Gali Lobang, Tutup Lobang

2577 Kata
"Itu siapa?" Akhirnya ia bertanya juga. Pasalnya, sedari tadi ia hanya mendengar celotehan-celotehan saudara-saudara Adamas tentang seorang perempuan yang katanya sudah dilamar Adamas. Ia sempat melihatnya tapi tak percaya saja. Secara, berbeda jauh darinya dan para mantan Adamas yang lain. Setahunya, Adamas itu menyukai perempuan cantik sepertinya, berambut panjang yang halus, bukan bertubuh seksi tapi anggun, cerdas, berkulit putih halus dan tentu saja berdandan cantik meski sudah cantik. Hal lainnya lagi? Rata-rata secantik model, artis-artis muda atau wanita sosialita. Maksudnya, yaaa wanita berkelas dalam dunia masyarakat. Bukan perempuan bergamis bahkan dengan wajah penuh minyak yang kentara. Memang kulitnya putih tapi bukan yang putih-putih amat sepertinya yang selalu dirawat. Dan lagi, keluarganya juga terpandang. Keluarga dari deretan perempuan yang pernah bersama Adamas dan menghabiskan waktu berjalan berdua. Tapi ini? Ia tidak mau menyimpulkan apapun. Karena pasti ada sesuatu yang membuat Adamas tertarik pada perempuan itu. Tapi apa? Ia sama sekali tak menemukan sesuatu hal yang dianggap menarik dari perempuan itu. "Makan, Mbak," ujar salah satu sepupu Adamas. Ia berdeham kemudian berjalan mendekat menuju meja makan. Sementara matanya masih terus menatap dengan benak yang semakin dalam bertanya-tanya. Ia hanya masih terheran-heran saja. Karena tak mengerti kenapa Adamas memilih perempuan itu? Apa bagusnya? "Itu calonnya Kak Damas?" tanyanya pelan pada Amita. Amita mengangguk-angguk. Ia sih senang-senang saja asal kakaknya bahagia. Apalagi mereka sudah membicarakan hal ini dalam-dalam dengan Adamas sebagai saudara. "Serius?" Ia seolah tak percaya. "Kenapa memangnya?" "Enggak. Unbelievable aja," tukasnya santai. "Banyak hal yang kadang di luar nalar manusia, Shan." Gadis itu menoleh. Sementara Amita menatap lurus pada Chayra yabg tampak tersenyum tipis. Ia diajak mengobrol dengan para Tante dari sebelah keluarga Papanya. "Termasuk persoalan jodoh yang menjadi misteri." "Karena lo berpikir, akan sama gue?" Amita terkekeh. Kurang dan lebihnya memang seperti itu. Apalagi kakaknya memang sangat mencintai Shania saat itu. Namun tak ada yang menyangka kalau akan benar-benar berakhir. Shania juga tak percaya kala diputuskan dengan alasan Adamas yanh tak mau lagi berpacaran. Lelaki itu memang mengajaknya menikah tapi ingin ia menutup aurat terlebih dahulu. Sayangnya, niat baik Adamas ditolak mentah-mentah. Dengan alasan.... "Pakek kerudung atau enggak kan gak mengurangi kredibilitas, Bie. Dan lagi, pekerjaan aku itu kebanyakan memang tidak mengizinkan untuk berkerudung. Masa aku harus kehilangan pekerjaan cuma kayak gitu sih? Lagi pula, yang nutup aurat atau enggak itu gak ngaruh sama kebaikannya kali, Bie. Orang baik kan bertebaran. Terlepas dirinya berkerudung atau enggak." "Gue pikir begitu karena Kak Adamas cinta mati sama lo tapi ternyata gue salah." Kening Shania mengerut. Ia menoleh ke arah Amita yang tampak tersenyum ke arah Adamas. Adamas tentu saja masih asyik mengobrol. "Kak Damas cinta mati sama dia?" tanyanya. Ia hanya sekedar memastikan. Masa secepat itu Adamas melupakannya? Rasa-rasanya mereka belum lama putus. Ia saja masih berupaya meraih hati Adamas dengan perhatian pada lelaki itu. Kadang dengan sengaja mampir ke rumahnya. Kadang mengirimi makanan ke kantornya. Meski tak ada balasan apapun dari Adamas. Tapi bukan berarti ia harus menyerah dong? "Ternyata Kak Adamas cinta mati sama Allah," tuturnya. Amita terharu dengan kata-katanya sendiri. Ia tahu kalau ia pun masih belum konsisten. Meski tahu kalau menutup aurat itu memang kewajiban baginya. Meski tahu kalau dosanya akan dihitung karena pengetahuannya tentang kewajiban itu. Seolah-olah besok tak akan mati dan bisa saja ia belum berhijab hingga hari itu tiba. Sementara Shania hanya diam. Masih tak mengerti kata-kata Amita. Maka benar lah, pikir Amita. Cerdas tanpa beriman itu akan berat. Lebih baik seseorang beriman meski bukan yang cerdas. Karena apa? Karena beriman membuatnya dekat dengan Tuhan. "Kebaikan itu terasa sangat dekat dengan orang-orang yang memang ingin mengejar kebaikan itu sendiri karena mereka tahu kalau pada akhirnya," Amita menghela nafas. Haruskah ia juga berhenti melakukan ketidak-konsistennya dalam menutup aurat? Meski terasa berat. Tapi kata-kata ini juga seolah menampar dirinya sendiri. "Allah adalah tempat kembali dan akhirat adalah akhirnya." Shania masih tak mengerti. Sementara itu, dikala menjelang jam lima sore, Chayra merasa sudah terlalu lama berada di sini. Ia ingin pulang dan langsung pamit pada Amita dan orangtua Adamas. Adamas tentu bingung melihat Chayra bukannya menunggunya malah berjalan menuju gerbang rumahnya. Cowok itu segera mengejar Chayra sebelum melangkah lebih jauh. "Ay! Mau ke mana?" Chayra menghentikan langkahnya. Sejujurnya ia sudah menghubungi abang ojek. "Pulang, Daeng." "Kok gak bilang aku?" "Euung, di rumah Daeng kan masih banyak orang. Lebih baik Daeng temani mereka saja. Aku bisa pulang sendiri." "Tadi kamu berangkat bersamaku, Ay, jadi harus pulang denganku juga." "Gak harus begitu, Daeng. Perkara ini gak perlu diperdebatkan. Dan lagi, aku udah biasa kok kayak gini," tuturnya. Abang ojek tepat berhenti di depannya. Chayra sangat bersyukur. "Pamit ya, Daeng," tukasnya yang dibalas helaan nafas oleh Adamas. @@@ "Enggak berantem kan?" Chayra menghela nafas. "Enggak. Cuma butuh waktu sendiri." "Why?" "Gue merasa bukan orang yang tepat dan pantas untuk dia, Pik," tuturnya. Upik tersenyum kecil mendengar itu. Mereka sedang duduk di kafe milik kakak Upik sembari menunggu kedatangan Nabila, Ammar dan Bastian. Hari ini kan mereka sudah berjanji untuk kembali ke danau kampus demi melihat time capsule yang ditanam bersama di suatu tempat tersembunyi. Entah masih ada atau enggak, tak satupun yang yakin. Pasalnya, kisah itu kan sudah lama berlalu. Banyak perubahan alam dan lingkungan yang pastinya mempengaruhi keberadaan botol itu. "Aneh mendengar seorang Chayra merasa insecure." Chayra terkekeh. "Kalau cowoknya tidak sebagus Daeng dan mantannya bukan Shania, gue gak akan begini kali ya." "Aaah, ayo laah, Caay! Persoalan pantas dan gak pantas kan urusan Allah. Dan lagi, yang dilihat bukan fisik atau hal-hal lain yang bersifat materi kok. Apalagi lo sendiri yang bilang kalau Daeng milih lo bukan karena hal-hal duniawi semacam itu." Chayra menghela nafas. Memang benar. Lantas kenapa ia berpikir sempit begini? Tapi ya jujur saja. Perempuan mana pun yang berada di posisi Chayra pasti akan merasakan hal yang sama. Tidak mudah menjadi seseorang yang diharapkan sementara masa lalunya terlihat lebih baik. "Lihat lah keluarga gue dan keluarga Kak Chandra." "Emang dia udah ngenalin lo ke keluarganya?" Upik terkekeh. "Ya kalo ngenalin langsung emang belum sih. Tapi maksudnya, dari yang dia cerita dan gue intip di media sosial, keluarganya bukan tipe yang melihat hal-hal duniawi pada seseorang. Dan lagi, Kak Chan juga selalu membesarkan hati gue tentang persoalan ini. Yang memang tidak seharusnya dipikirkan ketika hati yang berbicara. Ya kan?" Chayra mengangguk-angguk. "Menurut lo, poin apa selain hal-hal duniawi yang dapat memberatkan pilihan gue pada Daeng?" Upik mengerutkan kening. Pertanyaan yang sulit. Karena memang hal-hal duniawi yang ingin dikejar semua perempuan dari seorang lelaki, ada pada diri Adamas. Perihal masa lalu, tak ada yang perlu diperdebatkan selama Adamas paham kalau ada yang salah dengan caranya mendekati perempuan. Lelaki itu juga sudah tak berniat mengulang hal yang sama. Begitu pula dengan kondisi Chayra saat ini. Dulu yang hanya perempuan biasa dengan rambut ke mana-mana, kini menutup aurat dengan lebih baik. Itu artinya ada banyak perubahan hidup yang dijalani Chayra sekian tahun dan memang membutuhkan waktu. Chayra itu sebetulnya anak baik dan solehah. Sekalipun ia tidak berjilbab dulu, ia sebetulnya merasa bersalah. Yeah, karena seperti membohongi perasaan yang tidak tenang namun berupaya mengaburkannya dengan hal duniawi lain melalui pacaran. Tapi ternyata Allah lebih sayang. "Kalau cewek itu berjilbab juga bisa jadi kayak gue. Mengubah tampilan sangat mudah." "Memang!" Upik menjentikan jarinya. "Tapi mengubah niat dan apa yang ada di dalam hati itu yang susah, Chaiy. Gak semua orang bisa." Upik menopang dagunya dengan siku tangannya. Ia menatap Chayra yang tampak penuh beban dengan lamaran satu ini. "Kan lo bilang kalau udah gak mungkin kembali sama mantan. Jadi, kenapa gak mencoba untuk jalan dan mengenal lebih dalam lagi soal Daeng lo itu?" "Gue sedang mencoba tapi entah kenapa berpikir untuk menyerah karena alasan tadi." "Apa itu benar-benar jawaban mundur?" "Gue belum merasa pas. Bisa jadi karena perasaan gue sendiri juga." Upik mengangguk-angguk. Memang benar. "Lalu?" "Entah lah, Pik. Gue akan serahkan sama Daeng aja. Kalau dia mau menunggu lebih lama, gue persilahkan. Kalau pun mau mencari yang lebih dari gue, gue persilahkan." "Jadi keputusan akhir ada di tangan Daeng untuk saat ini?" "Mau tidak mau." Chayra tak bisa memberikan jawaban gamblang. Terlalu sulit untuk memutuskan sesuatu yang sangat berat karena akan menyangkut dunia dan akhiratnya. "Upiiiikkk!" Terdengar suara Nabila. Gadis itu dengan ceria menyapa dan muncul dari ambang pintu kafe. Upik dan Chayra menoleh lalu tertawa. Jadi lupa melanjutkan pembicaraan yang tadi. "Gue mau balik ke Bandung tadinya andai gak ingat kalau ada janji!" tuturnya. Ia mengambil duduk setelah berpanas-panasan di jalan. "Jenguk Oma?" tanya Chayra. Nabila mengangguk-angguk. "Oma kangen. Tapi mungkin gue belum bisa berangkat minggu ini." "Ya, jangan terlalu memaksakan diri lah. Kasihan kondisi badan lo. Lo juga kerja kan?" Nabila mendengus. Wajahnya berubah kesal. Lalu ia menceritakan apa yang menimpanya selama beberapa minggu terakhir. @@@ "Yeah semacam cewek biasa gitu gue lihat." "Cewek biasa yang berhasil meraih hati Adamas?" Shania tertawa. "Kalau sampai mereka jadi, gue bener-bener gak nyangka. Maksudnya, Adamas berhak dapetin yang lebih dari itu. Kenapa harus sama cewek semacam itu?" Ia tentu tak terima. Sahabatnya mengangguk-angguk. "Lo tahu kasus Shabrina kan?" Shania berdeham. Tentu saja. Perempuan itu adalah seniornya. Sebagai sesama orang Riau, pastinya ia kenal dekat. "Farrel Adhiyaksa itu, cowok populer, ganteng dan kece abis dengan segala karir juga kesuksesan yang dia punya. Tapi lihat lah profil istrinya yang bahkan gak jelas pendidikannya dari mana. Ada yang bilang dari ini lah dan itu lah. Akhirnya cinta berbicara bukan dari status sosial dan keahlian yang melekat pada diri tapi hanya berbicara hati." Shania menghela nafas. Memang benar. "Senior gue yang kece badai begitu aja tergilas ya sama perempuan biasa yang gak jelas latar belakang hidupnya pula." Sahabatnya menjentikkan jari. Itu lah yang ia maksudkan. "Mungkin kasus lo akan berakhir sama dengan senior lo. Duh! Kasihan banget kalau sampai terjadi!" ledeknya yang membuat Shania tertawa. "Tapi gue gak mau buta lah. Kalau memang Kak Damas tetap sama tuh cewek, ya udah. Usaha gue buat dapatin dia kembali berarti hanya sebatas ini. Karena buat apa juga gue mati-matian usahain untuk sesuatu yang gak mungkin bakalan gue dapetin. Ya kan?" Sahabatnya mengangguk-angguk. Benar juga. Mencari jalan aman untuk menjaga nama pribadi di harapan publik juga tidak gampang. Karena ketika image-nya rusak maka rusak pula masa depan. Sementara itu, Adamas dibuat was-was. Ia sudah bertanya pada Chayra sejak kemarin apakah perempuan itu tiba dengan selamat atau tidak tapi tak kunjung dibalas hingga hari ini dan pada detik ini. Hal yang jelas membuatnya cemas. Ia hanya tak menyangka kalau kehadiran Shania turut mempengaruhi asmaranya. "Lo dan Shania itu pernah ada hubungan, Dam. Mau disangkal kayak apapun akan terasa sulit. Karena semua sudah tercatat di benak publik. Bahkan sampai banyak akun yang mengatasnamakan pasangan elo dan Shania. Meski mungkin kasus lo tidak akan serumit sk Farrel dan Shabrina. Tapi setidaknya jauh sedikit beruntung." Adamas menghela nafas. Ia sama sekali tak perduli dengan ekspektasi orang-orang yang jelas tak bisa ia penuhi. Yang terpenting justru hidupnya saat ini. Sedangkan Chayra malah tersenyum ceria. Ammar dan Bastian datang lalu mereka asyik mengobrol di kafe Upik sebelum berangkat ke kampus. Kisah kilas lalu dibahas tentang apa yang terjadi di masa lalu, di masa mereka kuliah. Hal-hal lucu yang sulit dilupakan pun kembali diungkit dan dibicarakan. Hal yang tentu saja membaut reuni kecil ini menjadi sangat seru. Kepribadian masing-masing yang belum berubah dan membuat satu sama lain teringat kalau mereka pernah sama-sama berkuliah di tempat yang sama. Berjuang bersama saat kelulusan dan menjadi kuat karena bersama. "Eh ingat gak, Mar, dulu waktu kita diteriakin Pak Rino gara-gara kabur kelas?" Ammar tertawa. Yang suka membolos di antara mereka dulu ya Nabila dan Ammar. Otaknya sih Nabila. Gadis itu kan memang jenius. Meski jarang mengikuti kelas secara utuh, anehnya sekali ujian malah mendapat nilai terbaik. Sampai banyak anak kesal dengannya karena lolos satu mata kuliah yang sangat sulit. Bahkan peluang lolosnya hanya satu dibanding seratus. Itu kan benar-benar kejadian langka. Tapi Nabila berhasil melewatinya. "Gak berangkat sekarang aja?" Bastian tersadar kalau mereka terlalu lama bercanda di sini. Para perempuan mengangguk-angguk. Kemudian berjalan menuju mobil Bastian sementara Upik mengganti baju dan mengambil tasnya lalu menyusul ke mobil paling terakhir. @@@ Chayra, Nabila dan Upik tertawa saat melihat isi bagasi mobil Bastian. Ada dua buah cangkul. Mereka benar-benar berniat menggali. "Meski kita juga udah lupa posisinya. Tapi apa salahnya dengan totalitas?" ujar Ammar yang memang selalu semangat. Pada perempuan tertawa lagi. Kedua cowok itu memimpin jalan menuju danau. Bastian memarkirkan mobilnya di dekat parkiran perpustakaan. Angin sepoi-sepoi membius. Kesejukan danau kampus memang bukan hal asing lagi bagi mereka. Tapi bagi Ammar yang sudah lama tak datang rasanya benar-benar menumpahkan rindunya. "Kayaknya di sebelah sana ya?" tanya Ammar pada Bastian. Tapi Bastian mengendikkan bahu. Ia juga tak yakin. Setelah tiba di semak-semak, Ammar berhenti. Cowok itu memeriksa keadaaan sekitar kemudian melihat lebih detik tempat di mana mereka menanam botol yang berisik beberapa surat yang ditulis sejak beberapa tahun lalu. Ini adalah cara mereka mengingat kenangan yang pernah ada pada masing-masing orang dan sulit untuk dilupakan. "Di sini?" tanya Nabila. Ia sebetulnya tidak yakin namun melihat kedua sahabat lelakinya yang agak serius jadi ikut percaya saja. Hahaha. Siapa tahu memang benar tempatnya. "Percaya kan kepada dua tulang punggung orang lain!" seru Ammar yang tentu saja mengundang tawa. Tidak ada cinta di dalam persahabatan, harusnya memang begitu. Hahaha. Jadi kedua orang itu mulai mencangkul. Nabila yang memegangi payung untuk memayungi Ammar. Upik memegangi payung untuk memayungi Bastian. Berhubung hari ini memang cukup terik. Chayra yang melihat kelakuan empat sahabatnya malah menahan tawa. "Semoga gak dikejar satpam abis ini," tutur Chayra yang tentu saja membuat para sahabatnya tertawa. Ini terasa lucu sekali. Dari satu lubang, mereka berpindah ke area lain. Tapi masih di sekitar ilalang dan danau yang lokasinya memang tak jauh dari gedung perpustakaan. Namun pergantian jarak dan lokasi lubang yang digali tak kunjung menemukan lubang dulu yang pernah mereka gali. Bahkan tak satu pun dari mereka yang yakin dengan galiannya sendiri. Hahaha. Setelah satu jam lebih dan keadaan mulai tidak kondusif karena ramainya orang, mereka menyudahi pergalian. "Menyerah?" tanya Ammar. Ia memulai dan ia yang mengakhiri. Teman-temannya tertawa mendengar kata-kata ini. Tapi memang benar. Sepertinya mereka harus mengakhirinya karena tak ada ujungnya pencarian ini. "Entah kenapa, semakin gue gali ke dalam, semakin tidak yakin," tutur Bastian yang lagi-lagi menyumbang tawa. "Ini seperti de javu," tutur Upik yang tentu saja meledek kelakuan mereka semua. Dan tawa membahana pun menguar dengan indahnya. Kebahagiaan di siang hari meski panas mengintai. Namun kebersamaan dengan sahabat memutus rantai itu. Mereka semangat dengan segala cerita yang pernah ada di masa lalu bukan melalui botol yang hanya menampung sebagian kecil cerita. Tetapi ingatan lampau yang pernah indah menjadi kenyataan meski kini berubah menjadi kenangan. Dari pada nanti malah menambah masalah baru karena dikira melakukan macam-macam, akhirnya mereka memutuskan untuk mengubur kembali lubang yang telah digali. "Setidaknya kita udah berusaha," tutur Ammar menyemangati. Tapi teman-temannya malah tertawa. Sejujurnya, ini hanya usaha kecil yang bisa mereka jalankan. Tidak seberapa dalam galiannya. Tidak seberapa luas juga yang tergali. Tapi keburu lelah karena panasnya cuaca hari ini. Dari pada membuang waktu berjam-jam untuk menggali sesuatu yang tidak berujung, lebih baik disudahi. Mereka bisa membuat ide baru lagi dan tidak bodoh seperti ini. Hahaha. "Atau gimana kalau kita bikin baru lagi aja terus langsung digali? Anggap aja waktunya udah berlalu." Teman-temannya tertawa. Itu ide paling konyol dengan segala tingkah mereka. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN