Bab 5. Semakin Merasa Bersalah

3052 Kata
Ia menjadi serba salah. Statusnya memang seorang Ustadz, tetapi dia hanya manusia biasa yang punya banyak keterbatasan, termasuk salah satunya menghadapi seorang wanita yang bukan mahram dan bukan halal. Niatnya datang ke sini saja butuh semangat berkobar dan keberanian yang kuat, bahkan dia harus menormalkan detak jantung yang terus berdebar di sepanjang perjalanan. Namun, sayang sang pemilik justru bersikap dingin hingga ia sedikit kecewa. Khalid tipikal yang penyabar, memang benar. Berbeda bila menghadapi wanita ini. Khalid merasa ada yang aneh dengan hati dan perasaannya mendapati Ayesha bernada menantang seperti tadi. “Tidak, Ayesha. Maksud saya … kedatangan saya ke sini ingin kamu mengajar kembali di Madrasah. Anak-anak merindukan kamu. Dan Madrasah juga membutuhkan pendidik sepertimu,” bujuknya dengan nada bicara sangat pelan dan menghormati sambil menurunkan pandangan. Tangannya melambat, lalu ia menghentikan kegiatan dan menghadap Khalid dengan wajah tanpa ekspresi. Ayesha terus mengingat Allah supaya bibirnya tidak salah mengucap kalimat. “Ayesha, saya tidak bermaksud memaksa. Sungguh saya berniat baik dan maaf atas sikap saya waktu lalu.” “Maaf, Ustadz Khalid yang terhormat.” Tenggorokan Khalid seperti sedang diganjal oleh batu. Selaan Ayesha membuatnya tak berkutik. “Anda datang ke sini untuk meminta maaf?” Ia memicing sambil tersenyum tipis dan kembali berkata, “Jauh sebelum Anda meminta maaf, bahkan sebelum saya keluar dari Madrasah Anda, saya sudah memaafkan Anda. Tapi kalau untuk kembali mengajar, maaf, saya tidak bisa. Silahkan cari pendidik yang lain, yang lebih bisa menjaga harga diri dan kehormatan supaya bisa memberikan contoh yang baik untuk anak-anak,” tegasnya penuh penekanan di ujung kalimat. Khalid menurunkan pandangan dengan degup jantung semakin berdebar. Keringat sudah membasahi punggungnya sekarang. Ketegasan Ayesha tiba-tiba membuat nyalinya ciut. “Saya pikir, Anda tidak perlu repot-repot menemui saya di sini. Kita tidak punya hubungan lain selain bersaudara karena sesama Muslim. Jadi, silakan. Masih banyak bunga yang harus saya rawat,” pungkasnya kembali mengusir Khalid secara halus. Dia mengerti kalau Ayesha masih menaruh sakit hati terhadapnya. Wanita ini.juga ingin menjaga pandangan masyarakat. Tidak baik kalau dia terus membujuk sementara Ayesha tetap menolak. “Baiklah, kalau begitu saya permisi. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Tidak sedikit pun ia mau menoleh ke arah mobil Khalid hingga telinganya mendengar suara mobil menjauh dari tokonya, kemudian Ayesha menoleh ke belakang. “Hahhh … Alhamdulillah, ya Allah.” Ia mengusap d**a. “Kau selamatkan aku dari sosok yang arogan dan tidak berperasaan. Maafkan aku, ya Allah. Bukan aku membencinya, tapi aku hanya manusia biasa yang tidak pernah berhenti memohon ampun pada-Mu dan berlindung kepada-Mu dari segala keburukan sifat dan tabiatku ketika menilai orang lain,” ungkap Ayesha masih menatap mobil di ujung sana hingga berbelok mengikuti jalan lalu lintas. Setelah kepergian Khalid, ia melanjutkan kegiatannya merapikan tanaman yang lain dan memindahkan posisi tanaman agar tidak sama seperti hari kemarin. Bagi Ayesha, keindahan adalah sifat yang disukai oleh semua kaum Hawa. Namun, sebagian yang lain menganggap keindahan adalah sesuatu yang tidak