Episode 1 : Melarikan diri
"Kalista Amora berhenti!"
Amora mencoba untuk tidak peduli pada teriakan orang-orang yang sedang mengejarnya. Pikiran gadis itu hanya terfokus pada satu hal, dia harus bisa melarikan diri dari orang-orang tersebut. Tak juga Mora pedulikan rasa perih yang berasal dari telapak kakinya yang entah sejak kapan sudah berdarah.
Masih terngiang jelas diingatan Mora saat ibunya meminta Mora melarikan diri. Meski tidak tau apa yang terjadi, Mora percaya dan menuruti perintah beliau.
Belum sempat meraih sendal jepit yang terletak dibelakang rumah, suara menggema meneriakkan nama Mora disertai perintah untuk menemukannya, menjadi alarm yang membuat Mora tidak berpikir dua kali untuk segera melarikan diri.
Ini bukan kali pertama kejadian seperti ini terjadi. Ayah Mora yang sering kalah dalam berjudi dan kebiasaanya menjadikan Amora sebagai bahan taruhan, membuat Mora mau tidak mau harus siap dalam segala situasi. Sama seperti hari ini, dengan hanya menggunakan gaun tidur tipis tanpa alas kaki, Mora berhasil melarikan diri dari orang-orang yang mengejarnya.
"Tuhan tolong aku kumohon." gumam Mora dalam pelariannya.
Mora sudah tidak kuat lagi untuk berlari. Tenaga gadis itu sudah habis terkuras. Tapi Amora tidak ingin pasrah dan menyerahkan hidup pada orang asing yang sedang mengejarnya.
"Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?" ratap Mora.
Setelah nyaris putus asa, dari kejauhan Mora melihat sebuah mobil sedang melintas dengan perlahan. Tanpa pikir panjang Mora langsung menghentikan mobil tersebut. Sopir mobil yang kaget, menginjak rem dengan kuat.
"Kumohon tolong aku. Kumohon." pinta Mora.
Dengan mengatupkan kedua tangan di d**a sambil bersimpuh, Mora memohon di depan mobil yang tadi diberhentikannya secara paksa. Air mata Mora jatuh berharap orang yang ada di dalam mobil menaruh iba pada keadaannya yang tidak berdaya.
Dengan takut-takut Mora menoleh ke belakang dan melihat beberapa orang yang tadi mengejarnya. Mereka sudah mulai terlihat tapi sang pemilik mobil belum kunjung membukakan pintu untuk gadis itu. Dengan putus asa Mora kembali berdiri. Apa boleh buat Amora harus berlari lagi agar tidak tertangkap.
Tepat pada saat itu, pintu mobil terbuka. Sebuah suara tegas dan berat dari seorang pria memerintahkan Mora untuk masuk.
"Masuklah!"
Tanpa disuruh dua kali Mora langsung masuk ke mobil tersebut.
"Terima kasih. Terima kasih tuan terima kasih." ujar Mora dengan kepala tertunduk.
Mobil mulai melaju cukup kencang meninggalkan orang-orang yang mengejar Mora. Beruntung mereka belum menyadari jika Mora sudah masuk ke dalam mobil dan tetap melakukan pengejaran ke arah yang salah.
***
Setengah jam berlalu, Mora yakin kini dirinya sudah cukup jauh dari orang-orang yang tadi mengejarnya. Dengan takut-takut Mora memperhatikan laki-laki yang duduk tepat disebelahnya. Laki-laki itu tidak peduli dan tidak juga ingin bertanya tentang apa yang terjadi.
Tubuh Mora masih gemetar menahan sakit. Rasa perih yang berasal dari kakinya mulai membuat gadis itu merasa pening dan berkunang-kunang. Sekuat tenaga Mora menahan rasa nyeri yang hampir menyita kesadaran.
"Dimana kami harus menurunkan anda nona?" tanya supir yang sedang mengemudi.
"A-aku tidak tau. Aku tidak punya tujuan."
Mora menjawab dengan terbata dan suara yang bergetar menahan sakit.
"Bawa dia ke rumah sakit. Sepertinya dia terluka."
Laki-laki yang sejak tadi duduk diam disebelah Mora, mulai mengeluarkan suara dan menutup laptopnya.
"Jangan. Kumohon jangan lakukan itu." larang Mora.
Mora takut orang-orang yang mengejarnya sudah memprediksi kalau Mora kemungkinan akan dibawa ke rumah sakit. Mora tidak ingin tertangkap begitu saja. Jika berakhir demikian, maka sia-sia sudah pelarian Mora sampai saat ini.
"Aku tidak punya waktu untuk mengurusmu nona. Sebaiknya tentukan segera tujuanmu atau aku akan meninggalkanmu dimana saja." ujar Zein.
Zein, laki-laki yang menolong Amora, adalah seorang dokter muda nan gagah. Pembawaannya terkesan arogan dan tidak bersahabat.
Mora menangis mendengar kata-kata dingin yang keluar dari mulut Zein. Kepalanya semakin pening dan pandangan gadis itu mulai kabur karena air mata dan rasa sakit yang sudah tidak dapat ditahannya.
"Apapun yang terjadi tolong jangan tinggalkan aku di rumah sakit." pinta Mora.
Mora mengiba dengan suara lemah sebelum akhirnya kesadaran Mora menghilang. Mora pingsan. Bodohnya, Mora pingsan di dalam mobil seseorang yang tidak dia kenal yang bisa saja berbuat jahat pada gadis itu.
***
Saat tersadar, pemandangan yang pertama kali Mora lihat adalah lampu putih menyilaukan yang langsung membuat Mora kembali memejamkan mata.
"Apa aku di rumah sakit?" gumam Mora.
Dengan perlahan Mora kembali membuka mata dan mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Mora bisa bernafas lega setelah memperhatikan ruangan yang sedang ditempatinya dengan seksama. Setidaknya saat ini walaupun di tangan gadis itu terpasang jarum infus, walaupun kondisi tubuh Mora masih sangat lemah, Mora tidak sedang berada di rumah sakit.
"Tapi dimana aku? Sepertinya ini sebuah kamar tapi tidak terlihat seperti kamar hotel. Apa ini rumah laki-laki semalam? Atau rumah supirnya? Aku harus cari tau." Mora kembali bergumam.
Baru saja hendak turun dari ranjang, pintu kamar terbuka. Zein masuk ke kamar dengan setelan kaus oblong dan celana jins. Laki-laki itu sangat tinggi. Mungkin sekitar 180 cm lebih. Rambut hitam yang tertata rapi, menambah kesan maskulin dari dirinya. Dengan bola mata hitam pekat dan aura dingin yang terus menatap tajam, Zein mendekati Mora.
"Kau sudah sadar? Kau ingat sesuatu?" tanya Zein.
Mora tidak langsung menjawab karena terlalu terpesona dengan ketampanan Zein. Gadis itu jadi bingung sendiri harus menjawab apa.
"Sepertinya kau belum benar-benar sadar. Tapi jika kondisimu sudah lebih baik, aku akan melepaskan infus itu darimu." ujar Zein.
"Terima kasih. Sekarang aku sudah merasa lebih baik, bapak bisa melepaskan infusnya. Tapi dimana aku? Seberapa jauh tempat ini dari tempat bapak menolongku semalam?" tanya Mora sopan.
Lelaki itu mendekat sambil membawa kotak P3K yang terletak tak jauh dari ranjang tempat Mora duduk. Dengan telaten dia mulai melepaskan selang infus yang entah sejak kapan sudah terpasang ditangan Mora.
"Aku tidak setua itu untuk dipanggil dengan sebutan bapak. Kecuali kau adalah bawahanku. Sekarang kau ada di rumahku, tepatnya di kota Jakarta. Aku terpaksa membawamu pulang karena sebagai seorang dokter aku tidak bisa membiarkanmu mati di jalan." jelas Zein.
"Pantas saja dokter begitu telaten. Terima kasih karena sudah menyelamatkanku dan terima kasih juga dokter tidak membawaku ke rumah sakit." ujar Mora.
"Jika kau memang merasa berterima kasih, maka makanlah yang cukup dan penuhi energimu. Dengan begitu kau bisa melarikan diri sejauh yang kau mau." balas Zein datar.
Laki-laki itu membereskan peralatannya dan berlalu dari hadapan Mora. Zein benar. Mora harus kuat agar bisa melawan orang-orang yang ingin membawanya.
"Tapi siapa mereka? Apa benar mereka orang-orang yang bermain judi dengan papa? Kenapa mama bersikeras memintaku melarikan diri?" gumam Mora penuh tanya.
Kepala Mora kembali terasa pening. Mora terus memikirkan alasan kenapa ayahnya tega menjadikan dirinya taruhan judi.
"Apa aku ini bukan anak kandungnya? Tidak, tidak. Aku belum tau apa yang sedang terjadi. Aku harus cari tau dulu kebenaranya sebelum menyalahkan papa." ujar Mora pada dirinya sendiri.
Mora bergegas mandi untuk menenangkan pikiran. Sepertinya semalam pakaian Mora sudah diganti entah oleh siapa. Kalaupun Zein yang menggantinya, Mora tidak akan marah, karena berkatnya hari ini Mora masih memiliki kebebasan.
Setelah mandi seorang pelayan sudah menunggu Mora dikamar sambil menyerahkan sebuah gaun. Katanya dokter yang baru Mora tau bernama Zein itu sudah menunggu Mora di meja makan. Tak ingin buang waktu, Mora segera mengganti pakaian dan mengikuti pelayan yang sejak tadi setia menunggunya.
Sesampainya di meja makan, dokter Zein meminta Mora duduk dan ikut sarapan bersamanya. Mereka sarapan dalam diam. Tidak ada yang berniat membuka percakapan. Karena sudah sangat merepotkan dokter Zein, Mora jadi canggung diperlakukan dengan baik olehnya.
"Jadi kemana tujuanmu setelah ini?" tanya Zein.
Mora diam, lebih tepatnya Mora sedang berpikir.
"Aku tidak tau apa yang harus kulakukan atau kemana tujuanku. Tapi aku punya seseorang yang mungkin bisa membantu menyelesaikan masalahku." jawab Mora.
"Baguslah nona karena aku tidak bisa membantu mu lebih dari ini." lanjut Zein.
"Terima kasih dokter Zein. Sejauh ini bantuan darimu sangat berguna untukku. Entah harus bagaimana aku membalas semua kebaikanmu." ujar Mora.
Dokter Zein hanya tersenyum datar dan memberikan beberapa lembar uang pada Mora.
"Aku harus pergi bekerja. Pakailah uang itu selama masa pelarianmu."
"Sekali lagi terima kasih dokter Zein. Akan ku anggap pertolongan darimu sebagai hutang budi. Pada saat kita dipertemukan lagi dalam keadaan yang lebih pantas, aku akan membayar hutang ku padamu." ujar Mora.
"Tidak perlu dipikirkan nona. Hiduplah secara pantas. Jika kau hidup secara pantas, maka segala hutangmu padaku sudah ku anggap lunas." balas Zein.
Mora hanya mengangguk dan mengiringi langkah Zein menjauhi meja makan. Sebelum Zein masuk ke mobil dan meninggalkan rumah , Mora mengulurkan tangan untuk yang pertama dan terakhir kalinya.
"Dokter Zein namaku Kalista Amora. Senang bisa mengenal orang sebaik dokter."
Zein menyambut uluran tangan Mora sambil menyebutkan namanya.
"Aku Zein Bahtiar Luis. Senang juga berkenalan denganmu Kalista Amora."
Bersambung