Untuk sesaat, Mora dan Juan terdiam. Juan menatap Mora yang menunduk ketakutan. Juan menebak-nebak apa yang tengah dipikirkan gadis itu.
"Malam ini tidurlah disini. Kau bisa menguncinya jika kau merasa tidak aman. Besok pagi akan ku antar kau pulang. Berikan ponselmu. Kau dilarang menelpon siapapun mulai sekarang." ujar Juan.
"Aku tidak punya benda semacam itu. Ponsel terlalu mewah untuk seseorang yang sedang dalam persembunyian." balas Mora.
"Ternyata itu alasan kenapa aku kesulitan menemukanmu. Tapi itu lebih bagus. Dengan begitu kau tidak harus mendengar berita buruk tentang keluargamu jika aku mulai bertindak." ujar Juan.
Mora diam saja. Sebenarnya Mora ingin memaki, berteriak, dan mengutuk. Tapi kali ini Mora mendengarkan apapun tanpa berani melawan. Mora takut, perlawanannya yang tidak dipikir baik-baik, malah akan mencelakai dirinya sendiri. Begitu Juan meninggalkan kamar, secara spontan Mora langsung berlari kearah pintu dan menguncinya.
"Bagaimana ini? Apa yang sebaiknya kulakukan? Apa Zein mencariku? Apa sekarang dia sadar kalau aku tidak pulang ke rumah? Kenapa juga laki-laki itu bisa ada di pesta orang tua Zein? Terlebih, Reihan juga ada disana. Aku benar-benar merasa bodoh sekarang. Zein, kau dimana?" gumam Mora sembari memijat kepalanya yang tiba-tiba pusing.
Mora merebahkan diri setelah mencuci muka dan menghapus riasan. Tatapan gadis itu menerawang. Karena sudah terlalu malam, Mora berusaha keras untuk tertidur. Nyatanya, sulit bagi Mora untuk bersikap tenang meskipun pintu sudah di kunci. Bayangan Juan sambil tersenyum licik, selalu menghantui benak Mora.
***
Pagi harinya Mora bangun kesiangan. Semalam Mora hampir tak bisa memejamkan mata setiap kali teringat bahwa Mora tidur di rumah Juan.
"Aghhh" pekik Mora.
Mora langsung berteriak saat menyadari kalau dia tidak sendiri. Juan tengah duduk santai di dalam kamarnya sembari memainkan ponsel.
"Kenapa kau ada disini? Bukankah semalam pintu kamarnya sudah ku kunci?" tanya Mora.
Juan tertawa pelan. "Pagi Mora, ah salah seharusnya siang Amora. Kau tidak perlu terkejut untuk itu. Aku punya akses ke ruang manapun di rumah ini."
"Ke kenapa kau ada disini? Sejak kapan? Apa yang sudah kau lakukan padaku?" tanya Mora lagi.
Mora langsung menatap tubuhnya dengan horor. Mora takut Juan berbuat kurang ajar selama dirinya tertidur. Mora menyesali dirinya yang tidur terlalu nyenyak. Mora menatap tajam ke arah Juan menunggu jawaban. Seperti mengerti dengan tatapan Mora, Juan langsung tersenyum sinis.
"Tundukan pandanganmu Mora. Harus berapa kali kukatakan aku tidak suka wanita pembangkang." tegas Juan.
Laki-laki itu meletakkan ponsel sembari mendekati Mora.
"Ma-maafkan aku." ujar Mora terbata.
Mora perlahan mundur menjauh. Mora terpaksa meminta maaf untuk meredam amarah Juan. Mora tidak ingin kejadian seperti semalam terulang lagi. Membuat Juan marah, sama saja dengan membuka gerbang neraka untuk dirinya sendiri.
"Bersiaplah! Aku akan mengantarmu pulang." perintah Juan.
"Itu, aku bisa pulang sendiri." tolak Mora.
"Kau benar-benar gadis keras kepala. Kau tidak punya pilihan. Kau hanya harus menurut." tegas Juan.
"Pakai ini. Aku memberimu ponsel agar kau tidak melarikan diri. Ingat jangan sekali-kali memberikan nomor ponselmu pada sembarang orang. Terhadap rumah yang kau tinggali dan orang yang sudah menolongmu, aku akan menghancurkannya jika kau berniat kabur dan mengingkari perjanjian yang akan segera kau tanda tangani." lanjut Juan.
Mora membatu, enggan menerima pemberian Juan. Setelah memberi Mora ponsel, Juan keluar kamar dan meminta Mora menemuinya di meja makan.
"Dasar b******k! laki-laki gila! pecundang! Kenapa kau terus mengancamku? Aku salah apa? Bukan aku yang bertaruh denganmu? Kenapa kau begitu berambisi untuk mendapatkanku?" maki Mora.
Mora terus berteriak memaki Juan. Mora tidak peduli kalaupun Juan kembali dan mendengar semua ocehannya. Mora sangat marah. Mora marah sekaligus takut terhadap ancaman Juan. Mora tidak ingin Juan menyakiti Zein orang yang sudah menolongnya.
Tak ingin lebih lama berada di rumah Juan, Mora bergegas mandi dan segera menemui laki-laki itu. Juan sedang menyantap makan siangnya saat Mora datang.
"Duduk dan makanlah Mora. Ingat jangan coba-coba untuk memancing emosiku." ujar Juan.
Mora yang semula ingin menolak, langsung mengurungkan niat dan berusaha duduk dengan nyaman. Meskipun enggan, Mora tetap memakan makanannya. Mora ingin pulang dengan aman. Lagipula jika Mora jadi wanita penurut, Juan akan lebih cepat membawanya pulang.
"Setelah ini kau harus menandatangani perjanjian yang sudah kita bahas semalam." ujar Juan.
Mora hanya mengangguk. Kentara sekali kalau Mora malas untuk bicara panjang lebar dengan Juan. Toh walaupun Mora mengatakan apa yang Mora inginkan, Juan tidak akan mendengarkannya.
Selesai makan Mora menandatangani surat perjanjian yang entah sejak kapan Juan siapkan. Terlebih dulu Mora membaca surat perjanjian tersebut. Mora tidak ingin jadi bodoh dan menandatangani surat perjanjian yang mungkin saja akan mengikatnya seumur hidup. Isinya hanya tentang kesepakatan yang sudah mereka buat semalam. Mora diberi waktu satu bulan untuk mempersiapkan diri sebelum tinggal di rumah Juan.
Sesuai janji, Juan mengantar Mora pulang ke rumah Zein. Mora benar-benar kalah, orang tua Mora ada dalam genggaman Juan. Jika Mora bertindak ceroboh, bisa saja Juan melakukan hal-hal buruk padanya atau pada keluarganya.
"Berhenti disini. Kita sudah sampai." ujar Mora.
Juan menatap rumah Zein dengan tersenyum sinis lalu menatap Mora dengan tatapan tidak percaya.
"Jadi kau tinggal disini? Sejak kapan?" tanya Juan penasaran.
"Sejak setahun yang lalu." jawab Mora.
Mora memilih jujur karena tidak ingin berdebat dengan Juan. Sekarang Juan malah tersenyum lebar sambil memainkan ujung rambut Mora.
"Permainanya jadi semakin seru Mora. Ah kenapa baru sekarang aku menyesal karena tidak pernah mengunjungi saudaraku itu. Kalau sekali saja aku berkunjung, maka aku tidak harus menghabiskan banyak usaha untuk menemukanmu." ujar Juan.
Mora menatap Juan bingung. Gadis itu menyingkirkan tangan Juan yang masih asyik memainkan ujung rambutnya.
"Apa maksudmu? Saudara? Siapa?" tanya Mora.
"Kemarilah Mora kau harus mendengar sesuatu." perintah Juan.
Sedikit takut Mora menggeser posisi duduknya ke arah Juan. Mora ingin tau apa maksud ucapan laki-laki itu. Juan langsung menarik kepala Mora dan mendekatkan mulutnya di telinga Mora.
"Ingat nama ini baik-baik Mora. Namaku Juan Bahtiar Luis. Jangan pernah lupakan nama itu." ujar Juan dengan seringai menakutkan.
Mora yang sangat terkejut, langsung menjauhkan diri dari Juan.
"Jadi kau Juan? Juan saudara tiri Zein?" tanya Mora gugup.
Juan mengangguk. Laki-laki itu tertawa pelan melihat wajah Mora yang begitu panik.
"Bagaimana ini? Kenapa papa bisa terhubung dengan Juan? Takdir seperti apa ini? Aku yang dikejar Juan malah berakhir di rumah Zein saudara tirinya. Bagaimana bisa?"
Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di kepala Mora. Gadis itu turun dari Mobil dengan gontai. Juan melambaikan tangan dan meminta Mora tinggal di rumah Zein dengan baik. Juan juga berencana akan mengunjungi Mora dalam waktu dekat.
***
Mora yang masih syok tak memperhatikan keadaan dengan baik. Hampir saja Mora menabrak Zein jika saja Zein tidak segera menyadarkannya.
"Kau baru pulang? Siapa yang mengantarmu? Sepertinya aku mengenali mobil itu? Ah mana mungkin, lagipula dia bukan satu-satunya orang yang punya mobil seperti itu." tanya Zein.
"I-itu..." Mora gelagapan.
Mora bingung mencari alasan apa yang sebaiknya dikatakan pada Zein. Jika Mora berterus terang, Mora takut akan semakin memperkeruh hubungan Zein dan Juan. Mora juga takut Juan tidak akan tinggal diam jika Mora membocorkan sesuatu pada Zein.
"Aku tidak peduli kau dari mana dan bersama siapa Mora, tapi setidaknya kau harus memberi tau orang rumah dimana keberadaanmu." lanjut Zein.
"Semalam saat kau meninggalkanku, aku kebingungan sendiri. Apalagi aku tidak punya uang untuk naik taksi. Beruntung aku bertemu teman lama dan dia mengajakku bermalam dirumahnya." bohong Mora.
"Aku minta maaf. Semalam aku tidak bisa membiarkan Rumi pergi dalam keadaan hati yang buruk, jadi aku menemaninya. Siapa temanmu itu? Bisa jadi aku juga mengenalnya." tanya Zein.
"Sudahlah kau pasti tidak akan mengenalnya. Lagipula tidak ada yang terjadi. Kalau begitu aku ganti baju dulu, rasanya risih masih menggunakan baju semalam." potong Mora cepat.
Zein hanya mengangguk dan membiarkan Mora pergi. Sesampainya di kamar, Mora kembali melamun.
"Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Kenapa orang itu harus Juan? Kenapa harus orang yang begitu dibenci Zein? Jika nanti aku berakhir bersama Juan, apa yang akan Zein pikirkan tentangku?" gumam Mora sedih.
"Bagaimanapun Zein tidak boleh tau kalau orang yang selama ini mencariku adalah Juan. Aku tidak tau apa yang akan dilakukan Zein jika dia tau bahwa Juan adalah orang yang bertaruh dengan papa. Bisa jadi Zein akan menjadikanku senjata untuk menghancurkan reputasi Juan di hadapan ayahnya." putus Mora.
"Aku juga tidak boleh membuat hubungan dua orang itu semakin rumit. Apapun yang terjadi aku harus merahasiakan semuanya dari Zein. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan Juan. Waktuku tidak banyak. Aku hanya punya waktu satu bulan bersama Zein. Selama waktu itu akan kulakukan yang terbaik untuk Zein sebagai tanda terima kasihku padanya juga sebagai bentuk rasa kagum yang diam-diam kusimpan untuknya." ujar Mora pada diri sendiri.
Bersambung