Episode 7 : Ancaman

1378 Kata
Sepanjang perjalanan Juan tidak mengeluarkan sepatah kata. Juan hanya menoleh sesekali sambil tersenyum ke arah Mora. Mora mencoba tenang dan mengikuti keinginan Juan meskipun sekujur tubuhnya diselimuti perasaan takut. Jika ada kesempatan, Mora berencana untuk melarikan diri. "Selama ini kau tinggal dimana?" tanya Juan setelah lama diam. Mora tidak berniat menjawab. Mulut gadis itu seolah terkunci. "Kau tinggal dimana?" tanya Juan lagi sambil menatap Mora. "Kau tidak perlu tau." jawab Mora ketus. Juan tertawa mendengar jawaban Mora. Sikap Mora yang tidak bersahabat, membuat Juan tertantang untuk menaklukannya. "Tentu saja kau akan merahasiakannya. Tapi tenang saja Mora, mulai sekarang kau tidak perlu kembali ke tempat itu." tegas Juan. "A-apa maksudmu?" tanya Mora terbata. "Bagaimana kalau tinggal bersamaku? Bukankah seharusnya kau sudah menjadi milikku sejak setahun yang lalu? benarkan?" tanya Juan. "Kau gila!" maki Mora. Lagi-lagi Juan tertawa. Laki-laki itu menyentuh rambut Mora dan memaksa menatapnya. "Benar juga. Jika kau dengan sendirinya menurut dan mengikuti semua keinginanku, maka permainannya jadi tidak seru. Bagaimana kalau kita libatkan keluargamu?" tanya Juan penuh penekanan. Mora mendadak kaku dan jadi sangat cemas. Melihat ekspresi Mora, Juan langsung tersenyum mengejek. "Apa maksudmu? Apa yang kau lakukan pada keluargaku?" tanya Mora marah. Juan mendengus. "Aku belum melakukan apa-apa Mora. Kau tau alasannya?" Mora menggeleng karena memang tidak tau apa alasan Juan belum melakukan apa-apa pada keluarganya padahal sudah setahun sejak kejadian itu. "Apapun yang kulakukan tidak akan menarik jika kau tidak melihatnya sendiri. Untuk itulah aku membiarkan ayahmu melakukan apapun yang dia bisa selagi aku mencari keberadaanmu. Sekarang aku menemukanmu, maka permainannya baru saja akan dimulai." jelas Juan dengan seringai kejam. Mora mengepalkan kedua tangan mencoba meredakan amarah yang tiba-tiba saja muncul mendengar perkataan laki-laki itu. Juan bisa melihat emosi Mora dari sorot matanya yang berapi-api. "Jangan sentuh keluargaku b******k!!" maki Mora. Juan memperhatikan Mora sambil tersenyum mengejek. Ada kilatan marah yang dapat Mora tangkap dari sorotan matanya yang dingin. "Menarik. Kita lihat saja apa kau masih bisa memaki jika kulakukan sesuatu pada orang tuamu." ujar Juan santai. Laki-laki itu menghubungi seseorang yang entah siapa, Mora tidak tau. Mora semakin ketakutan. "Bagaimana kalau dia benar-benar melakukan sesuatu pada papa dan mama? Ah sial! Seharusnya aku tidak terpancing emosi dan malah membuatnya marah." gumam Mora nyaris tanpa suara. Tak ingin menyulitkan keluarganya, Mora memberanikan diri merebut ponsel Juan dan segera memutuskan sambungan telpon yang sedang berlangsung. "Kumohon jangan lakukan apapun pada keluargaku. Akan kulakukan apa yang kau mau. Aku juga akan jadi wanita penurut asal kau berjanji untuk melepaskan mereka." pinta Mora. Mora mengiba. Matanya berkaca-kaca. Mora kalah. Sekarang Mora pasrah. Mora tidak mungkin membiarkan Juan mengganggu kedua orang tuanya. Juan menatap Mora dan semakin mendekatkan kearah gadis itu. Mau tidak mau Mora mundur untuk menghindarinya. Juan membuat Mora terpojok di pintu mobil. "Ingat Mora aku tidak suka wanita pembangkang. Ini pertama dan terakhir kalinya kau melawanku. Jika sekali lagi kau membantah, maka jangan salahkan aku jika besok keluargamu tidur dibawah kolong jembatan." geram Juan. Mora hanya mengangguk sambil terus memejamkan mata. Mora tidak tau seberapa dekat mereka saat itu. Tapi, aroma mint yang tercium jelas saat laki-laki itu bicara, menandakan kalau jarak mereka sangat dekat. "Bagus. Mulai sekarang jadilah wanitaku yang penurut." ujar Juan. Perlahan Juan mengambil ponsel yang Mora rebut. Saat sudah tidak merasakan keberadaan Juan, barulah Mora memberanikan diri membuka mata. "Keluarlah! Kita sudah sampai." perintah Juan. "Sampai?" tanya Mora bingung. Mora tidak sadar bahwa sejak tadi mobil sudah berhenti. Kini mereka sudah berada di depan sebuah rumah mewah. Mora keluar dari mobil dan kebingungan sendiri. "Rumah siapa ini? Dimana ini?" tanya Mora lagi. "Rumahku. Ayo masuk." jawab Juan. Mora mengikuti langkah Juan yang sampai sekarang belum Mora tau siapa namanya. Lagipula Mora tidak tertarik untuk mengenal laki-laki itu. Mora mencoba menebak-nebak kalau Juan adalah orang penting. Bukan saja karena rumahnya yang luar biasa mewah, tapi banyaknya penjaga yang berpakaian serba hitam di luar rumah menandakan kalau Juan bukan orang sembarangan. "Apa dia bos mafia?" gumam Mora pelan. "Duduklah Mora. Ada banyak hal yang harus kita bahas." perintah Juan. Tak ingin kembali memancing emosi Juan, Mora langsung duduk berhadapan dengan laki-laki itu. Mora mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah. Rumah besar itu sangat sepi. Mungkin karena sudah larut malam atau memang tidak banyak penghuni. "Apa yang kau cari? Kau tidak akan menemukan siapapun. Aku tinggal sendiri di rumah ini. Hanya ada beberapa penjaga dan pembantu saja. Kalau kau butuh apapun aku bisa memanggil mereka." ujar Juan saat menyadari kebingungan Mora. "Tidak, tidak perlu aku tidak membutuhkan apapun." tolak Mora cepat. "Atau kau sedang mencari pintu belakang untuk segera melarikan diri?" tebak Juan. "Waw kau pintar sekali membaca pikiran orang." jawab Mora sekenanya. Juan langsung menatap Mora dengan tatapan tajam. Jika sudah ditatap seperti itu, seketika nyali Mora ciut. Setiap kali memandang sorot mata Juan yang gelap dan dingin, selalu membuat Mora merasa takut. Padahal setelah diperhatikan dengan seksama, wajah Juan sangat tampan. "Mulai sekarang kau akan tinggal di rumah ini." tegas Juan. "Aku tidak bisa." balas Mora. "Aku tidak membutuhkan jawaban, Mora. Aku hanya memberi tau. Kau akan tinggal disini mulai sekarang." tegas Juan sekali lagi. "Sudah kukatakan aku tidak bisa." tolak Mora. "Mau sampai kapan kau akan terus membantah? Harus bagaimana menjinakan perempuan keras kepala sepertimu? Haruskah kuhancurkan perusahaan ayahmu baru kau percaya bahwa aku tidak hanya sekedar mengancam?" bentak Juan. "Kau b******n. Apa cuma mengancam hal yang bisa kau lakukan b******k!?" teriak Mora. Juan tiba-tiba mendekat dan langsung menarik tangan Mora. Juan memaksa Mora mengikuti langkahnya menuju sebuah kamar. "Mau apa kau? Lepaskan b******k! Kau b******n!" Mora kembali memaki. Mora mencoba melepaskan cengkraman tangan Juan. Tapi tentu saja, tenaga Mora tidak cukup kuat untuk melawan laki-laki itu. Juan menyeret Mora ke sebuah kamar dan menghempaskan tubuh Mora begitu saja. Mora meringis memegangi tangannya yang terasa nyeri. Dengan gerakan cepat, Juan menindih tubuh Mora. "Kau mau apa? Kumohon menjauhlah dariku." teriak Mora. Juan seperti tuli. Mora mulai ketakutan dan memejamkan mata sambil menangis. Juan memposisikan tubuhnya sedemikian rupa dan tak memberi ruang pada Mora untuk menjauh. Mora kehilangan nyali untuk kembali melawan. "Kumohon jangan lakukan ini padaku. Kumohon. Aku janji aku tidak akan melawan lagi. Kumohon lepaskan aku." pinta Mora. Mora menangis sambil memejamkan mata. Juan tak kunjung melepaskannya. Justru Juan tengah menikmati wajah Mora yang menangis ketakutan karena ulahnya. "Aku tidak hanya bisa mengancam Mora, tapi aku bisa melakukan apapun yang ku mau. Sekarang keputusannya ada padamu. Masih ingin terus membantah atau menuruti semua perintah, kau bebas memilih. Tapi apapun yang kau pilih, kau harus menanggung akibatnya." ujar Juan. Mora hanya mengangguk tak berani menatap Juan. Untuk sementara Mora tak punya pilihan. Mora tidak ingin berakhir jadi pemuas nafsu Juan jika terus melawan tanpa ada persiapan yang matang. "Jawab aku Mora. Jangan hanya mengangguk dan memalingkan muka dariku. Kemana Amora yang begitu berani dan arogan tadi?" sindir Juan. "Baiklah aku akan tinggal disini. Jadi kumohon lepaskan aku." ujar Mora dengan suara bergetar. Dengan takut-takut Mora menatap mata Juan. Wajah mereka begitu dekat. Mora bahkan bisa merasakan hembusan nafas Juan. Untuk sesaat tatapan mereka bertemu. "Ingat ini baik-baik Mora, sekali lagi kau membantah, maka jangan salahkan aku jika hal buruk terjadi padamu. Jika kau melakukanya lagi, berarti kau menginginkan hal seperti ini terjadi." tegas Juan. Laki-laki itu beranjak dari tubuh Mora dan duduk dipinggir ranjang. Mora langsung beringsut menjauh darinya. "Apa, apa aku boleh bicara?" tanya Mora pelan. Dengan takut-takut Mora memberanikan diri untuk mengutarakan keinginannya. Mora punya keinginan sebelum akhirnya harus tinggal bersama Juan. "Katakan saja. Jika bukan sesuatu yang sulit, akan ku kabulkan." jawab Juan. Mora menghela napas panjang sebelum kembali berbicara. "Beri aku waktu. Setidaknya aku harus berpamitan secara pantas dengan orang yang sudah menolongku." ujar Mora. "Baiklah. Kuberi waktu seminggu untuk segera meninggalkan rumah orang itu." putus Juan seraya berdiri dihadapan Mora. "Sebulan, kumohon." pinta Mora. Mora memohon sambil menangis. Gadis itu menyatukan kedua tangan di depan d**a. "Setelah ini bukankah aku akan bersamamu selamanya? Jadi bolehkan jika aku menghabiskan waktu satu bulan bersama orang yang sudah menolongku? Beri aku waktu satu bulan. Setelah itu dengan sendirinya aku akan datang padamu." lanjut Mora. "Ok aku setuju. Tapi aku harus tau dimana tempat tinggalmu dan kau harus menandatangani surat perjanjian denganku. Surat itu untuk berjaga-jaga kalau-kalau kau diam-diam merencanakan pelarian lagi." balas Juan cepat. Mora langsung mengangguk. Apapun itu, asalkan bisa bersama Zein sedikit lebih lama, Mora harus menyetujuinya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN