Bab 4. Dicuekin

2771 Kata
Ayesha tidak terlalu sibuk pagi ini. Biasanya, dia harus bangun pagi sekali untuk membersihkan rumah sekaligus memasak untuk bekal mengajar. Namun, karena ia sudah tidak mengajar lagi, rutinitas paginya diganti dengan kegiatan lain. Selama beberapa hari tidak mengajar cukup membuat ia rindu akan canda dan tawa anak-anak Madrasah. Semua guru-guru bahkan terkejut mendengar kata pamitnya dari grup Madrasah di media sosial. Ayesha memang tidak sanggup melihat seseorang bersedih bahkan sampai mengeluarkan air mata. Itu sebabnya ia memutuskan memberi kabar persetujuan pengunduran dirinya melalui media sosial. Dia berniat datang ke Madrasah hari Jumat nanti sambil membawa mawar putih seperti biasa. Namun, kala ia mengingat kejadian Jumat waktu lalu, hatinya langsung nyeri. Kata menggoda dan tidak paham syariat Agama sungguh masih terngiang dalam benaknya. Mungkin dia memang belum ikhlas, pikirnya. “Sudahlah, Ayesha. Hidup ini tidak berjalan sesuai maumu. Karena Allah adalah sebaik-baik Sang Penulis skenario. Mungkin memang ini sudah menjadi takdir-Mu. Tunggu saja, Allah sedang mengujimu untuk sesuatu yang seharusnya menjadi milikmu,” batinnya menguatkan diri sendiri sambil merapikan bekal untuk dibawa menuju toko bunga. Rumah sudah bersih, pakaian sudah dijemur, dan sebagian sudah disetrika. Kegiatan yang ia lakukan selanjutnya adalah mencari nafkah dengan berjualan bunga. “Hari ini Umi mau datang, aku harus cepat-cepat buka toko. Jangan sampai Umi datang lebih dulu dan menunggu aku di sana.” Ia menahan senyum di bibir. Penghibur dirinya di saat rindu dengan almarhumah sang ibunda adalah berbincang dengan wanita yang ia sapa Umi Asiyah. Wanita yang tidak pernah absen berkunjung ke toko bunganya setiap minggu. Bahkan ketika ada acara khusus, keluarga Umi Asiyah tidak sungkan memesan banyak bunga darinya dan memberi uang lebih. Niat ikhlas membantu justru membawa rezeki. Setidaknya, ia bisa mendapatkan penghasilan setiap minggu dari penjualan bunga untuk perputaran modal. Ia mengambil jaket dan helm di sana, tapi ponselnya tiba-tiba berdering. Ayesha mengambil ponsel dari dalam tas. Umi Asiyah is calling… “Umi?” Ia segera menjawab panggilan yang masuk. “Assalamu’alaikum, Umi.” “Wa’alaikumussalam, Nak. Nak, kamu sudah menunggu Umi?” Kening Ayesha mengerut. “Ini Ayesha baru mau jalan ke toko bunga. Ada apa, Mi? Umi sudah di depan toko ya??” “Oh, belum, Nak.” “Oh, alhamdulillah. Ini Ayesha masih mau berangkat ke toko, Mi. Kira-kira sepuluh menit lagi sampai.” “Nak, sebelumnya Umi minta maaf udah bolak-balik ganti jadwal. Umi mau bilang kalau pagi ini Umi tidak jadi datang karena berhalangan. Jam-jam habis zhuhur insya Allah, kami ke sana ya, Nak.” “Oh, iya-iya, gak apa-apa kok, Mi. Umi macam sama siapa aja. Kira Ayesha ada apa.” Ia langsung mengelus d**a. “Iya, Nak. Insya Allah, siang ini jadi. Nanti Umi tidak sama Ukhti, tapi sama anak Umi yang satu lagi biar sekalian dia pilih bunga yang sesuai untuk pengharum ruangan.” “Oh, iya-iya, Umi. Yauda, nanti siang Umi bisa pilih bunganya. Alhamdulillah, kemarin bunga segar baru masuk, Umi.” “Alhamdulillah, Nak. Yauda, Nak. Umi tutup dulu ya, Nak?” “Iya, Umi. Silahkan.” “Assalamu’alaikum..” “Wa’alaikumussalam, Umi.” Ayesha menghela napas panjang. Panggilan telepon dari Umi mengejutkan dirinya. Dia pikir telat membuka toko, tapi ternyata hanya mau mengganti jadwal kedatangan saja. Seketika ia mengulum senyum membayangkan dirinya akan bertemu kembali dengan sosok yang dirindukan. “Ya sudah, sekarang