pantas meski sudah berada pada tempatnya. “Assalamu’alaikum, Ustadzah Ayesha.” Ia langsung melihat siapa yang datang. “Wa’alaikumussalam. Eh, Ibu, apa kabar? Udah lama gak ke sini, Bu?” “Alhamdulillah baik, Ustadzah. Kemarin tapi saya pulang ke Surabaya, Ustadzah. Kebetulan acara nikahan ponakan.” “Oh, gitu ….” “Saya mau pesan satu buket mawar campur sama satu buket bunga tulip pink. Yang ukuran sedang saja ya, Ustadzah.” “Oh, iya-iya, Bu. Sebentar saya rangkai dulu. Hiasannya ada yang khusus atau alami saja, Bu?” “Kayak biasa aja, Ustadzah. Yang alami.” “Oh, iya, Bu. Duduk dulu, Bu. Itu ada air mineral, silakan diminum, Bu.” “Iya, Ustadzah. Sambil nunggu sambil lihat-lihat bunga dulu.” “Silakan, Bu. Gak apa-apa. Ibu sendirian nih?” “Gak, Ustadzah. Itu sama Bapak, lagi ada di mobil dia.” “Oh, iya-iya, Bu.” Begitulah keramahan Ayesha terhadap pembeli atau pelanggan setianya. Keramahannya menurun dari almarhumah sang ibunda. Sejauh ini, keramahannya tidak pernah disalahartikan oleh seseorang, kecuali Khalid. Pria itu semakin membuat Ayesha takut untuk didekati oleh pria yang berniat melamar. Entah karena apa, tapi hati Ayesha merasa belum mau menerima lamaran beberapa pria yang selama ini dikenalkan melalui keluarga almarhum sang ayah. *** Sejak kembali dari toko bunganya sampai ia berada di Madrasah, pikiran Khalid tidak terlepas dari bayang-bayang Ayesha. Sikap dingin dan suara judes wanita itu sangat menggeramkan. Dia tidak bisa berkonsentrasi karena perasaan bersalah terus menghantuinya. Takut jika ia terkena murka Allah sebab menyakiti hati seorang wanita yang sudah sebatang kara, terlebih dia hanya mengharapkan gaji dari Madrasah ini. Khalid memijat kening yang berdenyut sambil beristighfar dalam hati. Jantungnya juga masih berdebar. Sesekali ia melirik nomor telepon Ayesha yang ia simpan di ponselnya. Dia sengaja mengambil nomor Ayesha diam-diam dari buku telepon milik sang Umi. Tidak, ia selalu meminta petunjuk dari Allah jika ingin melakukan sesuatu. Menyimpan nomor Ayesha di ponselnya bukan termasuk mencuri. Itu wajar saja sebagai jaga-jaga kalau ia hendak menghubungi Ayesha sewaktu-waktu. “Assalamu’alaikum, Ustadz?” Mata yang sempat terpejam, mendadak terbuka lalu melihat siapa yang datang. “Wa’alaikumussalam. Ah, silakan masuk, Pak Imran.” Dia segera membenarkan posisi duduk dan menutup berkas di meja kerjanya. “Terima kasih, Ustadz. Apa saya mengganggu waktunya, Ustadz?” tanyanya ragu-ragu mau menyodorkan map yang ia bawa. “Tidak, Pak. Saya hanya santai saja. Baru memeriksa berkas ini,” jawabnya sambil menutup berkas yang ia maksud. “Syukurlah, Ustadz. Saya mau memberikan ini untuk Ustadz.” Khalid menerima map tersebut lalu membukanya. “Apa ini, Pak?” Imran tersenyum lalu menjelaskan, “Saya ke sini mau membicarakan mengenai acara musabaqah tilawatil Qur’an yang akan diadakan satu bulan lagi. Dan Bu Novi baru saja memberikan ini kepada saya, Beliau bilang bisa mengurus ini. Tapi yang biasanya mengajari siswa-siswi itu Ustadzah Ayesha, Ustadz.” Khalid menghela napas ketika mendengar nama Ayesha lagi dan lagi. Telinganya terlalu sering mendengar nama Ayesha di Madrasah ini. Sebegitu baiknya ‘kah Ayesha sehingga semua orang selalu membicarakannya, bahkan anak-anak sering mengatakan rindu terhadap wanita itu. “Biasanya, 2 minggu sebelum lomba dimulai, peserta yang diajukan akan