"Loh? Loh? Raaa!"
Yang heran tentu bukan hanya orang-orang di kantor. Ia hanya tersenyum saja. Ya terserah lah orang mau bilang apa. Ia juga sudah pasrah kok.
Amira yang melihatnya dari kejauhan sana hanya bisa menghela nafas. Ya ia juga baru tahu. Khayra sengaja cerita dulu biar ia diizinkan ke sini. Rutinitasnya ya selain mengajar di TK, ia juga membantu orang-orang di sini untuk merawat pasien HIV. Ah tentu tak mudah. Tapi baginya masih lebih mudah dibandingkan dengan Wirdan yang memilih untuk menampung mereka semua. Padahal beberapa di antaranya yang mencari penyakit sendiri. Dengan alasan ekonomi yang baginya. Ah sudah lah. Ia tak mau mengorek aib orang lain kalau ia juga tak mau mengorek aibnya. Memangnya ia merasa lebih suci dibandingkan dengan mereka? Tidak juga. Ia juga tahu kalau ia tak jauh berbeda dengan mereka. Ya kan?
"Kan aku udah bilang. Jangan ke sini dulu."
Amira tetap mengomel meski ia sudah bilang kalau akan ke sini. Khayra tersneyum tipis. Ia sudah mulai berdamai dengan nasib. Ia tak mempermasalahkan semua hal buruk ini. Ya yang semoga saja bisa dijadikan pengubur dosanya. Ya jika bisa. Bukan kah dengan sakit bisa menggugurkan dosa? Ia sedang sakit hati sekarang.
"Kau tahu aku gimana. Semakin diam rasanya akan semakin gila."
Ya Amira tahu. Ini bukan sekali. Khayra sudah dikecewakan oleh takdir berkali-kali. Namun ia sadar kalau ini adalah salahnya. Andai dulu ia tak masuk ke dalam jurang yang salah, ia juga tak akan menjadi seperti ini kan? Pasti ada sebab dari akibat yang terjadi. Karena begitu lah yang namanya hidup bukan? Roda akan terus berputar. Urusan manusia memilih untuk bangkit atau kah terpuruk, tak menjadi masalah bagi bumi. Yang penting ia menunaikan tugasnya dengan baik. Maka seharusnya manusia juga begitu.
"Tapi setidaknya perhatikan dirimu. Aku tahu kau kuat. Tapi bukan begini juga caranya."
"Kita gak pernah tahu, Mir. Waktu terus berjalan. Kalau aku hanya sibuk meratap nasibku, aku akan kehilangan pahala seiring waktu. Itu jelas membuang-buang kesempatan."
Amira hanya bisa menghela nafas. Ia juga tak tahu harus bagaimana lagi meresponnya. Hanya bisa mengelus punggungnya. Ya semoga segera berganti takdir yang jauh lebih baik untuk sahabatnya ini. Ia mungkin tak akan bisa sepertinya. Pasti sakit sekali rasanya bukan?
"Aku ke ruangan dulu."
Amira mengangguk. Ia melihat Khayra yang berjalan menuju ruangan khusus. Lokasinya berada di sebelah gedung LSM dua lantai ini. Ya ukurannya memang cukup besar untuk setaraf LSM. Ia juga tak tahu sekaya apa si Wirdan sampai memiliki semua ini dan sering diancam akan dibunuh. Tentu menurutnya, hidup menjadi Amira, jauh lebih sulit dibandingkan dengannya dengan ujian yang menurutnya masih lebih cetek.
Ia menyapa dua perempuan yang berjaga di meja khusus sebelum masuk ke gedung sebelah. Gedung sebelah itu memang khusus untuk menangani pasien HIV. Tak banyak yang tinggal di sana. Hanya 6 orang. 3 laki-laki dan 3 perempuan. Tapi yang laki-laki tentu saja terpisah gedung. Ya tidak berada di sini. Karena di sini khusus pasien perempuan. Gedung di sebelah ini hanya 1 lantai. Ada satu gedung lagi di sebelah gedung 2 lantai. Nah kalau gedung itu terdiri atas 4 lantai. Ada lebih banyak pasien lagi di sana. Kebanyakan ya kanker. Yang tinggal di sini adalah mereka yang tak punya keluarga atau tak ignin keluarganya tahu dan juga tak punya biaya.
Khayra mengenal semua pasien HIV. Terutama 3 perempuan yang kini sudah jauh lebih baik dibandingkan ketika Khayra bertemu pertama kali.
"Woa! Khay! Khay!"
Mereka heboh. Tentu saja Khayra tak bersitatap langsung. Mereka terhalang kaca. Ketiganya ya hidup di rumah dengan tempat tidur, dapur, ruang keluarga, ruang jemur, dan ada taman untuk berolahraga. Wirdan memberikan fasilitas terbaik. Di gedung ini bisa menampung sekitar 10 pasien HIV tapi yang baru terisi baru 3 kamar. Kalau butuh makan ya masak sendiri. Para petugas akan memasukkan bahan-bahan makanan melalui pintu khusus. Mereka bagai dikurung. Tapi karena tampilannya tampak keren, mereka justru senang. Katanya desain gedung ini seperti yang ada di drama-drama Korea yang sering mereka tonton. Hahaha.
"Kok ke sini sih? Bukannya mau nikah ya?"
Itu Kinan yang bicara. Perempuan berusia 34 tahun itu adalah mantan PSK. Ia memilih tinggal di sini karena ya keluarganya takut dengannya. Sedangkan yang baru saja menyikut lengannya adalah Allesya. Gadis berusia 22 tahun itu bahkan tak bisa menyelesaikan kuliahnya. Meski Amira menawarkan. Ia pernah bilang. Untuk apa? Toh tak akan ada yang mau menerimanya. Tapi ternyata?
Tidak. Ia bekerja meski ya jarak jauh. Wirdan dan Amira yang memperkerjakannya dengan keahlian komputernya. Ia setidaknya tidak terlalu merepotkan orang lain. Walau ia masih benci ibunya. Ibunya yang mengidap HIV itu kabur entah ke mana. Ia yang tertular harus mendekam di sini sendirian. Ia juga yang memilih untuk berada di sini kok. Karena dunia luar tak akan mau menerimanya. Mereka memang terasingkan. Tapi menurut Khyara, yang paling kasihan adalah Tika. Mungkin karena usianya yang paling muda di sini. Wakau ia sudah agak ceria. Usianya 15 tahun. Hampir putus sekolah andai Amira tak memaksanya untuk tetap bersekolah meski homeschooling. Gurunya akan duduk di bangku yang sama dengan Khayra sekarang. Ia masih semangat belajar karena melihat Kinan dan Allesya yang tidak putus asa. Kalau Kinan ya, ia paling tua dan ia juga yang bertugas untuk memasak.
Khayra tersenyum. Kinan pasti terlalu sibuk mengurus dua bocah ini jadi mungkin tak tahu kabarnya. Ya tak masalah. Ia sudah sangat mengenal mereka. Dan mereka adalah pengobatnya. Bayangkan, ujiannya benar-benar tak seberapa dibandingkan dengan ketiga orang ini bukan?
Mereka adalah orang-orang yang terasingkan. Yang tak diterima di dunia luar. Hampir semua orang tak akan bisa menerima mereka. Sementara ia? Baru ditolak beberapa orang dan keluarganya masih tak masalah bukan?
@@@
Sebuah mobil baru saja meluncur. Ada kabar buruk dari anak buahnya soal sebuah gedung yang hendak diledakkan tapi dengan cara menabrakan pesawat ke sana. Setelah berjam-jam memecah kata sandi, akhirnya mereka berhasil membaca perintah dari seorang petinggi pada sekelompok mafia. Lalu untuk apa mereka ikut campur?
"Mereka juga berusaha membaca data-data keuangan perusahaan. Meski hanya 1 persen per bulan yang ditarik per perusahaan. Lo tahu nominal totalnya bisa mencapai ratusan triliun."
Fadli terdiam. Ya itu tampaknya bukan ancaman. Karena hanya satu persen terlihat sedikit namun jika ditarik dari semua perusahaan, itu akan menjadi dana yang besar. Lalu untuk apa dana itu jika dikumpulkan?
"Lo tahu buat apa, kak?"
Fadlan mengusap wajahnya. Ia bekerja di depan komputer yang ada di ruangan khusus di dalam ruangannya yang ada di rumah sakit miliknya sendiri.
"Berbuat kekacauan. Pasti akan ditransfer untuk bantu teroris di Timur Tengah, p*********n di Afrika, dan...."
"Dan apa?"
"Penyebaran penyakit. Mereka berencana membuat vaksin baru untuk mencari keuntungan dari itu."
Fadli semakin mempercepat laju mobilnya. Ia berdeham. "Dengar semua?"
Wira mengiyakan. Cowok itu baru saja berlari naik ke helikopter dan terbang perdana dari sebuah bandara di Jakarta. Regan?
Baru saja mendarat di atas kapal pesiar. Cowok itu terjun dari pesawat khusus tadi. Sementara Feri baru saja melepas beberapa tim yang terbang dengan pesawat tempur yang baru dibeli oleh keluarga Regan.
@@@