saatnya pergi.” Ia melihat jam tangan yang dikenakan di pergelangan tangan kirinya. “Masih jam setengah 7 pagi. Gak apa-apa. Dari pada di rumah.” Ayesha bergegas keluar dari rumah. Saat masih di teras rumah hendak mengeluarkan sepeda motor, paman dan bibinya datang berkunjung. “Assalamu’alaikum, ya Ayesha Syaquilla binti Abdullah, anakku yang cantik jelita nan salehah,” sapa seorang pria bernama Husein bin Sa’ad. Kedatangan paman dan bibinya mengembangkan senyuman Ayesha. “Wa’alaikumussalam, ya Ammi Husein, Ammah Hafsah.” Istrinya, Hafsah binti Waqsy juga memberi salam lalu menghampiri sang keponakan, kemudian memeluknya. “Udah mau pergi ke toko, Nak?” tanya Hafsah sambil membenarkan kerudung yang dikenakan Ayesha. “Iya, Ammah. Ammah sama Ammi udah sarapan belum?” Ayesha menyalami tangan sang Paman. “Sudah, Nak. Kami sudah sarapan. Kamu sudah? Nyayur apa pagi ini?” Ayesha menyuruh mereka untuk duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah. “Ammah, Ammi duduk dulu. Mau Ayesha buatin apa?” “Gak usah, Nak. Ammi mau ada hadiri kajian sekalian ngantar Ammah ke rumah Ammah Nisa.” “Oh iya-iya. Ayesha goreng tahu sama sambal kecap aja, Ammah. Kebetulan Ayesha belum belanja. Biasanya tukang sayur sore lewat dari depan toko, kemarin malah gak lewat. Dan Ayesha malas ke kedai sebelah.” Husein dan Hafsah tersenyum tanpa memperlihatkan wajah sedih mereka di hadapan Ayesha. Terutama Husein yang tidak sanggup melihat anak dari almarhum adiknya hidup di rumah seorang diri. Mereka sudah sering membujuk Ayesha supaya menetap di rumah mereka sebab satu rumah juga merupakan mahramnya. Namun, Ayesha menolak dengan alasan ingin mengurus rumah masa kecilnya. “Ini, Ammah sekalian mampir bawain ini buat kamu. Cepet ini letak dulu di kulkas, biar Ammah bantu.” “Ish, Ammah … kok repot-repot. Padahal beras yang kemarin juga masih ada kok. Buah juga masih ada di kulkas.” “Udah gak apa-apa. Cepet buka pintunya.” “Cepat ya, Mi? Abi tunggu di luar.” “Iya, Bi. Sebentar aja ini kok.” Ayesha dan sang bibi masuk ke dalam rumah untuk menyusun bahan-bahan makanan yang dibawa oleh mereka. Sejak ayahnya wafat, ia dan almarhumah ibunya terbiasa menerima bantuan bahan makanan pokok dari keluarga yang lain. Kebiasaan mereka terus berlanjut sampai sekarang ia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi selain keluarga dari almarhum kedua orang tuanya. Hafsah selalu memperhatikan penampilan keponakannya. Tidak sedikit pun dirinya lengah bila pakaian Ayesha tampak usang, ia segera membeli pakaian baru dengan warna hitam favoritnya. “Sudah, kita berangkat sekarang?” “Iya, Ammah. Ammah sama Ammi mau mampir??” “Tidak lah, Nak. Ini udah jam berapa. Lain kali aja.” “Iya, Ammi. Makasih banyak ya, Ammah, Ammi. Semoga Allah membalas kebaikan Ammah dan Ammi dengan pahala jariyah. Amminn.” “Ammiinn, ya Rabb. Ya udah, ayo kita berangkat. Kamu duluan biar Ammi di belakang.” “Iya, Ammi.” Mereka berangkat bersama dengan sepeda motor masing-masing. Karena kebetulan satu arah, Husein dan Hafsah lantas mengiringi perjalanan sang keponakan menuju toko bunganya. *** Dia menggumamkan sholawat Nabi sambil menyapu halaman toko. Toko bunganya dipagar dengan besi yang tertutup sehingga ia tidak susah payah memasukkan bunga ke dalam toko setiap hari. Hanya bunga-bunga khusus yang ia simpan di dalam, selebihnya hanya ditaruh di depan toko dan tetap aman. “Allahumma inni as aluka an tarzuqanii rizqan halaalan waasi’an thayyiban min ghairi ta’bin wa laa masyaqqatin wa laa dhairin wa laa nahsabin innaka ‘alaa kulli syaiin qadiir.” Ia tersenyum menatap langit. Dalam hati ia memohon agar Allah melimpahkan rezeki yang halal, luas, tanpa susah payah, tanpa memberatkan, dan tanpa rasa lelah ketika mendapatkannya. Ayesha yakin bahwa apa yang ia terima sampai detik ini adalah kuasa dari Allah. “Sungguh aku tidak memiliki daya dan kekuatan selain dengan petolongan-Mu ya Allah,” batinnya sembari meletakkan sapu di tempat semula. “Sekarang, saatnya nyiram bunga-bunga. Sabar ya kalian, sebentar lagi kalian mandi.” Mata yang tadinya fokus memperhatikan tanaman mendadak teralihkan oleh sebuah mobil sedan hitam hendak menyeberang ke tokonya. “Macam pernah lihat tuh mobil. Tapi di mana?” Ia langsung membuang pandangan dari sana dan fokus menampung air dengan gembor. Hatinya berkata untuk tidak menoleh ke arah mobil itu lagi. Kalau memang tujuannya ke toko ini, pasti pemilik mobil akan datang. Lagi pula, hanya dia yang membuka toko di sekitar ini. Namun, apalah daya akal Ayesha mengajak debat hingga ia pun kalah lalu menoleh ke arah yang sama. Jantung Ayesha langsung berdebar kencang kala melihat sosok tampan bertubuh tegap keluar dari mobil lalu berjalan menghampiri tokonya. Dia langsung membuang pandangan dan segera merapikan hijab dan gamisnya yang mungkin saja tersingkap. “Assalamu’alaikum?” “Wa’alaikumussalam.” Ayesha melirik pria itu sekilas. Benar, yang datang ternyata adalah Khalid. “Ngapain dia ke sini?” Padahal, tadi dia meminta kepada Allah agar memberikan ia rezeki yang halal, luas, tanpa memberatkan dirinya. Namun, yang datang justru pria menyebalkan itu. Dengan berat hati ia berkata, “Maaf, ada keperluan apa?” tanyanya dengan nada sopan. Tidak salah kalau pria itu berkunjung ke sini walau hanya untuk membeli bunga, tapi kalau untuk hal lain, Ayesha sangat malas meladeni. Khalid memperhatikan sekitar sini lumayan sepi. Jarak antara rumah dengan rumah yang lain tidak padat. Tidak banyak toko yang ada di area ini. “Saya …,” ucapnya menjeda kalimat karena ia bingung mau memulai pembicaraan dengan cara apa. Namun, waktu sudah sangat mepet sekali. Jika dia tidak mengatakannya sekarang, Buya-nya akan mengamuk kalau tahu Ayesha sudah mengundurkan diri sehari setelah ia duduk jabatan. Terlebih, kalau tahu bahwa alasan Ayesha keluar karena ucapan yang khilaf pagi itu. Siang nanti, dia harus mengantar Umi-nya ke toko ini. Dia harus memulai hubungan yang baru dengan Ayesha. Setidaknya, wanita ini tidak memasang raut kesal ketika berjumpa dengannya. Meski raut kesal itu sudah terlihat sekarang. “Saya mau pesan setangkai mawar putih,” sambung Khalid sambil mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat dingin. Dia tidak terbiasa berbasa-basi, apalagi dengan seorang wanita dan di tempat sepi seperti ini. Khalid merasa bersalah sekarang. “Apa-apaan dia pesan setangkai mawar putih?” batinnya tetap memunggungi Khalid dan terus menyiram tanamannya. Dia tidak mau berpikiran kalau Khalid sengaja mengingatkan dirinya akan kejadian Jumat lalu. “Maaf, bunganya habis. Silahkan cari di toko lain,” balas Ayesha dengan nada dan sikap cuek. Dia sengaja berada di halaman toko supaya tidak menjadi fitnah berita bagi penduduk sekitar yang mungkin saja tidak sengaja melihat ke arah tokonya. “Ah, kalau begitu, saya pesan mawar merah satu buket saja.” “Habis juga. Silahkan cari di tempat lain.” Khalid menelan saliva dengan berat. Ia memperhatikan wajah Ayesha sangat tidak bersahabat bahkan hanya meliriknya saja tadi. Sejak awal, dia sudah salah menilai sampai memikirkan