diliburkan sementara dari proses belajar mengajar dan fokus pada surah yang akan diperlombakan. Dan selama ini, hanya Ustadzah Ayesha yang mengurus ini, Ustadz.” Ia diam, mengangguk kecil sambil membaca persyaratan untuk bisa mengikuti acara Musabaqah Tilawatil Qur’an antar Madrasah Ibtidaiyah. “Biasanya, acara ini diadakan satu bulan sekali atau dua bulan sekali sebagai semangat siswa, Ustadz. Karena tahun ini akan ada acara musabaqah tilawatil Qur’an tingkat Nasional. Jadi, setiap Provinsi akan mengantar satu perwakilan masing-masing.” Imran masih menjelaskan sembari memperhatikan keseriusan sang pemimpin Madrasah membaca map tersebut. “Sejak Ustadzah Ayesha mengajar di sini, Madrasah kita masih memegang juara satu utama kelompok putra, Ustadz. Ada juga harapan satu kelompok putri.” Khalid melirik Imran sekilas. “Kalau begitu kita harus mencari guru yang bisa mengajari mereka. Kalian semua tahu dia sudah tidak lagi mengajar di sini.” Imran mengangguk, lalu berkata, “Ah, iya, Ustadz. Begini, maksud Bu Novi dan rekan yang lain, khusus untuk acara ini, apakah tidak bisa kalau kita meminta tolong Ustadzah Ayesha untuk kembali mengajar hanya untuk persiapan lomba ini saja. Jadi, saya pikir kalau saran mereka bagus. Karena anak-anak sudah mengenal Ustadzah Ayesha. Ini demi kenyamanan mereka supaya tidak beradaptasi dengan guru Hafizah baru, Ustadz.” “Hafizah?” batinnya seraya menelaah ucapan Imran barusan. Khalid mengangguk. “Semua guru mau kalau saya meminta tolong padanya agar mengajari peserta yang akan ikut lomba begitu, Pak?” “Benar, Ustadz. Tapi kalau memang mau diwakilkan, mungkin Bu Novi bisa meminta tolong Ustadzah Ayesha untuk mengajari peserta kita. Karena Beliau yang paling paham karakter siswa-siswi yang menang bulan lalu, Ustadz.” Ia menahan senyum di bibir. Mereka memberi saran seperti itu, sementara tadi saja dia sudah ditolak mentah-mentah oleh Ayesha. Namun, tidak tahu kalau guru-guru lain yang membujuk. Mungkin saja Ayesha mau menerima pekerjaan sementara ini. “Baiklah, sarannya bagus. Tapi, siapa biasanya yang mengurus pengajuan peserta?” tanyanya masih fokus membaca. “Ustadzah Ayesha juga, Ustadz.” Imran tersenyum. “Apa tidak ada yang bisa mengajari anak-anak atau mengurus semuanya selain dia?” tanyanya lagi. Imran masih tersenyum. “Tidak ada, Ustadz. Di Madrasah ini, yang Hafizah cuma Ustadzah Ayesha saja, Ustadz. Dan suara Ustadzah lebih merdu dari pada guru-guru lain di sini.” Pujian Imran membuat Khalid terdiam. “Ternyata dia benar Hafizah.” Tanpa ia sadari, timbul perasaan kagumnya terhadap sosok Ayesha. Tidak lama berselang detik, dia kembali membuka suara, “Jadi, mulai dari persiapan sampai pengajuan peserta, dia yang ngurus?” “Iya, Ustadz. Itu sebabnya kami sangat menyayangkan pengunduran diri Ustadzah Ayesha. Padahal, tidak satu pun pendidik di sini yang membenci Beliau. Gak hanya kami, tapi anak-anak saja senang karena Beliau orangnya ramah dan baik. Malah setiap Jumat selalu bagi-bagi mawar putih. Kalau untuk kami, lumayan dibawa pulang untuk hadiah istri,” jujur Imran membahas topik lain sambil tertawa geli. Khalid berdeham dan merasa salah tingkah bila mendengar mawar putih. “Ya sudah, kalau menurut kalian seperti itu. Silakan bujuk dia untuk mengajar sementara di sini.” “Lalu bagaimana dengan upah yang harus kita bayar untuk Ustadzah Ayesha, Ustadz?” Dia sempat bergeming selama beberapa detik, kemudian menutup map dan menyodorkan kembali ke arah Imran. “Untuk ukuran upah, karena dia sengaja kita datangkan untuk mengajari anak-anak, beri dia tiga atau empat juta sampai anak-anak selesai mengikuti lomba. Untuk urusan transportasi, bedakan dengan biaya upahnya. Dia tidak mungkin mengurus semuanya seorang diri ‘kan?” “Ah, iya, Ustadz. Biasanya, Ustadzah Ayesha selalunya sama Bu Novi, Ustadz. Itu sebabnya Ustadzah Ayesha mempercayakan tanggung jawabnya kepada Beliau.” “Ya sudah. Nanti untuk biaya, kasih Bu Novi saja. Sediakan mobil untuk mereka pergi mengurus pendaftaran.” Khalid beranjak dari kursi sambil membenarkan sorban yang ia kenakan. “Baik, Ustadz.” Imran menutup map, lalu berdiri, dan tanpa sengaja ia melihat layar ponsel Khalid. “Ustadzah Ayesha? Ustadz Khalid udah kenal sama Ustadzah Ayesha ya?” batinnya bertanya-tanya. Selesai membereskan urusannya, Imran segera keluar dari ruangan itu. Seiring dengan langkah kakinya berjalan menuju ruangan guru, pikirannya masih beradu mengenai nomor telepon Ayesha di ponsel milik Khalid. “Apa mereka udah kenal duluan sebelum jumpa di sini? Tapi kalau memang udah, harusnya mereka akrab. Tapi kenapa Ustadzah Ayesha justru keluar dari sini?” Ia menaruh curiga sebab Ayesha keluar dari Madrasah satu hari setelah Khalid menggantikan posisi Buya Hamzah. Namun, ia juga berpikir, kenapa Ustadz Khalid bersikap dingin ketika membahas Ustadzah Ayesha. Caranya memanggil juga memakai panggilan dia, bukan seperti mereka yang menghormati dengan menyebutnya dengan Beliau atau Ustadzah Ayesha. “Apa mereka memang saling kenal atau malah …,” batinnya sambil menggelengkan kepala seraya membuyarkan khayalan buruk dalam kepalanya. “Gak! Mereka sama-sama orang berilmu. Gak mungkin mereka bermusuhan. Mungkin memang Ustadzah resign di saat yang kurang tepat,” batinnya lagi seraya mengubah pikiran buruknya menjadi positif. Imran tidak mau berpikiran buruk terhadap dua orang yang memelihara Qalam Allah. Ilmu dua mereka lebih tinggi dari pada pendidik di Madrasah ini. Berburuk sangka hanya mendatangkan penyakit hati. Imran tidak mau memikirkan itu lagi. *** Setelah menidurkan Aisyah dalam pangkuan, ia memberikan keponakannya kepada sang Kakak. “Sampaikan salam Zainab sama Ustadzah Ayesha ya, Mi.” “Iya, Nak. Nanti Umi sampaikan. Tapi kalau kalian jumpa, Umi yakin dia tidak mau disapa Ustadzah sama orang yang lebih tua darinya.” Zainab tersenyum. “Masha Allah, begitulah akhlak seorang mukmin, Mi. Semakin tinggi ilmunya, dia semakin merunduk dan takut. Supaya tidak terkena penyakit hati. Kemungkinan itu alasan dia lebih suka dipanggil nama dari pada dipanggil guru,” tuturnya. Pernyataan sang Kakak sedikit menyindirnya. Dia berharap, alasan Ayesha keluar dari Madrasah tidak diketahui oleh siapa pun. Asiyah mengangguk sambil membawa rantang berisi makanan. “Nanti makanan ini Umi sampaikan ke Ayesha, kalau ini dari kamu.” “Iya, Mi. Bilang juga sama Ustadzah kalau Zainab berharap kami bertemu supaya bisa menjaga silaturrahmi.” “Iya, Nak. Nanti Umi sampaikan.” Khalid membenarkan kopiah yang ia pakai seraya mengalihkan perasaannya yang serba salah. “Sini, Mi. Biar Khalid bawa rantangnya.” “Mau kamu letak di mana, Nak? Kalau letak di kursi, nanti jatuh.” “Iya, Halli. Biar dipegang Umi aja. Takutnya tumpah karena ada kuah di dalamnya.” “Ya sudah, Mi. Ukh, kami pergi dulu.” “Iya, Halli Khalid. Hati-hati di jalan, Umi, Khalid. Allahummathwi lahul ba’ida wa hawwin ‘alayhis safar,” ucap Zainab seraya mendoakan perjalanan yang akan ditempuh Umi dan sang adik agar dipermudah dan didekatkan jaraknya. “Amin Ya Mujibassailin,” sahut sang Umi dan Khalid kompak. Dalam perjalanan, Asiyah sengaja berdiam diri sebab tahu kalau putranya tengah melamun. “Boleh melamun tapi sambil dzikir dalam hati ya, Nak.” Khalid menoleh ke kiri sambil tersenyum mendengar titah wanita yang ia hormati. “Iya, Umi. Khalid lagi fokus ke depan.” Padahal itu hanya alasan ke sekian. Yang ia pikirkan adalah respon Ayesha kala tahu kalau dia adalah anak dari wanita yang selama ini membeli bunga di tokonya. Selain itu, ia memikirkan harga diri orang tuanya di hadapan Ayesha. Dia sudah melempar kotoran di wajah orang tuanya sendiri dengan merendahkan wanita yang memelihara firman Allah. Kalau sampai Buya-nya tahu mengenai ini, entah apa yang akan terjadi padanya. Dia tidak bisa membayangkannya. Hening, tiada pembicaraan sedikit pun di antara mereka. Tidak biasanya Khalid mendiamkannya seperti ini. Asiyah tersenyum lalu mulai membuka suara, “Umi dan Buya kenal sama almarhum orang tua Ayesha sudah bertahun-tahun.” Khalid melirik ke kiri sekilas tanpa merespon dengan suara. Ia mulai merendahkan laju mobil agar mereka tidak cepat sampai di toko bunga Ayesha. Entahlah, dia tidak mengerti kenapa hatinya condong terhadap Ayesha dan penasaran dengan wanita yang selalu dipuji guru dan anak-anak. “Kami bangga dengan cara mereka mendidik Ayesha. Walaupun anak tunggal, tapi mereka tidak memanjakan Ayesha,” sambungnya lagi sambil menyeka air mata yang hendak tumpah. Ia langsung mengambil kotak tissue di sana, lalu menyodorkannya ke arah sang Umi. “Kenapa Umi menangis?” Asiyah tersenyum dan kembali berkata, “Nak, ketika orang tuanya tiada, Ayesha tidak ada di saat-saat terakhir mereka karena dia masih menempuh pendidikan di Kairo.” Tenggorokan Khalid tercekat. Ada jarum yang tiba-tiba menusuk hatinya. “Almarhumah ibunya pernah bercerita sama Umi, menjelang kewafatan almarhum ayahnya, ayahnya hanya berpesan pada ibunya agar menenangkan hati Ayesha dan meyakinkan putri mereka kalau kepergian dari dunia ini tidak perlu ditangisi. Dan kematian hanya pemisah sementara.” Khalid terus beristighfar dalam hati agar detak jantungnya tetap normal. “Dan alhamdulillah, ketika mendengar berita kalau almarhum ayahnya tiada, lalu pesan itu disampaikan padanya, Ayesha hanya bilang kalau dia ikhlas dan tidak akan berhenti memohon kepada Allah agar mereka disatukan kembali di Surga tertinggi, tempat di mana para Nabi dan keluarga serta sahabat Nabi berkumpul.” Ia tidak tahan mendengar cerita dari sang Umi, sekaligus tidak bisa melihat wanita yang sangat ia hormati menitikkan air mata. “Almarhum orang tua Ayesha sangat baik dan ramah. Dulu, kami sering mengunjungi toko mereka dan berbincang sampai lama di sana. Mereka selalu bilang, kalau mereka tidak pernah khawatir dengan keadaan Ayesha. Karena anak mereka sedang menuntut ilmu, sedang berjihad di jalan Allah. Kalau seandainya terjadi sesuatu dengan Ayesha, itu artinya putri mereka sudah mendapat gelar syahid di kemudian hari.” Khalid mengulurkan tangan, menyeka air mata sang Umi yang mampu ia raih. “Akhlak almarhum orang tuanya luar biasa.” “Iya, Nak. Bahkan ketika tahu kalau almarhumah ibunya wafat, kami melihat Ayesha tidak bersedih hati. Dia justru bahagia. Waktu itu, dia sudah membuka tokonya. Umi sengaja datang untuk menghibur dia, dan Umi sempat bertanya, apa alasan dia tidak bersedih hati, sementara dia kembali ke tanah air dalam keadaan kedua orang tuanya sudah dikebumikan.” “Lalu apa jawabannya, Mi?” Asiyah tersenyum sambil menyeka air mata. “Ayesha bilang kalau ini adalah ujian dari Allah untuk menaikkan derajatnya melalui kesabaran. Sikapnya berhusnudzon pada Allah patut dicontoh.” “Masha Allah,” sahut Khalid seraya kagum dengan akhlak dan kesabaran seorang Ayesha. “Dia tidak bersedih karena yang memisahkan antara dia dengan orang tuanya adalah Allah. Dan Allah adalah sebaik-baik Perencana.” Khalid menarik napas panjang sambil menatap lurus ke depan. Wanita seperti itukah yang dia anggap berniat menggoda dirinya waktu itu. Hanya karena setangkai mawar putih, pikirnya mulai menganggap dirinya bodoh. “Umi sangat menyayangi dia, Nak. Sejak tahu dan melihat secara langsung sikap dan akhlak Ayesha, Umi tidak pernah berhenti membeli bunganya setiap minggu. Hanya dengan cara begitu Umi bisa membantu ekonominya supaya dia tidak merasa dikasihani.” Lagi-lagi, d**a kiri Khalid terasa nyeri. “Ayesha bilang kalau dia mengajar di sebuah Madrasah. Tapi Umi tidak pernah bertanya di mana karena Umi anggap itu adalah privasinya,” ujarnya sambil melirik sang putra dan kembali melanjutkan kalimatnya. “Dia bersyukur karena dia punya penghasilan tambahan untuk biaya hidup selama satu bulan. Katanya, dia gak mau menyusahkan keluarga almarhum orang tuanya dan gak mau dikasihani.” Tiba-tiba Khalid menjadi sulit bernapas. Kemeja yang ia kenakan terasa basah karena keringat. “Umi pernah menyarankan dia untuk mengajar di kota saja. Gajinya pasti lebih besar.” “Lalu dia jawab apa, Mi?” Khalid langsung menyahut cepat. Asiyah tersenyum. “Dia bilang tidak mau karena tidak nyaman bila matanya melihat sesuatu yang tidak pantas. Masha Allah, Umi sangat mengagumi caranya menjaga diri.” Khalid mengangguk kecil sambil menyeka keringat yang menetes di wajah kanannya. “Dia bilang takut dengan hari yamul hisab nanti. Dia tidak mau kalau anggota tubuhnya bersaksi kejam hanya karena dia melihat sesuatu yang haram atau dia tergoda dengan perhiasan dunia,” imbuhnya sambil menyeka air mata berulang kali. “Umi sudah bilang sama Ukhti supaya mengajak Ayesha untuk ikut kajian bersama kita. Siapa tahu dia bisa mengisi banyak acara dan ada pemasukan lain selain ngajar di Madrasah dan jualan bunga.” Khalid menarik napas panjang sambil tersenyum. Sejahat itukah dia sampai tega memutuskan rezeki orang lain dengan cara yang sangat tidak berakhlak. Apalagi wanita yang ia tuduh sudah yatim piatu. Wajah Ayesha terus terbayang dalam benaknya. Perasaan bersalahnya semakin besar. “Umi yakin, orang tuanya pasti punya banyak amalan baik sehingga Allah mengaruniakan anak sebaik Ayesha,” lanjutnya kemudian mengingat sesuatu. “Oh iya, Nak. Umi mau nanya ini udah dari lama. Namanya Ayesha Syaquilla binti Abdullah. Kamu mungkin pernah kenal dia, Nak?” Ia langsung menoleh ke kiri, memperhatikan raut wajah sang Umi membutuhkan jawaban. Debaran jantungnya semakin kuat. “Ya Allah, hamba harus bagaimana sekarang?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN