Kegagalan Yang Sama
"Ini anak saya yang pertama. Kuliah diploma di IPB lalu lanjut sarjana di UI. Juni kemarin baru menyelesaikan magisternya di Belanda. Sekarang lagi lanjut S3 di Amerika." Pak Yadi menjelaskan sembari menatap foto putrinya yang cantik terbingkai didinding.
Ada nada bangga dan sorot rindu dari matanya. Wajar saja, untuk ukuran pensiunan bisa menyekolahkan anaknya kuliah di luar pulau itu sudah cukup baik. Apalagi ditambah putrinya memang cerdas dan berkeinginan kuat untuk sekolah tinggi biar pun orang tuanya hanya lulusan diploma yang tinggal di daerah terpencil dan tertinggal. Tapi semangatnya luar biasa.
"Ini yang namanya Faradiba ya, Pak?" Pak Syamsul bertanya dan dibalas anggukan. Matanya melirik anak semata wayangnya yang kini mesem-mesem. Dia....Adam Alkhalifi Zikri. Lelaki itu turut menatap wajah yang terbingkai di dinding itu. Anggun dan cantik.
Dua minggu yang lalu, Pak Syamsul tak sengaja bertemu pemilik kebun kelapa sawit di kota. Ia berniat membuka perkebunan kelapa sawit yang tanahnya bersebelahan dengan pemilik kebun kelapa sawit itu. Siapa yang menyangka kalau sahabat lamanya adalah pemiliknya. Pak Yadi yang dulu pernah satu kantor dengannya di PDAM kota selama hampir lima belas tahun sebelum ia dipindahkan ke PDAM kabupaten. Pertemuan tak sengaja itu malah menjadi ladang temu sahabat lama setelah hampir sepuluh tahun tak bertemu. Sekaligus menjadi semangat untuk Adam meraih satu-satunya impian yang belum terwujud. Menikah.
"Ini anak saya yang kedua. Namanya Dania. Baru lulus dari sarjana IPB sekarang kerja di Jakarta. Gak mau pulang kalau belum S2 katanya."
Mendengar penuturan itu Pak Syamsul terkekeh. "Sudah betah dirantau kali, Pak. Anak bujang saya satu-satunya ini juga tak mau pulang kalau tak diminta ibunya untuk pulang."
Kedua laki-laki paruh baya itu terkekeh. Sementara Adam sibuk menetralkan warna wajahnya yang memerah. Sesekali ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Kalau yang ini anak laki-laki saya satu-satunya. Sekarang baru semester tiga di Jepang. Alhamdulillah, dapat beasiswa disana."
"Anak bapak yang pertama itu berapa umurnya?"
"Sekarang masih dua enam. Tahun depan sudah dua tujuh."
Pak Syamsul mengangguk-angguk. Dua tahun dibawah anaknya. Dua puluh delapan tahun. Usia seperti itu tergolong jarang masih ada yang membujang di pulau terpencil ini. Kecuali anaknya yang betah membujang.
"Sebenarnya kedatangan kami kemari itu ada hubungannya dengan anak Pak Yadi." Pak Syamsul membuka wacana. Bu Syamsul ketar ketir memantau suaminya dari jauh. Sesekali ia tersenyum menanggapi cerita Bu Yadi yang tak putus-putus memamerkan anak-anaknya yang sukses kuliah di luar negeri. Sementara kening Pak Yadi malah mengerut.
"Apa itu, Pak?"
Mata Pak Syamsul melirik sekilas anaknya yang hanya mampu diam. Tak berkutik. "Kedatangan kami kemari adalah untuk melamar anak bapak." Ucapnya pelan. "Melamar Faradiba untuk anak kami, Adam Alkhalifi Zikri." Sambungnya yang membuat Pak Yadi dan Bu Yadi menahan nafas. Sementara anak bungsu Pak Yadi yang masih kelas satu SMP menguping dari ruang keluarga. Gadis berkuncir kuda itu sesekali mengayunkan rambutnya.
"Maaf kalau terlalu lancang." Ucapnya saat tak ada tanggapan dari Pak Yadi.
"Gak apa-apa, Pak! Gak apa-apa." Lelaki paruh baya itu gelagapan. Tak enak dengan wajah shock-nya. Lalu menarik nafas dalam. Tenggorokannya tercekat saat mendengar tujuan keluarga sahabat lamanya datang kemari adalah untuk meminang anaknya.
"Sebetulnya saya senang akan maksud baik Pak Syamsul datang kemari." Lirihnya dan matanya melirik Bu Yadi yang kini memasang wajah tak enak hati. "Tapi putri saya, si Diba sudah menikah awal tahun kemarin. Sekarang ikut S3 di Amerika karena suaminya juga S3 di sana." Ia menjelaskan dengan berat hati.
Hancur hati keluarga Syamsul. Adam membesarkan hatinya. Merasa terpuruk. Wanita yang ia idam-idamkan meski tak mengenalnya ternyata sudah dicuri lelaki lain. Dan....ia terlambat. Ini sudah ketiga kalinya ia terlambat meminang anak orang.
Pertama, Airin. Wanita itu sudah menikah dengan lelaki lain. Lelaki yang lebih siap darinya. Bagaimana kisahnya wanita itu menikah pun ia tak tahu dan tak mau tahu.
Kedua, Sahara. Dia teman seperjuangan di Amerika. Wanita itu pun diam-diam menaruh harap padanya. Tapi sayang, ia terlalu fokus untuk Airin yang ternyata telah menikah dengan lelaki lain. Hingga saat ia mendengar kabar bahwa Sahara mencintainya, ia langsung tancap gas meminang wanita itu. Tapi sayang, takdir belum berpihak padanya.
Sahara kecewa saat tahu Adam pulang ke Indonesia selama beberapa bulan untuk meminang gadis lain. Akhirnya, wanita itu memutuskan untuk menerima pinangan yang datang kepada ayahnya. Anak sahabat ayahnya dan juga kawan kecilnya. Hingga saat Adam kembali ke Amerika, Sahara dalam tahap akan menikah seminggu kemudian. Adam tak jadi melamar dan merasa menyesal karena terlambat.
Lalu ketiga, Faradiba. Awalnya ia tak tertarik pada wanita itu. Tapi mendengar cerita dari ayahnya yang baru bertemu sahabat lama dan bercerita heboh soal anak pertamanya, ia menaruh harap. Ia memang mencari wanita yang cerdas dan mandiri. Apalagi wanita itu sedang melanjutkan S3 di Amerika. Ia bisa balik kesana dan bekerja di rumah sakit disana sehingga tidak masalah jika menikah dengan wanita itu. Tapi sayangnya, wanita itu juga sudah menikah dengan lelaki lain.
"Belum jodohnya, nak." Bu Syamsul menghibur saat mereka sudah dalam perjalanan ke rumah.
Adam hanya bisa menghela nafas. Membesarkan hati yang terlanjur menaruh harap. Walau ia sakit juga. Karena sempat jatuh hati pada foto cantik Faradiba yang tertempel di ruang tamu rumah itu.
Wanita itu berjilbab. Ia juga mencari yang seperti itu. Tapi sayangnya, bukan wanita itu yang menjadi jodohnya.
"Insya Allah nanti dikasih Allah jodoh yang lebih baik." Hibur Pak Syamsul.
Ia tersenyum tipis lalu memejamkan matanya. Hatinya bertanya-tanya. Dimana jodohnya sekarang? Sedang apa ia? Menunggu dirinya kah? Atau sedang mencarinya juga?
@@@
"Mau nikah kok malah ngelamun?" Celetuk Shanti. Sepupunya yang centil itu muncul di ambang pintu kamar. Khayra yang sedang duduk termenung seketika sadar. "Hayooo ngelamun yang jorok-jorok yaaaa?"
"Hush!" Khayra mengibas-ibas. Shanti terkekeh lalu masuk ke dalam kamar yang masih berantakan itu. Empat hari lagi pernikahan dan sebentar lagi kamar ini akan disulap menjadi kamar pengantin. "Ngaco kamu!"
"Lagian, mau nikah kok malah ngelamun?"
Khayra menghela nafasnya. Ia memangku dagunya sambil mengetuk-ngetuk paha dengan telunjuk kanannya. Shanti mengambil duduk di sebelahnya.
"Aku tuh bukannya melamun, Shan. Tapi lagi mikir!"
"Mikir apa lagi? Pernikahan sudah di depan mata. Dapat suami ganteng pula. Terus tajir. Masa depan terjamin, buuu." Ia menyentil. Khayra mendengus dan menghindari sentilan didahinya itu. "Apanya yang perlu dipusingin?"
Ia juga bertanya-tanya. Apa yang perlu dipusingkan? Calon suaminya itu paket lengkap. Brondong pula. Tiga tahun dibawahnya. Untuk ukuran wanita dua puluh sembilan tahun sepertinya, sangat sulit mencari lelaki yang berusia dibawahnya.
Khayra menghela nafasnya lalu membaringkan tubuhnya. Seharusnya mudah baginya untuk menikah. Tapi entah kenapa, ia selalu sulit jika berhubungan dengan prahara yang satu ini. Pernikahan. Uang itu hanya pemulus saja. Tampang itu hanya untuk meneduhkan jiwa saja. Nyatanya, ia tak terlalu berharap akan mendapat laki-laki yang tampan. Baginya yang paling penting itu agama.
Jika yang paling utama adalah Allah, insya Allah semuanya akan mudah. Tapi...bukankah lelaki itu juga mengatakan bahwa ia mencintai Allah? Apalagi yang perlu dipusingkan?
Nyatanya, hatinya tetap memberontak. Kata cinta itu bukan sekedar pengucapan tapi sebuah pengamalan. Tiga kali gagal menikah ditahun-tahun sebelumnya membuatnya sadar betul. Kalau rata-rata lelaki yang akan menikahinya juga mengucapkan hal yang sama. Yaitu, mencintai Allah. Tapi nyatanya?
Ia memejamkan matanya dengan kuat. Lalu bangkit dan mengambil ponselnya. Shanti sudah tak ada di kamarnya. Entah kemana gadis itu, ia tak peduli.
"A-assalamualaikum." Suaranya mendadak tergagap. Ia menarik nafas dalam mencoba menormalkan jantungnya yang tiba-tiba memburu tak karuan.
"Waalaikumsalam. Ada apa, Ra?"
Ini kedua kalinya ia mendengar suara lelaki itu. Pertama saat acara lamaran seminggu yang lalu. Mereka memang tak pernah bertemu. Lelaki itu pun melamarnya lewat guru mengajinya. Ia sendiri tak mempermasalahkan siapa yang melamarnya asal mencintai Allah. Cinta yang benar-benar cinta. Bukan karena fisiknya seperti bertahun-tahun belakang. Ketika menampakan kekurangan langsung mundur.
"E-eung, saya mau tanya satu hal sama kamu."
"Ya, tanyakan saja, Ra."
Dalam hati Khayra mendumel, brondong gak sopan! Karena dia memang lebih tua. Tapi lelaki itu tak menyebut 'kak' atau embel-embel apapun. Malah langsung ke nama.
"Kamu yakin mau lanjutin pernikahan ini?"
Lelaki di seberang sana mengernyit. "Maksud kamu?" Nada bicaranya terdengar tak suka akan pertanyaan yang dilempar Khayra.
"Begini," Bukanya lalu menarik nafas dalam. "Ada satu yang perlu kamu tahu tentang saya."
"Apa?"
"Tentang kejujuran." Ia melempar jawaban itu dengan susah payah. "Saya tak kan menuntutmu jika berniat membatalkan pernikahan ini."
"Maksud kamu apa bicara begitu?"
Khayra memejamkan matanya. Bibirnya bergetar. Memori masa silam kembali mendera otaknya di momen-momen yang sama. Momen yang beberapa tahun belakang ini kerap menemaninya. Air matanya meluncur begitu saja. Tak kuasa ia menahannya. Sakit dan penyesalan inilah yang setia menemaninya. Penyesalan yang ia benci dan kesakitan yang ia benci untuk terus merasakannya. Tidak bisakah ini semua berhenti? Agar ia bisa menikah dan hidup normal selayaknya wanita pada umumnya.
Pernikahan dan rumah tangga yang samara adalah satu kesatuan. Satu keinginannya sebagai wanita. Karena hidup dalam kesendirian itu tak enak sama sekali.
"Ra.... Khayra...."
Ia tersadar dan menghapus air matanya seperti yang sudah-sudah. "Saya....sa--saya....," ia menggigit bibirnya dengan kencang. Perih yang timbul pun tak terasa lagi. "Saya bukan gadis."
"Maksud kamu apa?"
"Saya sudah tak perawan." Ia melontar dengan cepat. Tak sanggup jika harus mengulangnya.
Sementara lelaki di seberang sana ternganga. Nafasnya memburu, merasa dipermainkan. Kenapa tak bilang sejak awal?
Khayra menahan pilu dihatinya. Inilah yang selalu ia hindari setiap akan menikah. Pernikahan menjadi momok menakutkan baginya karena kisah yang sama terus terulang. Setiap ia berkata jujur, selalu seperti ini yang didapatnya. Sebuah keterdiaman yang diam-diam menghanyutkan. Menghanyutkannya ke dalam pusara kelamnya masa lalu. Tak ada suara lelaki itu. Yang ada hanya tut-tut-tut.
Khayra tak perlu bersusah payah lagi. Ia sudah tahu akhirnya akan begini. Akhir yang hanya membuatnya menyesal untuk menikah. Karena akhirnya ia akan kecewa. Setiap lelaki yang datang, yang katanya mencintai Allah, nyatanya hanya mencintai tubuhnya, hanya mencintai cantik parasnya. Sedangkan ia tak bisa hanya hidup seperti itu.
Kalau memang mencintai Allah, apakah adil baginya, jika setiap ia melontarkan pernyataan yang sama, sebuah keterdiaman selalu menjadi jawaban. Dan......suara heboh di luar sana, ia sudah memperkirakan apa yang terjadi. Lelaki itu pasti menelepon ayahnya.
"Ra! Ra! Khayra! Keluar, Ra! Ayah mau dibawa ke rumah sakit!"
"Innalillahi...," ia berlirih dan terburu-buru bangkit dari ranjang. Air matanya jatuh saat melihat ayahnya dibopong abangnya ke mobil. Ibunya pingsan sementara wajah abangnya yang kedua sudah memerah dengan mata tajam mengarah padanya.
Pada akhirnya, lelaki sebejat apapun pasti menginginkan wanita baik yang menjaga kesucian dirinya.
@@@