"Baru deketin?"
Ammar mengangguk.
"Gue kira mau beneran."
Yang lain terbahak. Ammar hanya terkekeh kecil. Ia melipat lengan kemejanya. Sementara Chayra tampak memerhatikan. Ada banyak perubahan pada diri Ammar. Entah dari segi fisik yang tampak berisi, keren dan maskulin? Hahahaha. Hal yang mungkin dulu terlewatkan oleh Chayra. Sebagian besar lelaki memang lebih keren ketika sudah mapan seperti ini. Yeah, itu hal yabg sulit dinafikan memang. Uang juga mempengaruhi untuk kasus ini.
"Baru kenal beberapa hari," ceritanya. Ia biasanya jarang bercerita tentang perempuan. Upik langsung berseru-seru ceria mendengar itu. Secara, mengenal Ammar hampir sepuluh tahun dan baru kali ini bercerita tentang perempuan.
"Dulu hidup lo tuh monoton. Kerjaannya, kalo gak kerja di bimbel, kuliah terus tidur di ruang BEM."
Ammar tertawa. Banyak temannya yang memang hapal kebiasaannya. Bastian juga tak menampik. Ammar kan termasuk anak organisator ulung. Sementara Bastian? Tidak semua organisasi harus dimasuki. Ia hanya masuk ke organisasi tertentu yang ia minati dan bisa ia pertanggungjawabkan. Kalau Ammar? Hahaha. Semua organisasi dijelajahi. Salutnya, ia bertanggung jawab dengan apapun yang diambilnya. Meski terkadang kuliah yang menjadi korban. Rata-rata anak organisasi seperti Ammar memang begitu.
"Eh tapi lu beneran pernah naksir Fara atau Adiba sih?"
Ammar tergelak. Aah ini sungguh pertanyaan yang rumit. Kalau sejak pertama....
"Fara," sahutnya yang disambut riuh lagi oleh Upik. Upik memang tampak ceria di depan teman-temannya. Ia menyimpan dukanya dalam-dalam.
"Anak-anak satu kampus juga banyak kali yang naksir si Fara," celetuk Bastian. Itu sudah bukan gosip langka. Saking populer namanya Fara. Bahkan tiap akan memasuki organisasi, semua orang akan mencari-cari namanya dan selalu sukses menjadi pusat perhatian.
"Tapi pada akhirnya hanya akan menjadi perasaan kagum semata," tutur Ammar. Upik masih tertawa. Bastian terkekeh kecil.
"Itu alibi untuk tidak mau mengakui kepengecutan atau--"
"Lebih bagus disebut sadar diri, Bas."
Bastian tertawa mendengarnya. Ammar pun terkekeh. Soal cewek-cewek semacam ini memang rumit.
"Tapi apa kabar Fara ya?" ia baru menanyakan hal itu sekian lama.
"Dari pada ngomongin Fara, lebih baik, lo omongin tuh cewek mana yang baru lo deketin," seru Upik. Ia mengusung wacana yang menurutnya lebih seru. Seisi mobil tertawa dibuatnya. Memang tidak ada yang bisa menandingi keceriaan Upik kecuali Nabila. Mulut cewek satu itu juga gak kalah ganasnya. Sementara Chayra memang tipe kalem. Lebih tepatnya, agak kalem. Tapi hari ini, ia tak begitu fokus dengan bahan pembicaraan sosok perempuan yang katanya menarik hati Ammar. Chayra tampak menatap ke arah jendela. Ia termenung.
Tadi pagi, ibunya kembali menghubungi dan memintanya untuk menemui keluarga Adamas di Jakarta. Keluarga lelaki itu memang tinggal di Jakarta. Besok, Adamas akan datang menjemputnya. Lamaran memang belum diterima. Ayah Chayra tak mau menerima kalau anaknya masih keberatan. Apalagi kan pernikahan memang tidak gampang. Meski istrinya sangat memberikan lampu hijau. Orangtua manapun tidak akan mau melewatkan sosok menantu seperti Adamas.
Cowok itu, mapan, ganteng, bersahaja, baik sekali, patuh pada orangtua dan cerdas. Kalau dilihat dari karakteristiknya, tentu saja Chayra tak mau melewatkan lelaki seperti ini. Namun ternyata yang menjadi adalah terbesar justru hatinya. Ia terlampau berat menerima lelaki itu karena takut mengecewakan jika cinta itu tidak tumbuh setelah pernikahan. Ketakutan ini yang membuatnya was-was untuk terburu-buru mengambil keputusan.
Ada yang bilang kalau cinta bisa datang karena terbiasa. Tapi tidak mudah bagi Chayra. Dulu, ia pernah berpacaran lama. Berawal dari tatapan mata pertama dan sudah membuatnya jatuh cinta. Perasaan pun berbalas meski agak canggung karena setelah saling mengenal, mereka cukup lama bersahabat. Mungkin enam bulan? Ya selama satu semester pertama, ia berteman dekat dengan lelaki yang ia sukai sejak awal. Lalu berpacaran hingga lulus namun akhirnya kandas dengan alasan yang sangat sulit terdefinisikan. Kisah cinta yang tak mungkin bersatu apapun alasannya dan perbedaan ini lah yang menjadi kendala utama. Karena Chayra juga tak bisa meninggalkan hal yang sangat berharga untuk hidupnya. Keputusan sulit yang harus diambil namun pada akhirnya memang akan tetap terpisah. Lalu kini?
Bisa dibilang, ia sepertinya memang masih menyimpan perasaannya pada lelaki itu. Mungkin karena ia bagai menemukan sosok lelaki terbaik yang ingin ia jadikan pasangan selamanya. Namun perbedaan yang kian besar membuatnya tak bisa bersatu dengan lelaki itu. Sementara itu, Adamas datang dengan segala kesempurnaannya. Tapi ternyata tidak bisa mengalahkan lelaki biasa yang pernah ada dihati Chayra. Ataukah masih ada sampai sekarang?
@@@
"Chaiy, ada cowok di bawah!" tutur Mbak kosnya.
Chayra menyahut dari dalam kamar sembari mengenakan hijabnya dengan cepat. Kemudian mengambil tas dari atas nakas. Kemarin mereka hanya makan-makan sebentar usai menjemput Ammar. Lalu Bastian langsung ke apartemen dan Chayra serta Upik diturunkan di stasiun Tebet lagi. Mereka memang tidak bisa bersama cukup lama karena Bastian masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor.
"Lama, Daeng?" tanyanya. Ia muncul sambil membuka pacar kecil dan membawa sepatunya. Lalu ia menaruhnya di lantai dan Adamas menunggunya dengan tersenyum kecil. Tak lama, keduanya berangkat dan pamit pada ibu kos.
"Aku pikir kamu gak mau," tutur Adamas. Ia mengira kalau Chayra akan menolak. Entah dengan alasan sibuk di kampus atau semacamnya. Itu bisa saja terjadi kan?
Chayra menghela nafas. "Setidaknya aku tak boleh pergi dengan prasangkaku sendiri," ungkapnya. Ia mungkin akan menerapkan sedikit ilmunya untuk mencari jawaban atas lamaran lelaki ini. Maksudnya, menerka dari Allah. Selama beberapa minggu sudah ia istikharah kan tapi masih belum yakin. Ia bisa saja salah menilai keraguannya sendiri atau memang keraguan itu berasal dari Allah. Itu sangat sulit diterka bukan?
"Memutuskan untuk mengenalku lebih dalam?"
"Bisa dibilang begitu."
Adamas tersenyum kecil. "Aku kira aku telah cukup mengenalmu. Tapi ternyata tidak ya."
Chayra hanya berdeham. Ia biarkan saja Adamas membuka pintu untuknya. Sikap manis yang sesungguhnya membaut Chayra was-was. Ia belum siap jika harus jatuh cinta tapi....
"Aku mungkin terlihat agak lancang kepadamu. Sikapku yang dulu pada perempuan, sudah mulai ku kurangi. Maksudnya, sikap-sikap yang mungkin bisa membuat mereka salah berpikir."
"Termasuk padaku?"
"Terkecuali padamu."
Adamas menjalankan mobilnya dengan santai. Dari Depok ke Jakarta tidak terlalu jauh kalau yang dituju adalah Jakarta Selatan. Ini kan Jakarta Pusat.
"Dibandingkan denganmu, aku lebih banyak memacari seseorang."
Chayra mengangguk-angguk. Memang benar. Bahkan Chayra sudah berhenti sejak terakhir lulus. Baginya mungkin susah membuka hati atau memang ia yang ingin membatasi hal itu.
"Apakah kita bisa saling jujur soal ini?"
"Daeng duluan."
Adamas terkekeh. Kemudian lelaki itu menghela nafas panjang. Biasanya ia tak pernah membahas persoalan ini dengan perempuan yang ingin ia dekati atau awal-awal berpacaran dengan seseorang. Karena para mantannya tak pernah membicarakannya. Kalau kali ini kan jelas berbeda. Chayra ia ajak untuk menikah bukan pacaran. Tingkatannya sudah jelas setinggi itu.
"Aku pertama kali pacaran waktu SMA dengan beberapa perempuan tapi tidak dalam waktu yang sama. Satu waktu hanya satu."
"Ada berapa?"
Adamas tersenyum kecil. "Hanya dua. Waktu kelas X dan kelas XII. Lalu berlanjut lagi saat kuliah dengan perempuan kedua hingga putus di awal tahun kuliah."
Chayra mengangguk-angguk. "Daeng waktu itu kuliah di Malaysia kan?"
Adamas mengangguk lagi. "Aku sempat pacaran mungkin dua sampai tiga perempuan."
"Mungkin?"
Adamas tertawa. Ia memang agak lupa karena masa itu sudah lama. Di sisi lain, tak begitu berkesan makanya cepat putus.
"Yang aku ingat, pacaran di semester tiga, lalu semester empat dan semester terakhir."
Chayra mengangguk-angguk. Kalau ia jelas, saat kuliah hanya bersama satu lelaki. Saat SMA juga hanya satu lelaki. Saat SMP juga satu lelaki. Hahaha.
"Lalu saat S2 gak sempat pacaran."
Chayra terkekeh.
"Kuliah double-degree itu ternyata cara ampuh melupakan urusan asmara."
Chayra mengangguk-angguk. Kuliah satu jurusan saja sudah lelah apalagi dua. Ia tak terbayang dengan kesibukannya.
"Lalu yaaa setelah membangun startup, kamu tahu lah apa yang terjadi."
"Empat tahun terakhir?"
Adamas mengangguk-angguk. Kurang dan lebihnya ia memang berpacaran dengan perempuan terakhir selama itu. Perempuan yang bisa dibilang sangat berbekas dalam ingatan.
"Kamu? Aku hanya mendengar satu lelaki yang kamu pacari dari Tante. Tapi dari sisimu, bisa jadi jumlahnya lebih banyak."
Chayra tertawa. Tapi ia juga tak menyangkalnya. Asumsi Adamas sangat benar.
"Satu saat SMP dan satu saat SMA."
"Satu lagi saat kuliah?"
Chayra mengangguk-angguk.
"Berarti, satu untuk seumur hidup setelahnya?" candanya yang membuat Chayra tertawa. Ia juga inginnya begitu.
"Aku pikir akan terlihat mengerikan tapi ternyata tidak ya," ia berdeham lalu melirik Chayra. "Kamu cukup lama berpacaran dengan dia? Maksudnya yang terakhir? Dan kenapa memutuskan untuk tidak pacaran lagi? Jika bukan karena urusan agama."
Chayra menghela nafas. "Tiga tahunan lebih bersama." Chayra tampak berpikir. "Putus salah satu faktornya pasti karena Allah dan itu benar-benar urgensi yang tak bisa diganggu gugat. Selain itu...."
"Selain itu?"
"Susah mencari yang sepertinya," ungkapnya jujur. Yang tentu saja membuat Adamas kecewa mendengarnya. Apalagi saat menoleh dan ia mendapati Chayra dengan tatapan yang kurus ke depan. Masih ada perasaan kah?
"Kamu masih berharap untuk kembali?"
Chayra menggelengkan kepala. "Sudah tak mungkin."
"Lalu?"
Chayra menghela nafas. Tak menjawab.
"Apa ada hubungannya dengan beratnya menerima lamaranku?"
Itu sungguh insting yang sangat jitu. Apalagi Chayra hanya diam. Tak kunjung memberikan jawaban. Ini jelas membuat kepercayaan diri tinggi milik Adamas runtuh seketika. Modal gampang, mapan, dan cerdas ternyata tak cukup untuk bisa menarik hati Chayra. Apalagi ketika hati itu telah tertarik pada hati yang lain.
"Itu sudah lama, Daeng," ia mencoba berkilah. Meski terasa percuma bagi Adamas. Karena mata Chayra berbicara lain. "Aku justru sedang berupaya untuk menghilangkan semua kecendrungan. Maksudku, aku tak ingin menjadikan ini alasan untuk menolak Daeng. Aku juga tak mau menjadikan ini alasan untuk menerima Daeng. Aku justru sedang membuat diriku untuk melihat segala hal. Tidak terperangkap pada dua sisi yang selama ini sulit ku lepas. Aku ingin keputusan ini murni dari Allah bukan karena hatiku."
Adamas menoleh. Tersentuh dengan kata-katanya. Ia berusaha tersenyum kecil.
"Kalau begitu cobalah mengenal Daeng. Kita tidak pernah tahu bagaimana akhirnya, Ay. Meski aku sangat berharap padamu."
@@@
Keluarga yang sangat besar. Adamas bisa dibilang besar di Jakarta meski aslinya Makassar. Dan hari ini ada acara di keluarganya. Adik perempuannya baru saja melahirkan. Chayra sudah mengirimkan mandi beberapa hari yang lalu. Tentu saja inisiatif sendiri sebelum Mamanya mengomel. Ia juga tak enak hati kali terlambat mengirimkannya karena perempuan itu baik sekali kepadanya.
Ibu Adamas mengenakan kerudung. Adik perempuannya masih pakai-lepas. Adik iparnya baru memantapkan diri untuk berhijab. Sebetulnya, ibu dan ayah Adamas banyak mengajarkan agama. Namun anak-anaknya lebih banyak terpengaruh lingkungan hidup di Jakarta di mana banyak anak yang bebas hidup. Maksudnya, tidak menjadikan agama sebagai dasar kehidupan dan mengikuti apa yang mereka sebut dengan perkembangan zaman.
Kehadiran Chayra tentu saja disambut ceria. Kabar Chayra yang sudah dilamar Adamas tentu saja diketahui keluarga besar Adamas. Keluarga lelaki itu beragam. Ada yang memang bergaya sosialita tapi ada juga yang bergaya sederhana. Seperti bapak dan ibu Adamas. Keluarga mereka sebetulnya bukan pengusaha. Tapi hanya pegawai pemerintahan yang kebetulan memiliki jabatan saat ini. Ikut terkenal karena kesuksesan anaknya di dunia start up digital. Karena berhasil mengembangkan sebuah market place digital yang populer di Indonesia saat ini.
"Masih jadi dosen asisten, Tante," jawabnya pada salah satu Tante Adamas. Ia mengenalnya karena sering melihatnya bertamu ke rumahnya di Makassar sana.
"Tapi dengar-dengar mau lanjut S3 lagi di UI, Chaiy."
Chayra mengangguk-angguk. "Insya Allah, Tante."
"Kalau begitu jangan lama-lama jalan sama si Adamas. Udah makin tua loh dia," candanya yang membuat Chayra terkekeh kecil. Chayra juga merasa kalau usianya tak lagi muda. Sudah 27 tahun di bulan ini, bukan kah tidak muda? Muda dalam kategori usia kepantasan untuk menikah menurut sudut pandang masyarakat. Meski Allah berpendapat lain untuk persoalan ini. Karena persoalan jodoh memang urusannya.
Chayra banyak mengobrol dengan para Tante dan juga sepupu-sepupu Adamas. Secara garis besar, keluarga Adamas itu memang keluarga baik-baik. Namun dibandingkan dengan kesuksesan Adamas saat ini, jelas membuat Chayra agak ciut nyali. Adamas kan tidak hanya sukses, mapan dan juga populer. Banyak perempuan cantik di luar sana yang otomatis tertarik padanya. Entah artis muda, artis populer, miss Indonesia, Puteri Indonesia dan ajang kecantikan lain di mana mereka tak hanya cantik tapi juga cerdas. Lah? Dibandingkan dengan Chayra.
Ia merasa jauh dari cantik, itu pertama. Ia hanya gadis biasa dengan profesi karir yang masih menanjak dan tentu saja pendapatannya jauh dibandingkan para perempuan-perempuan itu. Keluarganya juga sangat sederhana. Apa yang membuat Adamas memilihnya jika dibandingkan dengan apapun, ia sangat jauh dibandingkan perempuan-perempuan itu termasuk mantan kekasihnya?
Chayra menhhela nafas. Ia menoleh ke arah Adamas yang tampak mengobrol dengan para lelaki. Kemudian beralih pada ibu dan adik-adik Adamas. Bukan hanya Adamas yang sukses. Adiknya juga sukses-sukses. Ada yang dokter pula. Lah ia?
Dosen sepertinya, gajinya tak seberapa. Memang terkadang mendapa insentif untuk penelitian atau penerbitan jurnal tapi nominalnya sangat jauh dibandingkan dengan mereka. Lalu gampang juga sama. Rasanya Chayra jenuh meneruskan narasi yang sama. Ia tiba-tiba menjadi minder saat berada di sini. Ada apa dengannya?
"Chaiy! Makan!"
Chayra mengangguk-angguk. Ia beranjak dan membantu merapikan meja yang berisi banyak lauk-pauk. Setidaknya ini lah yang bisa ia lakukan. Ia duduk canggung saat makan bersama. Seperti bukan bagian dari mereka. Padahal itu hanya isi pikiran Chayra saja. Orang lain tak beranggapan seperti itu.
"Kamu gak nyaman?"
Adamas bertanya saat melihat Chayra lebih banyak sendirian. Tapi Chayra hanya tersenyum kecil. Mencoba membohongi nurani. Suasana semakin terasa aneh bagi Chayra saat mantan Adamas datang ke rumah. Chayra tentu tak berpikir sama sekali kalau perempuan cantik itu akan datang. Bahkan tak ada yang menduganya. Chayra hanya menatap dari kejauhan. Perempuan itu tidak tinggi-tinggi amat. Yaa hampir sama lah dengan Chayra. Kalau urusan cantik, bisa dibilang cantik. Meski ini juga persoalan persepsi. Tapi gayanya jelas seperti seorang perempuan muda yang cantik, berkelas dan cerdas. Berbeda dengan Chayra yang mungkin tidak akan tahu kalai berprofesi sebagai dosen.
"Siapa yang ngundang?" celetuk salah satu sepupu Adamas usai ternganga. Mungkin kaget.
"Dia kan masih temennya Amita," sahut yang lain. Amita itu, adiknya Adamas.
"Cantik yah," komen salah satu Tante. Chayra hanya makin menyembunyikan diri kalau melihat ini. Dari kejauhan pun, ia bisa melihat bagaimana serasinya kedua orang itu. Tentu saja perempuan itu dan Adamas.
Cantik, berkulit putih bersih, hidung mancung, rambut panjang, cerdas dan berkelas. Ia juga membangun start up-nya sendiri. Seolah tak mau kalah dengan Adamas. Dari segi manapun, Chayra sukses kalah.
"Kenapa kemarin putus?"
"Tante mana mau."
Celetukan itu disambut anggukan.
"Katanya kasihan Adamas kalau harus menahan hati karena foto istrinya berbikini, tersebar di mana-mana."
"Menghilangkan jejak digital itu kan tidak mudah," tutur kakak pertama dari keluarga ibu Adamas. Perempuan itu terlihat tidak menyukai keberadaan mantan Adamas. "Mau orangnya secantik apapun, kalau seperti itu ya susah. Kecuali bertobat."
"Dan lagi, kemarin Adamas udah minta untuk menutup aurat, dia gak mau. Diajak kebaikan tapi malah gak mau. Ya bayangin aja lah, Tan. Kalau diajak mengenakan kerudung secara baik-baik aja gak mau, gimana Adamas bisa mengajarkan urusan agama yang lain? Karena urusan menikah kan bukan hanya karena cinta. Tapi butuh kerja sama dua pasangan untuk memperdalam agama. Bukan hanya salah satunya."
"Kalau sama Chaiy kan insya Allah. Sebagian besar dari kita udah lama mengenal kekaurga besar Chaiy. Meski keturunan belum tentu sama dengan leluhurnya. Tapi kelihatan anaknya baik-baik. Lihat lah Chaiy, gak kakek dandan setebal itu, bajunya menutup aurat, gak ada lekuknya. Sopan lagi anaknya. Lembut tutur katanya. Di mana-mana akhlak dan agama itu bakalan mengalahkan perempuan yang kayak begitu kok. Meski gak ada yang sempurna. Tapi kalau ada yang lebih mudah untuk diajak dalam persoalan agama kenapa harus mencari perempuan yang tidak bisa dipaksa bahkan untuk kewajiban dalam agamanya sendiri?"
@@@