bc

Travelers Love Story

book_age12+
650
IKUTI
9.2K
BACA
self-improved
inspirational
drama
comedy
sweet
Writing Challenge
spiritual
colleagues to lovers
lecturer
friends
like
intro-logo
Uraian

Kisah lima anak manusia yang melintasi lima benua di dunia. Dengan lima kisah hidup yang berbeda. Dengan lima kisah perjalanan cinta yang berbeda. Dengan lima latar belakang hidup yang berbeda. Menyatukan mereka dalam sebuah perjalanan tak terduga yang hampir terlupa. Dikala janji saat kuliah akhirnya terlaksana setelah sekian tahun lamanya.

Di sana ada cinta. Di sana ada yang terluka. Tapi itu lah cara Tuhan membuat mereka bahagia. Melalui jalannya menempuh ribuan kilometer dari Indonesia. Dengan harapan, sepulangnya dari sana, semua luka itu terganti dengan bahagia.

Lima cinta yang bersemi di setiap lintasan benua yang dijejaki. Bermula dari Indonesia hingga Amerika. Menjejaki lima negara di dunia, dimulai dari Australia, Korea Selatan, Turki, Maroko hingga Amerika. Di Australia, ada kisah patah hati yang menjadi nyata ketika realita menguak kebenaran yang tak pernah diketahui sejak lama. Di Korea Selatan, ada yang menggalau ria karena sang mantan akan bertemu pangeran surga. Di Turki, ada yang dilema karena lamaran yang datang padanya. Di Maroko, ada yang marah pada Tuhan karena merasa ketidakadilan dalam mimpi yang harus ia kubur untuk selamanya. Terakhir, di Amerika, ada yang trauma karena morat-marit perpisahan keluarga padahal ada yang menantikan cintanya.

Wahai Pemilik Cinta, bagaimana kah akhir kisah cinta mereka? Akan kah sebahagia suasana perjalanan mereka?

chap-preview
Pratinjau gratis
Si Kucay
"Oke, kelompok terakhir berarti maju minggu depan?" tanyanya sebelum menutup kelas. Para mahasiswanya mengiyakan. "Dan jangan lupa proyek UAS dikumpulkan dua hari sebelum UAS dimulai," ingatnya yang kali ini dibalas dengan seruan kecewa oleh para mahasiswanya. Ia hanya tersenyum tipis, enggan menanggapi rengekan para mahasiswa yang selalu meminta menunda deadline pengumpulan tugas. Usai memberesi barang-barangnya, ia segera beranjak. Kemudian berjalan menuju ruang dosen di gedung sebelah. Omong-omong perkenalkan, dia...hanya gadis biasa. Namanya... Chayra Muthmainnah. Usianya? 27 tahun. Masih lajang dan... "Assalamualaikum, Ma," sapanya begitu ponselnya berdering. Ia menjepit ponselnya ditelinga sambil sesekali mengangguk-angguk kepala pada mahasiswa yang menyapanya di sepanjang koridor. "Waalaikumsalam, Ra. Gimana? Sudah istikharah? Ini sudah sebulan loh sejak lamaran itu...." Untuk ke sekian kalinya perempuan yang berstatus sebagai ibu kandungnya itu mengingatkan kalau ia tak kunjung menerima lamaran dari lelaki keren yang datang. Gadis itu menarik nafas dalam. Ia dalam posisi sulit. "Ma....Chayra..." "Kali ini jangan ditolak. Gak enak hati Mama kalau menolak, Ra. Apa coba kurangnya? Dia baik, soleh insya Allah. Mapan juga dan sudah lama suka sama kamu. Keluarganya juga baik. Bahkan Mama kenal sekali dengan kedua orangtuanya." Chayra hanya bisa menghela nafas. Akhir-akhir ini orangtuanya sangat-sangat was-was dengan segala keputusan yang mungkin ia ambil. Untuk ukuran gadis berusia 27 tahun, masih betah sendiri dan belum ingin menikah lalu didesak-desak begini oleh orangtua rasanya..... "Nanti Chayra pikir dulu." Mamanya mendengus di seberang sana. "Kamu ini kebiasaan! Jawabannya selalu dipikir dulu! Tiap ditanya al--" "Tuuuut....tuuut....tuuut," tuturnya lantas terkekeh sembari mematikan telepon dari ibunya itu. Ia bukannya ingin durhaka hanya saja, ia pusing kepala jika ditodong seperti ini. Ia juga ingin menikah. "Chayra, jurnal terakhir sudah disetor?" tanya salah satu dosen senior begitu ia membuka pintu ruang departemen khusus dosen itu. "Tadi pagi sudah saya setor, Bu," tuturnya sembari berjalan duduk ke kursinya. Omong-omong sore ini ruangan ini agak penuh. "Makasih ya, Chaiiy!" tutur si ibu. Chayra terkekeh. Ia memberesi mejanya. Tak lama, ia sudah pamit. Mumpung besok weekend, ia ingin cepat-cepat pulang saja. "Chaiiy!" Gadis itu menoleh. Ia baru saja menutup pintu ruang departemen saat mendapati dosen seniornya yang lain sedang berbincang-bincang dengan seseorang yang amat dikenalnya. "Wah-wah, ternyata sama Chaiy," tutur si dosen. Matanya melirik Chayra juga lelaki yang sedang menggaruk tengkuk. Malu. "Adamas ini keponakan saya loh, Chaiy," kenalnya. Aaah. Chayra hanya mengangguk-angguk. Mau tak mau, ia datang menghampiri dan hanya nyengir saja diledek sang dosen. "Ayra mau pulang?" tanya si cowok usai pamit pulang pada sang dosen yang malah bersiul-siul meledek keduanya. Chayra memimpin jalan dengan menuruni tangga lebih dahulu. Ia tak tahu kalau cowok ini sampai datang ke sini. Chayra berdeham. Ia memang ingin pulang ke kosnya. Tapi omong-omong, mau apa lelaki ini datang ke sini? "Gak keberatan kan kalau Daeng antar pulang?" tawarnya. "Daeng gak sibuk memangnya?" Ia melempar balik pertanyaan. Kini lelaki itu berjalan menjajarinya. "Sudah sore. Memang sudah jamnya pulang," tuturnya. Chayra berdeham. "Sebetulnya tadi Daeng telepon Mama