kesalahannya hingga berhari-hari. Dia tidak tahu menahu kalau rutinitas Ayesha setiap Jumat adalah membagi setangkai mawar putih untuk para guru dan anak-anak. Kedatangannya ke sini juga sudah berkonsultasi dengan sang Pencipta dan mendapat jawaban atas tekatnya yang begitu kuat. “Ah, kalau bunga ini, apakah bisa?” Ayesha melirik bunga yang ditunjuk. “Tidak.” “Kalau begitu, saya pesan bunga Lily saja.” “Sudah habis. Silahkan cari di tempat lain.” Khalid menghela napas sambil memperhatikan sekitar mereka. Dia kehabisan akal untuk memulai pembicaraan. Tentu ia tahu kalau jawaban Ayesha hanya alasan saja. Tidak mungkin semua bunga di sini tidak boleh dibeli, pikirnya. “Kalau begitu, saya beli bunga yang wangi untuk Umi saya.” Ayesha melambatkan gerakan tangan dan menolehkan wajah ke kiri tanpa melihat ke belakang. “Maaf, sebaiknya Anda mencari bunga yang lain saja.” Dia kembali melanjutkan kegiatannya menampung air. Khalid berjalan lambat mendekati bunga Mawar putih di sana dan hendak menyentuhnya. “Saya tidak pernah mengizinkan pembeli untuk menyentuh jika tidak berniat membeli atau saya yang mengizinkan untuk dibeli,” larang Ayesha dengan nada sedikit tinggi. Dia terdiam mendengar ucapan Ayesha barusan. Bingung harus bersikap seperti apa, Khalid langsung membuka suara. “Baiklah, Ustadzah. Sebenarnya saya datang untuk—” ucapannya terhenti kala melihat sepeda motor berhenti tepat di samping toko Ayesha. “Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh, Ustadzah Ayesha?” sapa seorang wanita mengucapkan salam sambil membuka helm yang dikenakan. “Wa’alaikumussalam warrahmatullahi wabarakatuh.” Khalid ikut menjawab salam, lalu mundur beberapa langkah sambil memperhatikan Ayesha meninggalkan kegiatannya. “Wa’alaikumussalam warrahmatullahi wabarakatuh. Aduh, siapa ya? Saya belum mengenali wajahnya,” balas Ayesha sambil tersenyum dan melihat pembeli yang datang ke tokonya. “Halah, Ustadzah! Macam tidak kenal suara saya! Saya loh, Ustadzah! Mamanya Vera, yang biasa beli bibit bunga di sini,” sahutnya mendekati sang pemilik toko bunga. “Owala, Mamanya Vera. Kirain siapa toh, Bu. Rupanya Ibu. Apa kabar, Bu? Udah lama gak nampak nih.” “Ya ampun, Ustadzah. Setiap minggu saya selalu ke sini beli bunga padahal. Pura-pura tidak tahu saja, Ustadzah.” Ayesha tertawa geli sambil mengangguk kepala. “Iya-iya, Bu. Maaf. Jadi nih ceritanya pesan bunga kayak biasa atau beli bibit, Bu??” “Kayak biasa mawar merah, Ustadzah. Nanti diambil sama anak saya ya, Ustadzah. Kalau naik motor, bisa-bisa bunganya hancur di jalan nanti.” “Iya, Bu. Tenang. Pokoknya rangkaian bunganya sesuai request biasa.” “Ya udah, Ustadzah. Berapa semuanya, Ustadzah??” “Ini mawar merahnya ‘kan semua tiga puluh lima tangkai, jadi tiga ratus lima puluh ribu. Terus untuk hiasannya dua puluh ribu. Penyegarnya lima belas ribu. Upah rangkainya dua puluh lima ribu. Jadi totalnya empat ratus sepuluh ribu ya, Bu.” “Ya Allah, Ustadzah. Sampai kapan Ustadzah jualan kayak gitu. Apa gak laris manis, orang upahnya murah kali.” Ayesha tersenyum sembari memilih mawar segar di sana. “Gak apa-apa, Bu. Biar transparan sama pembeli. Kalau misalnya jual mahal, takutnya pembeli lari ke toko yang lebih murah, Bu.” “Ish benar, Ustadzah. Saya ke sini aja ya karena dikasih tahu teman. Ustadzah jual murah kali. Kalau di toko lain, saya udah bayar 2 kali lipat, Ustadzah.” Dia mulai bercerita. “Ini jam berapa mau dijemput, Bu? Biar saya cari mawar yang lebih ukurannya sama di belakang.” Ia mengalihkan pembicaraan agar tidak terjadi gosip ria di tokonya. “Mungkin sekitaran dua jam lagi lah, Ustadzah.” “Oh iya, Bu. Biar nanti saya rendam air dulu.” “Iya, Ustadzah. Ini uangnya, Ustadzah.” Ia menyodorkan uang sebesar empat ratus lima puluh ribu rupiah. “Bentar ya, Bu.” “Eh, gak usah, Ustadzah. Kembaliannya anggap aja itu bonus. Udah gak usah, Ustadzah.” “Hah? Enggak, Bu. Ini banyak sekali kembaliannya.” “Ish, udah! Gak masalah, Ustadzah. Kalau beli di toko lain, pasti harganya hampir satu juta.” “Ya udah, ini sisanya saya kasih bonus bunga aja ya, Bu.” “Ya ampun, Ustadzah. Kebiasaan deh gitu ….” Khalid memilih diam sembari memperhatikan cara Ayesha menyapa pelanggan dan berjualan sesuai syariat Islam. Wanita itu terbuka dan transparan soal harga bunga serta upahnya. Yang ia tahu, satu buket mawar merah berharga di atas satu juta rupiah. Karena dia pernah membeli buket bunga atas suruhan abang iparnya. Sambil mendengarkan pembicaraan mereka, ia memperhatikan toko bunga ini. Tidak sempit, tetapi juga tidak terlalu lebar. Namun, halamannya memang luas. Selain rapi, tentu saja toko ini selalu wangi karena yang dijual adalah bunga segar. Hati kecilnya berkata kalau Ayesha memang ramah tamah terhadap siapa pun. Itu artinya, dia sudah salah menilai Ayesha sejak awal jumpa. Kalau wanita itu hanya berpura-pura, tidak mungkin sebagian besar anak-anak menangis setelah mendengar kabar kalau Ayesha tidak lagi menjadi pengajar mereka. “Ustadzah, saya pamit dulu ya.” “Iya-iya, Bu. Hati-hati di jalan.” Saat hendak berlalu dari sana, dia melihat seorang pria berdiri di belakang tiang. “Loh? Ustadz Khalid ya? Yang kemarin ngisi kajian di kampung sebelah, di Masjid besar?” Ayesha langsung menoleh ke arah pria itu. “Iya, Bu. Benar. Saya mengisi kajian di sana minggu kemarin.” “Ya ampun, bener ternyata. Kalau dari dekat, ganteng juga ya, Ustadz. Eh, loh?” Dia lantas melirik Ayesha yang sedang memilih mawar merah di sana lalu berkata, “Ustadzah, ini calon suaminya toh?” Dia langsung melirik Khalid dengan kening mengerut. “Iya, Bu? Calon suami yang mana?” tanyanya berpura-pura tidak mendengar. Khalid dan Ayesha saling melempar pandangan. “Ya ampun, pakek acara terkejut segala. Gak perlu sungkan begitu kali, Ustadzah. Ya sudah, saya mau pulang dulu. Mari, Ustadz, Ustadzah.” “Iya, Bu. Silahkan …,” balas Khalid tersenyum tipis. “Hati-hati di jalan ya, Bu.” Ayesha mengantar sampai pelanggannya berlalu dari tokonya. Setelah kepergiannya, Ayesha kembali mendatarkan wajah dan melanjutkan kegiatannya tanpa memperdulikan Khalid yang masih berdiri di sana. Khalid maju beberapa langkah untuk lebih dekat dari posisi Ayesha, tapi tetap menjaga jarak. “Eumh … saya mau mengatakan sesuatu, Ustadzah.” “Panggil nama saja,” sahut Ayesha. “Ah iya, Ayesha.” Khalid tersenyum sambil mengangguk paham. Sepertinya wanita ini benar-benar tidak mau bersikap ramah, pikirnya. “Ayesha, saya datang ke sini ingin meminta maaf. Saya tidak tahu kalau kamu punya hobi memberi mawar untuk orang-orang di Madrasah dan … saya minta maaf atas ucapan saya yang merendahkan kamu waktu lalu.” Ayesha tersenyum tipis dan kembali melanjutkan kegiatannya. Dia sangat malas membahas masalah itu lagi. Namun, pria ini datang dengan niat baik. Tidak mungkin dia membiarkannya. “Itu tidak perlu dibahas lagi. Kalau tidak ada kepentingan lain, silakan.” “Kamu mengusir saya?” Nada bicara Khalid merespon pandangan Ayesha hingga menatapnya lagi dengan mata memicing. “Kenapa? Anda tidak suka?” Rahang Khalid mengeras.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN