Bab 1. Salah Paham
Senyuman indah mengembang sempurna di wajah seorang wanita cantik berkelahiran Ponorogo. Sambil berjalan dari parkiran menuju ruangan guru, ia memperhatikan halaman Madrasah sudah ditata rapi dan semakin bersih.
“Assalamu’alaikum. Selamat pagi, Ustadzah Ayesha.” Salah seorang petugas kebersihan Madrasah menyapanya dengan senyuman.
“Wa’alaikumussalam. Selamat pagi, Pak Haris. Bapak udah sarapan?” Ia bertanya balik sambil mengambil setangkai bunga mawar putih dari keranjang yang ia bawa.
“Alhamdulillah sudah, Ustadzah. Wah, banyak sekali mawarnya, Ustadzah?”
“Iya, Pak. Hari ini ‘kan spesial, jadi saya mau letak mawar paling harum untuk menyambut pimpinan baru kita, Pak.”
“Wah, Ustadzah memang terbaik.”
“Oh iya, ini untuk Bapak.”
Pria bernama Haris lantas mengambil setangkai mawar putih dari wanita berkerudung hitam.
“Alhamdulillah, terima kasih, Ustadzah. Akhirnya kesampean juga nerima mawar dari Ustadzah langsung.”
“Iiihh ya ampun, Pak Haris bisa aja. Yauda, saya izin ke sana dulu ya, Pak?”
“Oh iya, Ustadzah. Sepertinya yang lain sudah menunggu Ustadzah.”
“Oh iya-iya. Kalau begitu saya permisi ke sana ya, Pak.”
“Iya, Ustadzah. Silahkan.”
Senyuman manis masih terpatri di wajahnya. Tidak lupa tanda pengenal dijepit di bagian hijab bertuliskan nama aslinya, Ayesha Syaquilla. Ia memperhatikan penampilannya sudah rapi dengan balutan gamis seragam Madrasah Ibtidaiyah Swasta Ar-Rahman.
Sebelum berangkat menuju Madrasah, Ayesha menyempatkan diri mampir ke toko bunga miliknya untuk mengambil bunga yang sudah ia siapkan sejak kemarin. Tidak ada yang memberatkan baginya demi membahagiakan orang-orang di Madrasah ini.
Setiap orang menyapa Ayesha sambil mengatakan sesuatu yang sudah biasa ia dengar.
“Ustadzah Ayesha semakin cantik aja. Apalagi kalau bunga mawarnya diletak di meja saya, aduh … cantiknya makin nambah.”
“Bukan makin nambah aja, Bu. Tapi cantiknya makin awet dah ampe tua.”
“Hehh … masih pagi ini, jangan gombalin Ustadzah mulu. Ingat, bentar lagi pimpinan baru kita datang.”
“Bukan datang lagi, tuh liat mobilnya udah masuk.”
Godaan dan rayuan sebagian guru supaya dia meletakkan setangkai bunga di masing-masing meja kerja mereka seperti biasa. Ucapan salah satu dari mereka lantas mengalihkan pandangannya ke arah yang sama.
Seorang pria berbalut kemeja batik, seragam yang sama seperti yang dikenakan para pendidik di Madrasah ini. Pria itu turun dari mobil dan menyapa beberapa orang di sana.
Ayesha tersenyum dan melanjutkan kembali langkah kaki menuju ruangan guru. Ia berjalan cepat tanpa menyadari bahwa sekitar Madrasah tengah memperhatikan dirinya yang sedang membawa satu keranjang mawar segar, termasuk para siswa dan siswi menyapa Ayesha dari kejauhan.
Mereka sangat antusias ingin menerima mawar putih langsung dari guru terfavorit. Begitulah citra baik Ayesha meski ia baru mengajar 4 bulan di Madrasah ini. Kebaikan, keramahan, dan ketulusannya dalam mengajar sukses mengambil hati semua orang termasuk pemilik Madrasah.
Sesampainya di ruangan guru, Ayesha tersenyum kala melihat vas kaca di masing-masing meja guru sudah terisi air yang baru. Semua orang sudah tahu rutinitasnya di hari Jumat. Dia selalu meletakkan setangkai mawar putih dalam vas kaca yang dihimpit dengan kayu berbentuk kotak agar tidak tumpah bila tersenggol tanpa sengaja.
Ini adalah hobi seorang Ayesha. Selain menyukai aroma wangi bunga segar dan keindahan ruangan, dia juga ingin memberikan kesan baik terhadap para pendidik lain sekaligus menjaga silaturrahmi melalui setangkai bunga mawar.
“Tinggal diletak begini, disusun, dan cantik. Hmm … aromanya wangi sekali,” ujarnya sambil memejamkan mata beberapa detik saat mencium aroma mawar yang ia letak dalam vas kaca tersebut.
Ada sepuluh meja pendidik di dalam ruangan dengan masing-masing meja terdapat tiga vas kaca. Membawa lima puluh tangkai mawar seharusnya memang merepotkan, tapi tidak bagi Ayesha.
“Oke, sudah selesai! Saatnya ke ruangan Buya Hamzah!” Ia sangat antusias lalu bergegas keluar dari ruangan guru, berjalan menuju ruangan pemilik Madrasah.
Ayesha berjalan tergesa-gesa sebab takut saja kalau pemilik Madrasah lebih dulu sampai sebelum ia meletakkan mawar segar di dalam vas kaca.
“Duh … semoga saja Buya belum masuk.” Ia menghela napas dengan wajah masih tersenyum bahagia.
Langkah kakinya begitu semangat. Seperti layaknya hari pertama ia mengajar di sini. Matanya mengedar, memperhatikan area ini belum ramai. Ruangan pemilik Madrasah sangat sepi, tetapi sudah bersih.
“Untung aja Buya belum masuk.”
Ayesha memilih 3 tangkai mawar dengan ukuran lebih besar dari yang ia bawa. Mawar khusus untuk pemilik Madrasah. Bukan untuk mencari perhatian, tetapi ini sebagai bentuk penghormatannya kepada seorang yang lebih tua, yang sudah ia anggap sebagai ayah sendiri.
Dengan senang hati ia merapikan meja kerja tersebut sambil membereskan beberapa berkas yang ternyata sudah berada di sana.
“Tumbenan sudah ada buku di sini. Biasanya masih kosong melompong,” ucapnya pelan sambil tersenyum dan membersihkan meja yang sudah mengkilap dengan tissue basah beraroma mawar.
Kedatangan pimpinan baru di Madrasah ini menyenangkan hati Ayesha. Dia ingin memperlihatkan keramahan seperti perlakuannya terhadap para pendidik lain di awal perkenalan.
“Sudah selesai. Sekarang, saatnya bersama mereka. Semoga mawar ini membawa keberuntungan. Bismillah …,” ucapnya mengulum senyum dan mengambil keranjang bunga.
Saat ia berbalik badan, Ayesha terkejut kala melihat seorang pria menatap lekat dirinya.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Pria yang ia lihat turun dari mobil, mungkin dia adalah pimpinan baru, anak dari pemilik Madrasah, pikirnya. Ayesha langsung melebarkan senyuman untuk memberikan kesan baik di awal perjumpaan.
“Assalamu’alaikum, Pak.” Ayesha mundur beberapa langkah demi menjaga jarak.
“Wa’alaikumussalam. Kamu siapa dan kenapa di ruangan saya?” Sambil menyahut dan bertanya balik dengan nada dingin, ia mengambil tiga tangkai mawar dari vas kaca di meja kerjanya. Padahal, ia tahu kalau wanita ini memakai seragam Madrasah.
Hati Ayesha sedikit nyeri mendapat balasan dingin dari pria yang ia belum tahu siapa namanya. Tapi bukan Ayesha jika membalas keburukan sikap seseorang dengan keburukan yang sama.
“Eumh … perkenalkan nama saya Ayesha, Pak. Saya meletakkan bunga mawar segar di meja Buya. Ternyata ini sudah menjadi ruangan Bapak ya?” Ia berusaha menunjukkan sikap sopan dan ramah.
Belum sempat ia menjawab, seseorang menyapanya dari luar ruangan.
“Ustadz Khalid, ternyata Ustadz di sini. Buya dan yang lainnya sudah menunggu Anda di ruangan rapat. Sebentar lagi rapat akan dimulai, Ustadz.”
“Oh iya, Pak. Sebentar lagi saya ke sana.”
“Baik, Ustadz. Saya permisi pulang.”
“Iya, Pak. Hati-hati di jalan.”
Ayesha memperhatikan pria yang tidak ia kenali berinteraksi dengan pria yang ternyata bernama Ustadz Khalid. Lamunan Ayesha buyar kala pria ini mengembalikan tiga tangkai mawar putih di keranjangnya.