Ay. Terus Mama Ay bilang kalau Ay di kampus." Chayra mengangguk-angguk. Tentu saja ia di kampus karena ia bekerja sebagai dosen asisten di sini. Baru setahun terakhir. "Tadi Daeng parkir mobil di luar parkiran fakultas," tuturnya saat Chayra hendak berbelok ke parkiran fakultas. Akhirnya, ia membelokan langkah dan mengikuti lelaki ini. Begitu masuk ke dalam mobil, Adamas memulai pembicaraannya. "Daeng tahu kalau Ay mungkin masih bimbang dengan lamaran Daeng," ungkapnya dengan jujur. Chayra menghela nafas. Tentu saja. Selama ini, ia hanya menganggap lelaki ini sebagai anak dari sahabat Mamanya. Tidak lebih. Dan setahu Chayra, lelaki ini juga punya pacar. Tapi kenapa tiba-tiba melamarnya? "Tidak perlu menjawab terburu-buru. Daeng bisa menunggu." Chayra menoleh. "Itu serius memang Daeng yang mau?" Lelaki itu menoleh. Tentu saja kaget dengan pertanyaan itu. "Kenapa bertanya begitu?" ia bertanya balik. Bukannya tersinggung, hanya heran saja dengan pertanyaan itu. "Maksud Ay....," ia menarik nafas dalam. "Setahu Ay, Daeng punya pacar." Aaah. Adamas menganggukan kepala. "Sudah lama putus, Ay. Hampir setahun lalu." "Kenapa?" "Apanya yang kenapa?" Chayra berdeham. "Kenapa Daeng putus dengan cewek itu?" tanyanya. Seingatnya mantan pacar lelaki ini adalah Miss Indonesia dua tahun lalu? Adamas berdeham. Alih-alih menjawab, ia malah menghentikan mobilnya tepat di depan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. "Mau tahu?" "Enggak juga. Maksud Ay--" "Daeng gak keberatan menjawab kok," potongnya lantas menjalankan kembali mobilnya lalu membelikannya alih-alih keluar dari lingkungan kampus. Lalu ia berdeham. "Setiap orang akhirnya menemukan cinta sesungguhnya yang ingin ia capai dalam hidupnya." Chayra meneguk ludah dalam-dalam. Ini maksudnya...? "Ketidakrestuan orangtua menjadi faktor utama, Ay." "Kenapa gak setuju?" Ia hanya penasaran. Pasalnya, gadis itu cantik, pintar, baik. Sempurna bukan? Ya kalau dibandingkan dengannya yang sangat biasa ini. Adamas berdeham. "Ya..kamu tahu lah, Ay, keluarga Daeng seperti apa. Mama tentu keberatan mendapat calon menantu yang ikut kontes kecantikan. Apalagi sampai..." Ia tak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Bikini?" tebaknya. Adamas hanya mengangguk, mengiyakan. Memang benar jika itu menjadi titik berat keluarganya menerima perempuan itu sejak awal. Menurut mereka itu adalah suatu resiko yang berat. "Alasan kedua...," ia menghela nafas. "Siapa pun pasti menginginkan pasangan yang bisa diajak untuk sama-sama lebih dekat pada Allah. Apalagi tujuan pernikahan adalah untuk beribadah. Dan perempuan itu tidak bisa. Ia punya tujuan hidup yang berbeda. Bagaimana mungkin rumah tangga akan berjalan jika kedua orang yang akan menjalani rumah tangga itu, memiliki visi masing-masing bukan visi bersama?" Chayra menahan nafas mendengarnya. Lantas lelaki ini memilihnya karena apa? "Lantas kenapa memilih Ay?" Adamas berdeham. "Ay mau tahu jawabannya?" Gadis itu mengangguk ragu. Ia masih sangat dilema karena sulit menolak lamaran yang datang dari lelaki ini. "Kenapa?" "Terakhir ketemu Ay lagi, tiba-tiba kepikiran Ay sampai kebawa solat malam. Bisa jadi itu jawabannya, bisa jadi tidak juga. Dan lagi, keluarga Daeng sudah lama mengenal keluarga Ay kan?" @@@ Chayra sama sekali tak tertarik pada lelaki itu. Itu masalahnya. Dan bukan hanya lelaki itu saja. Ada banyak lelaki sebelumnya yang datang meminang tapi ia tolak. Alasannya pun sama. Apa? Tentu saja karena tak tertarik. "Masih sama yang kemarin?" "Heung, temennya suamimu tuh," ledeknya. Hal yang membuat sahabatnya, Frasya, tertawa. "Coba aja, Cay, kalo emang lo srek." Chayra menarik nafas dalam. "Beraaat," keluhnya. "Tapi berat juga nolaknya?" Chayra mendengus. Frasya terkekeh. "Tapi orangnya baik, Cay. Susah nolak untuk selevel itu." "Kayak Kak Rafandra yaaa?" Frasya terkekeh. "Tapi beneran gak pernah ada rasa tertarik sedikit pun?" Chayra mendengus lagi. "Duluuuuu....duluuu bangeeet!" "Intinya pernah tertarik kan?" "Iyaaaa!" Frasya tertawa. "Dulu banget itu sebelum...?" Chayra menghela nafas. "Iyaaaa," jujurnya. "Terus lo masih berharap?" "Udah gak mungkin lah, Fra," tuturnya lantas menghela nafas. "Udah lama juga." "Terakhir jalan?" Chayra memejamkan mata. Ia tampak berpikir. "Ada lima tahun kali." "Udah lama banget ternyata kita lulus ya?" Chayra tersenyum kecil. Yaaa, pikirnya. Jika teringat masa-masa kelulusan itu malah membuatnya sedih. "Terus dia apa kabar?" Chayra tersenyum tipis. "Mungkin sibuk dengan karirnya sendiri." Frasya mengangguk-angguk. Ia jadi tak enak hati karena mengungkit masa lalu Chayra. "Mungkin juga udah bahagia dengan perempuan lain." "Lo masih ada rasa?" "Kalo pun masih ada, udah gak mungkin lah, Fra." Frasya berdeham. "Kalo tahu udah gak mungkin, kenapa gak berusaha lupain?" Chayra terkekeh. "Gak semua orang harus dilupain, Fra. Dan lagi...," ia menarik nafas dalam. Matanya seketika berkaca-kaca. "Dia mantan terindah." Frasya terbahak dan Chayra menyumbangkan bibirnya. Mendengar tawa yang sesungguhnya sedang meledek nasibnya, ia jadi agak-agak kesal juga. "Iyeee deeeh, iyee. Enak yang udah punya pujaan hati! Gak pusing-pusing lagi ditanya, kapan nikaaaaah!" Frasya terkekeh. Hidup tidak semudah itu. Nyatanya, setelah pertanyaan kapan nikah bisa ia jawab, kini berganti. 'Kapan hamil?' "Gak akan ada habisnya kalau ngurusin omongan orang, Cay. Mendingan lo fokus aja sama karir lo sekarang. Udah mapan dengan menjadi dosen kan?" Chayra terkekeh. "Gak segampang itu lah. Nyatanya, status boleh berubah dari mahasiswa jadi dosen tapi tinggal masih di kos-kosan." Frasya tertawa. "Namanya juga hidup, Cay. Dan lagi, udah ada yang mengantri kenapa gak dicoba aja? Kan mayan bisa naik level tinggal di apartemen!" Chayra terbahak. "Tapi urusan hati susah, cuy!" Frasya terkekeh lantas menarik nafas dalam. "Istikharah aja, Cay. Kita gak pernah tahu ketemu takdir akan seperti apa. Bisa jadi hari ini belum suka, besok-besok berubah. Iya kan?" Chayra tersenyum kecil. Iya sih, ia tak memungkiri. Lima menit kemudian, ia menghela nafas. Telepon dengan Frasya sudah usai. Kini ia berselancar diinternet. Lalu tiba-tiba.... Kucaaaaaaay kapan ke Turkiiiii? Chayra menyunggingkan bibirnya. Dari kapan tauk juga gue ajakiiin! Kali ini beneraaan tapiii Males aaaah! Gue dibohongiiiiiii meluluuuu Hahaha! Kali ini beneran Kucaaaaay! Sekalian ekspedisi ke negara laiiiiin. Masih ingeeet gaaak? Itu loooh surat kaleng enam tahun laluuuuu di samping danau kampus Deg. Chayra tampak berpikir. Sementara.... Inget kaaan? Hari menggalau mau penelitian. Rencananya si Ammar bakalan berangkat ke Jakarta minggu depan. Terus inget itu daaaaan ngajakin ke tempat itu buat galiii! Moga-moga masih ada ya Allaaaah @@@ "Kiriii..., Bang. Kiriiiiii...," tuturnya lantas tak lama, ia keluar dari angkutan kota itu. Ia membayar ongkosnya kemudian membalik badan dan melihat sebuah kafe kopi di depan mata. A love from Coffee. When you meet someone who fall in love with you through a cup of coffee. Chayra tertawa membaca tulisan itu. Ia menggelengkan kepala. Kemudian berjalan mendekati pintu masuk restoran. "Aaaaaa! Kucaaaaaaay!" teriaknya. Chayra terkekeh. Ia menutup pintu lantas menghampiri sang pemilik kafe. Sahabatnya itu memeluknya dengan erat kemudian mengajaknya untuk duduk di salah satu bangku. Chayra melihat-lihat desain kafe yang dominan berwarna pink itu. "Warnanya kok pink sih?" komentarnya. Rasanya agak aneh saja melihat interiornya seperti ini. Sahabatnya tertawa. "Mau duduk di bar aja gak? Biar bisa lihat gue bikin kopi," tuturnya. Chayra manut saja dan mengikuti langkahnya hingga duduk di bar. "Skills-lo nambah banyak ya," tuturnya sembari melihat kelihaian sahabatnya itu. Gadis itu pun terkekeh. Sementara Chayra menopang dagu. "Bertahun-tahun abis lulus gak dapet-dapet kerja. Terus tetiba dikasih kakak gue untuk ngelola kafe ini sendiri, ternyata rejeki gue di sini bukan di kantoran." Chayra terkekeh. "Mimpi S2 ke Jepang?" Ia tertawa. "Susah lah, Cay. Kudu beasiswa. Lu tau keluarga gue kayak apa." Chayra terkekeh lagi. "Gak apa-apa lah. Barangkali rejekinya lo main aja ke sana bukan kuliah." Ia tertawa lagi sambil mengangguk-angguk. Apa yang diucapkan Chayra memang benar. "Insya Allah, doain lah." Mata Chayra menyipit. Ia terkikik-kikik. "Parah! Gak ngajak-ngajak!" Ia terkikik-kikik lagi. "Lo kan pengen ke Turki." "Yaa barangkali ada rejekinya gitu," tukasnya. "Amiiin," serunya yang membuat Chayra ikut mengaminkan. "Eh iya, jadi ikut kan minggu depan? Mumpung si Ammar mau ke sini. Pas banget lagi waktunya." "Insya Allah....," tuturnya. "Anyway..," ia menaruh segelas kopi dingin di depan Chayra. Gadis itu langsung mengaduk-aduknya. "Ammar udah keren banget sekarang." "Keren?" Ia mengangguk. "Dia bangun usaha kecil-kecilan di kampungnya. Jualan kue kampung tapi warna-warni gitu. Ada macem-macem lagi. Kemarin, gue juga sempet pesen kuenya untuk lebaran. Terus ternyata pekerjanya itu para janda-janda kampung. Katanya lumayan, selain buat pemasukan dianya sendiri, dia juga bisa bantu-bantu orang sekitar." Chayra menatap takjub. "Bukan gue yang keren, Caaaaay, tapi si Ammaaaar!" Chayra terkekeh. Ia memperbaiki posisi kepalanya lantas menurunkan tangan sehingga tak menopang dagu lagi. "Tapi Ammar emang sedari dulu kan keren. Maksudnya, dia selalu punya ide untuk bikin sesuatu yang manfaatnya gak cuma buat dia sendiri." Sahabatnya itu mengangguk-angguk. "Dia dapat penghargaan banyak dari pemerintah daerah setempat karena itu." "Lo tau banyak...," ledeknya. Sahabatnya itu tertawa. "Ammar itu sahabat gue lagi aah!" Chayra tertawa. "Gue gak ada maksuuud," kilahnya tapi sahabatnya malah memutar kedua bola mata saking kesalnya padanya. Chayra terbahak kali ini. "Tapi, lo masih sama yang dulu?" Sahabatnya itu mengangguk riang. "Betah amat pacarannya. Kapan nikahnya woooi?!" ledeknya yang membuat sahabatnya itu membabi buta mengutuknya. Ia terbahak lagi. @@@ Chayra menghela nafas. Ia baru saja tiba di Sekolah Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Ia hendak bertemu salah satu dosen seniornya. Hendak bimbingan terkait rencananya untuk melanjutkan S3 tahun depan. Meski belum bulat-bulat amat tekadnya tapi setidaknya, ia sudah berpikir ke arah sana. Ia hendak berbelok ke gedung Fakultas Kedokteran Gigi karena ruangan dosennya ada di sana. Ruang kelas untuk anak S2 maupun S3 Ilmu Lingkungan juga di sana. Ia sendiri pernah kuliah S2 di sini dan sudah selesai dua tahun lalu. Kini ia baru saja tiba di gedung fakultas itu. Baru hendak berbelok.... "Kak Hasan?" panggilnya. Ia melihat lelaki yang hendak menuruni tangga. Sementara Chayra berada di tangga paling bawah. Ia baru hendak naik. Lelaki itu mendongak dan mendapatinya di tangga paling bawah. Ia tersenyum tipis. "Masih ingat saya?" Chayra terkekeh. "Masa lupa sih, Kak? Apa kabar?" "Alhamdulillah, Chaiiy," tuturnya. "Lanjut S2?" Chayra tersenyum kecil. "Mau ketemu dosen senior." Aaaah. Hasan mengangguk-angguk. "Ada urusan apa, Kak?" tanyanya saat Hasan tepat berdiri di sebelahnya. Cowok itu tersenyum tipis. "Biasa lah, Chaiy. Proyek dosen," tuturnya yang membuat Chayra mengangguk-angguk. "Pamit ya, Chaiy," tuturnya. Chayra mengangguk dan membiarkan lelaki itu pergi. Keningnya mengerut melihat kepergian Hasan yang begitu lesu. "Padahal gue dengar, dia mau nikah. Ngapa lesu begitu dah?" tuturnya pelan pada diri sendiri. Baru juga beberapa hari yang lalu, ia membicarakan Hasan dengan sahabatnya di kafe kopi. Ia melanjutkan langkahnya untuk menaiki tangga. "Chaiiiiyyy!" panggil seseorang. Chayra baru tiba di lantai di mana terdapat ruang dosen senior yang hendak ia datangi. Ia menoleh ke arah perempuan berperut besar yang memanggilnya sedari jauh. Perempuan itu duduk di bangku-bangku yang berbaris di depan ruangan sang dosen senior. Matanya membulat melihat perut yang lumayan besar itu. "Fara?" Perempuan itu mengangguk-angguk dengan terkikik-kikik. Chayra mendatanginya lantas memeluknya dengan hangat. Rasanya terakhir bertemu itu tiga tahun yang lalu. Tempatnya pun sama, di depan ruangan ini. Saat itu, Chayra hendak mengucapkan terima kasih pada dosen pembimbingnya yang sudah berbaik hati membimbingnya selama dua tahun kuliah di sini. Sementara perempuan yang ia peluk ini sedang bolak-balik meminta surat rekomendasi dari sang dosen untuk melamar beasiswa. "Waaah udah hamil aja," tuturnya. "Udah lama kali ih nikahnya." "Baru hamil yang pertama?" Perempuan itu mengangguk-angguk. "Terus ngapain? Suaminya mana?" Fara terkekeh. "Ada di depan, nungguin. Aku lagi mau bimbingan terus tadi si Bapak juga bilang katanya Chaiy mau ke sini." Chayra mengangguk-angguk. Ia memang mau ke sini tapi tak menyangka pula akan bertemu dengan Fara dengan perutnya yang sudah sebesar ini. "Udah mau melahirkan, Far?" "Masih lama iih! Kembar," serunya. Aaaah. Chayra mengangguk-angguk. Ia turut senang sih. Pasalnya, tahun kemarin ia sempat mendengar kalau Fara bercerai dengan suaminya. Kini sudah hamil lagi dengan suami... Pintu ruangan sang dosen terbuka. Kepala dosennya terlihat. "Chayra masuk dulu," titahnya. Chayra berpamitan dengan Fara lantas izin untuk masuk terlebih dahulu. Ia mengobrol tak lama denga dosennya. Pasalnya, sang dosen masih punya jadwal bimbingan juga harus masuk ke kelas untuk mengajar. Chayra hanya berbicara seperlunya sembari meminta surat rekomendasi untuk pengajuan beasiswa S3. Kemudian ia pamit dan kembali berpapasan dengan Fara yang masih duduk di depan. Perempuan itu tampak asyik mengobrol dengan beberapa temannya. Chayra tak mengenalnya, tapi instingnya mengatakan kalau itu teman-teman satu jurusan Fara saat ini. "Fara, duluan yaaa," pamitnya. "Iyaaa, Chaiiy! Hati-hati!" serunya ceria. Chayra terkekeh. Perempuan itu masih sama cerianya seperti dulu. Chayra sangat dekat karena dulu sering satu organisasi dengan Fara. Tapi Fara agak pemalu, menurutnya. Walau anaknya juga asyik jika sudah diajak bicara. Bahkan ia sering pusing dulu karena sering menjadi titipan surat dari para ikhwan untuk Fara. Ia yang pusing karena Fara selalu menolak para lelaki itu. Chayra berjalan menuruni tangga. Ia keluar dari gedung fakultas kemudian duduk di bangku yang ada di tengah-tengah kampus. Dulu, ia sering beristirahat di bangku ini. Kalau mengingat ini, ia jadi ingat bagaimana perjuangannya kuliah sambil bekerja dulu. Betapa beratnya tapi bahagia juga diwaktu yang sama. Ia memang berniat untuk melanjutkan S2 agar bisa menjadi peneliti. Tapi ternyata, ia diberikan rejeki yang lain. Allah menginginkannya menjadi dosen yang juga punya proyek penelitian. Alhasil, ia bisa menjalankan lebih dari satu profesi kan? Meski saat ini, kesibukannya hanya seputar kampus. Karena rasanya agak lelah juga kalau terlalu banyak beraktivitas apalagi ia sadar betul kalau usianya tak lagi semua saat kuliah dulu. Kini usianya sudah 27 tahun dan awal tahun bulan depan, akan naik menjadi 28 tahun. Mana dikejar-kejar pula oleh ibunya agar segera menikah. Semalam pun ia pusing kepala mendengar ibunya yang mengomel karena tak kunjung menerima lamaran dari Adamas. Ia tahu kalau lelaki itu baik hanya saja.... "Kucaaaaaaay!" teriak seseorang. Keningnya mengerut dan ketika menoleh, ia melihat seseorang berdadah ria ke arahnya. "Ngapain di sini?" tanyanya. Lah? "Lo yang ngapain di sini?" Ia terkekeh. Kerudungnya ikut berayun seiring dengan langkah kaki gadis itu yang mendekat. "Lagi nemenin si adeeek!" tuturnya. "Adek gue mau bimbingan di sini." Aaaaah. Ia mengangguk-angguk. "Lo gak kerja?" Ia terkikik-kikik. "Boseeeen! Jadi gue resign deh!" tuturnya enteng. "Jalan-jalaaan yuuuk! Gue denger si Ammar mau ke Jakarta!" "Kok pada tahu si Ammar mau ke Jakarta?" "Dia kayaknya ngehubungi semua orang," celetuknya asal. Hal yang membuat Chayra tertawa. "Tapi seriusan deh, si Ammar mau ke Jakarta terus ngajakin ke samping danau. Bongkar botol yang kita tanam bertahun-tahun lalu," tuturnya yang membuat Chayra terkekeh. "Dia niat banget ya?" Sahabatnya itu terkekeh. "Kan siapa tahu masih ada botolnya di sana. Kalau pun gak ada, ya udah. Belum rejeki." Chayra menarik nafas. "Kita iseng banget ya itu?" Sahabatnya mengangguk-angguk sambil terkikik-kikik. Usai berbasa-basi sedikit, Chayra pamit duluan. Ia ingin pulang karena harus mengurus nilai mahasiswa-mahasiswanya. Ia berjalan menuju gerbang kampus dan melihat sosok lelaki yang sangat ia kenal tampak sedang berbicara dengan lelaki lain yang Chayra sering lihat di televisi. Tapi ia lupa namanya dan lagi pula, tak penting-penting amat. Ia menumpangi salah satu ojek untuk mengantarnya ke Stasiun Cikini. Setibanya di sana, ia menaiki eskalator lantas berdiri menunggu commuterline. Ia menarik nafas dalam. Pikirannya berkelana jauh. Batinnya selalu bertanya-tanya, sampai kapan ia akan hidup begini? Hidup sendiri? Dikala semua mimpi sudah ia raih tapi nyatanya, kehampaan hati yang ia rasakan tak kunjung terisi. Hai Allah, kapan Engkau mengirimkanku pujaan hati? Ia bertanya pada Allah tepat disaat kedatangan Commuterline dan angin yang mengibarkan jilbab panjangnya. @@@

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
77.0K
bc

Sonja

read
33.0K
bc

I (don't) Love You [Indonesia]

read
32.5K
bc

Baby Azy

read
83.3K
bc

Infinity

read
213.6K
bc

Destiny

read
246.6K
bc

Ineffable Cafune

read
23.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook