"Lama di sini, bang?"
Wirdan sempat ternganga mendengar pertanyaannya itu. Adam tak begitu memerhatikan ekspresinya karena ia sibuk dengan mangkuk baksonya. Mereka malah mengobrol di kantin. Ya mumpung Adam punya waktu untuk istirahat sebentar. Sebelum nantinya ia sibuk lagi.
"Menurutmu, aku hanya transit di sini?"
Adam tertawa. Maksudnya kan Wirdan sering berpindah-pindah negara. Tak banyak yang tahu pula pergerakannya. Lelaki ini memang orang yang sangat penting. Orang-orang tahunya ia sibuk memberdayakan masyarakat karena Wirdan dan istrinya banyak membangun sekolah di daerah pedalaman dan perbatasan Indonesia. Selain itu, mereka juga membangun beberapa LSM di beberapa daerah yang tidak hanya bergerak dibidang pendidikan tapi juga kesehatan dan sosial. Khusus pendidikan, yang menjadi fokus mereka adalah yayasan beasiswa, riset, hingga penyediaan laboratorium gratis. Di bidang kesehatan, ia dan Amira mengurus pasien-pasien dan anak-anak yang terkena HIV, penyakit keamin lainnya, dan juga kanker. Di bidang sosial? Mereka fokus memberdayakan perempuan yang berstatus janda ataupun perempuan tua yang tak pernah menikah agar bisa mandiri secara ekonomi. Dananya?
Wah jangan tanya kekayaan. Ia adalah pengusaha yang hebat. Ia punya beberapa usaha di bidang tekstil maupun perkebunan. Di Eropa, ia juga menjadi investor di beberapa perusahaan. Pendapatannya sungguh besar dan uangnya ya selain untuk keluarga, ia dedikasikan untuk LSM dan sekolah-sekolah yang ia bangun. Wirdan membuktikan bahwa kalimat 'nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan' itu menjadi nyata untuknya. Karena kenikmatan yang ia dapat, ia bagikan pada orang lain. Kemudian Allah tambah terus nikmatnya sehingga rezekinya juga terus bertambah. Lagi pula, ia juga profesor muda di salah satu kampus ternama di Inggris.
"Kau dan kak Amira itu tak pernah menetap lama di suatu tempat. Makanya aku tanya begitu, bang."
Ya sih. Wirdan mengangguk-angguk. Ia kan sibuk. Kadang harus terbang ke Inggris. Sementara urusan bisnis banyak sekali. Beruntungnya, istrinya bisa membantunya secara penuh.
"Kau akan di sini terus? Sudah aman hati kau?"
Ia tersedak. Wirdan tertawa melihat wajahnya memerah karena tersedak itu. Terlihat sekali dari raut wajah Adam kalau ia masih belum bisa melupakan seseorang yang telah bertahun-tahun meninggalkannya. Perih memang.
"Perempuan itu bukan cuma satu, Dam. Dan lagi, rumah sakit abangnya dekat kali dari sini."
"Jauh lah. Ini kan Jakpus."
"Kan ada rumah sakitnya yang di Jakpus. Belum lama berdiri kalau gak salah."
Adam hanya mengangguk-angguk. Ia tak begitu tahu perkembangan keluarga itu karena sudah lama tak memgikutinya.
"Anak pertamanya laki-laki, seumuran sama Mysha."
Mysha itu anak pertamanya. Bahkan mereka satu sekolah di preschool. Wirdan dan Amira tentu saja sering bertemu dengan masa lalunya Adam itu. Adam menarik nafas dalam. Ia tahu sih resiko apa yabg ia jemput kalau ia kembali ke sini.
"Padahal abi kau bilang, kau dapat tawaran di Amerika sana. Tapi kau pilih untuk kembali."
Ia memilih kembali bukan karena masa lalu. Tapi karena ia mencintai negara ini. Ia merasa kalau Indonesia masih kekurangan banyak dokter spesialis sepertinya. Ya kan?
Jadi urusan masa lalu dan perasaan-perasaan sentimental itu tak akan menjadi masalah besar. Walau gara-gara ke-mellow-an Wirdan dalam meratapi urusan asmaranya, membuatnya terbawa akan perasaan itu hingga kembali ke ruangannya. Ia menghela nafas panjang. Walau sudah tak menyimpan lagi fotonya tapi kenangan di dalam kepala itu masih sulit terhapus. Kenangan tentang seorang perempuan yang bernama....
Airin Adhiyaksa.
@@@
"Loh.....," wanita berjas putih itu bingung melihat wanita berjilbab yang baru datang. "Ayahmu kan--"
Bukannya menjawab, Khayra malah nyengir lebar. Ia kerap dinilai dengan sebutan gadis aneh. Kadang ia menangis kemarin tapi esoknya ia sudah kembali ceria. Namun ia tak merasa dirinya aneh. Sebab begini, baginya setiap masalah atau musibah yang datang adalah tanda cinta-Nya. Allah ingin ia kembali mendekat pada-Nya. Apapun masalah yang dihadapinya, ia yakin, Allah sedang menguji imannya. Sudah seberapa tingkatkah? Sudah pantaskah memasuki surga-Nya? Sudah pantas kah bertemu dengan-Nya nanti?
Ia hanya tak mau membuat segala sesuatu menjadi berlarut-larut. Padahal ia bisa menghadapinya dengan begitu tegar. Ia tahu kok, hidupnya pun tak mudah selama ini kan?
Walau kadang ia tak bisa menampik atau menghindari patahnya hati. Namun ia selalu menguatkan diri. Apalagi ketika ia ditimpa masalah yang sama berkali-kali. Rasanya manusiawi. Lagi pula, ia tak pernah ingin untuk hidup seperti ini bukan? Walau susah payah meyakini hatinya bahwa Allah pasti melihat usahanya, kesabarannya, senyumnya dalam setiap ujian dan cintanya yang terus berkelanjutan. Semua ini akan indah pada waktunya. Entah kapan keindahan itu menyapanya, tapi ia harap, saat kelak menjumpai momen bahagia itu, masih ada ibunya di sampingnya. Lalu ayah yang ia harap dapat tersenyum disana. Sebab rasa kasih sayang dan cinta itu tak kan terputus walau jauhnya jarak. Karena selalu ada doa yang mengikatnya.
Pun perihal jodoh yang sampai kini masih teka teki baginya. Siapa kah yang pantas disandingkan untuk wanita akhir zaman yang tidak solehah ini? Harapan pun tinggal harapan ketika ia menginginkan sosok lelaki yang tak hanya indah parasnya namun juga akhlaknya. Sebab ketika keinginan itu dilempar di depan mukanya, akankah ia pantas mendapatkan lelaki itu? Setelah berulang kali gagal menikah menimpa dirinya?
Mungkin setelah ini, ia tak kan pilih-pilih. Sebab pilihannya selalu salah. Kini ia sudah pasrah namun bukan berarti berhenti berusaha. Kini saatnya ia menghadapi hidup seperti biasanya walau dengan kesendirian? Ah...kesendirian? Kata siapa? Ia yakin bahwa ia tak pernah sendiri. Sebab ia percaya jika Allah selalu bersamanya.
"Ummi bilang, aku harus berangkat kerja. Musibah bukan untuk menghambat hidup tapi untuk terus bertahan hidup bahkan agar hidupnya lebih baik." Ucapnya bijak. Tangannya menenteng kartu-kartu yang dibuatnya sendiri. Dalam hati ia sedang menguatkan agar ucapan itu menjadi kenyataan.
"Bukannya kau cuti, Ra?" Wanita berjas putih itu masih bertanya.
Mendengar pertanyaan itu, tangan-tangan lincah milik Khayra berhenti bergerak. Wanita itu menahan sakitnya mati-matian. Ia terus meyakinkan dirinya jika ini bukan salah orang lain karena mengingatkannya pada luka. Namun ini salahnya karena luka ini darinya. Dan segala masalah ini adalah anugerah bukan musibah, itu keyakinan hatinya. Eh atau ia yang mencari penyakit?
Bukan kah ia yang seolah membuka aibnya sendiri? Tapi ia punya pandangan tersendiri. Ia tentu tak mau berbohong pada orang yabg meminangnya. Kalau nanti ia menyesal setelah menyentuhnya bagaimana? Ia akan lebih merasa bersalah dan berdosa.
"Kau...tak jadi menikah?"
Kini suara wanita itu makin pelan. Khayra mendongakan kepalanya yang sedari tadi menunduk. Air mata yang hendak jatuh pun tak jadi. Ia malah memasang senyum lebar dengan kekehan kecil agar wanita ini tak mencurigainya. Bukankah ia selalu menghadapi pertanyaan yang sama berkali-kali? Jadi ketika ditanya lagi, baginya sudah biasa. Namun rasa sakitnya tetap sama. Itu yang masih sulit ia hadapi.
Ia akui kalau ia belum terbiasa dengan patah hati. Tapi apa salahnya sih gagal menikah? Bukannya para perempuan di luar sana banyak yang masih sendiri? Mereka bahagia saja dengan status mereka. Kan kebahagiaan tak diukur dari status. Ya kan?
"Belum jodohnya, La."
"Kenapa?"
Khayra menggeleng lemah. Enggan bercerita. Bukan karena ia tak percaya atau takut wanita ini menyebar ceritanya. Tapi ia hanya tak ingin berbagi. Ia memang egois pada luka. Jika sakit, ia hanya ingin menahan sakitnya sendiri. Yang lain tak boleh ikut merasakan sakitnya. Sebab ia hanya ingin membaginya pada Tuhannya. Allah lah Maha penutup aib hamba-Nya. Jika bercerita, Dia akan menutupinya bahkan melindunginya sementara manusia lain sibuk menyebarkannya.
"Sudahlah. Aku hanya tak ingin mengorek masa lalu." Ucapnya puitis yang malah membuat Kayla terbahak mendengarnya.
Ya, masa lalu. Bukan kah sudah berlalu?
@@@