"Lo yakin?"
"Gue udah gak tahan, Babil. Mau sampai kapan coba? Biar begini-begini, gue takut mati dalam keadaan kayak gini. Oke, gue bisa bilang, hampir semua konsultan itu bulshit. Tapi apa-apa pasti masih bisa kita tangani tanpa harus membohongi kan?"
Nabila terdiam. Ya memang benar apa yang dikatakan Echa. Tapi ini memang agak-agak mengerikan.
"Jadi, lo mau ikut gue atau enggak?"
"Lo gak akan dengar si Ferril?"
"Dia siapa?"
Nabila terbahak melihat responnya. Sejujurnya, ia tergoda dengan tawaran Ferril tapi ia takut Echa ikut merasa terbebani. Dari pada sahabatnya malah merasa hutang budi dengan Ferril kan lebih baik ia tolak. Meski rasanya juga berat.
"Jadi, langkah dan rencana lo selanjutnya?"
"Demo menolak untuk membohongi pemerintah dan segala macamnya. Kalau kita sampai dituntut, lo kira, kita gak kena? Kita cuma orang kecil, Babil. Bisa mati kalau dihajar. Kalau bos? Dia masih punya duit. Itu kan s****n namanya! Dan ia bisa saja lepas tangan!"
Echa berhasil meracuninya dengan kata-kata. Tapi memang benar. Setidaknya mereka masih punya nurani karena tahu kalau ini salah. Meski di sisi lain, mereka juga takut luar biasa. Apalagi saat laporan rutin bulanan dikirim Echa secara apa adanya pada klien. Maksudnya, hasil murni dari analis yang bekerja di laboratorium mereka. Biasanya kan hasilnya selalu diminta untuk dimodifikasi oleh si bos pada Echa. Tujuannya? Agar data-data dari parameter-parameter pengukuran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan klien sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Padahal realitanya tidak begitu.
Contoh sederhananya, ada sebuah pabrik semen yang menjadi klien langganan di konsultan di mana Echa bekerja. Pabrik itu memang memiliki kewajiban untuk melakukan pengukuran uji lingkungan seperti uji emisi, udara ambien dan air limbah yang dihasilkan oleh pabrik tersebut. Di dalam uji emisi, terdapat beberapa parameter-parameter yang memang harus diukur oleh perusahaan sebagai tanggung jawab mereka terhadap masyarakat dan pemerintah. Adapun parameter-parameter yang diukur itu biasanya, gas-gas seperti sulfur dioksida, karbon dioksida, karbon monoksida dan lainnya. Apabila hasil pengukuran dari masing-masing parameter ternyata melebihi batas yang telah ditetapkan oleh pemerintah, maka terindikasi melakukan pencemaran lingkungan dan juga pelanggaran hukum. Perusahaan seharusnya mendapat teguran dan melakukan perbaikan pengelolaan lingkungan agar parameter-parameter tadi tidak melewati standar yang telah ditentukan pemerintah. Namun yang terjadi pada konsultan di mana Echa dan Nabila bekerja, hasil pengukuran sudah dimodifikasi sehingga perusahaan yang seharusnya bertanggung jawab atas pencemaran udara yang terjadi jadi tidak perlu bertanggung jawab. Padahal ini akan merugikan masyarakat karena akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan. Pencemaran udara biasanya akan menyebabkan penyakit-penyakit pernafasan pada manusia. Yang paling rentan tentu saja anak-anak, lansia, ibu hamil dan orang-orang yang memang mengidap gangguan pernafasan. Ketika konsultan melakukan modifikasi data maka yang terjadi tanggung jawab itu lepas dari perusahaan. Di sisi lain, ada pertanyaan kenapa konsultan melakukan ini. Kenapa? Jawabannya hanya satu, karena tidak mau kehilangan klien. Kalau mereka kehilangan klien, mereka akan kehilangan uang. Sungguh siklus hidup yang mengerikan bukan?
Sementara itu, Echa dan Nabila sudah lelah terus melakukan kebohongan publik. Bisa dianggap demikian karena itu lah yang terjadi. Echa sudah bergerak dengan menyatakan penolakannya. Ketika perempuan itu tegas, hari iru, bosnya tak berkutik. Tapi besokmha terulang lagi hingga satu minggu kemudian, surat Echa diskors pun turun. Hanya berselang satu hari, surat diskors untuk Nabila juga turun. Surat ini hanya peringatan sebelum keduanya dipecat dan ini tentu saja membuat keduanya pusing kepala. Ketika melawan nurani, mereka juga tak tenang memakan gaji. Tapi ketika terjadi hal semacam ini, uang untuk makan berkurang bahkan bisa hilang. Apakah manusia bisa hidup tanpa uang? Dengan perhitungan ekonomi tentu sulit. Tapi jika memakai jalan Tuhan, maka bisa.
"Kayaknya gue harus keluar."
Itu obrolan terakhir sebelum bertemu Ferril esok harinya. Karena Nabila merasa buntu, ia hanya bisa merasa kalau Ferril barangkali membantu. Namun setelah bertemu Ferril, diesoknya lagi, Echa datang lagi ke apartemennya.
"Mau usaha apapun dengan nurani, akan tetap buntu kalau kita tetap di sana, Babil. Gimana kalau kita ketemu jurnalis itu? Setidaknya gue pernah dapat kartu namanya."
Kemudian ia mengambil kartu nama itu dari dompetnya yang lusuh.
"Lo yakin?"
Nabila masih takut sebetulnya. Tapi tak ada jalan lain. Mereka harus bergerak sebelum benar-benar terlambat.
"Meski gak berefek, minimal kebenaran yang kita bawa akan dicatat Allah, Bila. Dan lagi, sebelum keluar, kita harus melakukan sesuatu. Mau hancur atau tidak, hanya bisa pasrah. Yang penting sudah usahakan semuanya dan sisanya, kita hanya bisa meminta pertolongan Allah."
Itu kata-kata yang sangat dalam.
@@@
Pertolongan Allah menjadi jalan terakhir. Karena usaha sudah mereka gaungkan. Meski yah masih dalam penyelidikan dan mungkin akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
"Kalau seandainya kita berdua dipecat, lo gimana?"
"Ya udah," tutur Echa. Keduanya duduk di warung makan sebelah stasiun. Capek juga usai menyambangi seorang perempuan jurnalis di kantornya. Namanya Zakiya. Echa awalnya tidak mengenalnya tapi mengenal temannya. Lalu malah dipertemukan dengan perempuan itu. "Cari kerja lagi. Hidup kan harus terus berjalan. Lo gimana?"
"Ya sama."
"Lo ambil tawaran Ferril?"
Nabila menggeleng. "Kedua kalinya bakalan gue tolak."
"Kenapa?" tanyanya. "Kalo lo mau nerima ya ambil aja, Babil. Gimana pun itu kan dia sendiri yang nawarin. Bukan karena gue."
"Mau secara langsung atau tidak, pasti ada hubungannya dengan elo lah."
"Dia kayaknya tulus mau bantuin lo."
Nabila tertawa. "Lo gak dalam mode cemburu kan?"
Echa menjulingkan matanya. Tentu saja tidak. Ia justru tidak memikirkan hal itu.
"Gue udah minta tolong temen sih. Temen kampus. Kalau lo mau, nanti gue bakal minta tolong dia."
Echa mengangguk-angguk. Sepertinya akan bagus juga, pikirnya. "Kalaupun harus rehat...."
"Lo keberatan ya?"
Echa berdeham. Tentu saja. Ibunya akan marah kalau sampai tahu. Perempuan itu mana perduli mau uang yang dibawa Echa itu haram atau kah halal. Yang penting kan makan. Sementara Echa tak bisa begitu. Ia hanya berpikir tentang kehidupan abadi setelah mati. Bukan kah itu yang harus ia perjuangkan?
"Kalau gue, mungkin akan jual tanah peninggalan nenek. Gue punya sertifikatnya. Bahkan nenek ngewarisin itu secara langsung. Alih-alih dikasih ke bokap," tuturnya lantas menghela nafas. Lelah dengan persoalan keluarga yang tidak selesai. Ayahnya seorang koruptor. Terakhir menjabat sebagai Bupati. Ibunya? Hohoho. Perempuan sosialita yang berasal dari keluarga orang kaya itu memang doyan mencari suami. Kini entah dengan siapa lagi ibunya berpacaran. Nabila sama sekali tak perduli.
Echa menepuk-nepuk bahunya. "Setidaknya elo gak harus bertanggung jawab pada keluarga lo secara penuh."
"Yeah," sahutnya. "Jangan lupa kalo gue punya kakak dan adik yang gak berguna."
Echa tertawa. "Bukannya kakak lo udah nikah?"
"Berantem besar sama suaminya terus pisah rumah. Terus malah ngejar-ngejar duit gue buat dia buka rumah kontrakan. Kan k*****t. Mendingan kalo duit kontrakan itu juga ngalir ke gue. Lah ini? Kagak! Gue cuma dijadiin alasan doang biar bisa minta sama Oma."
Setidaknya nenek dari ibunya masih perduli. Bahkan kehidupan Nabila sejujurnya masih ditopang. Tapi ia berlagak mandiri. Uang dari sang nenek ditabung tersendiri. Siapa tahu ia butuh dana darurat. Dua saudaranya sama sekali tak diberikan oleh sang nenek. Bukannya sang nenek pilih kasih, tapi kedua orang itu memang tidak berakhlak. Meski neneknya yaaah memang agak-agak pilih kasih juga. Aaah gimana lah ini namanya. Nabila juga bingung mendeskripsikannya.
"Lo gak pulang aja ke Bandung? Oma lo pasti senang."
Nabila terkekeh. Tentu saja. Ibunya lan anak satu-satunya. Dan ia satu-satunya cucu yang disayang kalau dibanding dua saudara kandungnya.
"Gue iri karena setidaknya lo masih punya keluarga yang sayang sama lo."
Nabila menoleh. Sekacau-kacaunya keluarganya, ia jauh lebih beruntung dibandingkan dengan Echa yang hidupnya pun serba pas-pasan. Belum lagi tentang perbedaan pemikiran ornagtuanya tentang pendidikan. Echa lelah menghadapi hal itu. Rasanya ingin menyerah tapi bukan kah bersama kesulitan ada kemudahan?
Sabar adalah kunci. Meski hati juga bertanya-tanya, sampai kapan harus bersabar? Maka hanya Allah yang tahu jawabannya.
"Meski bukan keluarga, Ferril kan sayang sama lo, Cha," ingatnya yang membaut Echa mendengus. "Jadiin keluarga aja gimana?"
Echa langsung menoyor kepalanya karena berbicara sesembrono itu. Nabila tertawa. Kalau Nabila?
Tidak. Pernikahan, pasangan atau sejenisnya tidak ada dalam otaknya. Melihat pernikahan ibu dan ayahnya lalu kelakuan kedua saudaranya, membuatnya tak ingin menikah. Sekalipun ada yang telah lama menunggu.
@@@
"Yaaah! Lo gak ikutan? Beneran? Gak bisa izin? Sehari ajaaaa!"
"Sorry, Caay! Bener-bener gak bisa. Titip salam deh buat Ammar."
"Tapi nanti bisa ikut kan kalau kumpul-kumpul?"
"Gue usahain."
Chayra tersenyum kecil. Oke lah kalau begitu. Ia berhenti berjalan dan duduk di halte kampus. Tempat janjinya bertemu dengan Upik. Mereka akan berangkat dengan commuterline sampai Tebet lalu akan bertemu Bastian di sana.
"Nabila mana?" tanya Upik. Perempuan itu baru saja turun dari motor abang ojek.
"Gak bisa katanya."
"Yaaaah."
Chayra terkekeh. Mau bagaimana lagi. Ini juga bukan hari libur tapi hari kerja. Barangkali Nabila benar-benar sibuk jadi tak bisa mengambil izin.
"Ketemu Bas di Tebet ya," ingat Upik. Keduanya berjalan masuk ke commuterline dan ikut berdiri karena bangku terlihat penuh. Meski sudah jam setengah sebelas siang, commuterline masih penuh. Mungkin karena ke arah Jakarta. Akan berbeda kalau ke arah Bogor. "Udah lama gue gak ketemu, Bas," tuturnya yang dibalas kekehan milik Chayra. Ia lebih lama lagi. Semenjak lulus rasa-rasanya tak pernah bertemu lagi dengan lelaki itu. Mungkin karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sementara Upik kan masih bertemu beberapa minggu lalu. Kalau sebelum itu, Upik juga sudah tahunan belum bertemu dengan Bastian.
"Lo masih sering kirim pesan atau apa gitu?"
"Palingan di medsos. Bas sibuk banget kayaknya."
Chayra mengangguk-angguk. Ia dengar dari Nabila kalau Bastian sudah menjadi manajer sekarang. Wajar lah. Dengan posisi itu pasti akan sibuk sekali.
"Ammar keren banget ya. Gue lihat foto perkebunannya di medsos."
Chayra mengangguk-angguk. Ia juga melihat semalam. Sudah lama pula tak berkontak ria dengan Ammar. Dibandingkan dengan yang lain, rasa-rasanya ia yang jarang menghubungi kedua cowok itu. Yaah maklum lah. Chayra juga sangat sibuk sekarang.
"Ammar udah punya calon belum ya?"
Chayra tertawa mendengar itu. "Mau ngantri lo?"
"Kagak lah. Ya kali. Kak Chandra mau dikemanain?"
Chayra terkikik-kikik mendengar itu. "Masih aja. Heran gue. Kuat banget lo LDR-an."
Upik tertawa. "Tiga tahun itu sebentar banget menurut gue. Lo kan tahu gue sama dia udah lama banget pacaran."
"Kalo waktunya dipakai beli motor, udah lunas cicilannya kayaknya."
Upik terkikik-kikik.
"Uda lo gimana? Keberatan gak tuh kalau adiknya dipacarin tapi kagak dinikahin!"
"Asem!" tuturnya kemudian keduanya terbahak ria.
"Abisnya lama banget. Sepuluh tahun ada gak sih?"
"Sembilan kali ya? Apa delapan? Saking lamanya sampai gak terasa."
Chayra terkekeh. Memang benar.
"Lo sama si Daeng gimana?" ledek Upik.
Chayra menghela nafas. Ia masih belum mantap. Belum yakin. Masih ragu untuk melangkah. Karena persoalan menikah itu bukan hal yang mudah untuk diputuskan.
"Salah gak sih kalau gue mikir panjang? Secara, ini kan pernikahan. Gue gak mau menyesal seumur hidup."
Upik mengangguk-angguk. "Justru harus benar-benar dipikirin. Banyak juga yang akhirnya menyesal setelah buru-buru menikah. Lalu bercerai entah dengan alasan ekonomi atau orang ketiga. Dari artikel penelitian yang pernah gue baca, penyebab perceraian terbesar itu ya faktor ekonomi dan pengkhianatan."
Chayra tertawa mendengar kata-kata itu meski ada benarnya. "Kira-kira apa yang menjadikan faktor ekonomi sebagai alasan perceraian?"
"Itu sih gampang, Cay. Jawabannya hanya dua. Kalau bukan karena suaminya pemalas ya istrinya yang kurang bersyukur. Perbedaan sangat jelas juga dapat dilihat dari orang yang sudah berusaha mati-matian tapi rejeki seret. Itu kan berarti, dia udah usaha maksimal. Dengan orang yang kerjanya hanya rebahan. Itu perbedaan yang sangat signifikan. Gak jarang juga, faktor ibu yang harusnya jadi tulang rusuk malah jadi tulang punggung. Waah iti sih fenomena yang umum terjadi. Banyak yang akhirnya memilih bercerai. Tapi ada pula yang memilih bertahan dengan alasan anak."
"Jadi gue harus gimana untuk memastikan kalau secara ekonomi dan kesetiaan bisa terpenuhi?"
Upik tertawa. "Lo lebih tahu dari gue."
Chayra terkekeh. Ya memang sih.
"Menurut lo Daeng itu lelaki yang bertanggung jawab?"
"Melihat posisi dia sekarang, itu kentara, Cay. Terlalu mudah untuk dijawab. Daeng itu sosok yang pekerja keras. Itu berarti, dia juga gak akan biarin lo sendirian. Pasti menghidupi lo dengan sekuat tenaga."
Chayra menghela nafas. "Di keluarga gue ada yang suaminya pelit sama nafkah. Bahkan melihat istrinya bekerja, dia jadi numpahin semua urusan biaya rumah tangga ke istrinya."
"Itu sih sableng namanya. Di mana-mana yang namanya suami itu lah yang mencari nafkah. Bahkan jelas dalam agama kalau yang mencari nafkah itu suami. Mau istrinya bekerja atau enggak, gak akan mengurangi kewajibannya."
"Tapi seperti yang lo katakan tadi, fenomena yang terjadi saat ini memang begitu."
Upik mengangguk-angguk.
"Dengan kata lain, emansipasi wanita memang sangat pekat. Namun sayangnya, pertumbuhan semangat lelaki tidak dapat mengimbangi. Padahal, seharusnya mereka bekerja lebih giat. Ya memang tidak semua lelaki pemalas. Tapi beberapa ada kejadian seperti ini. Gue sih kasihan dan jangan sampai mengalami. Karena itu akan berpengaruh pada psikis si istri secara jangka panjang."
"Azab juga menanti diakhirat bagus suami-suami yang tidak benar-benar menafkahi keluarganya."
@@@
"Hei, Baass!"
Upik yang menyapa. Gadis itu bertoss ria dengan Bastian lalu duduk di sebelahnya. Sementara Chayra memilih untuk duduk di belakangnya.
"Nabila gak jadi?" tanyanya. Pasalnya yang muncul hanya kedua gadis ini.
"Nabila sibuk. Tau tuh orang. Tiap diajak kumpul susah banget," keluh Upik. Bastian terkekeh. Ia melihat Chayra yang tampak mengatur kursinya di belakang. "Omong-omong, Bas, mobilnya baru?" tanyanya yang sekaligus meledek. Bastian tertawa. Memang baru ia ganti.
"Gue gak bilang ke Ammar sih kalau kita pada jemput."
Upik mengangguk-angguk. "Ammar udah punya cewek belum sih?"
Bastian tertawa. "Dia gak pernah cerita."
"Masa?"
"Serius!"
"Yaaah gak seru."
Bastian terkekeh mendengarnya. "Lo kan tahu sendiri. Ammar dari dulu misterius. Urusan hati dipendam sendiri."
"Kecuali sama si Babil noh. Lo juga kan curhat sama si Babil."
Bastian tertawa. Ya dulu. Tapi sekarang sudah jarang. Bastian tak punya apapun untuk diceritakan.
"Kampus gimana, Cay?" tanyanya. Dari masuk tadi, Chayra belum bicara. Sibuk dengan ponsel pula. Upik berdeham.
"Kampus ada yang jagain," jawabnya yang membuat siapapun yang mendengarnya tertawa.
"Iya lah. Pak Toyib kan masih di situ. Tuh bapak-bapak bukannya pulang malah jagain kampus. Kasihan anak-bininya nungguin tiga kali lebaran kagak balik-balik," cerocos Upik uang tentu saja mengundang tawa.
Bastian berkonsentrasi pada kemudinya. Mobilnya baru masuk tol.
"Gue mau balik ke Padang loh, Bas."
"Hah?"
Upik tertawa. "Seriusan. Kali ini bener-bener pulang."
"Yah kenapa?" tanyanya. Agak-agak kecewa.
"Yaaa gimana ya? Nyari kerjaan kan gak gampang. Dan lagi, gak enak numpang hidup sama Uda gue. Dia juga kudu ngehidupin keluarganya. Mendingan sama orangtua. Meski nyusahin tapi gue anaknya gitu."
Aaaah. Bastian mengangguk-angguk. "Kapan balik?"
"Semingguan lagi lah."
"Buseet! Cepat amat! Terus lo baru bilang-bilang?!"
Upik tertawa. Namanya juga mendadak.
"Harusnya lo kasih tahu beberapa bulan sebelumnya lah."
Upik terkekeh. Ya kalau tidak segenting ini urusannya, ia tak akan kembali secepat ini.
"Mana si Ammar?"
Kini ketiganya baru saja tiba di pintu kedatangan. Katanya Ammar akan muncul di sini. Bastian juga sudah mengecek pesawatnya. Sudah tiba. Barangkali masih menunggu barang.
"Gilak. Anak petani yang satu itu gimana penampilannya ya sekarang?"
Bastian tertawa mendengar itu. Menurutnya, Ammar masih sama dengan yang dulu. Cowok itu tidak banyak berubah. Sama dengan pola pikirnya yang kadang tak masuk diakal.
"Nah itu tuh!" seru Bastian. Ia menangkap Ammar yang muncul dengan ransel dan koper kecil. Tak lupa sekotak oleh-oleh. Cowok itu tertawa lebar saat melihat kemunculan ketiga sahabatnya.
"Udah gue bilangin kagak usah jemput juga!" serunya lantas memeluk Bastian.
Haaah. Namanya juga sahabat. Pasti sempatkan bertemu karena rindu.
@@@