“Aku tidak butuh ini. Keluarlah,” titahnya dengan nada datar.
Ucapannya barusan tak elak menggerus hati Ayesha. Seperti ada yang salah dengan sikapnya. Ayesha mengerti dan memilih menarik diri.
“Ah, baik, Ustadz. Maaf kalau saya lancang menaruh mawar ini di meja Anda. Tapi saya menyukai keindahan dan mawar ini sebagai tanda perkenalan kita saja.” Ayesha mencoba menjelaskan dengan pandangan tunduk sambil tersenyum tipis. Ia tidak berani lagi membalas tatapannya. Jantung Ayesha berdebar karena merasakan takut. Raut wajah pria ini tidak bersahabat. Tidak mau terkena amukan, Ayesha mengangguk kecil, hendak berlalu dari ruangan itu.
Namun, belum sempat ia keluar dari ruangan, telinganya mendengar satu kalimat yang cukup menorehkan luka di hati.
“Aku pikir kau mengerti adab berpakaian.”
Langkah Ayesha seketika berhenti. Dia menoleh ke kanan, tanpa berniat menghadap Khalid. Dengan d**a sesak, Ayesha memberanikan diri bertanya.
“Maaf, Pak. Maksud Bapak apa ya?”
“Wanita Muslimah pasti paham makna dari berpakaian syar’i. Kau bekerja di sini untuk mengajar dan memberi contoh baik tidak hanya untuk anak-anak, tetapi juga sesama. Kau pasti paham maksudku.”
Kedua mata Ayesha mulai memerah. Seumur hidupnya, ia tidak pernah diperlakukan rendah oleh orang lain baik secara verbal maupun non verbal. Namun, pria berstatus Ustadz ini justru menilai dirinya seperti wanita yang tidak mengerti adab dan agama.
Ayesha terpaksa membalik tubuh sambil berkata, “Maaf sebelumnya, Ustadz. Apa maksud Anda mengatakan itu kepada saya? Apa saya membuat kesalahan?” Ia bertahan dengan senyuman tipis dan berusaha menyembunyikan mata yang perih.
Khalid menyeringai dan mengambil vas kaca tersebut, lalu membuang airnya ke dalam pot bunga berukuran besar yang dipajang di sudut ruangan.
“Wanita sepertimu memang suka berlama-lama menikmati pembahasan yang seharusnya sudah jelas. Keluarlah, jangan ke ruanganku lagi. Kau tidak perlu menggodaku dengan meletakkan bunga di meja. Sangat disayangkan, Madrasah kami memelihara pendidik sepertimu.”
Nada bicara Khalid memang biasa saja, tapi kalimatnya sangat merendahkan harga dirinya sebagai wanita. Ayesha tersenyum dan mengangguk paham.
“Kalau begitu saya permisi, Ustadz. Maaf kalau sikap saya sudah lancang. Saya berjanji tidak akan ke ruangan ini kecuali jika Anda yang meminta. Sekali lagi saya minta maaf, saya permisi.”
Dengan berat hati, Ayesha keluar dari ruangan yang dahulu membuat ia nyaman berbincang dengan Buya Hamzah. Namun, tidak lagi kalau Khalid mulai memimpin Madrasah ini.
Dia berusaha meredam perasaan sedih dan air mata yang hendak tumpah. Tidak mungkin semua orang melihat kedua matanya memerah, sementara rapat akan segera dimulai. Sebelum pergi ke ruangan rapat, Ayesha meletakkan tas dan keranjang bunga di meja kerjanya sembari ia memperbaiki wajah yang mungkin terlihat sedih.
…
Semua guru sudah berada di ruangan rapat, Ayesha berjalan cepat menuju ruangan yang berada di sudut Madrasah. Namun, dari arah sana, Khalid juga berjalan menuju ruangan yang sama.
Karena tidak mau mendahului calon pimpinan baru juga ingin menghindari, Ayesha berhenti sambil menurunkan pandangan. Sikap Khalid beberapa menit lalu menjadi beban pikiran Ayesha. Dia berharap Khalid tidak memecat dirinya yang sangat bergantung dengan gaji dari hasil mengajar.
Khalid lebih dulu masuk ke dalam ruangan rapat, lalu Ayesha menyusul beberapa menit kemudian. Perkenalan Khalid disampaikan oleh Hamzah Az-Zubair bin Utsman selaku pemilik Madrasah sekaligus ayah kandung dari Khalid. Pembukaan rapat diisi dengan perkenalan diri dilanjutkan dengan pesan dari Khalid yang telah resmi mengambil alih posisi sang Buya.
“Terima kasih atas kerja sama semua guru-guru di Madrasah ini. Semoga kerja sama dan ikhtiar kita dalam mendidik anak-anak menjadi anak yang saleh dan salehah dibalas pahala yang berlipat ganda oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, menjadikan ilmu kita sebagai pahala jariyah, serta dibalas kebaikan-kebaikan di dunia dan akhirat. Terakhir, saya mau memberi pesan untuk kita yang ada di sini sebagai muhasabah diri ....”
Sambil berpidato, secara tidak sengaja Khalid melirik wanita bernama Ayesha duduk di kursi paling belakang. Sejak pertemuan pertama mereka yang terkesan buruk, Khalid merasa bersalah karena telah sadar kalau ucapannya terlalu berlebihan dan bisa saja menyakiti hatinya. Namun, di sisi lain Khalid menganggap kalau sikapnya sudah benar dan kembali berkata, “Ingatlah kalau tugas kita di sini adalah sebagai pendidik, kita mendidik anak-anak menjadi sosok yang paham dengan ilmu Tauhid. Kita mengajarkan dan menanamkan kebaikan-kebaikan dalam diri anak-anak yang kita didik. Mengajari mereka cara menauladani sifat-sifat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupan sehari-hari. Namun, kita bukan hanya sebagai pendidik, tetapi juga pemberi contoh. Kita semua tahu kalau anak-anak adalah peniru yang baik.”
Ucapan Khalid seperti sedang menyindir Ayesha. Seharusnya dia tidak perlu merasa bersalah, apalagi sampai memikirkan ucapan Khalid yang salah paham dengan sikapnya karena memberi mawar putih di meja kerjanya. Namun, kata menggoda yang dilontarkan Khalid memang sudah melampaui batas. Ayesha memilih sabar karena masih membutuhkan pekerjaan ini.
“Saya minta tolong kepada semua pengajar, tolong ajarkan anak-anak kita cara beretika dan beradab terhadap seusia mereka, terutama kepada yang lebih tua. Jangan sampai mereka meniru kejelekan yang ada pada diri kita sehingga itu bisa merusak citra Madrasah ini dan visi serta misi Madrasah tidak terwujud.”
Ayesha tahu kalau Khalid sengaja melirik ke arahnya. Entah untuk alasan apa, tapi dia merasa kalau pria itu benar-benar menyindir. Ia tidak tahan tapi berusaha menahan air mata. Kalau memang Khalid menganggap ia sengaja menggoda melalui bunga mawar, lebih baik ia mengundurkan diri saja dari Madrasah ini.
Setelah acara rapat selesai, Ayesha menenangkan diri sejenak di Musholla sebelum mulai mengajar. Ada beberapa pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, yang mengharuskan ia terhubung langsung dengan pimpinan. Kalau ia meneruskan pekerjaan ini, mau tidak mau Ayesha harus menemui Khalid beberapa kali dalam seminggu atau bisa jadi setiap hari.
Tidak bisa, Ayesha tidak akan mengulang kejadian yang sama. Meski berstatus Ustadz, tapi Ayesha tahu kalau Khalid juga manusia biasa yang pasti tak luput dari khilaf.
Dia tidak bisa menyimpan dendam terhadap seseorang, tapi dia juga tidak terima dengan tuduhan Khalid terhadap dirinya. Kalau mereka terus berjumpa, Khalid akan terus menganggap dia sebagai w*************a.
Ayesha pikir, memang lebih baik kalau dia mengundurkan diri saja. Hatinya bisa tenang dan tidak sakit hati lagi. Khalid juga tidak akan menumpuk banyak dosa karena sudah menilai dirinya dengan begitu buruk. Setelah selesai mengajar, Ayesha akan membahas niat pengunduran dirinya kepada salah satu teman akrabnya di Madrasah ini. Wanita yang bisa ia percayai untuk mengambil alih tanggung jawabnya setelah ia keluar nanti.
***
Mata Ayesha membengkak, sambil merapikan bunga-bunga kesayangannya, air matanya tidak berhenti mengalir. Bila mengingat ucapan Khalid tadi pagi, rasanya Ayesha ingin menangis sampai air matanya habis.
Bagaimana mungkin seorang pria yang paham agama bisa dengan mudah menuduh seseorang yang baru dikenal. Lagi, pria itu mudah untuk menyindir dirinya dalam forum rapat. Sikap Khalid tidak mencerminkan diri sebagai seorang Ustadz. Sangat berbeda dengan sikap dan keramahan ayahnya, Hamzah.
“Ummi, kalau Ayesha keluar dari Madrasah, Ayesha hanya bergantung dari penghasilan toko bunga kita. Doakan semoga toko bunga kita laris manis ya, Ummi.” Ia membatin sebab merindui sang Ummi yang telah tiada beberapa bulan lalu.
Tidak lama berselang detik, sebuah mobil berhenti tepat di seberang toko bunganya. Senyuman Ayesha mengembang dan merasa kalau pemilik mobil mungkin berniat datang ke tokonya.
Benar saja, seorang pria keluar dari mobil dan berjalan menuju toko bunganya seketika meredakan rasa pilu di hati Ayesha.
“Assalamu’alaikum, Ustadzah.”
“Wa’alaikumussalam. Pak Ujang toh ternyata. Kirain siapa, Pak.”
Ayesha menyapa dengan ramah pria yang sudah biasa berkunjung ke sini.
“Ustadzah, seperti biasa pesanan bunga Ummi Asiyah.”
Dia mengangguk. “Iya, Pak. Saya sudah siapkan kok. Tapi tumben Ummi tidak ke sini, Pak?”
“Oh, iya, Ustadzah. Kebetulan mulai hari ini Ummi mulai mengadakan majlis taklim lagi karena Ummi udah sehat.”
“Oh, begitu ya. Kalau saya boleh tahu, majlis taklimnya diadakan di mana ya, Pak??”
“Di rumah Ustadzah Zainab, Ustadzah.”
“Oh ….”
Ayesha lantas mengambil pesanan bunga Ummi Asiyah. “Ini, Pak. Sampaikan salam saya untuk Ummi dan Ustadzah Zainab ya, Pak.”
“Iya, Ustadzah. Nanti saya sampaikan. Tapi, Ustadzah … saya lupa kalau Ustadzah Zainab juga mau pesan bunga Lily satu lagi.”
“Oh, iya, sebentar saya rangkai dulu.”
“Iya, Ustadzah. Saya tunggu.”
“Ayo, Pak. Duduk dulu di dalam. Kebetulan saya ada minuman kotak. Kalau di luar panas, Pak.”
“Tidak usah, Ustadzah. Saya tunggu di sini saja.”
“Gak apa-apa, Pak. Lagian toko ini terbuka, biar Bapak nyaman sambil nunggu saya selesai merangkai bunga.”
Seorang pria yang berada di dalam mobil, di seberang sana, dia menurunkan setengah kaca mobil. Khalid memperhatikan interaksi antara supir Ummi-nya dengan wanita yang ia tahu bernama Ayesha. Khalid cukup terkejut kala tahu bahwa pemilik toko bunga langganan Ummi-nya ternyata salah seorang pendidik di Madrasahnya.
Terbesit perasaan lega di hati Khalid. Ia membatin, “Itu artinya aku tidak salah. Dia memang tidak bisa menjaga marwah sebagai wanita. Pantas saja dia suka menebar pesona di Madrasah.”
Penilaian Khalid terhadap Ayesha semakin buruk hanya karena wanita itu bersikap ramah tamah terhadap supirnya. Dia tidak merasa pertemuan ini merupakan suatu kebetulan, tetapi Khalid menganggap bahwa kejadian siang ini adalah pertanda bahwa Allah menunjukkan kepadanya siapa Ayesha dibalik pakaian syar’i yang wanita itu kenakan. Ia kembali menutup penuh kaca mobil.
“Berapa semuanya, Ustadzah?”
Ayesha terkejut, melirik sekilas Pak Ujang. Ia tersenyum. “Dua buket ini lima ratus ribu aja. Sebentar lagi siap ya, Pak.”
“Iya, Ustadzah. Ini gak buru-buru kok.”
Sambil merangkai bunga, Ayesha merasa kalau dirinya sedang diawasi oleh seorang pria yang berada di dalam mobil. Hatinya gelisah dan dia sedikit risih.
“Siapa yang dibawa Pak Ujang. Apa suaminya Ummi ya?”
Sesekali ia melirik ke arah mobil. Karena tahu pemilik mobil langsung menutup kaca mobilnya, Ayesha segera membuang pandangan dari sana. “Benar ternyata, dia ngawasi aku dari tadi,” batinnya lagi.