sedih. Dia tidak punya siapa-siapa lagi.” Hati seorang wanita memang selembut itu, pikir Hamzah. Apalagi sudah pernah merawat dua orang anak, istrinya pasti mampu membayangkan bagaimana sedihnya berada di posisi Ayesha sekarang. “Sudah 2 hari, Buya. Sampai kemarin, Ayesha gak mau datang ke rumah kita. Kita harus bicarakan ini supaya Khalid jujur, Buya.” Hamzah tersenyum lalu mengecup lama punggung tangan kanan sang istri sambil berdoa, hingga wanitanya terdiam. “Umi, kita tidak tahu apa alasan Ayesha keluar dari Madrasah. Dan kalau kita bertanya pada Khalid, apa dia tahu sesuatu? Mereka saja baru bertemu di Madrasah. Umi bilang, ketika bertemu di toko waktu lalu, bahkan mereka seperti orang yang tidak saling mengenal.” Asiyah menekuk wajahnya karena masih merasa sedih mendengar berita pengunduran diri Ayesha. “Jadi, Buya tidak bisa—” Tiba-tiba, pintu kamar mereka terketuk. “Assalamu’alaikum, Umi, Buya?” “Wa’alaikumussalam. Sebentar, Khalid.” Hamzah menyahut sambil tersenyum. “Tuh, anaknya langsung terasa kalau orang tuanya lagi bahas dia.” “Untung dia bangun tahajud.” “Umi, memangnya Khalid sanggup meninggalkannya barang semalam?” Asiyah langsung mengulum senyum dan beranjak dari bibir ranjang. “Ayo, kita bicara di luar saja. Semoga Zainab dan Qais juga sudah bangun.” “Iya, Buya. Biasanya mereka sudah bangun jam segini.” Asiyah membuka pintu kamar. Senyuman putranya yang sangat tampan ini seketika meleburkan rasa kesal di hatinya. Anak laki-laki yang selama ini berada jauh darinya, yang selalu ia rindui. “Kamu baru selesai, Nak?” “Iya, Buya. Baru saja selesai mendengar murrojah Aisyah.” “Cucu Jiddah juga bangun?” “Bangun, Jiddah. Dia mengetuk pintu kamar Khalid, mau minta didengarkan.” “Masha Allah, cucuku salehah.” Asiyah memegang d**a. “Barakallah,” sahut Hamzah seraya ikut mendoakan sang cucu. Asiyah langsung memegang lengan kiri Khalid, menariknya mengikuti langkah kakinya. “Ayo, Nak. Kita bicarakan di bawah saja.” Khalid bingung dengan sikap sang Umi seolah tahu dengan maksud kedatangannya ke kamar mereka. Ia lantas berkata, “Iya, Umi. Tapi, Umi dan Buya tahu kalau Khalid mau membahas sesuatu??” “Kita bicara di bawah aja, Nak. Ukhti dan Akhi di mana?” “Ada di bawah, Umi. Lagi baca kitab.” “Oh, alhamdulillah. Umi kira mereka sudah masuk kamar.” Hamzah tersenyum sambil mengangguk, seraya memberi isyarat kepada putranya bahwa semua baik-baik saja. Di ruangan berbeda, Zainab bingung karena kedua orang tua mereka menyuruh semua orang untuk mendengarkan baik-baik. “Ada apa, Mi? Apa ada masalah?” tanyanya sambil memperhatikan Aisyah sedang bermain di ruangan Musholla kecil, di sana. Asiyah melirik putranya. “Kamu mau bicara lebih dulu, atau Umi yang bicara, Nak?” tanyanya sambil menatap putranya sudah berwajah pucat. “Khalid? Kamu kenapa?” Zainab segera mendekati sang adik untuk memeriksa keadaannya. “Kamu sakit? Kok, badan kamu keringat dingin gini?” Hamzah dan Asiyah turut menyentuh kulit Khalid. “Iya, Nak. Kamu sakit?” Asiyah mulai khawatir. Khalid menghela napas sambil menyeka keringat di kening. Memang tidak bisa dibohongi. Tubuhnya memberitahu keadaan hati yang sebenarnya. Dia jadi malu dan bingung harus memulai pernyataan dari mana. Apakah topik yang ia bahas akan sama dengan topik sang Umi atau tidak. Sudahlah, dia tidak mau menyembunyikan kebenaran kalau dia sudah mengenal Ayesha. “Khalid gak apa-apa, Buya, Umi. Mungkin karena ruangan ini kurang dingin.” Mereka saling melempar pandangan dan merasa kalau jawaban Khalid tidak masuk akal. Rumah mereka penuh dengan pendingin ruangan. Namun, berbeda dengan Qais yang sejak beberapa hari lalu sudah memperhatikan gerak-gerik Khalid. Ia bukan berprasangka buruk. Sebagai abang ipar, dia juga peduli dan merasa kalau Khalid akan bersikap berbeda jika mereka membahas Ayesha. Dia juga seorang pria, tentu dia tahu. “Khalid mau bicara soal … Ayesha.” Asiyah langsung menatap Hamzah sudah mengulum senyum. “Ayesha? Ada apa dengannya? Kau pernah bertemu dengannya? Kenapa kau tiba-tiba membahas Beliau?” cecar Zainab penasaran. Ia menarik napas. “Sebenarnya dia pengajar di Madrasah, Ukh.” “Oh ya?” Zainab menatap mereka bergantian. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia bingung kala mengingat sesuatu. “Tunggu, kalau kamu tahu Beliau pengajar di Madrasah, tapi kenapa kamu diam saja setiap kali kami membahas Beliau?” Ia menyeka keringat di keningnya. “Khalid …,” ucapnya menghentikan kalimat sejenak sambil berpikir, mungkinkah dia bersilat lidah, lalu menjawab dengan alasan lain. Namun, dia tidak mau mendapat murka dari Allah. Cukup baginya merasa bersalah atas tuduhannya terhadap Ayesha. “Umi, Buya, sebenarnya Ayesha mengundurkan diri sehari setelah peresmian posisi. Dia bilang kalau dia mengundurkan diri karena ingin mengistirahatkan diri.” “Apa dia sakit, Nak??” “Tidak tahu, Umi. Tapi dia beralasan mau memulihkan kondisi kesehatannya.” Zainab lantas melirik sang Umi lalu bertanya, “Apa Umi lihat dia pucat??” “Tidak, Nak. Terakhir kami jumpa, Ayesha baik-baik aja. Tidak sakit, tidak pucat.” Asiyah memasang wajah serius, menjelaskan bahwa wanita yang sedang mereka bicarakan sedang tidak sakit. Hamzah memperhatikan raut wajah putranya kala menjelaskan alasan Ayesha mengundurkan diri. Tidak ada kebohongan di wajahnya. Dia yakin, Khalid tidak mungkin berbohong untuk alasan apapun. Pikiran Khalid terus memutar wajah Ayesha dan raut wajahnya ketika ia tuduh sebagai penggoda. “Sebenarnya ini tidak perlu dipermasalahkan,” sahut Qais sambil melihat sang Buya dan Umi. “Tidak ada yang bertanya padanya, apakah dia mengenal Ayesha atau tidak,” sambungnya melirik Khalid. Pernyataan Qais memang benar. Tidak seorang pun dari mereka pernah bertanya kepada Khalid mengenai Ayesha. “Kalau Umi, Buya, atau Uma bertanya padanya, mungkin Khalid akan menjawab kalau dia kenal sama Ayesha, dan dia mengajar di Madrasah kita. Begitu, Halli?” Khalid menatap sang abang ipar sambil mengangguk kecil. “Iya. Khalid tidak mau membahas wanita lain, Umi. Itu sebabnya Khalid hanya diam saja kalau Umi dan Ukhti membahas dia.” Asiyah melirik Hamzah mengangguk seraya memberitahu bahwa semua sesuai dengan prasangka baiknya terhadap Khalid. Akhirnya, apa yang membuat sempit dadanya, mendadak hilang dan ia merasa lega. “Uma bilang kalau Umi mau memakai bunga segar sebagai pengharum ruangan?” “Iya, Buya. Tapi kemarin kata Umi, kalau Ustadzah Ayesha perlu waktu beberapa hari dulu. Karena bunga yang dipajang harus banyak supaya ruangan tetap wangi meski bercampur dengan aroma bukhur. Begitu ‘kan, Umi?” “Iya, Nak. Tapi Uma sudah membujuk dia supaya menata langsung bunga segar di rumah kita.” Hamzah menarik napas panjang sambil menahan senyum di bibir. “Lalu kapan dia ke rumah kita, Umi?” “Pagi ini, Buya.” Khalid semakin tidak bisa mengontrol perasaannya sendiri. Namun, dia berusaha bersikap setenang mungkin. Menurutnya, mereka tidak perlu tahu mengenai alasan sebenarnya Ayesha keluar dari Madrasah. Allah sudah menutup aibnya, jadi dia tidak mungkin membongkar aibnya sendiri meski di hadapan keluarga sekali pun. *** Ayesha sudah berada di toko sejak 1 jam yang lalu. Sekarang, langit belum terlalu terang, tapi dia harus bergerak cepat sebab hari ini dia akan pergi ke rumah Umi Asiyah untuk meletakkan bunga segar di setiap sudut rumah mereka. “Alhamdulillah, lumayan juga dapat rezeki dua kali seminggu,” gumamnya sembari merangkai mawar putih terakhir untuk anak kecil yang bernama Aisyah. Tentu dia tahu siapa Aisyah, sebab Umi Asiyah sering menceritakan kecerdasan Aisyah kepadanya. Jarum jam menunjukkan pukul 05.25 pagi. Udara terasa sejuk dan jalanan masih sepi. Namun, tidak sedikit dari masyarakat sudah berlalu lalang di jalanan, termasuk anak-anak sekolah pergi beriringan dengan menggunakan sepeda. Sambil menyapu halaman, Ayesha membalas sapaan masyarakat yang memanggilnya dengan sebutan Ustadzah Ayesha atau Ustadzah bunga. Ya, Ustadzah bunga adalah sapaan yang unik. Anak-anak sekolah suka memanggilnya dengan sapaan tersebut. Ia baru selesai menyiram bunga-bunga yang dibiarkan di dalam pekarangan besi. Saat hendak masuk ke dalam, sebuah mobil berhenti tepat di sebelah tokonya. Ayesha segera merapikan pakaiannya, lalu melihat siapa yang datang. “Assalamu’alaikum, Ustadzah.” Seorang pria mengucap salam sambil menghampiri toko bunga Ayesha. “Wa’alaikumussalam,” jawab Ayesha sambil mengerutkan kening. ‘Loh, bukan Ustadz Khalid ternyata,’ batinnya. Sambil berwaspada diri dengan menjaga jarak, Ayesha lantas bertanya. “Maaf, Pak. Nyari siapa ya?” Ia tersenyum curiga sebab pria itu seperti tengah mengawasi sekitar mereka. Jantung Ayesha mulai berdetak kencang karena merasa khawatir. Dia tidak pernah bertemu dengan seorang pria sepagi ini, terlebih jalanan masih sepi. “Ah, saya mau pesan 1 buket bunga mawar merah ukuran besar, Ustadzah. Apakah bisa?” “Oh, bisa, Pak. Tapi kebetulan toko saya masih tutup. Mau diambil hari ini, Pak??” “Iya, Ustadzah. Biar saya tunggu. Kebetulan saya butuh pagi ini.” Ayesha masih memasang senyuman terbaiknya kepada pembeli baru. “Maaf, Pak. Pagi ini, saya ada jadwal kiriman bunga dan sebentar lagi orangnya datang. Untuk buat buket bunganya butuh waktu 1 sampai 2 jam karena mesti milih kualitas mawar yang bagus—” “Tapi saya butuh pagi ini, Ustadzah,” sergahnya. “Tolong saya. Saya bayar berapa pun yang Anda mau, Ustadzah.” Ia mengeluarkan dompet dari dalam saku celana. Dari nada bicara dan ekspresi wajahnya semakin jelas terlihat kalau pria ini tidak beretika. Ayesha pikir dirinya tak perlu berbasa-basi. “Maaf, Pak. Kalau memang Anda buru-buru, Anda bisa mencari toko lain. Di simpang besar, Anda bisa lurus saja, lalu sebelah kiri pas, ada toko bunga yang buka 24 jam. Mungkin mereka bisa membuat bunga sesuai permintaan Anda,” pungkas Ayesha hendak masuk ke dalam toko untuk menghindari pria itu. Namun, sayangnya pria itu justru mendekatinya, membuat Ayesha semakin takut. “Begini, Ustadzah …,” ucap pria itu tersenyum. “Saya hanya mau berkenalan dengan Anda saja.” “Maaf, jaga sikap Anda!” Ayesha menurunkan pandangan dan hendak berlari ke arah Barat. Pria itu lantas mendekatinya dengan seringaian buas. “Jangan galak, Ustadzah. Sudah lama saya—” “Assalamu’alaikum. Ada apa ini? Siapa dia, Dek?” Keduanya langsung menoleh ke belakang, melihat sang pemilik suara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN