Episode 6 : Sebelah Hati

1370 Kata
Mora ingin berlari, tapi lagi-lagi tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Laki-laki itu berjalan mendekat tanpa melepaskan pandangan dari Mora. Seketika Mora melangkah mundur. "Kita bertemu lagi Mora." ujarnya dingin "Kebetulan seperti apa ini? Kenapa laki-laki gila itu ada disini? Apa yang harus kulakukan?" batin Mora. *** Sementara itu, Zein yang kesal tampak sedang marah pada Rumi yang terus menangis. Zein tidak peduli pada sekujur tubuhnya yang terasa sakit karena berkelahi dengan Juan. Hatinya jauh lebih sakit melihat wanita yang dicintainya terluka. "Apa kau gila Rumi? Apa kau begitu mencintai Juan sampai-sampai kau mau saja dibodohi seperti itu?" tanya Zein. Arumi masih menangis sambil membawa mobilnya menjauh. Zein tidak ingin memarahinya, tapi mau bagaimana lagi, Juan sudah keterlaluan. Rumi sudah mempersiapkan segalanya untuk datang bersama Juan, tapi Juan malah membawa wanita lain. Yang membuat Zein semakin marah adalah jika Juan memang dia tidak berniat mengajak Rumi, harusnya Juan tidak menjanjikan apa-apa pada gadis itu. Hati Zein bagai teriris saat mengingat Rumi yang begitu ceria ketika memilih gaun demi terlihat cantik di depan Juan. Saat itulah emosi Zein tidak tertahan dan begitu saja memukul Juan meskipun berakhir dengan Zein yang dipukuli bertubi-tubi. Juan pandai berkelahi dan Juan tipe laki-laki badboy yang entah mengapa begitu digilai oleh banyak wanita. Zein benci mengakui itu apalagi harus mengakui kalau Rumi juga salah satu wanita yang menggilai Juan. "Berhenti menangis Rumi. Apa sekarang kau sudah sadar kalau Juan benar-benar b******k? Apa mata hatimu sudah buta sampai-sampai tidak menyadari buruknya sikap Juan?" tanya Zein kesal. "Jangan katakan itu Zein. Juan bukan tipe orang yang akan mengingkari janjinya begitu saja tanpa alasan yang jelas." bela Rumi. "Sudah seperti ini saja kau masih membela Juan. Lalu apa alasannya? Katakan padaku apa alasan Juan melakukan itu? Juan sedang menunjukkan kalau kau tidak ada arti dalam hidupnya, Rumi. Apa kau masih tidak sadar juga?" geram Zein. "Aku juga belum tau, tapi aku yakin Juan tidak melakukanya dengan sengaja. Juan sangat baik Zein. Juan tidak jahat." balas Rumi. Zein mendengus pelan. "Kau sudah buta Rumi. Terserah kau saja. Sejahat apapun Juan matamu tidak akan pernah bisa melihatnya." Zein kesal. Zein marah. Rumi yang tergila-gila pada Juan tidak bisa melihat kelakuan licik laki-laki itu. Zein tau alasan apa yang membuat Juan menyakiti Rumi. Juan sebenarnya ingin menyakiti Zein melalui Arumi. Beberapa hari lalu Zein mengamuk di rumah dan menyalahkan semuanya pada Wiranti. Zein sengaja mencari perkara untuk membuat Luis murka. Zein benci melihat Luis yang tidak peduli dan membuat Zein terlihat seperti orang asing di rumah sendiri. Hal itu berakibat fatal hingga Zein di tampar oleh Luis dan mendapat tatapan tajam dari Juan. Jika Zein menyakiti Wiranti, maka Juan akan membalas Zein dengan menyakiti Arumi. Zein tau mereka berdua kekanak-kanakan. Tapi hati kecil Zein tidak bisa menerima Juan dan ibunya yang sudah merampas kebahagiaan Zein begitu saja. Apalagi sejak lahirnya Gloria dari rahim Wiranti, dimata Zein, Luis sepenuhnya berubah menjadi orang lain. Lamunan Zein buyar saat Rumi menghentikan mobilnya di depan SMA mereka dulu dan mengajak Zein duduk di dekat gerbang sekolah. Ini tempat favorit Rumi saat dia sedang sedih. Cukup lama mereka terdiam menikmati dinginnya angin malam. "Apa kau tau kalau dulu aku selalu di bully karena banyak yang menyukaimu Zein?" tanya Rumi setelah lama terdiam. Zein sangat terkejut mendengar pengakuan Rumi. Meskipun mereka dekat, Zein tidak pernah tau soal itu. "Di bully? Benarkah? Kenapa selama ini kau tidak pernah mengatakannya padaku?" Zein balas bertanya. Rumi tidak menjawab. Gadis itu kembali melanjutkan cerita tanpa menatap Zein. "Entah bagaimana Juan menjadi orang yang selalu ada saat aku dalam kesulitan. Pernah satu kali aku dikunci dikamar mandi, kemudian Juan datang menyelamatkanku bersama guru BK. Sejak itu tak seorangpun berani menggangguku lagi." ujar Rumi. Zein diam. Selama ini Zein merasa sudah menjadi orang yang paling dekat dengan Rumi. Tapi Zein bahkan tidak tau bahwa Rumi pernah mengalami masa sulit saat masih duduk di bangku SMA. "Bagaimana mungkin aku bisa disebut sebagai temanmu Rumi? Aku merasa sangat malu. Apalagi kejadian tidak menyenangkan yang kau alami itu alasannya adalah aku. Bodohnya aku tidak tau apapun soal itu. Aku sudah membuat masa remajamu benar-benar buruk Rumi, aku bahkan tidak menyadarinya." sesal Zein. "Jangan katakan itu Zein. Aku menceritakan kisah itu agar kau tau, Juan tidak sejahat yang kau pikirkan. Kejadian itu juga yang menjadi alasan mengapa aku begitu menyukai Juan." jelas Rumi. Zein kembali terdiam. Ternyata cinta Rumi kepada Juan sudah dimulai sejak mereka masih SMA. Zein pikir alasan Rumi menyukai Juan hanya karena Juan tampan dan terlihat seperti seorang badboy. Ternyata alasan Rumi tidak sesederhana itu. Bagi Rumi, Juan adalah penyelamat masa remajanya. Zein tidak bisa membayangkan jika selama masa sekolah dulu Rumi terus di bully oleh orang lain dan itupun alasannya karena dia. "Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya? Apa aku ini pantas disebut sahabat? Aku merasa sangat bersalah, Rumi." ujar Zein penuh penyesalan. "Juan yang selalu ada saat kejadian tidak menyenangkan terjadi padaku, membuatku punya perasaan lebih padanya. Tapi kenapa dia memperlakukanku seperti ini Zein? Kadang Juan seperti menginginkanku, kadang pula Juan mendorongku begitu jauh dari sisinya. Apa yang sebaiknya kulakukan Zein? Aku menyukainya." ujar Arumi getir. Arumi menangis sesenggukan. Zein yang tidak tahan melihat Rumi menangis, langsung memeluknya untuk memberikan ketenangan. Sama seperti cinta Rumi yang tidak pernah berbalas, cinta Zein pada gadis itu pun bertepuk sebelah tangan. "Sudahlah Rumi, seperti katamu Juan pasti punya alasan mengapa dia mengajak wanita lain ke pesta dan melupakan janjinya. Kalau kau yakin Juan laki-laki baik, maka percaya saja padanya." ujar Zein. Zein terpaksa menyetujui pemikiran Arumi demi menenangkan wanita itu. Zein tau Zein membohonginya. Tapi jika kebohongan itu mampu membuat Rumi sedikit lebih baik, maka tidak ada salahnya Zein berbohong. Sepanjang malam Zein menemani Arumi dan sepenuhnya melupakan Amora yang masih berada di rumah orang tuanya. Zein tidak peduli pada apapun. Bagi Zein, Arumi adalah orang yang harus Zein dahulukan di atas kepentingan lainnya. Dalam benak Zein, Amora bukan balita yang tidak bisa pulang ke rumah sendiri. Zein yakin Mora pasti sudah berada di rumah. Tanpa laki-laki itu sadar, Mora tidak membawa apapun selain tas tangan kosong yang Zein berikan sebelum mereka berangkat. *** "Siapa kau?" tanya Mora pura-pura tidak tau. Meski dengan suara bergetar, Mora berusaha terlihat tenang dan menatap mata dingin laki-laki itu. Laki-laki itu, yang tak lain adalah Juan, mendengus pelan. "Aku yakin kau mengenaliku Mora? Bukankah sebelum ini kita pernah bertemu?" ejek Juan. Juan semakin mendekat dan Mora perlahan-lahan mundur menjauhinya. "Sungguh aku tidak mengenalmu. Kau siapa? Aaah..." pekik Mora tertahan. Juan dengan gerakan cepat meletakan kedua tangannya disisi tubuh Mora dan membuat Mora terduduk di pinggiran kolam air mancur. Mora berusaha menjauhkan diri dan memberi jarak pada wajah mereka yang tadi nyaris bersentuhan. "Jangan bergerak Mora. Jika kau mundur lebih jauh lagi, maka aku tidak akan menangkap saat tubuhmu masuk ke dalam kolam." ancam Juan. Mora bergidik ngeri merasakan hembusan napas beraroma mint yang keluar saat Juan bicara. Jarak mereka terlalu dekat dan mau tidak mau Mora harus memalingkan muka untuk menghindari tatapan dingin Juan. "Apa sekarang kau sudah ingat siapa aku? Atau apa menurutmu jarak kita belum terlalu dekat hingga kau masih belum bisa mengingat wajahku dengan jelas?" sindir Juan setengah berbisik. Juan yang semakin memajukan wajah, mau tidak mau membuat Mora mendorong d**a laki-laki itu. Mora tengah membangun pertahanan diri dengan memberi jarak melalui tangannya. Juan tidak bergeming dan malah semakin memajukan tubuh. Mora yang semakin terdesak ke dalam kolam, menarik kerah baju Juan untuk menjaga keseimbangan agar tidak jatuh. "Sekali lagi, apa kau benar-benar tidak mengenaliku Mora?" tanya Juan pelan. "Aku mengenalimu. Kau laki-laki yang bertaruh dengan papa." jawab Mora. Tak ingin situasi jadi semakin rumit, akhirnya Mora memilih untuk mengalah. Juan langsung tersenyum dan membebaskan Mora dari kurungan tangannya. Sesaat Mora merasa lega dan bisa bernapas secara normal. Juan membuat Mora benar-benar kehilangan nyali. "Ikut aku." perintah Juan. Tanpa meminta persetujuan Mora, Juan langsung menarik Mora pergi. Mora ingin menolak, tapi tatapan tajam Juan, membuat Mora tidak bisa berkata apa-apa. "Apa yang harus kulakukan? Apa benar hidupku akan jadi b***k orang gila ini? Kenapa dia begitu terobsesi padaku? Siapa dia? Apa sekarang pelarianku sudah berakhir? Kenapa dia terus mencari keberadaanku?" batin Mora. Gadis itu sedikit kesulitan mengimbangi langkah Juan. Mora nyaris tidak bisa berpikir jernih. Seluruh tubuhnya dipenuhi kecemasan. Dalam keputusasaan, Mora berharap Zein akan kembali dan menyelamatkan hidupnya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN